"Si-apa dia, Pi, Mi?" tanyaku terbata. Cukup syok melihat ada seseorang yang lumayan mirip dengan suamiku. Aku hampir mengira kalau suamiku memang masih hidup, meskipun itu rasanya mustahil. Tapi setelah kuperhatikan seksama, mereka orang yang berbeda."Kamu lupa, Ca? Dia Rino, adiknya Reno," jelas Mami, seraya tersenyum.Aku mengernyitkan kening. Aku tahu kalau suamiku memiliki adik laki-laki yang jaraknya cuma 2 tahun. Jika mereka duduk berdua, orang akan mengira kalau kedua orang itu kembar karena sama tinggi dan bentuk badannya dari belakang. Namun wajah mereka tetap berbeda. Apalagi perangainya.Kulit Mas Reno lebih putih, senyumnya lebih ramah, pembawaannya juga berwibawa dan juga lembut jika bicara dengan keluarga. Sangat berbeda dengan Rino yang tidak terlalu peduli penampilan dan selalu ketus jika bicara dengan keluarganya, termasuk pada suamiku. Ia juga jarang di rumah, sibuk dengan dunianya yang tak jelas. Setidaknya itu yang kuketahui dari cerita mertuaku.Dulu, aku tak te
"Jika kamu jatuh cinta, meskipun kepada istrimu sendiri, maka jangan terlalu berlebihan. Allah akan cemburu pada seorang hamba yang lebih mencintai makhluk-Nya."*Apa kalian tahu kisah Laila dan Majnun? Kisah yang mashyur dari tanah Arab? Kisah cinta yang berakhir tragis antara seorang lelaki bernama Qays yang begitu tergila-gila pada Laila hingga dinamai orang dengan majnun (gila).Mungkin aku bisa dikatakan sebagai Qays abad 21. Terlalu mencintai dan mengagumi sosok Carisa, padahal banyak wanita yang lebih cantik yang mencoba mendekat.Aku mencintainya tanpa alasan dan tak perlu mencari-cari apa kelebihannya karena Ibu dan adikku, Anisa, langsung suka saat pertama kali kukenalkan. Caca, panggilan kesayangan kami padanya, tanpa cari muka sudah langsung disayangi. Mungkin karena pembawaannya yang ramah membuat dia mudah bergaul.Kata orang, jika mencintai karena harta, cinta bisa pudar setelah tua atau pun kecelakan yang merenggut kecantikan itu. Jika karena harta, rasa itu pun bisa
"Baru pertama saya menemukan suami seperti Anda. Kalau di luaran sana, banyak saya temui lelaki yang langsung kesempatan menikah lagi saat istrinya butuh dukungan moril. Tapi Anda beda. Beruntung sekali Bu Inayah mendapatkan suami sebaik Pak Bian. Tidak seperti saya yang merupakan salah satu wanita tak beruntung itu," lirihnya. Aku mendengarkan saja, ikut iba melihatnya. Makanya aku tak ingin itu terjadi pada istriku, Inayah. Dia menerimaku meskipun tahu pernah gagal menikah dan sempat frustasi. Mana bisa aku menduakannya hanya gara-gara sesuatu yang tidak dia kehendaki. Beberapa saat, dokter wanita itu tertawa. "Maaf kalau saya jadi curhat masalah pribadi, " tuturnya sungkan. "Gak apa-apa, Dok. Semoga Dokter mendapatkan suami yang menerima apa adanya.""Aamiin. Tapi perlu Bapak tahu konsekuensi memalsukan keterangan medis ini. Bisa saja istri Bapak yang tidak akan menerima keadaan suaminya sendiri."Deg.Apa iya istriku akan meninggalkanku bila tahunya aku mandul?"Saya menanggun
Pake pov Caca lagi ya.*Suara klakson mobil berbunyi dan berhenti tepat di depanku.Pasti ini go car yang kupesan.Aku langsung masuk dan duduk di kursi belakang. Aku menatap layar benda pipih di tangan, ada panggilan masuk dari nomor tak dikenal."Halo, Bu, saya driver yang dipesan Ibu. Ban mobil saya bocor dan lagi di bengkel sekarang. Ibu bisa batalkan di aplikasi atau menunggu?" ujar seorang lelaki di seberang sana.Mataku membulat sempurna. Kalau driver yang kupesan lagi di bengkel, lalu mobil siapa yang kunaiki?Bagaimana kalau dia orang jahat?Aku bergidik ngeri, apalagi melihat lelaki berbaju kaos hitam itu memakai topi dengan warna yang sama dan wajahnya tidak terlihat dari spion."Ma-af, ya. Aku salah masuk," ujarku takut-takut, meraih handle pintu mobil, bersiap keluar."Memangnya mau kemana?" tanya lelaki itu, menatap spion dengan ekspresi datar. Aku semakin terkejut melihat siapa lelaki yang duduk di belakang kemudi."Rino? Jadi kamu?" tanyaku. Tenggorokan rasanya sangat
