“Mami senang memandangi mereka berdua tertawa lepas begitu. Seperti melihat anak Mami masih hidup dan sedang bermain dengan mami” celetuk Mami. Tangan kanan beliau letakkan di bahuku seraya tersenyum memandangi Rino dan Boy.Aku tersenyum tipis. Jujur saja, aku sudah mencintai Mas Reno di sisa usianya. Kebaikannya, kesabaran dan perhatiannya lah yang telah menghantam dan menghancurkan cintaku yang berkarang dengan kokohnya pada Bian.Andai saja Mas Reno masih hidup sekarang, mungkin kami sedang tertawa bahagia bersama. Namun dia tak akan pernah bisa kembali ke sisiku meskipun adik iparku berusaha mirip suamiku. Mas Reno akan tetap istimewa di hatiku.“Ca, Mami rindu dengan keluarga kita yang utuh seperti dulu,” lirih Mami. Beliau duduk di sofa dan aku pun mengikuti.“Carisa juga rindu, Ma. Tapi yang telah pergi ke alam barzah tak akan pernah bisa kembali lagi. Biarlah kebaikannya Mas Reno kita kenang dan tak lupa mendoakan agar dia pun bahagia di sana,” balasku. Mendadak jadi kangen b
"Saya mau bicara, Bu,” ujarnya dengan formal.Aku menahan langkah. “Di ruangan saya saja, Pak Bian,” balasku. Dia mengangguk dan mengikuti.Pertama aku memberi intruksi kepada staff kepercayaanku agar memberikan Rino tugas yang mudah dulu. Tak lupa ku perkenalkan kalau dia adalah adik dari mantan suamiku“Ayo, Pak Bian!” titahku setelah urusanku selesai. Lelaki yang mengenakan kemeja garis-garis itu mengikuti, lalu duduk berseberangan dengan meja kerjaku.“Ada apa, Bi?” tanyaku langsung ke inti, tanpa embel-embel pak. Dari tadi aku penasaran melihat wajahnya yang serius.“Ini surat pengunduran diri saya.”“Apa?” pekikku. Kubaca dengan seksama surat yang diberikannya, tidak mengada-ada.Ada apa dengannya?“Kenapa berhenti, Bi? Kenapa mendadak seperti ini?” cecarku.Jika dulu aku tak ingin bertemu lagi dengannya, sekarang aku malah tidak rela dia menjauh dariku.“Aku akan pulang ke pulau Sumatera, mencoba peruntungan hidup. Aku suka memasak, mungkin bisa membuka warung nasi di Kota Meda
"Begini amat nasibku, ya. Tidak bisa merasakan kebahagiaan yang sebenarnya. Mungkin aku akan menjanda seumur hidup kalau memang suatu saat kamu tidak kembali," ujarku dengan tatapan sendu. Berharap dia berubah pikiran. "Jangan katakan seperti itu, Caca. Insya Allah aku akan kembali, percayalah. Tapi bukan berarti aku mengikatmu. Terlalu egois jika aku memintamu menunggu selama itu. Tapi kalau boleh meminta, tunggulah aku," pintanya. Aku berdiri, meletakkan kedua telapak tangan di atas meja dan menatap duda keren itu. "Pergi saja sana, Bi! Aku benci kamu. Apa salahnya kamu halalkan aku dalam waktu dekat ini? Aku akan menemanimu berjuang. Bahkan jika kamu mengajakku ikut ke Medan, merintis usaha dari nol, aku bersedia," sergahku dengan pandangan tajam. Bian mengusap wajah dengan kasar. Memejamkan mata sesaat, lalu menghela napas panjang. "Bagaimana caraku menjelaskannya, Ca? Aku hanya ingin menjaga maruah orang yang kusayang. Aku tak mau melamarmu sekarang karena tak ingin kamu dic
Malam harinya, Mami dan Papi berkunjung ke rumahku. Seperti biasa tak tahan bila belum bertemu dengan Boy. Aku memang beruntung bertemu keluarganya Mas Reno. Perhatian mereka tak berbeda meskipun tahu kalau Boy anak kandungku dengan Bian. "Bagaimana kemajuan hubungan kamu dengan Bian, Ca? Usahanya juga gimana? Udah ada hasil, belum?" cecar Mami. Aku menggendikkan bahu. "Aku gak tahu pasti, Mi. Dia selalu menghindar dan tak mau cerita. Ada satu yang membuatku kepikiran, kata ibunya Bian, mereka mau ada acara keluarga. Entah acara apa, Mi," curhatku pada perempuan yang kuanggap seperti orang tuaku itu. "Palingan juga Bian mau menikah, Ca. Laki-laki mana bisa LDR, apalagi tidak dibarengi komunikasi yang intensif," balas Mami yang membuatku semakin gundah. Kami sepemikiran untuk soal ini. "Mami bicara apa toh? Menantunya lagi bingung dan butuh dukungan, kok malah ditakut-takutin? Siapa bilang gak ada laki-laki yang bisa setia kalau berjauhan. Apa Mami ingat kalau dulu kita LDR juga?
