Laki-laki kurang ajar yang mengenakan kemeja kotak-kotak itu bangkit sambil memegangi perutnya. Wajahnya terlihat sedang kesakitan. "Keluargaku tak akan pernah mendapatkan perlakuan seperti itu. Mereka wanita baik-baik. Sedangkan wanita ini? Ck ck, dia berpakaian, tapi seperti telanjang. Sebagai lelaki normal, wajar kalau mataku tergoda. Memangnya dia siapamu sampai kamu berani memukulku gara-gara penggoda ini, hah?" hardik laki-laki itu. Berani sekali dia menyalahkanku? Harusnya dialah yang menjaga pandangan, tidak melirik ke sana kemari. Aku juga terpaksa begini, karena sedang berusaha mendapatkan cintaku kembali"Asal kamu tahu, aku ini ...."Bian mengarahkan telapak tangan ke arahku. Aku tak jadi melanjutkan kalimat, padahal cuma ingin mengakui kalau kami pernah jadi suami istri. Bian tak meladeni ucapan lelaki bertubuh gempal itu.Dua orang satpam tergopoh berlari dan membawa paksa laki-laki yang telah membuat kerusuhan itu. Pengelola restoran pun meminta maaf atas kejadian ya
"Kamu lihat sendiri, kan, Mak Boy, Inayah itu aneh dan bikin emosi naik. Makanya Ayah Boy malas berurusan dengan dia," ujar Bian setelah mobil melaju meninggalkan mantan istrinya yang ngeselin, masih memandang ke arah kami."Iya, ya. Dia itu kayaknya hanya butuh perhatian, Ayah Boy," balasku, tersenyum terkulum. "Kita maklumi saja kalau pas ketemu. Toh kita sudah berusaha tak berurusan dengannya. Tadi itu kan terpaksa," lanjutku.Bian tersenyum, lalu menggendikkan bahu. Suamiku itu menautkan jemarinya di sela jariku, mammpu mengembalikan mood manjadi baik lagi."Kedengarannya lucu, ya, manggil kamu dengan sebutan Mamak Boy," kekeh lelaki yang kini jadi suamiku."Iya, mungkin karena belum terbiasa saja, Bi, eh, Ayah Boy," balasku, lalu tertawa sekilas."Kan Oppung bilang kita manggil kayak gitu pas di depan orang kampung saja. Kita syang-sayangan saja sekarang," kekeh Bian, mengeringkan mata ke arah aku."Ya sudah, terserah Sayang aja deh," bisikku seraya tersenyum.Bian membetulkan ji
"Namamu Carisa, kan?" tanyanya. "Iya. Kok kamu tahu namaku? Apa kita pernah kenal sebelumnya?" tanyaku heran. Aku jadi ragu kalau dia memang salah orang. Wanita itu tersenyum mengejek. "Nama suami kamu Bian?" tanyanya kemudian. Aku menganggukkan kepala. Apa ini semacam prank dari Bian? Agar bisa tahu bagaimana caraku menghadapi tukang fitnah?"Berarti aku tak salah orang, dong. Kamu memang pelakor yang aku maksud," sinisnya, terlihat serius dan tak ada nada bercanda. Pikiranku langsung tertuju pada mantan istri dari suamiku yang selalu cari gara-gara. Bisa saja ini kerjaannya, apalagi tadi dia ngebet meminta Bian agar menikahinya lagi meskipun jadi istri kedua. "Apa kamu mendapatkan info palsu ini dari seseorang yang bernama Inayah?" selidikku. Mata wanita itu membulat sempurna"Bagaimana kamu bisa tahu?"Hmm, berarti benar ulah Inayah."Karena setahuku, aku tak punya musuh. Hanya wanita itu satu-satunya yang suka cari masalah denganku.""Jelas saja dia benci sama kamu, s
"Lain kali gak usah diladeni, Ca. Dia hanya berusaha mencari-cari kesalahan orang lain. Karena kamu itu perfect, jadilah dia membuat fitnah untuk menyudutkanmu," bisik Bian.Aku menatap raut wajah suamiku, menyentuh pipi kanannya dengan lembut."Beneran aku perfect, Bi?""Iya, kamu sempurna, tanpa cela di mataku, Ca.""Makasih, Sayang. Semoga aku juga tak akan pernah melihat kekuranganmu. Kamu lah yang membuat hidupku semakin berwarna," balasku.Bian menganggukkan kepala mengusap-usap kepalaku."Bi!""Ya, Sayang?""Apa dia selalu begitu saat kalian menikah , Bi? Kulihat Bibi bahagia bersamanya kalau itu," ujarku.Bian menggelengkan kepala."Entahlah, Ca. Mencintai Inayah sebagai istri itu kewajibanku dan perlahan rasa cinta itu telah hadir. Aku gak masalah kalau terlihat seperti budak cinta asal dia tak senang. Selama ini kulihat perangainya baik-baik saja di depanku. Namun beberapa fakta telah membuatku tak ingin bertemu dia lagi. Kesalahan lainnya masih bisa kutolelir, tapi tidak de
