Setelah naik pesawat dan tiba di bandara Kualanamu, kami menaiki taksi simpati. Aku mengira kalau kampung Ayah tepat di ibukota Sumatera Utara, tapi ternyata masih butuh 8 jam perjalanan naik angkutan darat. Kota kecil bernama Padangsidimpuan namanya, yang terkenal dengan kota salak karena banyaknya masyarakat yang menanam buah berkulit eksotis dan tajam itu. Kata Wak Ronggur, di sini juga banyak sekolah dan Perguruan tinggi sehingga dinamai juga kota pendidikan. Kebetulan saat di taksi, ada seorang gadis yang berasal dari Padangsidimpuan. Ia mengambil S-2 di ibukota Provinsi dan pulang kerena sedang libur. Kabar baiknya, gadis itu masih tetangga jauh Oppung Raja Bolon, bapaknya Ayah. Rumah panggung yang masih mempertahan arsitektur keasliannya berdiri kokoh di hadapan kami. Dapurnya sudah dirombak menjadi lantai semen sehingga ruang tamu lebih tinggi. "Oppung, o Oppung, ini ada tamu dari kota!" seru gadis bernama Diana itu. Seorang laki-laki dengan bentuk wajah mirip Ayah berdi
Wanita mana yang tak akan kesal dan juga sedih saat harapan setinggi langit kalau aku lah orang yang dimaksud dalam story WA Nisa tadi pagi, tapi tidak diberitahu sama sekali. Aku tersenyum kikuk bercampur bahagia saat Bian melangkah mendekat. Lelaki ini mulai nyebelin sekarang. Bagaimana tidak, dia malah bergeser ke hadapan Mbak Tika. Apa jangan-jangan Bian yang sering menelpon pengasuh Boy itu? Aku sering tak sengaja mendengar suara Mbak Tika dari kamar pada malam hari, seperti bicara dengan seseorang. Karena semua pekerjaannya telah selesai dengan baik, aku tak perlu menegurnya. Mungkin saja ia telah menemukan pendamping hidup. "Tika, maukah kamu menjadi …." Aku meneguk ludah susah payah, seluruh sendi rasanya lemas. Sejak tadi Mbak Tika tersenyum lebar melihat rombongan ini. Sekarang apa maksud kata-kata Bian? Apa mereka ada hubungan? "Berani sekali kau mempermainkan perasaan perempuan?" seru seorang lelaki tua, membawa tongkat. "Ampun, Oppung! Ampuuun!" seru Bian, se
Oppung Bolon melangkah pelan dan membisikkan sesuatu di telinga Bian. Kedua lelaki ini terlihat sangat kompak, meskipun usia mereka terpaut jauh.Bian menganggukkan kepala lalu tersenyum ke rahku."Holong do rohakku tu ho, Hasian," ujar Bian.Aku mengernyitkan kening karena tidak mengerti apa yang dikatakan Bian. Namaku juga bukan hasian. Apa maksudnya coba?"Artikan dong, Bang. Mana ngerti Kak Caca," celetuk Nisa."Oppung aja yang artikan. Aku sayang kamu, Sayang," ujar si Oppung sambil mengerlingkan mata.Aku mengulum senyum geli."Oppung, harusnya Bian yang yang bilang gitu," protes Bian, memukul pelan lengan lelaki tua yang masih menyisakan ketampanannya di masa muda.Yang lainnya kembali tertawa terbahak. Acara semakin seru saja, padahal anggota keluarga Bian dari kampung itu pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini.Tak terasa waktu sudah siang, kami makan bersama setelah para lelaki pulang dari mesjid, menunaikan kewajiban sebagai makhluk Allah. Para wanita salat zhuhur di r
