"Bi, gak nyangka ya, kalau Inayah udah berubah drastis? Padahal kan dulu dia ….""Sst! Jangan mengungkit masa lalu orang lagi, Sayang. Kalau dia sudah bertaubat, cukup diingat kebaikannya yang sekarang," potong Bian, meletakkan telunjuk di depan bibirku. Aku mengerucutkan bibir dan memiringkan badan. "Jadi Bibi belain dia? Jangan-jangan kecewa saat tahu Inayah akan menikah lagi," balasku pura-pura kesal. Aku yakin kok kalau dia hanya mencintaiku sekarang. "Loh, ada yang lagi cemburu ni ye. Aku malah senang kalau dia nikah, Sayang. Dengan begitu, tiada lagi yang harus kita cemaskan jika sering kembali ke kota ini. Gak ada pengganggu. Mantan itu tak harus bermusuhan," balas Bian, menjadi lebih pipiku. "Iya iya, Bi aku cuma bercanda kok," balasku tersenyum lebar. Netra Bian melebar, menatapku tajam. "Jadi kamu gak cemburu, Ca? Ah, aku kecewa.""Ihhh, pakai merajuk segala," kekehku dan memeluk pinggang Bian. Merebahkan kepala di punggungnya yang kokoh. "Enggak juga sih, Sayang. Tap
[Baru bangun langsung makan. Makasih ya, Bebeb akoh] tulis sebuah akun bernama Inayah di wall facebook miliknya, entah kapan kami berteman dan aku tak mengenalnya.Aku tidak terbiasa meng-add akun yang tidak kukenal. Tapi terkadang aku mengkonfirmasi semuanya saat senggang karena beberapa orang temanku ada yang chat kalau mereka menggunakan akun dengan nama samaran ataupun anak sendiri. Mungkin akun Inayah ini yang add aku duluan. Dan entah kenapa, aku suka melihat semua postingannya. Lumayan mengobati rindu pada suamiku yang telah meninggal dunia. Lelaki yang mencintaiku meskipun ia tahu hatiku masih memikirkan seseorang dari masa lalu. Aku memutar video yang memperlihatkan seorang lelaki sedang memasak nasi goreng dan menyajikannya di atas piring. Maskulin sekali. Seorang lelaki yang memperlakukan istrinya dengan lembut bagiku sangat mempesona.Aku mulai tertarik. Memang ada stiker menutupi wajahnya lelaki yang merupakan suami dari Inayah itu, tapi tetap saja banjir pujian dari wa
Wajah Bian terlihat terkejut, lalu mengajak istrinya sedikit menjauh. "Kamu jangan suka kirim ke medsos semua aktivitas kita, Yang," tegur Bian, tapi masih bisa kudengar. "Loh, apa yang salah, Bang? Aku kan sudah memasang stiker di wajah Abang. Biasanya protes karena itu. Sekarang gak ada lagi loh foto atau video yang memperlihatkannya wajah Abang yang ganteng ini," balas Inayah, mengusap wajah sang suami dengan mesra. "Lagian dia bisa jadi teman yang baik, kok. Dia ramah, baik, sopan …." Apa maksudnya memuji-mujiku?Senyuman Inayah terkembang, lantas melirikku sekilas. "Tapi kan ….""Udah deh, Bang. Jangan melebih-lebihkan. Aku sayang kok sama Abang. Kalau orang lain memamerkan liburan di luar kota atau bahkan luar negeri dan makan di restoran mahal, aku puas dengan memperlihatkan kebersamaan kita yang harmonis. Aku tidak menuntut Abang agar punya gaji yang besar supaya bisa beli barang-barang branded atau liburan yang mewah. Cuma itu caraku mengekspresikan rasa bahagia," ceroc
"Jangan memaksaku terlibat terlalu jauh. Mungkin sekarang kamu bangga, tapi siapa sangka ke depannya kamu bisa menangis," ujarku memperingatkan wanita ini. "Kamu yang akan menangis. Aku tahu, kamu sudah jadi janda, kan? Pasti kamu sedang mencari mangsa baru." Nada bicaranya seperti mencemooh "Mangsa? Kamu kira aku predator?" sergahku mulai tersinggung. Bahasanya semakin menyudutkanku, seolah ia telah jadi cctv kehidupanku. Mengetahui detail seluk beluk hidup yang kujalani. Atau dia ingin membuatku marah di rumahnya sendiri? Biar Bian tahu seperti apa diriku kalau sedang dikuasai amarah? Pikiran wanita yang memakai piyama warna coklat ini susah ditebak. "Maaf, kata-kataku mungkin terlalu kasar. Aku cuma tidak ingin kamu kesepian," balasnya, tersenyum menyeringai. Ah, dia ternyata musang berbulu ayam."Sepertinya kamu terlalu mengurusi hidupku," cetusku, menatap matanya dengan tajam. "Kamu juga mengurusi hidupku. Buktinya, kamu sering stalking akunku, kan?"Si@l, aku lupa kalau