"Apa keputusanmu sekarang, Bian? Ibu minta, cepat saja kamu lamar Caca. Ini kesempatan baik agar bisa berkumpul sama Caca sebagai menantu. Ibu juga sudah kangen main sama cucu sendiri. Kamu gak mau kan, kalau didahului adik almarhum suaminya?" cerocos ibuku tanpa jeda setelah mobil yang membawa Caca telah pergi."Modal dari mana, Bu? Lagian ini terlalu cepat buat Bian. Tetangga tahu kalau dia adalah calon istri yang gagal kunikahi, Bu. Masih ingat, kan, dulu kalau mereka memaki perbuatan Caca, tapi mengejekku juga? Aku tak ingin sekarang dia malah disebut pelakor, Bu," balasku, mengajak orang tuaku yang tersisa ini masuk ke rumah.Membahagian Ibu adalah impianku. Namun aku tak ingin kalau hidup dengan bantuan Caca, sedangkan hartanya adalah warisan Reno. Di mana harga diriku sebagai suami yang harus memikul tanggung jawab keluarga kecil. Tapi kalau mencari kerja, akan sulit mendapatkannya di masa sekarang. Pengangguran di mana-mana, tapi lapangan kerja semakin sempit."Benar juga, ya.
Setelah naik pesawat dan tiba di bandara Kualanamu, kami menaiki taksi simpati. Aku mengira kalau kampung Ayah tepat di ibukota Sumatera Utara, tapi ternyata masih butuh 8 jam perjalanan naik angkutan darat. Kota kecil bernama Padangsidimpuan namanya, yang terkenal dengan kota salak karena banyaknya masyarakat yang menanam buah berkulit eksotis dan tajam itu. Kata Wak Ronggur, di sini juga banyak sekolah dan Perguruan tinggi sehingga dinamai juga kota pendidikan. Kebetulan saat di taksi, ada seorang gadis yang berasal dari Padangsidimpuan. Ia mengambil S-2 di ibukota Provinsi dan pulang kerena sedang libur. Kabar baiknya, gadis itu masih tetangga jauh Oppung Raja Bolon, bapaknya Ayah. Rumah panggung yang masih mempertahan arsitektur keasliannya berdiri kokoh di hadapan kami. Dapurnya sudah dirombak menjadi lantai semen sehingga ruang tamu lebih tinggi. "Oppung, o Oppung, ini ada tamu dari kota!" seru gadis bernama Diana itu. Seorang laki-laki dengan bentuk wajah mirip Ayah berdi
Wanita mana yang tak akan kesal dan juga sedih saat harapan setinggi langit kalau aku lah orang yang dimaksud dalam story WA Nisa tadi pagi, tapi tidak diberitahu sama sekali. Aku tersenyum kikuk bercampur bahagia saat Bian melangkah mendekat. Lelaki ini mulai nyebelin sekarang. Bagaimana tidak, dia malah bergeser ke hadapan Mbak Tika. Apa jangan-jangan Bian yang sering menelpon pengasuh Boy itu? Aku sering tak sengaja mendengar suara Mbak Tika dari kamar pada malam hari, seperti bicara dengan seseorang. Karena semua pekerjaannya telah selesai dengan baik, aku tak perlu menegurnya. Mungkin saja ia telah menemukan pendamping hidup. "Tika, maukah kamu menjadi …." Aku meneguk ludah susah payah, seluruh sendi rasanya lemas. Sejak tadi Mbak Tika tersenyum lebar melihat rombongan ini. Sekarang apa maksud kata-kata Bian? Apa mereka ada hubungan? "Berani sekali kau mempermainkan perasaan perempuan?" seru seorang lelaki tua, membawa tongkat. "Ampun, Oppung! Ampuuun!" seru Bian, se