"Jadi kamu itu gak mau punya anak dariku, Bang?" tanyaku kesal pada Aldo. Suami yang lebih muda dariku itu menatap sekilas."Kamu pikir saja sendiri, Ina. Kita nikah saja diam-diam," balas lelaki tampan yang menikahiku secara siri setelah keluar surat resmi perceraianku dengan mantan suami. Dia bilang belum sanggup memukul tanggung jawab sehingga hubungan ini dirahasiakan dari keluarganya.Matanya Aldo fokus ke ponsel, sesekali tersenyum. Jari tangan terus saja maraton di atas layar pipih itu. Aku menjadi kesal dibuatnya. Bang Bian tak pernah main hape jika sedang bicara denganku.Kenapa aku jadi membandingkan Aldo dengan mantan?Aldo memang lebih tinggi, tampan dan juga mapan secara finansial. Dia juga lebih muda sehingga aku merasa sangat beruntung ketika dia mengatakan cinta padaku. Pertemuan kami tak sengaja pas dia keluar dari tempat fitness.Sejak saat itu, rasa cintaku seperti menguap kepada suami. Aku mencari cara agar bisa terlepas darinya tanpa terlihat aku yang salah."Bang
"Kamu bisa menyaksikan aku menikah lagi," lanjutnya. Aku tersenyum kecut, ternyata tatapan tak sesuai ekspektasi.Anisa berdiri dan menarikku ke sebuah kamar setelah diperintahkan Bian. Gadis yang sering kuejek tak laku-laku itu tersenyum menyeringai. "Kamu mau apa? Ingat, aku mengandung anak abang kamu," tegasku. Nisa terus berjalan mendekat dan aku terpaksa mundur hingga punggung menyentuh dinding. "Cih, bisa saja itu anak suamimu yang sekarang, " kekehnya. "Gak mungkin, Nis. Aku baru cerai 6 bulan, gak mungkin perutku sebesar ini. Sebentar lagi mau lahiran.""Tapi bukannya Bang Bian tidak bisa punya anak?" sergahnya. Aku menelan ludah. Anisa terlalu kritis diajak bicara. Coba saja dengan Bang Bian, dengan mudah aku mengarang cerita walupun agak kurang masuk akal. "Dia sudah sembuh karena sering berobat tradisional. Aku tak menyadarinya. Kami akan memperbaiki hubungan dengan kehadiran bayi ini," ujarku dengan suara tercekat. Nisa menarik ujung gamisku sampai perut. Dia sedikit
Aku cepat berdiri agar tidak diseret oleh orang-orang yang kelihatan sangat percaya pada kakek tua itu. Aku duduk sebentar di sofa yang sudah digeser agak ke sudut biar ruang tamu jadi luas. Aku memijit pelipis yang lumayan sakit seraya berpikir keras. Apa maksud Caca? Anak mereka sudah jadi sebelum aku kenal suamiku? Tapi bukannya mereka gagal nikah? Kepalaku jadi semakin pusing. Jadi bocah itu anak siapa sebenarnya? Hatiku tek enak, sulit menerima kenyataan hidup yang pahit. Ah, tak mungkin itu anak Bang Bian. Aku yakin anak kecil itu adalah buah hati dari pernikahan Caca dengan lelaki kaya yang membawanya lari. Hanya perasaanku saja kalau bocah itu anaknya Bian. Sudah jelas dia tak subur juga. Carisa hanya ingin memanas-manasiku. "Cepat lah kalian bawa perempuan itu ke rumah sakit jiwa. Mungkin saja otak dia kebentur di mana atau gak ikut antri saat pembagian otak." Suara tua bangka itu terdengar lagi dengan nada mengejek. Sekilas kulihat kalau Caca mengulum senyum menden
Suasana tegang sempat menyelimuti acara lamaran resmi yang dihadiri keluarga Bian, Mami dan Papinya Mas Reno serta beberapa tetangga. Bagaimana tidak, Inayah datang membuat kekacauan. Kecemasanku akan kegagagalan pernikahan dengan Bian mulai menghantui, tapi semuanya tidak terjadi karena Inayah cuma bersandiwara.Sebenarnya aku kasihan melihat mantan istri Bian itu terus dipojokkan seluruh anggota keluarga. Sikapnya yang pongah dan bicara sesuka hati juga sempat membuatku lumatan syok, tapi akhirnya maklum kalau itu sudah sifatnya sejak mengenalnya di sosmed.Satu hal yang membuatku terkejut bahagia adalah pengakuan Bian kalau dirinya sehat-sehat saja, tapi mantan istrinya yang bermasalah. Rasa sedih bercampur bahagia hingga bulir bening terus menyusup dari kelopak mata yang kukatupkan.Setelah kepergian Inayah dari rumahku ini, Bian semakin membuatku tersipu malu. Katanya ingin menikah denganku sekarang.Seperti kata Papa, Bian kayak kebelet kawin. Apalagi semua anggota keluarga lain