"Nak, apakah sudah saatnya kamu tahu siapa bapak kandungmu?" gumamku, mengecup pucuk kepala bocah yang sudah tidur pulas itu. Aku menyimpan ponsel agak jauh, lalu merebahkan badan di samping anak lelakiku. Semoga kisah cintamu kelak tidak serumit kisah mamamu, Nak.*Inayah masih terus memamerkan kebaikan atau sikap romantis suaminya di media sosial, bahkan acapkali seperti menyindir para jomblo. Di story WA lebih intens lagi, baik menggunakan nomornya ataupun kontak yang katanya milik Bian. Aku jadi teringat ucapan Inayah. Katanya dia mengenalku melalui foto di rumah Bu Ranti yang merupakan ibunya Bian. Wanita yang sayang padaku itu juga masih mengingat diri ini. Benarkah begitu? Mungkin tak ada salahnya aku berkunjung ke sana. Boy sudah mendingan dan bisa kutinggal, makanya aku sekarang sedang ada di kantor. Setelah makan siang, aku bisa mengunjungi mantan calon mertuaku itu. Mungkin saja mereka masih tinggal di rumah yang sama. Kami memang tinggal di kota yang sama, tapi hari
"Bu, aku pulang dulu, ya. Kapan-kapan Ibu sama Nisa main ke rumahku," ujarku sambil menyerahkan kartu nama. Meskipun aku tak jadi bagian keluarga ini, tak salah dong kalau kami tetap menjalin hubungan baik. "Loh, kok Kak Caca cepat kali mau pulang? Minum dulu, baru boleh pulang," ujar Nisa yang sedang membawa nampan berisi tiga gelas cappucino. "Kamu sih, lama baru suguhkan minuman," protes Bu Ranti. "Gasnya habis, Bu, mau manasin airnya. Aku tadi ngutang ke warung depan dulu," balas Nisa, lalu nyengir saat Bu Ranti mendelik tajam. Ngutang? Apa hidup mereka sesusah itu sampai ngutang segala? Apakah Bian tak menyokong perekonomian keluarganya ini? Aku jadi prihatin. "Minum dulu, Ca. Kenapa harus buru-buru pulang sih?""Aku ada urusan lain, Bu," balasku, lalu mengambil cangkir keramik itu. Menyeruput isinya perlahan. Ah, aku seperti kembali ke masa lalu dan kini terulang kembali. Namun rasa kopi ini tak senikmat dulu karena hati sedikit nyeri mengingat cinta tak bisa memiliki. Ta
"Senyum itu sedekah. Jangan manyun begitu," candaku. "Kamu yang menyuruhku menggoda suamimu, lalu kenapa terlihat tak suka?"Aku meneguk sisa air minum seraya menatap istri Bian ini. Inayah tersenyum mengejek. Ia mendekatkan wajah ke arahku. "Aku hanya ingin meremas kepercayaan dirimu yang terlalu tinggi. Kamu memang pernah spesial di hati suamiku, tapi sekarang, kamu cuma bekas," ujarnya dengan pelan, tapi tegas. Aku menarik napas perlahan, jangan sampai terlihat emosi. Jujur saja, aku tak suka disebut 'bekas'. Meskipun tujuannya sama dengan mantan. "Sebenarnya kita sama-sama percaya diri. Tapi aku tidak akan meladeni kalau kamu minta agar permainan ini dihentikan. Bian bukan lah barang. Ia pasti akan kecewa kalau dirinya dijadikan sebagai bahan rebutan," balasku setelah memastikan Bian belum kembali. "Aku sudah bilang, silakan goda suamiku kalau kamu mampu. Di dunia ini banyak lelaki hidung belang, tapi terkecuali suamiku," tegasnya. Entah apa maksudnya bersikap begini? Apa dia
