"Bu, aku pulang dulu, ya. Kapan-kapan Ibu sama Nisa main ke rumahku," ujarku sambil menyerahkan kartu nama. Meskipun aku tak jadi bagian keluarga ini, tak salah dong kalau kami tetap menjalin hubungan baik.
"Loh, kok Kak Caca cepat kali mau pulang? Minum dulu, baru boleh pulang," ujar Nisa yang sedang membawa nampan berisi tiga gelas cappucino.
"Kamu sih, lama baru suguhkan minuman," protes Bu Ranti.
"Gasnya habis, Bu, mau manasin airnya. Aku tadi ngutang ke warung depan dulu," balas Nisa, lalu nyengir saat Bu Ranti mendelik tajam.
Ngutang? Apa hidup mereka sesusah itu sampai ngutang segala? Apakah Bian tak menyokong perekonomian keluarganya ini?
Aku jadi prihatin.
"Minum dulu, Ca. Kenapa harus buru-buru pulang sih?"
"Aku ada urusan lain, Bu," balasku, lalu mengambil cangkir keramik itu. Menyeruput isinya perlahan. Ah, aku seperti kembali ke masa lalu dan kini terulang kembali. Namun rasa kopi ini tak senikmat dulu karena hati sedikit nyeri mengingat cinta tak bisa memiliki.
Tak berapa lama, aku pamit pulang. Kedua wanita berhati lembut itu mengantarku sampai halaman.
"Sering main ke sini, Nak. Andai saja Bian belum menikah, Ibu akan senang hati menikahkan kalian lagi dan meresmikan hubungan yang pernah kandas itu."
Mata Bu Ranti berkaca-kaca. Suaranya mengandung harapan.
"Semuanya sudah berbeda, Bu. Kami tak mungkin bersatu. Aku juga belum kepikiran untuk menikah lagi. Terlalu sayang waktuku sia-sia dengan menyakiti pasangan yang tidak kucintai," balasku, mengenang almarhum suami. Tak ingin kejadian yang sama terulang kembali.
Katanya cinta bisa tumbuh dan bermekaran di hati bersamaan dengan waktu. Itu memang benar, tapi sayangnya rasa itu terlambat hadir. Aku menyadari kalau mencintainya setelah suamiku sakit-sakitan karena penyakit kanker yang dideritanya. Aku tahu kalau ternyata ikutan sakit saat kehilangan dirinya.
Mas Reno sangat sempurna sebagai suami. Dia mapan, tampan dan penyayang. Namun tidak ada anak dalam pernikahan kami karena Boy bukanlah darah daging Mas Reno. Kami menikah saat aku dalam keadaan hamil. Menyadari pernikahan kami tak sah, dia selalu menjaga jarak dan bahkan tidak mau sekamar denganku. Takut melihat auratku secara tak sengaja. Setelah Boy lahir, kami akad nikah lagi agar hubungan itu sah secara agama, tapi tetap namanya yang tercantum sebagai papanya Boy.
Saat aku masih berduka dan bingung dengan masa depanku, seorang notaris datang ke rumah. Sebuah rumah yang terbilang mewah dan luas, mobil, perusahaan dan beberapa tempat usaha diberikan padaku dan Boy. Namun aku heran, kenapa harus di tanah kelahiranku? Padahal selama ini kami tinggal di luar pulau bersama Papa dan Mama, juga keluarga suamiku.
Kutinggalkan tempat itu dan juga usaha suami yang kini dikelola keluarganya. Tapi meskipun begitu, hubungan kami tetap terjalin dengan baik.
"Ini sedikit uang untuk Ibu, Caca pamit dulu," tanganku, menyelipkan beberapa lembar uang ke tangan Bu Ranti.
"Makasih, Ca. Semoga kamu panjang umur dan banyak rejeki terus," balas ibunya Bian dengan mata berkaca-kaca.
*
[Saat istri takut suaminya digoda orang lain, aku malah ingin sebaliknya. Bukan tak percaya pada suami, tapi aku begitu yakin dengan kekuatan cintaku. Priaku tak akan pernah berpaling]
[Jangankan wanita yang baru kenal, yang datang dari masa lalu dan pernah saling cinta pun tidak akan pernah bisa merebut cinta suamiku]
Status WA Inayah. Aku yakin kalau itu ditujukan padaku. Sepertinya dia semakin aneh saja.
[Jangan takabur, In. Iman itu naik turun. Jangan sampai Bian khilaf dan benar-benar meninggalkanmu] tulisku, mengomentari statusnya.