Oppung Bolon melangkah pelan dan membisikkan sesuatu di telinga Bian. Kedua lelaki ini terlihat sangat kompak, meskipun usia mereka terpaut jauh.Bian menganggukkan kepala lalu tersenyum ke rahku."Holong do rohakku tu ho, Hasian," ujar Bian.Aku mengernyitkan kening karena tidak mengerti apa yang dikatakan Bian. Namaku juga bukan hasian. Apa maksudnya coba?"Artikan dong, Bang. Mana ngerti Kak Caca," celetuk Nisa."Oppung aja yang artikan. Aku sayang kamu, Sayang," ujar si Oppung sambil mengerlingkan mata.Aku mengulum senyum geli."Oppung, harusnya Bian yang yang bilang gitu," protes Bian, memukul pelan lengan lelaki tua yang masih menyisakan ketampanannya di masa muda.Yang lainnya kembali tertawa terbahak. Acara semakin seru saja, padahal anggota keluarga Bian dari kampung itu pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini.Tak terasa waktu sudah siang, kami makan bersama setelah para lelaki pulang dari mesjid, menunaikan kewajiban sebagai makhluk Allah. Para wanita salat zhuhur di r
"Bi, gak nyangka ya, kalau Inayah udah berubah drastis? Padahal kan dulu dia ….""Sst! Jangan mengungkit masa lalu orang lagi, Sayang. Kalau dia sudah bertaubat, cukup diingat kebaikannya yang sekarang," potong Bian, meletakkan telunjuk di depan bibirku. Aku mengerucutkan bibir dan memiringkan badan. "Jadi Bibi belain dia? Jangan-jangan kecewa saat tahu Inayah akan menikah lagi," balasku pura-pura kesal. Aku yakin kok kalau dia hanya mencintaiku sekarang. "Loh, ada yang lagi cemburu ni ye. Aku malah senang kalau dia nikah, Sayang. Dengan begitu, tiada lagi yang harus kita cemaskan jika sering kembali ke kota ini. Gak ada pengganggu. Mantan itu tak harus bermusuhan," balas Bian, menjadi lebih pipiku. "Iya iya, Bi aku cuma bercanda kok," balasku tersenyum lebar. Netra Bian melebar, menatapku tajam. "Jadi kamu gak cemburu, Ca? Ah, aku kecewa.""Ihhh, pakai merajuk segala," kekehku dan memeluk pinggang Bian. Merebahkan kepala di punggungnya yang kokoh. "Enggak juga sih, Sayang. Tap
Aku menarik napas panjang. "Temani aku bertemu Bang Bian, Nah. Dia lagi di kota ini," lanjutku.Aminah tersenyum hambar. Gurat kecewa tak bisa ia sembunyikan. "Aku tak akan sekecewa ini bila kamu menolak tawaranku, In. Namun aku tak menduga kalau kamu masih mengharapkan mantanmu. Aku kira kamu sudah ikhlas melepas dia berbahagia dengan wanita itu."Aminah membuang muka, tak sudi menatap wajahku lagi. Aku berjalan dan berdiri di hadapannya, membingkai wajah yang jarang putus dari wudhu itu. "Hey, siapa yang sering mengajarkanku agar tidak berprasangka buruk? Aku tidak bilang kalau ingin kembali dengan mantan suamiku loh."Aminah menggenggam kedua tanganku seraya tersenyum. "Lalu apa maksudmu ingin menemuinya dan sampai mengajakku?" cecarnya. "Aku ingin bertemu untuk terakhir kalinya. Murni untuk minta maaf saja, sekalian mengabarkan kalau aku akan menikah dengan lelaki pilihan sahabatku," balasku tersenyum lebar. "Alhamdulillah ya, Allah. Kamu beneran mau jadi temanku bahu-membah
"Apa benar kamu masih mencintai mantan suamimu? Atau kamu hanya takut kalau tak ada yang mengurus di usia senja, In?" cecar Aminah dengan lembut. Dia adalah teman sekampungku dan tak sengaja bertemu di warung makan tempatku bekerja. Saling tukar kontak dan bertemu keesokan harinya karena aku libur kerja. Dia datang ke kosanku dan aku banyak bercerita padanya tentang kehidupan rumah tangga yang sudah kandas. Semuanya kuceritakan dengan detail meskipun aku tahu tindakanku akan salah dalam pandangannya. Aku butuh orang untuk mengeluarkan semua uneg-uneg.Perempuan berkulit hitam manis itu mendengarkan dengan baik, terkadang tersenyum dan sesekali mengelus dada. Setelah aku bercerita, barulah hati ini plong. Aku tak punya teman berbagi kisah karena memang tak punya teman akrab di sini.Sebagai anak yatim piatu, jelas saja aku cemas akan nasibku di hari tua. Tiada anak, suami, maupun keluarga. Aku sebatang kara, mencari uang sendiri dengan mengandalkan tenaga dengan gaji tak seberapa. Aku