Caca adalah istriku yang pertama dan akan kunikahi lagi menjadi istri terakhir dan satu-satunya. Aku akan melakukan ijab qobul untuk ketiga kalinya di usia yang baru 32 tahun, tapi tetap saja rasa grogi membuatku lupa dengan apa yang harus kuucapkan nantinya. Aku terus berlatih di depan cermin agar Caca tidak ilfeel. Pernah terbersit dalam hati kalau hanya akan menikah sekali saja seumur hidup. Namun takdir berkata lain, manusia hanya berdoa dan berusaha, tapi keputusan tetap Allah yang menentukan. Inilah jalan hidup yang harus kulalui dengan hati yang lapang, sabar dan ikhlas. Meskipun harus melewati lika-liku kehidupan, rasa cinta tumbuh kembali pada Caca setelah aku dikhianati. Aku sudah mencoba membuang jauh ingatan tentang Caca, berusaha mencintai Inayah sebagi istriku. Namun dia tak sabar menghadapiku yang banyak kekurangan. Alhamdulillah, dia digantikan oleh seorang bidadari abad 21 yang tak lain adalah ibu dari anakku. "Kau ini mondar-mandir terus dari tadi, Bian. Pusing
"Bi, gak nyangka ya, kalau Inayah udah berubah drastis? Padahal kan dulu dia ….""Sst! Jangan mengungkit masa lalu orang lagi, Sayang. Kalau dia sudah bertaubat, cukup diingat kebaikannya yang sekarang," potong Bian, meletakkan telunjuk di depan bibirku. Aku mengerucutkan bibir dan memiringkan badan. "Jadi Bibi belain dia? Jangan-jangan kecewa saat tahu Inayah akan menikah lagi," balasku pura-pura kesal. Aku yakin kok kalau dia hanya mencintaiku sekarang. "Loh, ada yang lagi cemburu ni ye. Aku malah senang kalau dia nikah, Sayang. Dengan begitu, tiada lagi yang harus kita cemaskan jika sering kembali ke kota ini. Gak ada pengganggu. Mantan itu tak harus bermusuhan," balas Bian, menjadi lebih pipiku. "Iya iya, Bi aku cuma bercanda kok," balasku tersenyum lebar. Netra Bian melebar, menatapku tajam. "Jadi kamu gak cemburu, Ca? Ah, aku kecewa.""Ihhh, pakai merajuk segala," kekehku dan memeluk pinggang Bian. Merebahkan kepala di punggungnya yang kokoh. "Enggak juga sih, Sayang. Tap
Aku menarik napas panjang. "Temani aku bertemu Bang Bian, Nah. Dia lagi di kota ini," lanjutku.Aminah tersenyum hambar. Gurat kecewa tak bisa ia sembunyikan. "Aku tak akan sekecewa ini bila kamu menolak tawaranku, In. Namun aku tak menduga kalau kamu masih mengharapkan mantanmu. Aku kira kamu sudah ikhlas melepas dia berbahagia dengan wanita itu."Aminah membuang muka, tak sudi menatap wajahku lagi. Aku berjalan dan berdiri di hadapannya, membingkai wajah yang jarang putus dari wudhu itu. "Hey, siapa yang sering mengajarkanku agar tidak berprasangka buruk? Aku tidak bilang kalau ingin kembali dengan mantan suamiku loh."Aminah menggenggam kedua tanganku seraya tersenyum. "Lalu apa maksudmu ingin menemuinya dan sampai mengajakku?" cecarnya. "Aku ingin bertemu untuk terakhir kalinya. Murni untuk minta maaf saja, sekalian mengabarkan kalau aku akan menikah dengan lelaki pilihan sahabatku," balasku tersenyum lebar. "Alhamdulillah ya, Allah. Kamu beneran mau jadi temanku bahu-membah
"Apa benar kamu masih mencintai mantan suamimu? Atau kamu hanya takut kalau tak ada yang mengurus di usia senja, In?" cecar Aminah dengan lembut. Dia adalah teman sekampungku dan tak sengaja bertemu di warung makan tempatku bekerja. Saling tukar kontak dan bertemu keesokan harinya karena aku libur kerja. Dia datang ke kosanku dan aku banyak bercerita padanya tentang kehidupan rumah tangga yang sudah kandas. Semuanya kuceritakan dengan detail meskipun aku tahu tindakanku akan salah dalam pandangannya. Aku butuh orang untuk mengeluarkan semua uneg-uneg.Perempuan berkulit hitam manis itu mendengarkan dengan baik, terkadang tersenyum dan sesekali mengelus dada. Setelah aku bercerita, barulah hati ini plong. Aku tak punya teman berbagi kisah karena memang tak punya teman akrab di sini.Sebagai anak yatim piatu, jelas saja aku cemas akan nasibku di hari tua. Tiada anak, suami, maupun keluarga. Aku sebatang kara, mencari uang sendiri dengan mengandalkan tenaga dengan gaji tak seberapa. Aku
