"Jadi kamu itu gak mau punya anak dariku, Bang?" tanyaku kesal pada Aldo. Suami yang lebih muda dariku itu menatap sekilas."Kamu pikir saja sendiri, Ina. Kita nikah saja diam-diam," balas lelaki tampan yang menikahiku secara siri setelah keluar surat resmi perceraianku dengan mantan suami. Dia bilang belum sanggup memukul tanggung jawab sehingga hubungan ini dirahasiakan dari keluarganya.Matanya Aldo fokus ke ponsel, sesekali tersenyum. Jari tangan terus saja maraton di atas layar pipih itu. Aku menjadi kesal dibuatnya. Bang Bian tak pernah main hape jika sedang bicara denganku.Kenapa aku jadi membandingkan Aldo dengan mantan?Aldo memang lebih tinggi, tampan dan juga mapan secara finansial. Dia juga lebih muda sehingga aku merasa sangat beruntung ketika dia mengatakan cinta padaku. Pertemuan kami tak sengaja pas dia keluar dari tempat fitness.Sejak saat itu, rasa cintaku seperti menguap kepada suami. Aku mencari cara agar bisa terlepas darinya tanpa terlihat aku yang salah."Bang
"Kamu bisa menyaksikan aku menikah lagi," lanjutnya. Aku tersenyum kecut, ternyata tatapan tak sesuai ekspektasi.Anisa berdiri dan menarikku ke sebuah kamar setelah diperintahkan Bian. Gadis yang sering kuejek tak laku-laku itu tersenyum menyeringai. "Kamu mau apa? Ingat, aku mengandung anak abang kamu," tegasku. Nisa terus berjalan mendekat dan aku terpaksa mundur hingga punggung menyentuh dinding. "Cih, bisa saja itu anak suamimu yang sekarang, " kekehnya. "Gak mungkin, Nis. Aku baru cerai 6 bulan, gak mungkin perutku sebesar ini. Sebentar lagi mau lahiran.""Tapi bukannya Bang Bian tidak bisa punya anak?" sergahnya. Aku menelan ludah. Anisa terlalu kritis diajak bicara. Coba saja dengan Bang Bian, dengan mudah aku mengarang cerita walupun agak kurang masuk akal. "Dia sudah sembuh karena sering berobat tradisional. Aku tak menyadarinya. Kami akan memperbaiki hubungan dengan kehadiran bayi ini," ujarku dengan suara tercekat. Nisa menarik ujung gamisku sampai perut. Dia sedikit
Aku cepat berdiri agar tidak diseret oleh orang-orang yang kelihatan sangat percaya pada kakek tua itu. Aku duduk sebentar di sofa yang sudah digeser agak ke sudut biar ruang tamu jadi luas. Aku memijit pelipis yang lumayan sakit seraya berpikir keras. Apa maksud Caca? Anak mereka sudah jadi sebelum aku kenal suamiku? Tapi bukannya mereka gagal nikah? Kepalaku jadi semakin pusing. Jadi bocah itu anak siapa sebenarnya? Hatiku tek enak, sulit menerima kenyataan hidup yang pahit. Ah, tak mungkin itu anak Bang Bian. Aku yakin anak kecil itu adalah buah hati dari pernikahan Caca dengan lelaki kaya yang membawanya lari. Hanya perasaanku saja kalau bocah itu anaknya Bian. Sudah jelas dia tak subur juga. Carisa hanya ingin memanas-manasiku. "Cepat lah kalian bawa perempuan itu ke rumah sakit jiwa. Mungkin saja otak dia kebentur di mana atau gak ikut antri saat pembagian otak." Suara tua bangka itu terdengar lagi dengan nada mengejek. Sekilas kulihat kalau Caca mengulum senyum menden
Suasana tegang sempat menyelimuti acara lamaran resmi yang dihadiri keluarga Bian, Mami dan Papinya Mas Reno serta beberapa tetangga. Bagaimana tidak, Inayah datang membuat kekacauan. Kecemasanku akan kegagagalan pernikahan dengan Bian mulai menghantui, tapi semuanya tidak terjadi karena Inayah cuma bersandiwara.Sebenarnya aku kasihan melihat mantan istri Bian itu terus dipojokkan seluruh anggota keluarga. Sikapnya yang pongah dan bicara sesuka hati juga sempat membuatku lumatan syok, tapi akhirnya maklum kalau itu sudah sifatnya sejak mengenalnya di sosmed.Satu hal yang membuatku terkejut bahagia adalah pengakuan Bian kalau dirinya sehat-sehat saja, tapi mantan istrinya yang bermasalah. Rasa sedih bercampur bahagia hingga bulir bening terus menyusup dari kelopak mata yang kukatupkan.Setelah kepergian Inayah dari rumahku ini, Bian semakin membuatku tersipu malu. Katanya ingin menikah denganku sekarang.Seperti kata Papa, Bian kayak kebelet kawin. Apalagi semua anggota keluarga lain