"Sialan lo, Baron. Itu cewek lo pakai nempel-nempel segala sama gue. Apa gak lo tatar dulu agar dia fokus menggoda?" bentakku pada salah satu teman dekat sainganku.Baron memang playboy dan gila harta. Dengan iming-iming uang, dia rela menusuk Bian dari belakang dengan menyuruh pacarnya pura-pura jadi mantan pacar Bian. Tujuanku cuma satu, menghacurkan kepercayaan Carisa kalau suaminya adalah orang yang setia. Aku tahu, seorang wanita itu pencemburu dan bisa memicu pertengkaran dasyat dalam rumah tangga.Aku terlalu percaya dengan omongan Baron yang optimis, bicara layaknya orang yang bisa dipercaya. Apa balasannya? Uangku melayang, sedangkan Carisa tetap lengket dengan suaminya. Itu karena cewek Baron itu tidak profesional. Dia malah mengejar-ngejar aku. Belum lagi aku kena omel sama Papi karena dinilai mencari pacar yang gak jelas. Akibatnya, Papi berencana mau mencari calon istri buatku.Argh, rasanya mau pecah kepalaku memikirkan semua ini. Selama ini, aku belum pernah jatuh cinta
"Bi, apa benar Rino mengancam akan melakukan segala cara untuk memisahkan kita?" cecarku setelah semuanya agak tenang. Bian tersenyum hambar, lantas mengusap wajah dengan cepat. "Maafkan aku, Ca. Apa Ibu yang cerita?" tanyanya dengan wajah bersalah. Aku mengangguk. Kuambil kedua tangan Bian, lantas meletakkannya di dadaku. "Hingga saat ini, kamu lah lelaki yang bertahta di hati ini, Bi. Terlebih kamu adalah suamiku, tentu makin istimewa posisimu di sini," lirihku. Mata ini mulai berembun yang membuat pandangan sedikit buram. "Aku tahu, mungkin ada beberapa hal yang tak bisa dibagi dengan siapapun, termasuk pasangan. Namun, jika ada masalah yang membuatmu cemas, kumohon jangan pendam sendiri. Kita cari solusinya bersama. Aku tahu kamu lelaki terbaik yang pernah kukenal, jadi jangan pernah nodai kepercayaan ini," imbuhku.Bian melepaskan tangannya, lalu merangkulku dengan erat. "Maafkan aku, Ca. Aku memang hanya pria bodoh yang berkesempatan menjadi pendampingmu. Aku hanya lelaki ba
"Kamu sudah pulang, Bi?" tanyaku, tersenyum getir melihat ekspresi Bian yang tak bersahabat. Dia berjalan menghampiri adik dari almarhum mantan suamiku.Bugh.Aku menutup mulut dan mata membeliak melihat Bian memukul perut Rino bener apa kali. Aku berteriak histeris, lalu menghampiri."Kamu kenapa sih, Bi? Kok main pukul-pukul saja?" seruku, syok melihat Rino terjengkang ke tanah. Aku membantunya berdiri dan meminta maaf.Bagaimana bisa suamiku yang biasanya pandai meredam emosi, tapi sekarang malah diperbudak setan. Melakukan pemukulan tanpa ada salah. Andai pun ada yang menurutnya salah, apa tak bisa tabayyun terlebih dahulu?"Nak, kenapa kamu pukuli dia? Jaga sikapmu, Bian," sentak Ibu, tergopoh datang dari dalam. Untung saja Boy tidak kelihatan batang hidungnya. Semoga saja buah cintaku itu tidak melihat kejadian memalukan ini. Bukan contoh yang baik buat perkembangan mentalnya.Aku menarik tangan Bian agar duduk di kursi teras. Rino terlihat santai, bersandar di pintu mobilnya."