[Seseorang yang mau marah jika kita salah, itulah sebenar-benarnya orang yang peduli dan sayang. Bukan malah cuek diam saja ketika sudah melakukan hal konyol seperti kamu] balasku, memancing emosinya. Sedang mengetik. Beberapa menit berlalu, belum juga masuk balasan. Sebenarnya aku penasaran, tapi sayang waktuku untuk menunggu. Aku menyimpan ponsel dan duduk di sisi ranjang. Mungkin saja Inayah mau mengirim pesan panjang lebar padaku. Semacam pidato pembina upacara saat hari senin. "Ma, aku kangen sama Papa," celetuk Boy. Bocah itu masuk kamar sambil mendekap sebuah foto dengan bingkai berwarna emas. Di sana ada aku, Boy dan Mas Reno."Mama juga kangen, Nak. Jangan lupa doakan Papa, ya," ujarku sambil mengelus kepala putraku. Bocah itu tersenyum dan mengangguk.Anak lelakiku itu mengusap foto wajah almarhum suamiku yang tersenyum semringah sambil menggendong Boy yang sudah bisa jalan. Kami seperti pasangan bahagia. Padahal, senyumku waktu itu hanya terpaksa agar terlihat sebagai k
"Bi, gak nyangka ya, kalau Inayah udah berubah drastis? Padahal kan dulu dia ….""Sst! Jangan mengungkit masa lalu orang lagi, Sayang. Kalau dia sudah bertaubat, cukup diingat kebaikannya yang sekarang," potong Bian, meletakkan telunjuk di depan bibirku. Aku mengerucutkan bibir dan memiringkan badan. "Jadi Bibi belain dia? Jangan-jangan kecewa saat tahu Inayah akan menikah lagi," balasku pura-pura kesal. Aku yakin kok kalau dia hanya mencintaiku sekarang. "Loh, ada yang lagi cemburu ni ye. Aku malah senang kalau dia nikah, Sayang. Dengan begitu, tiada lagi yang harus kita cemaskan jika sering kembali ke kota ini. Gak ada pengganggu. Mantan itu tak harus bermusuhan," balas Bian, menjadi lebih pipiku. "Iya iya, Bi aku cuma bercanda kok," balasku tersenyum lebar. Netra Bian melebar, menatapku tajam. "Jadi kamu gak cemburu, Ca? Ah, aku kecewa.""Ihhh, pakai merajuk segala," kekehku dan memeluk pinggang Bian. Merebahkan kepala di punggungnya yang kokoh. "Enggak juga sih, Sayang. Tap
Aku menarik napas panjang. "Temani aku bertemu Bang Bian, Nah. Dia lagi di kota ini," lanjutku.Aminah tersenyum hambar. Gurat kecewa tak bisa ia sembunyikan. "Aku tak akan sekecewa ini bila kamu menolak tawaranku, In. Namun aku tak menduga kalau kamu masih mengharapkan mantanmu. Aku kira kamu sudah ikhlas melepas dia berbahagia dengan wanita itu."Aminah membuang muka, tak sudi menatap wajahku lagi. Aku berjalan dan berdiri di hadapannya, membingkai wajah yang jarang putus dari wudhu itu. "Hey, siapa yang sering mengajarkanku agar tidak berprasangka buruk? Aku tidak bilang kalau ingin kembali dengan mantan suamiku loh."Aminah menggenggam kedua tanganku seraya tersenyum. "Lalu apa maksudmu ingin menemuinya dan sampai mengajakku?" cecarnya. "Aku ingin bertemu untuk terakhir kalinya. Murni untuk minta maaf saja, sekalian mengabarkan kalau aku akan menikah dengan lelaki pilihan sahabatku," balasku tersenyum lebar. "Alhamdulillah ya, Allah. Kamu beneran mau jadi temanku bahu-membah
"Apa benar kamu masih mencintai mantan suamimu? Atau kamu hanya takut kalau tak ada yang mengurus di usia senja, In?" cecar Aminah dengan lembut. Dia adalah teman sekampungku dan tak sengaja bertemu di warung makan tempatku bekerja. Saling tukar kontak dan bertemu keesokan harinya karena aku libur kerja. Dia datang ke kosanku dan aku banyak bercerita padanya tentang kehidupan rumah tangga yang sudah kandas. Semuanya kuceritakan dengan detail meskipun aku tahu tindakanku akan salah dalam pandangannya. Aku butuh orang untuk mengeluarkan semua uneg-uneg.Perempuan berkulit hitam manis itu mendengarkan dengan baik, terkadang tersenyum dan sesekali mengelus dada. Setelah aku bercerita, barulah hati ini plong. Aku tak punya teman berbagi kisah karena memang tak punya teman akrab di sini.Sebagai anak yatim piatu, jelas saja aku cemas akan nasibku di hari tua. Tiada anak, suami, maupun keluarga. Aku sebatang kara, mencari uang sendiri dengan mengandalkan tenaga dengan gaji tak seberapa. Aku