Caca adalah istriku yang pertama dan akan kunikahi lagi menjadi istri terakhir dan satu-satunya. Aku akan melakukan ijab qobul untuk ketiga kalinya di usia yang baru 32 tahun, tapi tetap saja rasa grogi membuatku lupa dengan apa yang harus kuucapkan nantinya. Aku terus berlatih di depan cermin agar Caca tidak ilfeel. Pernah terbersit dalam hati kalau hanya akan menikah sekali saja seumur hidup. Namun takdir berkata lain, manusia hanya berdoa dan berusaha, tapi keputusan tetap Allah yang menentukan. Inilah jalan hidup yang harus kulalui dengan hati yang lapang, sabar dan ikhlas. Meskipun harus melewati lika-liku kehidupan, rasa cinta tumbuh kembali pada Caca setelah aku dikhianati. Aku sudah mencoba membuang jauh ingatan tentang Caca, berusaha mencintai Inayah sebagi istriku. Namun dia tak sabar menghadapiku yang banyak kekurangan. Alhamdulillah, dia digantikan oleh seorang bidadari abad 21 yang tak lain adalah ibu dari anakku. "Kau ini mondar-mandir terus dari tadi, Bian. Pusing
POV 3[Selamat berbulan madu buat Kak Caca sama Bang Bian. Ngebet banget sih, Bang? Habis resepsi langsung eksekusi. Ada Oppung juga yang mengawal pengantin. Sehat-sehat, ya, Oppung] Story WA Anisa setelah menerima foto dari Tika, sang pengasuh Boy yang sudah akrab dengannya sejak kunjungan pertama ke rumah Carisa. Semua anggota keluarga di rumahnya ikut tertawa terpingkal-pingkal karena mengetahui aksi Oppung Bolon dan Oppung Menek berhasil memboyong pengantin baru itu. Di sebuah kontrakan yang lumayan bagus, ada wanita yang kini semakin menyesali keadaan saat melihat story WA mantan adik iparnya. Dialah Inayah, wanita yang dulu selalu pamer kemesraan demi memancing Caca kembali dalam hidup lelaki yang mencintainya. Rasa angkuh mengakar dalam jiwa melihat perhatian Bian semakin memperlihatkan rasa cinta. Apalagi surat keterangan dari dokter yang menyatakan lelaki itu tidak akan bisa punya anak.Saat dirinya fokus melihat kekurangan pasangannya, ternyata aibnya lah yang akhirnya t
Keesokan harinya, Oppung Bolon dan istri beserta Bian dan Caca berencana makan di restoran hotel. Namun pasangan tua itu tak terlalu berselera karena kebanyakan makanan kekinian yang tak cocok di lidah. "Gak selera aku makan, Oppung Bian," celetuk gadis zaman dahulu yang sudah pernah naik haji itu. "Iya, Oppung pun tak suka lah. Kita makan di rumah saja. Barusan cucu kita si Nisa telpon kalau sudah masak rebusan sama sambal terasi," usul lelaki yang pekerja keras di masa mudanya itu. Rasa bersalah kerap menghampiri hati karena dulu terlalu keras mendidik anak lelaki satu-satunya yang tak lain adalah ayahnya Bian. Bermula dari Parluhutan sering nongkrong di warung bersama temannya hingga malas membantu orang tua di kebun, Oppung Bolon naik pitam ketika putranya melawan. Dia berpikir anak lelakinya akan melunak jika dikerasin, apalagi diusir, meninggalkan hidup mereka yang berkecukupan. Namun, dia tak menyangka dan harus menyesali keadaan. Maslah sepele itu membuat anaknya ymtak
"Makan, yuk. Kamu tak perlu sungkan samaku, In. Kita kan, teman. Aku tahu kalau kalian ada hubungan di masa lalu, tapi sudah jadi kenangan, kan? Tak usah terlalu sering melihat ke belakang, nanti bisa kebentur loh. Lebih baik fokus dengan rencana masa depan yang lebih baik," cerocos Caca lagi, mendekatkan piring, lalu mulai makan."Makan, Bi," ujarnya lagi pada suaminya. Bang Bian tersenyum kikuk, lalu menggangukkan kepala.Aku masih terpaku di tempat, bibir mengatup rapat, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Semua kosa kata tiada yang pas untuk membalas wanita di hadapanku. Kata-katanya berbobot dan susah untuk kusangkal.Dulu, Bang Bian memang lelaki yang setia dan perhatian padaku, tapi sayang sekali aku telah menyia-nyiakannya. Aku yakin, meskipun dia bersikap sebagai suami yang setia buat Caca, aku pun masih bertakhta di hatinya.Posisi benar-benar terbalik. Jika dulu Caca adalah mantan dan aku istri sah, tapi yang terjadi sekarang malah sebaliknya. Akulah yang harus berusaha