"Sialan lo, Baron. Itu cewek lo pakai nempel-nempel segala sama gue. Apa gak lo tatar dulu agar dia fokus menggoda?" bentakku pada salah satu teman dekat sainganku.Baron memang playboy dan gila harta. Dengan iming-iming uang, dia rela menusuk Bian dari belakang dengan menyuruh pacarnya pura-pura jadi mantan pacar Bian. Tujuanku cuma satu, menghacurkan kepercayaan Carisa kalau suaminya adalah orang yang setia. Aku tahu, seorang wanita itu pencemburu dan bisa memicu pertengkaran dasyat dalam rumah tangga.Aku terlalu percaya dengan omongan Baron yang optimis, bicara layaknya orang yang bisa dipercaya. Apa balasannya? Uangku melayang, sedangkan Carisa tetap lengket dengan suaminya. Itu karena cewek Baron itu tidak profesional. Dia malah mengejar-ngejar aku. Belum lagi aku kena omel sama Papi karena dinilai mencari pacar yang gak jelas. Akibatnya, Papi berencana mau mencari calon istri buatku.Argh, rasanya mau pecah kepalaku memikirkan semua ini. Selama ini, aku belum pernah jatuh cinta
"Bi, apa benar Rino mengancam akan melakukan segala cara untuk memisahkan kita?" cecarku setelah semuanya agak tenang. Bian tersenyum hambar, lantas mengusap wajah dengan cepat. "Maafkan aku, Ca. Apa Ibu yang cerita?" tanyanya dengan wajah bersalah. Aku mengangguk. Kuambil kedua tangan Bian, lantas meletakkannya di dadaku. "Hingga saat ini, kamu lah lelaki yang bertahta di hati ini, Bi. Terlebih kamu adalah suamiku, tentu makin istimewa posisimu di sini," lirihku. Mata ini mulai berembun yang membuat pandangan sedikit buram. "Aku tahu, mungkin ada beberapa hal yang tak bisa dibagi dengan siapapun, termasuk pasangan. Namun, jika ada masalah yang membuatmu cemas, kumohon jangan pendam sendiri. Kita cari solusinya bersama. Aku tahu kamu lelaki terbaik yang pernah kukenal, jadi jangan pernah nodai kepercayaan ini," imbuhku.Bian melepaskan tangannya, lalu merangkulku dengan erat. "Maafkan aku, Ca. Aku memang hanya pria bodoh yang berkesempatan menjadi pendampingmu. Aku hanya lelaki ba
"Kamu sudah pulang, Bi?" tanyaku, tersenyum getir melihat ekspresi Bian yang tak bersahabat. Dia berjalan menghampiri adik dari almarhum mantan suamiku.Bugh.Aku menutup mulut dan mata membeliak melihat Bian memukul perut Rino bener apa kali. Aku berteriak histeris, lalu menghampiri."Kamu kenapa sih, Bi? Kok main pukul-pukul saja?" seruku, syok melihat Rino terjengkang ke tanah. Aku membantunya berdiri dan meminta maaf.Bagaimana bisa suamiku yang biasanya pandai meredam emosi, tapi sekarang malah diperbudak setan. Melakukan pemukulan tanpa ada salah. Andai pun ada yang menurutnya salah, apa tak bisa tabayyun terlebih dahulu?"Nak, kenapa kamu pukuli dia? Jaga sikapmu, Bian," sentak Ibu, tergopoh datang dari dalam. Untung saja Boy tidak kelihatan batang hidungnya. Semoga saja buah cintaku itu tidak melihat kejadian memalukan ini. Bukan contoh yang baik buat perkembangan mentalnya.Aku menarik tangan Bian agar duduk di kursi teras. Rino terlihat santai, bersandar di pintu mobilnya."