"Sialan lo, Baron. Itu cewek lo pakai nempel-nempel segala sama gue. Apa gak lo tatar dulu agar dia fokus menggoda?" bentakku pada salah satu teman dekat sainganku.Baron memang playboy dan gila harta. Dengan iming-iming uang, dia rela menusuk Bian dari belakang dengan menyuruh pacarnya pura-pura jadi mantan pacar Bian. Tujuanku cuma satu, menghacurkan kepercayaan Carisa kalau suaminya adalah orang yang setia. Aku tahu, seorang wanita itu pencemburu dan bisa memicu pertengkaran dasyat dalam rumah tangga.Aku terlalu percaya dengan omongan Baron yang optimis, bicara layaknya orang yang bisa dipercaya. Apa balasannya? Uangku melayang, sedangkan Carisa tetap lengket dengan suaminya. Itu karena cewek Baron itu tidak profesional. Dia malah mengejar-ngejar aku. Belum lagi aku kena omel sama Papi karena dinilai mencari pacar yang gak jelas. Akibatnya, Papi berencana mau mencari calon istri buatku.Argh, rasanya mau pecah kepalaku memikirkan semua ini. Selama ini, aku belum pernah jatuh cinta
"Bi, apa benar Rino mengancam akan melakukan segala cara untuk memisahkan kita?" cecarku setelah semuanya agak tenang. Bian tersenyum hambar, lantas mengusap wajah dengan cepat. "Maafkan aku, Ca. Apa Ibu yang cerita?" tanyanya dengan wajah bersalah. Aku mengangguk. Kuambil kedua tangan Bian, lantas meletakkannya di dadaku. "Hingga saat ini, kamu lah lelaki yang bertahta di hati ini, Bi. Terlebih kamu adalah suamiku, tentu makin istimewa posisimu di sini," lirihku. Mata ini mulai berembun yang membuat pandangan sedikit buram. "Aku tahu, mungkin ada beberapa hal yang tak bisa dibagi dengan siapapun, termasuk pasangan. Namun, jika ada masalah yang membuatmu cemas, kumohon jangan pendam sendiri. Kita cari solusinya bersama. Aku tahu kamu lelaki terbaik yang pernah kukenal, jadi jangan pernah nodai kepercayaan ini," imbuhku.Bian melepaskan tangannya, lalu merangkulku dengan erat. "Maafkan aku, Ca. Aku memang hanya pria bodoh yang berkesempatan menjadi pendampingmu. Aku hanya lelaki ba
"Kamu sudah pulang, Bi?" tanyaku, tersenyum getir melihat ekspresi Bian yang tak bersahabat. Dia berjalan menghampiri adik dari almarhum mantan suamiku.Bugh.Aku menutup mulut dan mata membeliak melihat Bian memukul perut Rino bener apa kali. Aku berteriak histeris, lalu menghampiri."Kamu kenapa sih, Bi? Kok main pukul-pukul saja?" seruku, syok melihat Rino terjengkang ke tanah. Aku membantunya berdiri dan meminta maaf.Bagaimana bisa suamiku yang biasanya pandai meredam emosi, tapi sekarang malah diperbudak setan. Melakukan pemukulan tanpa ada salah. Andai pun ada yang menurutnya salah, apa tak bisa tabayyun terlebih dahulu?"Nak, kenapa kamu pukuli dia? Jaga sikapmu, Bian," sentak Ibu, tergopoh datang dari dalam. Untung saja Boy tidak kelihatan batang hidungnya. Semoga saja buah cintaku itu tidak melihat kejadian memalukan ini. Bukan contoh yang baik buat perkembangan mentalnya.Aku menarik tangan Bian agar duduk di kursi teras. Rino terlihat santai, bersandar di pintu mobilnya."
