"Yang sabar, ya, Bi. Aku harap kamu lebih tegar kali ini. Kamu sosok yang kuat," ujarku menyemangati, tanpa memperlihatkan keterkejutan. Bagiku itu bukan aib. Kebaikanmu langsung bisa menutupi hal itu. Bian tersenyum tipis. Ah, dia memang pecinta sejati. Aku semakin terharu melihat ketulusannya jika sudah jatuh cintam"Wah! Selamat, ya, Bro. Gue ikut senang karena sekarang lo udah gak punya istri. Saatnya balikan sama mantan," kekeh adik iparku, Rino. Dia menyenderkan punggung di dekat pintu. Entah sejak kapan dia ada di sana dan aku tak menyadari karena terlalu larut dengan kesedihan yang dialami Bian. "Jadi kamu datang sama dia, Ca?" tanya Bian. Terlihat tak sukaAku mengangguk. "Tadi driver online yang kupesan tidak bisa mengantar," jelasku. Ah, kenapa aku seperti tak ingin melihat Bian cemburu dan salah paham? Benarkah hati ini masih mencintainya? "Dia siapa? Kenapa mirip sama foto suami kamu, Caca?" cecar Bu Ranti, menyentuh lenganku. Wajahnya kelihatan bingung. "Adik manta
“Mami senang memandangi mereka berdua tertawa lepas begitu. Seperti melihat anak Mami masih hidup dan sedang bermain dengan mami” celetuk Mami. Tangan kanan beliau letakkan di bahuku seraya tersenyum memandangi Rino dan Boy.Aku tersenyum tipis. Jujur saja, aku sudah mencintai Mas Reno di sisa usianya. Kebaikannya, kesabaran dan perhatiannya lah yang telah menghantam dan menghancurkan cintaku yang berkarang dengan kokohnya pada Bian.Andai saja Mas Reno masih hidup sekarang, mungkin kami sedang tertawa bahagia bersama. Namun dia tak akan pernah bisa kembali ke sisiku meskipun adik iparku berusaha mirip suamiku. Mas Reno akan tetap istimewa di hatiku.“Ca, Mami rindu dengan keluarga kita yang utuh seperti dulu,” lirih Mami. Beliau duduk di sofa dan aku pun mengikuti.“Carisa juga rindu, Ma. Tapi yang telah pergi ke alam barzah tak akan pernah bisa kembali lagi. Biarlah kebaikannya Mas Reno kita kenang dan tak lupa mendoakan agar dia pun bahagia di sana,” balasku. Mendadak jadi kangen b
"Saya mau bicara, Bu,” ujarnya dengan formal.Aku menahan langkah. “Di ruangan saya saja, Pak Bian,” balasku. Dia mengangguk dan mengikuti.Pertama aku memberi intruksi kepada staff kepercayaanku agar memberikan Rino tugas yang mudah dulu. Tak lupa ku perkenalkan kalau dia adalah adik dari mantan suamiku“Ayo, Pak Bian!” titahku setelah urusanku selesai. Lelaki yang mengenakan kemeja garis-garis itu mengikuti, lalu duduk berseberangan dengan meja kerjaku.“Ada apa, Bi?” tanyaku langsung ke inti, tanpa embel-embel pak. Dari tadi aku penasaran melihat wajahnya yang serius.“Ini surat pengunduran diri saya.”“Apa?” pekikku. Kubaca dengan seksama surat yang diberikannya, tidak mengada-ada.Ada apa dengannya?“Kenapa berhenti, Bi? Kenapa mendadak seperti ini?” cecarku.Jika dulu aku tak ingin bertemu lagi dengannya, sekarang aku malah tidak rela dia menjauh dariku.“Aku akan pulang ke pulau Sumatera, mencoba peruntungan hidup. Aku suka memasak, mungkin bisa membuka warung nasi di Kota Meda
"Begini amat nasibku, ya. Tidak bisa merasakan kebahagiaan yang sebenarnya. Mungkin aku akan menjanda seumur hidup kalau memang suatu saat kamu tidak kembali," ujarku dengan tatapan sendu. Berharap dia berubah pikiran. "Jangan katakan seperti itu, Caca. Insya Allah aku akan kembali, percayalah. Tapi bukan berarti aku mengikatmu. Terlalu egois jika aku memintamu menunggu selama itu. Tapi kalau boleh meminta, tunggulah aku," pintanya. Aku berdiri, meletakkan kedua telapak tangan di atas meja dan menatap duda keren itu. "Pergi saja sana, Bi! Aku benci kamu. Apa salahnya kamu halalkan aku dalam waktu dekat ini? Aku akan menemanimu berjuang. Bahkan jika kamu mengajakku ikut ke Medan, merintis usaha dari nol, aku bersedia," sergahku dengan pandangan tajam. Bian mengusap wajah dengan kasar. Memejamkan mata sesaat, lalu menghela napas panjang. "Bagaimana caraku menjelaskannya, Ca? Aku hanya ingin menjaga maruah orang yang kusayang. Aku tak mau melamarmu sekarang karena tak ingin kamu dic
Malam harinya, Mami dan Papi berkunjung ke rumahku. Seperti biasa tak tahan bila belum bertemu dengan Boy. Aku memang beruntung bertemu keluarganya Mas Reno. Perhatian mereka tak berbeda meskipun tahu kalau Boy anak kandungku dengan Bian. "Bagaimana kemajuan hubungan kamu dengan Bian, Ca? Usahanya juga gimana? Udah ada hasil, belum?" cecar Mami. Aku menggendikkan bahu. "Aku gak tahu pasti, Mi. Dia selalu menghindar dan tak mau cerita. Ada satu yang membuatku kepikiran, kata ibunya Bian, mereka mau ada acara keluarga. Entah acara apa, Mi," curhatku pada perempuan yang kuanggap seperti orang tuaku itu. "Palingan juga Bian mau menikah, Ca. Laki-laki mana bisa LDR, apalagi tidak dibarengi komunikasi yang intensif," balas Mami yang membuatku semakin gundah. Kami sepemikiran untuk soal ini. "Mami bicara apa toh? Menantunya lagi bingung dan butuh dukungan, kok malah ditakut-takutin? Siapa bilang gak ada laki-laki yang bisa setia kalau berjauhan. Apa Mami ingat kalau dulu kita LDR juga?
