"Saya mau bicara, Bu,” ujarnya dengan formal.Aku menahan langkah. “Di ruangan saya saja, Pak Bian,” balasku. Dia mengangguk dan mengikuti.Pertama aku memberi intruksi kepada staff kepercayaanku agar memberikan Rino tugas yang mudah dulu. Tak lupa ku perkenalkan kalau dia adalah adik dari mantan suamiku“Ayo, Pak Bian!” titahku setelah urusanku selesai. Lelaki yang mengenakan kemeja garis-garis itu mengikuti, lalu duduk berseberangan dengan meja kerjaku.“Ada apa, Bi?” tanyaku langsung ke inti, tanpa embel-embel pak. Dari tadi aku penasaran melihat wajahnya yang serius.“Ini surat pengunduran diri saya.”“Apa?” pekikku. Kubaca dengan seksama surat yang diberikannya, tidak mengada-ada.Ada apa dengannya?“Kenapa berhenti, Bi? Kenapa mendadak seperti ini?” cecarku.Jika dulu aku tak ingin bertemu lagi dengannya, sekarang aku malah tidak rela dia menjauh dariku.“Aku akan pulang ke pulau Sumatera, mencoba peruntungan hidup. Aku suka memasak, mungkin bisa membuka warung nasi di Kota Meda
"Begini amat nasibku, ya. Tidak bisa merasakan kebahagiaan yang sebenarnya. Mungkin aku akan menjanda seumur hidup kalau memang suatu saat kamu tidak kembali," ujarku dengan tatapan sendu. Berharap dia berubah pikiran. "Jangan katakan seperti itu, Caca. Insya Allah aku akan kembali, percayalah. Tapi bukan berarti aku mengikatmu. Terlalu egois jika aku memintamu menunggu selama itu. Tapi kalau boleh meminta, tunggulah aku," pintanya. Aku berdiri, meletakkan kedua telapak tangan di atas meja dan menatap duda keren itu. "Pergi saja sana, Bi! Aku benci kamu. Apa salahnya kamu halalkan aku dalam waktu dekat ini? Aku akan menemanimu berjuang. Bahkan jika kamu mengajakku ikut ke Medan, merintis usaha dari nol, aku bersedia," sergahku dengan pandangan tajam. Bian mengusap wajah dengan kasar. Memejamkan mata sesaat, lalu menghela napas panjang. "Bagaimana caraku menjelaskannya, Ca? Aku hanya ingin menjaga maruah orang yang kusayang. Aku tak mau melamarmu sekarang karena tak ingin kamu dic
Malam harinya, Mami dan Papi berkunjung ke rumahku. Seperti biasa tak tahan bila belum bertemu dengan Boy. Aku memang beruntung bertemu keluarganya Mas Reno. Perhatian mereka tak berbeda meskipun tahu kalau Boy anak kandungku dengan Bian. "Bagaimana kemajuan hubungan kamu dengan Bian, Ca? Usahanya juga gimana? Udah ada hasil, belum?" cecar Mami. Aku menggendikkan bahu. "Aku gak tahu pasti, Mi. Dia selalu menghindar dan tak mau cerita. Ada satu yang membuatku kepikiran, kata ibunya Bian, mereka mau ada acara keluarga. Entah acara apa, Mi," curhatku pada perempuan yang kuanggap seperti orang tuaku itu. "Palingan juga Bian mau menikah, Ca. Laki-laki mana bisa LDR, apalagi tidak dibarengi komunikasi yang intensif," balas Mami yang membuatku semakin gundah. Kami sepemikiran untuk soal ini. "Mami bicara apa toh? Menantunya lagi bingung dan butuh dukungan, kok malah ditakut-takutin? Siapa bilang gak ada laki-laki yang bisa setia kalau berjauhan. Apa Mami ingat kalau dulu kita LDR juga?
"Apa keputusanmu sekarang, Bian? Ibu minta, cepat saja kamu lamar Caca. Ini kesempatan baik agar bisa berkumpul sama Caca sebagai menantu. Ibu juga sudah kangen main sama cucu sendiri. Kamu gak mau kan, kalau didahului adik almarhum suaminya?" cerocos ibuku tanpa jeda setelah mobil yang membawa Caca telah pergi."Modal dari mana, Bu? Lagian ini terlalu cepat buat Bian. Tetangga tahu kalau dia adalah calon istri yang gagal kunikahi, Bu. Masih ingat, kan, dulu kalau mereka memaki perbuatan Caca, tapi mengejekku juga? Aku tak ingin sekarang dia malah disebut pelakor, Bu," balasku, mengajak orang tuaku yang tersisa ini masuk ke rumah.Membahagian Ibu adalah impianku. Namun aku tak ingin kalau hidup dengan bantuan Caca, sedangkan hartanya adalah warisan Reno. Di mana harga diriku sebagai suami yang harus memikul tanggung jawab keluarga kecil. Tapi kalau mencari kerja, akan sulit mendapatkannya di masa sekarang. Pengangguran di mana-mana, tapi lapangan kerja semakin sempit."Benar juga, ya.