"Pokoknya kamu juga harus nikah. Carisa udah mau nikah dan dia akan tingal di kampung suaminya itu. Siapa lagi yang jadi menantu Mami?" desak Mami. Aku berdecak kesal. Dulu Reno yang selalu jadi patokan kesuksesan. Sekarang, istrinya lah yang jadi acuan menjadi orang bahagia."Kalau gitu, nikahkan saja aku sama Carisa," balasku cuek. Mata Mami membeliak, lalu memegang kedua bahuku. "Kamu serius?""Iya. Sepertinya aku mulai menyukai janda itu."Mami terlihat bahagia, lalu kembali murung. Duduk di sofa dengan bahu terkulai. "Tapi sayangnya semua udah terlambat, Rino. Kamu sih, dulu pakai acara nolak segala. Coba kamu ikuti alur yang Mama buat, pasti sekarang kita akan berkumpul lagi sebagian keluarga yang utuh."Mami mengusap wajah dengan pelan. "Kamu coba pedekate sama anak temen Mami deh. Gak mungkin Mami ngerusak kebahagiaan Carisa dengan memaksanya menikah denganmu. Bisa rusak citra baik Mami."Aku berdecak lagi. Katanya ingin Carisa jadi menantunya lagi, tapi Mami gak sungguh-
"Ada apa ini? Kok kamu sampai jatuh sih, Sayang?" tanya maminya Rino, membantu putranya berdiri. Dia terlihat cemas dan membolak-balik badan Rino, memeriksa apakah ada yang terluka."Gak ada apa-apa, Mi. Aku cuma terjatuh pas mau berdiri," balas lelaki itu, sedikit meringis dan melirikku sekilas.Kenapa dia harus berbohong? Padahal kalau dia mau, bisa saja mengatakan yang sebenarnya kalau aku telah memukul perutnya."Papa sakit?" tanya Boy cemas.Ya Allah, dia bukan papamu, Nak."Enggak kok, Sayang. Hanya sedikit."Wajah Rino membuatku muak. Dia meringis di depan putraku hingga Boy menarik tangan lelaki itu agar duduk di sofa.Tangan mungilnya mengusap-usap betis Rino yang katanya sakit. Tentu saja aku merasa tak nyaman melihat pemandangan ini karena sudah mendengar sendiri penuturan Rino tadi. Dia ingin merebut cintaku seperti yang dilakukan saudaranya.Apa di dunia ini tak ada lagi wanita lajang yang pas buatnya?Jika aku menjelaskan sekarang pada Boy bahwa lelaki tadi bukan papanya
"Kamu kenapa, Bi?" tanya Caca, membuyarkan lamunanku. "Eh?" Aku menatap sekeliling. "Ayo turun, Ibu sama Boy udah nungguin loh," ujar Caca. Aku mengusap wajah dengan pelan, lalu turun dari taksi online yang sudah berhenti sejak tadi. Aku mengikuti nenek dan cucunya itu masuk ke rumah mertuaku. Binar bahagia terpancar di wajah kedua mertuaku. Mereka tentu tak menyangka kalau kami akan datang ke sini, apalagi tidak dikabari sebelumnya. Boy tentu jadi idola, tak hentinya dihadiahi ciuman dari kakek neneknya. "Assalamualaikum!" sapa orang dari luar. Aku menoleh pada Caca. Itu seperti suara mantan mertua istriku. Dengan sigap Caca membuka pintu. "Ya Allah, Nak, kamu di sini? Kok gak ngabarin Mami? Ponsel kamu juga tak bisa dihubungi sejak tiga hari yang lalu. Mami kangen loh, Nak," lirih ibunya Reno. Keduanya berpelukan. "Namanya juga surprise, Mi.""Papaaaaaaaaaa!"Teriakan Boy yang lumayan kencang membuat kami semua menoleh. Aku terkejut bukan karena suaranya, melainkan kata