[Suamiku bukan orang bod*h yang mau memungut seseorang yang telah mencampakkannya] balasnya disertai emoticon ngakak sampai mengeluarkan air mata. Aku tak boleh marah dengan kata-katanya yang seperti mencari masalah, memancing emosiku.
[Jangan lupa kalau ada Sang Maha Pembolak-balik hati. Lebih baik menjaga suami daripada menyesal kemudian] tandasku, lalu menyimpan ponsel. Malas meladeni.
Melanjutkan kembali kerjaan. Rasanya sia-sia saja aku melihat-lihat story orang, apalagi Inayah.
Rasa melilit di perut membuatku menghentikan kegiatan. Saat kulirik benda yang melingkar di pergelangan tangan kiri, ternyata sudah waktunya makan siang.
Aku mengambil tas dan kunci mobil, lalu berangkat menuju kafe langgananku. Memesan makanan, lalu menyantapnya dengan fokus. Aku tidak terbiasa cekrek-cekrek sebelum makan.
"Hay, ternyata kamu di sini juga?"
Aku mendongak dan merasa kesulitan menelan makanan yang kukunyah. Kuambil air putih dan meneguknya dengan tergesa-gesa.
Kenapa ada Inayah dan Bian di sini?
"Boleh gabung, gak? Kebetulan meja lain penuh," lanjutnya. Aku melirik sekeliling, tempat ini memang selalu ramai.
"Apaan sih kamu, Yang? Kita cari tempat makan yang lain," ujar Bian, menarik tangan istrinya.
"Tapi, Sayang, aku pengennya makan di sini. Carisa kan, teman kita juga. Gak apa-apa dong kalau kita semeja dengannya," rengek Inayah, bergelayut manja di lengan suaminya.
Astaga, ini tempat umum. Meskipun pasangan halal, tak selayaknya menampakkan kemesraan di depan orang lain.
"Silakan duduk. Gak apa-apa kok," ujarku, tersenyum ramah.
"Tuh kan, Bang, Carisa tak keberatan. Aku dah keburu lapar, nih," cerocos Inayah dan langsung duduk di kursi sebelahku. Bian menghela napas, kelihatan sekali kalau dia memang menghindari diriku. Ia menatapku sekilas, pandangannya sinis membuatku membuang muka.
Pantas saja Inayah sangat percaya pada kesetiaan Bian. Aku tahu banyak tentang dia karena dulu pun lelaki itu tak pernah berkhianat sebelum ada hubungan sah yang mengikat. Apalagi sekarang dia sudah menikah, ia akan menghargai hubungan itu. Yang herannya aku cuma pada Inayah, terlalu sombong menurutku.
"Aku pesan makanan untuk kita, ya. Abang mau ke toilet sekalian," pamit Bian.
"Oke, Sayang. Jangan lama-lama," balas Inayah dengan nada manja lagi.
Inayah berdehem setelah suaminya menjauh.
"Aku sudah kasih nomor Bian sama kamu, Ca. Tapi sampai sekarang kok dianggurin? Pasti takut kan, kalau dicuekin doi," kekeh Inayah.
Aku mendongak lagi, menyeruput air minum dengan perlahan.
"Enggak kok. Aku cuma menghargai kalau Bian sudah beristri. Aku yakin dia orang yang setia pada satu wanita. Namun aku khawatir, dia setianya sama aku atau kamu? Soalnya, cuma kita berdua yang pernah jadi bagian hidupnya," balasku, tersenyum menyeringai.
Mata Inayah melotot dan mengepalkan tangan yang ia letakkan di atas meja.
Baru segitu aja kamu sudah kelabakan, Inayah. Apalagi kalau beneran suami kamu masih mencintaiku. Kamu mungkin akan menangis terus.