"Pokoknya kamu juga harus nikah. Carisa udah mau nikah dan dia akan tingal di kampung suaminya itu. Siapa lagi yang jadi menantu Mami?" desak Mami. Aku berdecak kesal. Dulu Reno yang selalu jadi patokan kesuksesan. Sekarang, istrinya lah yang jadi acuan menjadi orang bahagia."Kalau gitu, nikahkan saja aku sama Carisa," balasku cuek. Mata Mami membeliak, lalu memegang kedua bahuku. "Kamu serius?""Iya. Sepertinya aku mulai menyukai janda itu."Mami terlihat bahagia, lalu kembali murung. Duduk di sofa dengan bahu terkulai. "Tapi sayangnya semua udah terlambat, Rino. Kamu sih, dulu pakai acara nolak segala. Coba kamu ikuti alur yang Mama buat, pasti sekarang kita akan berkumpul lagi sebagian keluarga yang utuh."Mami mengusap wajah dengan pelan. "Kamu coba pedekate sama anak temen Mami deh. Gak mungkin Mami ngerusak kebahagiaan Carisa dengan memaksanya menikah denganmu. Bisa rusak citra baik Mami."Aku berdecak lagi. Katanya ingin Carisa jadi menantunya lagi, tapi Mami gak sungguh-
"Ada apa ini? Kok kamu sampai jatuh sih, Sayang?" tanya maminya Rino, membantu putranya berdiri. Dia terlihat cemas dan membolak-balik badan Rino, memeriksa apakah ada yang terluka."Gak ada apa-apa, Mi. Aku cuma terjatuh pas mau berdiri," balas lelaki itu, sedikit meringis dan melirikku sekilas.Kenapa dia harus berbohong? Padahal kalau dia mau, bisa saja mengatakan yang sebenarnya kalau aku telah memukul perutnya."Papa sakit?" tanya Boy cemas.Ya Allah, dia bukan papamu, Nak."Enggak kok, Sayang. Hanya sedikit."Wajah Rino membuatku muak. Dia meringis di depan putraku hingga Boy menarik tangan lelaki itu agar duduk di sofa.Tangan mungilnya mengusap-usap betis Rino yang katanya sakit. Tentu saja aku merasa tak nyaman melihat pemandangan ini karena sudah mendengar sendiri penuturan Rino tadi. Dia ingin merebut cintaku seperti yang dilakukan saudaranya.Apa di dunia ini tak ada lagi wanita lajang yang pas buatnya?Jika aku menjelaskan sekarang pada Boy bahwa lelaki tadi bukan papanya
"Kamu kenapa, Bi?" tanya Caca, membuyarkan lamunanku. "Eh?" Aku menatap sekeliling. "Ayo turun, Ibu sama Boy udah nungguin loh," ujar Caca. Aku mengusap wajah dengan pelan, lalu turun dari taksi online yang sudah berhenti sejak tadi. Aku mengikuti nenek dan cucunya itu masuk ke rumah mertuaku. Binar bahagia terpancar di wajah kedua mertuaku. Mereka tentu tak menyangka kalau kami akan datang ke sini, apalagi tidak dikabari sebelumnya. Boy tentu jadi idola, tak hentinya dihadiahi ciuman dari kakek neneknya. "Assalamualaikum!" sapa orang dari luar. Aku menoleh pada Caca. Itu seperti suara mantan mertua istriku. Dengan sigap Caca membuka pintu. "Ya Allah, Nak, kamu di sini? Kok gak ngabarin Mami? Ponsel kamu juga tak bisa dihubungi sejak tiga hari yang lalu. Mami kangen loh, Nak," lirih ibunya Reno. Keduanya berpelukan. "Namanya juga surprise, Mi.""Papaaaaaaaaaa!"Teriakan Boy yang lumayan kencang membuat kami semua menoleh. Aku terkejut bukan karena suaranya, melainkan kata