Anisa mengusap-usap punggung ibunya, lalu berpelukan dengan erat. Kami berempat membisu cukup lama. Tak terasa, matahari hampir tenggelam di ufuk barat. Aku menatap nanar semburat warna merah menerobos melalui ventilasi. Senja yang lumayan indah, tapi tak sejalan dengan rumitnya persoalan dalam rumah ini. Aku sibuk dengan isi kepala hingga suara dering telepon membuatku tersadar. Ternyata itu suara ponsel Bian. Dia sedikit menjauh, lalu dengan tutur katanya langsung bisa ketebak kalau yang menghubunginya adalah Inayah, istri sah Bian sekarang. Dia mungkin cemas karena suaminya terlambat pulang, tapi kenapa wanita berparas manis itu tidak cemas mempertemukan aku dan Bian? Inilah salah satu yang aku khawatirkan, takut menambah luka lagi. Aku sudah terlalu lama memendam luka dan rasa bersalah. Pertama saat menikah dengan Mas Reno dan meninggalkan Bian, aku terus menyalahkan diri, menangis dalam keheningan. Aku berusaha mencintai suamiku, tapi tak mampu. Kami hanya pura-pura bahagia d
"Mama kenapa?" tanya Boy panik. Ia menghambur ke pelukanku. Bu Ranti dan Nisa berpandangan. Mungkin mereka juga sama terkejutnya. "Mama gak apa-apa, Sayang. Kita makan, ya, sekarang. Om, Tante dan Nenek mau pulang sebentar lagi," balasku seraya tersenyum.Boy membulatkan mulut, mengangguk, lalu berlari lagi ke dekat Bian. Sekarang ia mengajak bermain pesawat dengan asyiknya karena Bian juga sempat berdiri karena suaraku yang terlampau kuat. Aku tak menyangka saja kalau Bian harus mengalami hal setragis itu. Tidak akan pernah punya anak lagi. Apakah Inayah sengaja ingin membuang suaminya karena tak akan bisa kasih keturunan? Atau dia sengaja ingin menyatukan kami berdua? Entahlah."Jangan bilang sama Bian kalau aku tahu tentang musibah ini, ya, Bu. Aku tak ingin dia rendah diri di hadapanku," ujarku pelan. Itu pasti aib/kekurangan baginya. "Iya, Ca. Maaf jika Ibu terkesan egois karena ingin kamu menikah dengan anak Ibu yang tak lagi sempurna. Tapi Ibu hanya ingin melihat dia bah
"Assalamualaikum, Boy."Aku menghela napas lega, ternyata Bian yang menelpon. Aku memberikan ponselku pada Boy, menyimak mereka yang sedang mengobrol dengan seru. Boy seperti anak seumurannya lagi aktif-aktifnya bertanya segala hal yang tak penting sekalipun, tapi Bian menjawab dengan sabar. Dia memang ayah yang baik. Mereka sudah sangat akrab dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam. Bagaimana jika sering bertemu? Apa mungkin aku akan diabaikan putraku? "Udah nelponnya, ya, Nak. Udah malam. Om harus istirahat karena besok mau kerja lagi," ujarku memperingatkan. "Iya, Ma. Dadah Om," balas Boy, memberikan ponselku lantas naik ke ranjang. Aku menyelimutinya dan mengecup kening jagoanku itu. "Caca!" Itu suara Bian. Aku menatap layar ponsel yang ternyata masih tersambung. "Ya," balasku singkat. Menekan dada yang bergemuruh. Ah, gara-gara tantangan Inayah, aku seperti pelakor. Sekarang malah bicara malam-malam dengan suami orang."Jangan begadang! Assalamualaikum," tandasnya. Si
"Percaya pada suami itu harus, tapi jangan menguji kesetiaannya dengan memberi peluang untuk berpaling." (Carisa) * Suara ketukan di pintu ruanganku terdengar nyaring. Fokusku yang sedang memilih makanan dari aplikasi online jadi teralihkan. Ini kan, jam makan siang. Siapa, ya? "Masuk!" titahku kemudian. Ternyata Bian. "Bu Carisa, bagaimana kalau kita makan siang di resto depan? Sebenarnya aku lapar melihat makanan kemarin, tapi …." Aku mendongak karena sedang duduk dan dia berdiri di sampingku. Terdengar aneh saat dia memanggilku 'bu'. "Maaf, itu memang salahku. Tak seharusnya aku mengungkit tentang …." "Enggak, Bu Carisa. Berhenti mengatakan maaf. Semua ada hikmahnya. Sebagai permintaan maaf, aku yang akan traktir," potongnya dengan tatapan memohon. Aku menahan napas, lalu membuangnya dengan pelan-pelan. Tersenyum tipis dan mengangguk. Astaga, aku merasa seperti pertama kali diajak kencan oleh calon suami. "Alhamdulillah, makasih, ya, Bu Caca." "Tidak ada kata maaf dan j