"Pokoknya kamu juga harus nikah. Carisa udah mau nikah dan dia akan tingal di kampung suaminya itu. Siapa lagi yang jadi menantu Mami?" desak Mami. Aku berdecak kesal. Dulu Reno yang selalu jadi patokan kesuksesan. Sekarang, istrinya lah yang jadi acuan menjadi orang bahagia."Kalau gitu, nikahkan saja aku sama Carisa," balasku cuek. Mata Mami membeliak, lalu memegang kedua bahuku. "Kamu serius?""Iya. Sepertinya aku mulai menyukai janda itu."Mami terlihat bahagia, lalu kembali murung. Duduk di sofa dengan bahu terkulai. "Tapi sayangnya semua udah terlambat, Rino. Kamu sih, dulu pakai acara nolak segala. Coba kamu ikuti alur yang Mama buat, pasti sekarang kita akan berkumpul lagi sebagian keluarga yang utuh."Mami mengusap wajah dengan pelan. "Kamu coba pedekate sama anak temen Mami deh. Gak mungkin Mami ngerusak kebahagiaan Carisa dengan memaksanya menikah denganmu. Bisa rusak citra baik Mami."Aku berdecak lagi. Katanya ingin Carisa jadi menantunya lagi, tapi Mami gak sungguh-
"Ada apa ini? Kok kamu sampai jatuh sih, Sayang?" tanya maminya Rino, membantu putranya berdiri. Dia terlihat cemas dan membolak-balik badan Rino, memeriksa apakah ada yang terluka."Gak ada apa-apa, Mi. Aku cuma terjatuh pas mau berdiri," balas lelaki itu, sedikit meringis dan melirikku sekilas.Kenapa dia harus berbohong? Padahal kalau dia mau, bisa saja mengatakan yang sebenarnya kalau aku telah memukul perutnya."Papa sakit?" tanya Boy cemas.Ya Allah, dia bukan papamu, Nak."Enggak kok, Sayang. Hanya sedikit."Wajah Rino membuatku muak. Dia meringis di depan putraku hingga Boy menarik tangan lelaki itu agar duduk di sofa.Tangan mungilnya mengusap-usap betis Rino yang katanya sakit. Tentu saja aku merasa tak nyaman melihat pemandangan ini karena sudah mendengar sendiri penuturan Rino tadi. Dia ingin merebut cintaku seperti yang dilakukan saudaranya.Apa di dunia ini tak ada lagi wanita lajang yang pas buatnya?Jika aku menjelaskan sekarang pada Boy bahwa lelaki tadi bukan papanya
"Kamu kenapa, Bi?" tanya Caca, membuyarkan lamunanku. "Eh?" Aku menatap sekeliling. "Ayo turun, Ibu sama Boy udah nungguin loh," ujar Caca. Aku mengusap wajah dengan pelan, lalu turun dari taksi online yang sudah berhenti sejak tadi. Aku mengikuti nenek dan cucunya itu masuk ke rumah mertuaku. Binar bahagia terpancar di wajah kedua mertuaku. Mereka tentu tak menyangka kalau kami akan datang ke sini, apalagi tidak dikabari sebelumnya. Boy tentu jadi idola, tak hentinya dihadiahi ciuman dari kakek neneknya. "Assalamualaikum!" sapa orang dari luar. Aku menoleh pada Caca. Itu seperti suara mantan mertua istriku. Dengan sigap Caca membuka pintu. "Ya Allah, Nak, kamu di sini? Kok gak ngabarin Mami? Ponsel kamu juga tak bisa dihubungi sejak tiga hari yang lalu. Mami kangen loh, Nak," lirih ibunya Reno. Keduanya berpelukan. "Namanya juga surprise, Mi.""Papaaaaaaaaaa!"Teriakan Boy yang lumayan kencang membuat kami semua menoleh. Aku terkejut bukan karena suaranya, melainkan kata