*"Selamat datang, Nak," sambut Bu Ranti yang kini jadi mertuaku. Beliau memelukku dan Bian, lalu beralih ke Boy, cucu yang jadi primadona di rumah ini. Aku ikut ke dapur, membantu yang lainnya memasak kue dan beberapa lauk yang akan disajikan pada tetangga besok pagi sebagai acara memperkenlkanku sebagai menantu baru rumah ini. Tidak ada pesta di sini karena kami akan digondangkan di kampung. Malam harinya, aku dan Bian akan tidur di kamarnya saat masih lajang, sudah dihiasi lagi dengan nuansa pengantin baru. Keluarga Bian lainnya yang berasal dari kampung akan tidur si ruang tamu. Yang laki-laki di sudut dekat pintu, dan perempuan diepan tivi. Oppung Bolon dan Oppung Menek tidur di kamar Bu Ranti, Nisa dan dua sepupunya tidur di kamar adik iparku itu. Aku memainkan ponsel sesaat, menyimpan beberapa foto kami tadi saat jalan-jalan di beranda facebook , tapi dengan menggunakan privasi hanya aku yang bisa melihatnya. Tujuannya simpel, karena fb sekarang bisa mengingatkan kenangan in
Mataku membulat sempurna, melihat ekspresi Bian yang terlihat serius. Padahal kata 'yang' yang Bian maksud tidak ada unsur panggilan kemesraan. Hanya kata penghubung dalam suatu kalimat."Jadi kamu akan mengirim uang ke nomor rekening Yang-mu itu yang bahkan aku tidak tahu kalau tak sengaja melihat sms masuk di ponselmu? Membeli sebuah rumah minimalis dengan nuansa taman hijau di halamannya tanpa sepengetahuanku?" tanya Bian lagi, mulai melebih-lebihkan.Astaga, kayaknya perlu dikompres nih suami. Ini sih korban layangan putus."It's my dream, Bi. Not her's," potongku, menghentikan keanehan suami. Kapan dia menonton film yang kata beberapa orang lumayan vulgar itu? Duh, aku tak rela kalau mata Bian melihat adegan-adegan tak pantas dalam film yang terinspirasi dari kisah nyata itu."Jadi ginjal kamu pengen dicubit, Bi?" ujarku, mengangkat tangan kanan dan memperagakan sedang mencubit.Bian mengulum senyum, berjalan mundur hingga kakinya menyentuh sisi ranjang."Ampun, Ca. Aku cuma berc
Jika ada contoh kegigihan seorang insan untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, mungkin Inayah adalah contoh yang pas. Namun sayang, ia melakukannya untuk hal yang negatif.Dulu ia dengan gigih ingin membuatku tergoda lagi dengan Caca, sekarang dia lah yang terus-terusan datang menggodaku, setelah sekarang berstatus bukan suaminya lagi, melainkan pasangan halal Caca.Aku sempat membaca beberapa pesannya dulu yang suka nantangin Caca. Cukup terlambat biar akhirnya aku tahu motif dia kenapa ingin suaminya bekerja di perusahaan yang diwariskan almarhum suami wanita yang kini jadi istriku.Keadaan yang berbanding terbalik. Aku tak nyaman jika terus-terusan begini.Inayah menerobos masuk ke rumah ini, sementara hanya ada aku di sini. Caca sudah masuk kamar beberapa menit yang lalu. Mungkin sudah berkelana dalam mimpi."Ngapain kamu ke sini? Cepat keluar. Keluargaku lagi gak ada di sini, nanti terjadi fitnah," usirku dengan tegas meskipun agak pelan, sengaja memelankan suara agar istriku
"Aku tahu kok, Bi, kamu baru ketemu sama Inayah," ujarku setelah kami menghabiskan cendol yang Bian bawa. Seketika Bian terbatuk, lalu meminum air putih yang sudah kusediakan."Kamu kok tahu? Apa Inayah yang kasih tahu kamu?" tanya Bian setelah menguasai keadaan. Wajahnya sedikit pucat, lalu nyengir."Aku sempat denger pas dia datang. Siapa sih yang bisa tidur lagi saat mantan istri suaminya datang ke rumah dan mengajak keluar?" tanyaku seraya tersenyum."Maaf, aku hanya …." Bian terlihat salah tingkah."Lalu aku ikutin deh kalian biar Hi lebih lega. Makasih, ya, Sayang, kamu tak terpengaruh dengan ucapan Inayah. Aku gak ada hubungan dengan Rino, kok. Sengaja tak memberi tahu kamu karena tak ingin kepikiran. Aku sudah blokir dia juga agar tidak mengusik ketenangan hati kita," tuturku.Tadi aku merasa bersalah karena kesannya tidak percaya pada suami sendiri. Sempat merasa curiga, tapi semua terpatahkan dengan menyaksikan sendiri bagaimana cara Bian menghadapi mantannya."Kamu tidak ma