"Senyum itu sedekah. Jangan manyun begitu," candaku. "Kamu yang menyuruhku menggoda suamimu, lalu kenapa terlihat tak suka?"Aku meneguk sisa air minum seraya menatap istri Bian ini. Inayah tersenyum mengejek. Ia mendekatkan wajah ke arahku. "Aku hanya ingin meremas kepercayaan dirimu yang terlalu tinggi. Kamu memang pernah spesial di hati suamiku, tapi sekarang, kamu cuma bekas," ujarnya dengan pelan, tapi tegas. Aku menarik napas perlahan, jangan sampai terlihat emosi. Jujur saja, aku tak suka disebut 'bekas'. Meskipun tujuannya sama dengan mantan. "Sebenarnya kita sama-sama percaya diri. Tapi aku tidak akan meladeni kalau kamu minta agar permainan ini dihentikan. Bian bukan lah barang. Ia pasti akan kecewa kalau dirinya dijadikan sebagai bahan rebutan," balasku setelah memastikan Bian belum kembali. "Aku sudah bilang, silakan goda suamiku kalau kamu mampu. Di dunia ini banyak lelaki hidung belang, tapi terkecuali suamiku," tegasnya. Entah apa maksudnya bersikap begini? Apa dia
[Seseorang yang mau marah jika kita salah, itulah sebenar-benarnya orang yang peduli dan sayang. Bukan malah cuek diam saja ketika sudah melakukan hal konyol seperti kamu] balasku, memancing emosinya. Sedang mengetik. Beberapa menit berlalu, belum juga masuk balasan. Sebenarnya aku penasaran, tapi sayang waktuku untuk menunggu. Aku menyimpan ponsel dan duduk di sisi ranjang. Mungkin saja Inayah mau mengirim pesan panjang lebar padaku. Semacam pidato pembina upacara saat hari senin. "Ma, aku kangen sama Papa," celetuk Boy. Bocah itu masuk kamar sambil mendekap sebuah foto dengan bingkai berwarna emas. Di sana ada aku, Boy dan Mas Reno."Mama juga kangen, Nak. Jangan lupa doakan Papa, ya," ujarku sambil mengelus kepala putraku. Bocah itu tersenyum dan mengangguk.Anak lelakiku itu mengusap foto wajah almarhum suamiku yang tersenyum semringah sambil menggendong Boy yang sudah bisa jalan. Kami seperti pasangan bahagia. Padahal, senyumku waktu itu hanya terpaksa agar terlihat sebagai k
"Bu! Bangun, Bu! Apa Ibu sakit?"Mbak Tika membangunkanku sambil menepuk-nepuk lengan. Aku mengerjap beberapa kali, lalu memicingkan mata. "Memangnya jam berapa, Mbak?""Udah pukul 05.30, Bu," balasnya dengan wajah cemas. Aku melonjak kaget dan langsung duduk sebentar, lantas masuk kamar mandi. Begitu lelahnya pikiran hingga jam weker tak mampu membangunkanku. Bukan karena takut terlambat ke kantor, tapi takut terlewat shubuh. Aku memang tidak alim, tapi satu pinta Mas Reno membuatku semakin jarang meninggalkan salat. Itulah sebabnya, jika aku tidak sedang datang bulan, aku akan meminta Mbak Tika membangunkanku bila terlambat. Dan itu jarang terjadi. "Nanti setelah Mas tiada, salatmu jangan pernah lupa, ya, Beb. Do'akan Mas agar diampuni dosa-dosanya selama hidup. Kalau kamu mau membina rumah tangga lagi, menikah lah dengan lelaki yang kamu cintai," pesannya kala itu. Hampir setiap selesai salat, dia mengucapkan hal yang sama. Tubuh ringkih itu tak lagi bisa salat berdiri sempurna,
"Stop! Ini kantorku. Kalian mau pamer kemesraan atau nyari kerjaan?" tanyaku dengan suara tegas. Muak melihat Inayah yang merengek terus dan juga merajuk kepada suaminya hingga tangan kokoh Bian mengelus-elus pucuk kepala wanitanya. "Kami butuh pekerjaan, Ca," balas Inayah dengan tatapan memohon.Inayah bisa diibaratkan bunglon yang mudah berubah warna. Sikapnya tidak bisa ditebak. Suasana hatinya juga tak pasti. Aku tahu keahlian Bian, sangat lihai dalam pemasaran. Mungkin karena tutur katanya yang lembut dan sopan membuat calon customer jadi yakin apa pun produk atau jasa yang ditawarkan Bian tidak akan mengecewakan. "Kalau Bian mau, bisa menjadi staff marketing. Untuk satu ini, cuma itu yang kurang," ujarku. "Kok cuma staff? Jadi manajer saja kenapa?" protes Inayah dengan tidak tahu dirinya. "Bukan apa-apa, kami lagi butuh banyak uang," lanjutnya dengan wajah sendu. Bian memberi kode agar istrinya diam. Kasihan kamu, Bi. Sebenarnya kalian bahagia atau hanya pura-pura? Seperti