"Yang sabar, ya, Bi. Aku harap kamu lebih tegar kali ini. Kamu sosok yang kuat," ujarku menyemangati, tanpa memperlihatkan keterkejutan. Bagiku itu bukan aib. Kebaikanmu langsung bisa menutupi hal itu. Bian tersenyum tipis. Ah, dia memang pecinta sejati. Aku semakin terharu melihat ketulusannya jika sudah jatuh cintam"Wah! Selamat, ya, Bro. Gue ikut senang karena sekarang lo udah gak punya istri. Saatnya balikan sama mantan," kekeh adik iparku, Rino. Dia menyenderkan punggung di dekat pintu. Entah sejak kapan dia ada di sana dan aku tak menyadari karena terlalu larut dengan kesedihan yang dialami Bian. "Jadi kamu datang sama dia, Ca?" tanya Bian. Terlihat tak sukaAku mengangguk. "Tadi driver online yang kupesan tidak bisa mengantar," jelasku. Ah, kenapa aku seperti tak ingin melihat Bian cemburu dan salah paham? Benarkah hati ini masih mencintainya? "Dia siapa? Kenapa mirip sama foto suami kamu, Caca?" cecar Bu Ranti, menyentuh lenganku. Wajahnya kelihatan bingung. "Adik manta
“Mami senang memandangi mereka berdua tertawa lepas begitu. Seperti melihat anak Mami masih hidup dan sedang bermain dengan mami” celetuk Mami. Tangan kanan beliau letakkan di bahuku seraya tersenyum memandangi Rino dan Boy.Aku tersenyum tipis. Jujur saja, aku sudah mencintai Mas Reno di sisa usianya. Kebaikannya, kesabaran dan perhatiannya lah yang telah menghantam dan menghancurkan cintaku yang berkarang dengan kokohnya pada Bian.Andai saja Mas Reno masih hidup sekarang, mungkin kami sedang tertawa bahagia bersama. Namun dia tak akan pernah bisa kembali ke sisiku meskipun adik iparku berusaha mirip suamiku. Mas Reno akan tetap istimewa di hatiku.“Ca, Mami rindu dengan keluarga kita yang utuh seperti dulu,” lirih Mami. Beliau duduk di sofa dan aku pun mengikuti.“Carisa juga rindu, Ma. Tapi yang telah pergi ke alam barzah tak akan pernah bisa kembali lagi. Biarlah kebaikannya Mas Reno kita kenang dan tak lupa mendoakan agar dia pun bahagia di sana,” balasku. Mendadak jadi kangen b
"Saya mau bicara, Bu,” ujarnya dengan formal.Aku menahan langkah. “Di ruangan saya saja, Pak Bian,” balasku. Dia mengangguk dan mengikuti.Pertama aku memberi intruksi kepada staff kepercayaanku agar memberikan Rino tugas yang mudah dulu. Tak lupa ku perkenalkan kalau dia adalah adik dari mantan suamiku“Ayo, Pak Bian!” titahku setelah urusanku selesai. Lelaki yang mengenakan kemeja garis-garis itu mengikuti, lalu duduk berseberangan dengan meja kerjaku.“Ada apa, Bi?” tanyaku langsung ke inti, tanpa embel-embel pak. Dari tadi aku penasaran melihat wajahnya yang serius.“Ini surat pengunduran diri saya.”“Apa?” pekikku. Kubaca dengan seksama surat yang diberikannya, tidak mengada-ada.Ada apa dengannya?“Kenapa berhenti, Bi? Kenapa mendadak seperti ini?” cecarku.Jika dulu aku tak ingin bertemu lagi dengannya, sekarang aku malah tidak rela dia menjauh dariku.“Aku akan pulang ke pulau Sumatera, mencoba peruntungan hidup. Aku suka memasak, mungkin bisa membuka warung nasi di Kota Meda
"Begini amat nasibku, ya. Tidak bisa merasakan kebahagiaan yang sebenarnya. Mungkin aku akan menjanda seumur hidup kalau memang suatu saat kamu tidak kembali," ujarku dengan tatapan sendu. Berharap dia berubah pikiran. "Jangan katakan seperti itu, Caca. Insya Allah aku akan kembali, percayalah. Tapi bukan berarti aku mengikatmu. Terlalu egois jika aku memintamu menunggu selama itu. Tapi kalau boleh meminta, tunggulah aku," pintanya. Aku berdiri, meletakkan kedua telapak tangan di atas meja dan menatap duda keren itu. "Pergi saja sana, Bi! Aku benci kamu. Apa salahnya kamu halalkan aku dalam waktu dekat ini? Aku akan menemanimu berjuang. Bahkan jika kamu mengajakku ikut ke Medan, merintis usaha dari nol, aku bersedia," sergahku dengan pandangan tajam. Bian mengusap wajah dengan kasar. Memejamkan mata sesaat, lalu menghela napas panjang. "Bagaimana caraku menjelaskannya, Ca? Aku hanya ingin menjaga maruah orang yang kusayang. Aku tak mau melamarmu sekarang karena tak ingin kamu dic