Setelah naik pesawat dan tiba di bandara Kualanamu, kami menaiki taksi simpati. Aku mengira kalau kampung Ayah tepat di ibukota Sumatera Utara, tapi ternyata masih butuh 8 jam perjalanan naik angkutan darat. Kota kecil bernama Padangsidimpuan namanya, yang terkenal dengan kota salak karena banyaknya masyarakat yang menanam buah berkulit eksotis dan tajam itu. Kata Wak Ronggur, di sini juga banyak sekolah dan Perguruan tinggi sehingga dinamai juga kota pendidikan. Kebetulan saat di taksi, ada seorang gadis yang berasal dari Padangsidimpuan. Ia mengambil S-2 di ibukota Provinsi dan pulang kerena sedang libur. Kabar baiknya, gadis itu masih tetangga jauh Oppung Raja Bolon, bapaknya Ayah. Rumah panggung yang masih mempertahan arsitektur keasliannya berdiri kokoh di hadapan kami. Dapurnya sudah dirombak menjadi lantai semen sehingga ruang tamu lebih tinggi. "Oppung, o Oppung, ini ada tamu dari kota!" seru gadis bernama Diana itu. Seorang laki-laki dengan bentuk wajah mirip Ayah berdi
Wanita mana yang tak akan kesal dan juga sedih saat harapan setinggi langit kalau aku lah orang yang dimaksud dalam story WA Nisa tadi pagi, tapi tidak diberitahu sama sekali. Aku tersenyum kikuk bercampur bahagia saat Bian melangkah mendekat. Lelaki ini mulai nyebelin sekarang. Bagaimana tidak, dia malah bergeser ke hadapan Mbak Tika. Apa jangan-jangan Bian yang sering menelpon pengasuh Boy itu? Aku sering tak sengaja mendengar suara Mbak Tika dari kamar pada malam hari, seperti bicara dengan seseorang. Karena semua pekerjaannya telah selesai dengan baik, aku tak perlu menegurnya. Mungkin saja ia telah menemukan pendamping hidup. "Tika, maukah kamu menjadi …." Aku meneguk ludah susah payah, seluruh sendi rasanya lemas. Sejak tadi Mbak Tika tersenyum lebar melihat rombongan ini. Sekarang apa maksud kata-kata Bian? Apa mereka ada hubungan? "Berani sekali kau mempermainkan perasaan perempuan?" seru seorang lelaki tua, membawa tongkat. "Ampun, Oppung! Ampuuun!" seru Bian, se
Oppung Bolon melangkah pelan dan membisikkan sesuatu di telinga Bian. Kedua lelaki ini terlihat sangat kompak, meskipun usia mereka terpaut jauh.Bian menganggukkan kepala lalu tersenyum ke rahku."Holong do rohakku tu ho, Hasian," ujar Bian.Aku mengernyitkan kening karena tidak mengerti apa yang dikatakan Bian. Namaku juga bukan hasian. Apa maksudnya coba?"Artikan dong, Bang. Mana ngerti Kak Caca," celetuk Nisa."Oppung aja yang artikan. Aku sayang kamu, Sayang," ujar si Oppung sambil mengerlingkan mata.Aku mengulum senyum geli."Oppung, harusnya Bian yang yang bilang gitu," protes Bian, memukul pelan lengan lelaki tua yang masih menyisakan ketampanannya di masa muda.Yang lainnya kembali tertawa terbahak. Acara semakin seru saja, padahal anggota keluarga Bian dari kampung itu pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini.Tak terasa waktu sudah siang, kami makan bersama setelah para lelaki pulang dari mesjid, menunaikan kewajiban sebagai makhluk Allah. Para wanita salat zhuhur di r
"Jadi kamu itu gak mau punya anak dariku, Bang?" tanyaku kesal pada Aldo. Suami yang lebih muda dariku itu menatap sekilas."Kamu pikir saja sendiri, Ina. Kita nikah saja diam-diam," balas lelaki tampan yang menikahiku secara siri setelah keluar surat resmi perceraianku dengan mantan suami. Dia bilang belum sanggup memukul tanggung jawab sehingga hubungan ini dirahasiakan dari keluarganya.Matanya Aldo fokus ke ponsel, sesekali tersenyum. Jari tangan terus saja maraton di atas layar pipih itu. Aku menjadi kesal dibuatnya. Bang Bian tak pernah main hape jika sedang bicara denganku.Kenapa aku jadi membandingkan Aldo dengan mantan?Aldo memang lebih tinggi, tampan dan juga mapan secara finansial. Dia juga lebih muda sehingga aku merasa sangat beruntung ketika dia mengatakan cinta padaku. Pertemuan kami tak sengaja pas dia keluar dari tempat fitness.Sejak saat itu, rasa cintaku seperti menguap kepada suami. Aku mencari cara agar bisa terlepas darinya tanpa terlihat aku yang salah."Bang