"Oh iya, tadi kamu kok gak balas pesanku? Padahal kulihat kamu sedang mengetik, tapi jadi dikirim. Ada apa? Jarimu tak sanggup mengetik karena dikalahkan tangisanmu yang deras?" bisikku. Inayah terlihat terkejut, menatapku dengan tajam. Ia berdecak meremehkan "Menangis? Buat apa? Aku tahu kalau kamu hanya mencoba memanas-manasiku. Cuman tadi aku lagi sibuk saja," jelasnya. Aku membuka tas hitam yang selalu kubawa, lantas mengeluarkan kaca kecil. Benda mungil itu sangat membantu menjaga penampilan jika seumpama ada berbagai rempah yang tersangkut di gigi. Gak asik kan kalau tertawa dan orang pun menertawakan kita. Aku meletakkan cermin berbentuk bulat itu di hadapannya. "Untuk apa ini?" sinisnya. "Aku sudah memastikan penampilanku sempurna sebelum ke sini," imbuhnya dengan pongah. Dia memang manis, terlihat kalem jika belum bicara. Tapi kalau sudah mengeluarkan kalimat-kalimat sombong dan nyelekit, dia tak ubahnya seperti wewe gombel. Menyeramkan. "Inayah ... Inayah. Kamu c
"Si-apa dia, Pi, Mi?" tanyaku terbata. Cukup syok melihat ada seseorang yang lumayan mirip dengan suamiku. Aku hampir mengira kalau suamiku memang masih hidup, meskipun itu rasanya mustahil. Tapi setelah kuperhatikan seksama, mereka orang yang berbeda."Kamu lupa, Ca? Dia Rino, adiknya Reno," jelas Mami, seraya tersenyum.Aku mengernyitkan kening. Aku tahu kalau suamiku memiliki adik laki-laki yang jaraknya cuma 2 tahun. Jika mereka duduk berdua, orang akan mengira kalau kedua orang itu kembar karena sama tinggi dan bentuk badannya dari belakang. Namun wajah mereka tetap berbeda. Apalagi perangainya.Kulit Mas Reno lebih putih, senyumnya lebih ramah, pembawaannya juga berwibawa dan juga lembut jika bicara dengan keluarga. Sangat berbeda dengan Rino yang tidak terlalu peduli penampilan dan selalu ketus jika bicara dengan keluarganya, termasuk pada suamiku. Ia juga jarang di rumah, sibuk dengan dunianya yang tak jelas. Setidaknya itu yang kuketahui dari cerita mertuaku.Dulu, aku tak te
"Jika kamu jatuh cinta, meskipun kepada istrimu sendiri, maka jangan terlalu berlebihan. Allah akan cemburu pada seorang hamba yang lebih mencintai makhluk-Nya."*Apa kalian tahu kisah Laila dan Majnun? Kisah yang mashyur dari tanah Arab? Kisah cinta yang berakhir tragis antara seorang lelaki bernama Qays yang begitu tergila-gila pada Laila hingga dinamai orang dengan majnun (gila).Mungkin aku bisa dikatakan sebagai Qays abad 21. Terlalu mencintai dan mengagumi sosok Carisa, padahal banyak wanita yang lebih cantik yang mencoba mendekat.Aku mencintainya tanpa alasan dan tak perlu mencari-cari apa kelebihannya karena Ibu dan adikku, Anisa, langsung suka saat pertama kali kukenalkan. Caca, panggilan kesayangan kami padanya, tanpa cari muka sudah langsung disayangi. Mungkin karena pembawaannya yang ramah membuat dia mudah bergaul.Kata orang, jika mencintai karena harta, cinta bisa pudar setelah tua atau pun kecelakan yang merenggut kecantikan itu. Jika karena harta, rasa itu pun bisa
"Baru pertama saya menemukan suami seperti Anda. Kalau di luaran sana, banyak saya temui lelaki yang langsung kesempatan menikah lagi saat istrinya butuh dukungan moril. Tapi Anda beda. Beruntung sekali Bu Inayah mendapatkan suami sebaik Pak Bian. Tidak seperti saya yang merupakan salah satu wanita tak beruntung itu," lirihnya. Aku mendengarkan saja, ikut iba melihatnya. Makanya aku tak ingin itu terjadi pada istriku, Inayah. Dia menerimaku meskipun tahu pernah gagal menikah dan sempat frustasi. Mana bisa aku menduakannya hanya gara-gara sesuatu yang tidak dia kehendaki. Beberapa saat, dokter wanita itu tertawa. "Maaf kalau saya jadi curhat masalah pribadi, " tuturnya sungkan. "Gak apa-apa, Dok. Semoga Dokter mendapatkan suami yang menerima apa adanya.""Aamiin. Tapi perlu Bapak tahu konsekuensi memalsukan keterangan medis ini. Bisa saja istri Bapak yang tidak akan menerima keadaan suaminya sendiri."Deg.Apa iya istriku akan meninggalkanku bila tahunya aku mandul?"Saya menanggun