"Apa keputusanmu sekarang, Bian? Ibu minta, cepat saja kamu lamar Caca. Ini kesempatan baik agar bisa berkumpul sama Caca sebagai menantu. Ibu juga sudah kangen main sama cucu sendiri. Kamu gak mau kan, kalau didahului adik almarhum suaminya?" cerocos ibuku tanpa jeda setelah mobil yang membawa Caca telah pergi."Modal dari mana, Bu? Lagian ini terlalu cepat buat Bian. Tetangga tahu kalau dia adalah calon istri yang gagal kunikahi, Bu. Masih ingat, kan, dulu kalau mereka memaki perbuatan Caca, tapi mengejekku juga? Aku tak ingin sekarang dia malah disebut pelakor, Bu," balasku, mengajak orang tuaku yang tersisa ini masuk ke rumah.Membahagian Ibu adalah impianku. Namun aku tak ingin kalau hidup dengan bantuan Caca, sedangkan hartanya adalah warisan Reno. Di mana harga diriku sebagai suami yang harus memikul tanggung jawab keluarga kecil. Tapi kalau mencari kerja, akan sulit mendapatkannya di masa sekarang. Pengangguran di mana-mana, tapi lapangan kerja semakin sempit."Benar juga, ya.
Setelah naik pesawat dan tiba di bandara Kualanamu, kami menaiki taksi simpati. Aku mengira kalau kampung Ayah tepat di ibukota Sumatera Utara, tapi ternyata masih butuh 8 jam perjalanan naik angkutan darat. Kota kecil bernama Padangsidimpuan namanya, yang terkenal dengan kota salak karena banyaknya masyarakat yang menanam buah berkulit eksotis dan tajam itu. Kata Wak Ronggur, di sini juga banyak sekolah dan Perguruan tinggi sehingga dinamai juga kota pendidikan. Kebetulan saat di taksi, ada seorang gadis yang berasal dari Padangsidimpuan. Ia mengambil S-2 di ibukota Provinsi dan pulang kerena sedang libur. Kabar baiknya, gadis itu masih tetangga jauh Oppung Raja Bolon, bapaknya Ayah. Rumah panggung yang masih mempertahan arsitektur keasliannya berdiri kokoh di hadapan kami. Dapurnya sudah dirombak menjadi lantai semen sehingga ruang tamu lebih tinggi. "Oppung, o Oppung, ini ada tamu dari kota!" seru gadis bernama Diana itu. Seorang laki-laki dengan bentuk wajah mirip Ayah berdi
Wanita mana yang tak akan kesal dan juga sedih saat harapan setinggi langit kalau aku lah orang yang dimaksud dalam story WA Nisa tadi pagi, tapi tidak diberitahu sama sekali. Aku tersenyum kikuk bercampur bahagia saat Bian melangkah mendekat. Lelaki ini mulai nyebelin sekarang. Bagaimana tidak, dia malah bergeser ke hadapan Mbak Tika. Apa jangan-jangan Bian yang sering menelpon pengasuh Boy itu? Aku sering tak sengaja mendengar suara Mbak Tika dari kamar pada malam hari, seperti bicara dengan seseorang. Karena semua pekerjaannya telah selesai dengan baik, aku tak perlu menegurnya. Mungkin saja ia telah menemukan pendamping hidup. "Tika, maukah kamu menjadi …." Aku meneguk ludah susah payah, seluruh sendi rasanya lemas. Sejak tadi Mbak Tika tersenyum lebar melihat rombongan ini. Sekarang apa maksud kata-kata Bian? Apa mereka ada hubungan? "Berani sekali kau mempermainkan perasaan perempuan?" seru seorang lelaki tua, membawa tongkat. "Ampun, Oppung! Ampuuun!" seru Bian, se