Salah satu caraku untuk meringankan beban pikiran adalah berbicara dengan Boy, meskipun cuma video call. Senyumannya yang natural dan ceria membuat semangatku kembali bergelora. Aku kerja demi dia juga. Walupun kami memiliki aset yang lumayan, tapi bila tidak dikelola dengan baik, bisa saja hancur sebelum Boy dewasa.Aku tidak mau itu terjadi. Aku ingin membersamainya selalu dan menyiapkan keuangan yang memadai. Setiap orang tua tentu tak ingin anaknya kesusahan. Begitu juga denganku.Jam makan siang, aku mengajak Bian makan di resto yang letaknya tepat di depan kantor ini. Dia tak menolak, tapi tetap menjaga jarak saat kami menyebrang jalan menuju tempat makan favoritku itu."Gimana kerjanya, Bi? Sudah bisa beradaptasi dengan staff yang lain, kan?" tanyaku sambil menunggu pesanan kami datang."Lumayan, Bu," balasnya kaku."Ini di luar kantor, Bi. Tak apa kalau kita saling panggil nama," ujarku.Ia tersenyum tipis, lalu memandang ke tempat lain. Resto ini selalu ramai setiap jam makan
Cukup lama aku termenung di resto ini hingga pengunjung mulai sepi, karena jam makan siang sudah usai. Semua makanan belum terjamah. Rasa lapar yang mendera tadi sebelum ke sini mendadak hilang gara-gara tahu luka yang ditanggung Bian. Mungkin aku juga salah, tak berani melawan dengan tegas. Bisa saja aku lari, kan? Tapi aku juga terlalu takut kalau Mama dan Papa bertengkar yang bisa membuat wanita kesayanganku jatuh sakit. Hidup memang kadang tak bisa memberikan kita pilihan terbaik. Bagai memakan buah simalakama. Dimakan atau dibuang, tetap saja ada resikonya."Kok belum dimakan, Bu Carisa? Apa rasa makanan resto kami mengalami penurunan kualitas?" tanya Lina, manajer tempat makan ini dengan raut wajahnya yang cemas. Aku tersenyum terpaksa. Ia pasti khawatir melihatku belum menyentuh makanan kesukaanku itu. Dia adalah teman lamaku juga, tapi tidak terlalu akrab sebelumnya. Setelah sering makan di sini, barulah komunikasi kami membaik. "Ah, tidak. Aku cuma merasa kurang enak bad
"Setia itu pilihan, Bu. Jika ada cinta yang hadir setelah pernikahan, itu ujian," tegas Bian yang membuatku menarik napas dalam. Mungkin aku hanya salah sangka dan terlalu kepedean kalau Bian belum bisa move on.Aku memberikan Boy kepada Mbak Tika, lalu memutar badan, mendekati keluarga itu. "Iya, Bu. Ibu cuma salah sangka. Bian baru kerja hari ini di perusahaan yang didirikan mendiang suami Caca. Dia jadi staff dan juga sopir pribadi aku, Bu," jelasku. "Loh, Bian dipecat dari kantor lama? Kok Ibu gak tahu? Sejak menikah dengan Inayah, anak ini memang tak pernah cerita lagi sama Ibu. Bahkan berkunjung saja jarang." Bu Ranti kelihatan kecewa. "Sudahlah, Bu. Jangan bertengkar di sini? Malu sama Kak Caca," ujar Nisa menengahi. Bian membuang muka, lalu mengambil kunci mobil dan menyerahkannya padaku. "Saya pulang dulu, Bu. Ini kuncinya.""Loh, rumah kamu kan, lumayan jauh. Bawa saja mobilnya. Lagian besok kamu harus menjemputku lagi," balasku dan menyerahkan kunci. "Oh iya, apa Ibu
Selain terkejut karena Bian kenal suamiku, ada satu kata yang membuatku merasa antara senang dan juga sedih.Dia menyebutku istrinya? Baru sekali ini aku mendengarnya."Memangnya Abang kenal suami Kak Caca?" tanya Anisa."Ya, kenal banget. Dia bosnya Abang di kantor lama. Pernah dia melihat Caca saat mengantar makanan ke kantor dan mengatakan kalau suka sama Caca. Abang kira waktu itu cuma bercanda," jelasnya.Aku membulatkan mata dan menutup mulut. Ini di luar dugaan.Benarkah dunia sesempit ini?Aku memang sesekali datang ke kantor Bian, tapi hanya sampai lobi karena sudah menelpon terlebih dahulu. Selebihnya aku bantu Papa di kantor, tidak terlalu fokus karena merasa gak punya bakat dalam hal itu. Mungkin karena merasa cukup juga, tidak pernah kekurangan sehingga berleha-leha."Atau kamu sudah mengenalnya sebelum kalian pergi dari kota ini, Ca? Kekayaannya telah membuatmu meninggalakanku?" tuduh Bian."Enggak, kami tak pernah saling kenal sebelumnya, Bi. Kenapa kamu berpikir kalau