*"Selamat datang, Nak," sambut Bu Ranti yang kini jadi mertuaku. Beliau memelukku dan Bian, lalu beralih ke Boy, cucu yang jadi primadona di rumah ini. Aku ikut ke dapur, membantu yang lainnya memasak kue dan beberapa lauk yang akan disajikan pada tetangga besok pagi sebagai acara memperkenlkanku sebagai menantu baru rumah ini. Tidak ada pesta di sini karena kami akan digondangkan di kampung. Malam harinya, aku dan Bian akan tidur di kamarnya saat masih lajang, sudah dihiasi lagi dengan nuansa pengantin baru. Keluarga Bian lainnya yang berasal dari kampung akan tidur si ruang tamu. Yang laki-laki di sudut dekat pintu, dan perempuan diepan tivi. Oppung Bolon dan Oppung Menek tidur di kamar Bu Ranti, Nisa dan dua sepupunya tidur di kamar adik iparku itu. Aku memainkan ponsel sesaat, menyimpan beberapa foto kami tadi saat jalan-jalan di beranda facebook , tapi dengan menggunakan privasi hanya aku yang bisa melihatnya. Tujuannya simpel, karena fb sekarang bisa mengingatkan kenangan in
Mataku membulat sempurna, melihat ekspresi Bian yang terlihat serius. Padahal kata 'yang' yang Bian maksud tidak ada unsur panggilan kemesraan. Hanya kata penghubung dalam suatu kalimat."Jadi kamu akan mengirim uang ke nomor rekening Yang-mu itu yang bahkan aku tidak tahu kalau tak sengaja melihat sms masuk di ponselmu? Membeli sebuah rumah minimalis dengan nuansa taman hijau di halamannya tanpa sepengetahuanku?" tanya Bian lagi, mulai melebih-lebihkan.Astaga, kayaknya perlu dikompres nih suami. Ini sih korban layangan putus."It's my dream, Bi. Not her's," potongku, menghentikan keanehan suami. Kapan dia menonton film yang kata beberapa orang lumayan vulgar itu? Duh, aku tak rela kalau mata Bian melihat adegan-adegan tak pantas dalam film yang terinspirasi dari kisah nyata itu."Jadi ginjal kamu pengen dicubit, Bi?" ujarku, mengangkat tangan kanan dan memperagakan sedang mencubit.Bian mengulum senyum, berjalan mundur hingga kakinya menyentuh sisi ranjang."Ampun, Ca. Aku cuma berc
Jika ada contoh kegigihan seorang insan untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, mungkin Inayah adalah contoh yang pas. Namun sayang, ia melakukannya untuk hal yang negatif.Dulu ia dengan gigih ingin membuatku tergoda lagi dengan Caca, sekarang dia lah yang terus-terusan datang menggodaku, setelah sekarang berstatus bukan suaminya lagi, melainkan pasangan halal Caca.Aku sempat membaca beberapa pesannya dulu yang suka nantangin Caca. Cukup terlambat biar akhirnya aku tahu motif dia kenapa ingin suaminya bekerja di perusahaan yang diwariskan almarhum suami wanita yang kini jadi istriku.Keadaan yang berbanding terbalik. Aku tak nyaman jika terus-terusan begini.Inayah menerobos masuk ke rumah ini, sementara hanya ada aku di sini. Caca sudah masuk kamar beberapa menit yang lalu. Mungkin sudah berkelana dalam mimpi."Ngapain kamu ke sini? Cepat keluar. Keluargaku lagi gak ada di sini, nanti terjadi fitnah," usirku dengan tegas meskipun agak pelan, sengaja memelankan suara agar istriku
"Aku tahu kok, Bi, kamu baru ketemu sama Inayah," ujarku setelah kami menghabiskan cendol yang Bian bawa. Seketika Bian terbatuk, lalu meminum air putih yang sudah kusediakan."Kamu kok tahu? Apa Inayah yang kasih tahu kamu?" tanya Bian setelah menguasai keadaan. Wajahnya sedikit pucat, lalu nyengir."Aku sempat denger pas dia datang. Siapa sih yang bisa tidur lagi saat mantan istri suaminya datang ke rumah dan mengajak keluar?" tanyaku seraya tersenyum."Maaf, aku hanya …." Bian terlihat salah tingkah."Lalu aku ikutin deh kalian biar Hi lebih lega. Makasih, ya, Sayang, kamu tak terpengaruh dengan ucapan Inayah. Aku gak ada hubungan dengan Rino, kok. Sengaja tak memberi tahu kamu karena tak ingin kepikiran. Aku sudah blokir dia juga agar tidak mengusik ketenangan hati kita," tuturku.Tadi aku merasa bersalah karena kesannya tidak percaya pada suami sendiri. Sempat merasa curiga, tapi semua terpatahkan dengan menyaksikan sendiri bagaimana cara Bian menghadapi mantannya."Kamu tidak ma
"Udah, Ca. Bibi minta maaf karena bikin kamu cemas. Aku tidak bermaksud loh, Beib," ujar Bian merangkulku dengan erat. Aku terus saja memukul kakinya dengan pelan lalu tak menolak pelukannya lagi.Setelah beberapa saat, aku mengurai pelukan suamiku. Menatap netranya dengan tatapan sendu."Kamu tak tahu bagaiman cemasnya aku, Bi? Aku hampir jantungan gara-gara ulahmu. Aku kira akan ditinggal lagi untuk selamanya. Kamu gak tahu kan, bagaimana rasanya orang yang dicintai terbujur kaku, Bi? Aku mohon, jangan bersikap seperti ini lagi. Aku mencintaimu dan tak ingin kehilangmu," tuturku, lalu memeluk suamiku sambil memejamkan mata.Ya Robbi, terimakasih masih memberikan kesempatan untuk berbahagia."Aku tak meragukan kesetiaanmu, Sayang. Aku hanya berusaha menjauhkan Inayah dari kita. Kamu lihat, kan, dia tak pernah tulus mencintaiku. Aku memang yang salah karena tak memberitahu terlebih dahulu," ujar Bian dengan suara serak. Aku tahu, dia pun ikutan menangis.Aku tak bisa marah terlalu lam
Dari pukul sepuluh hingga salat zhuhur, aku dan Bian belum menemukan putra kami. Beberapa tetangga juga ikut membantu mencari, meskipun kata mereka tak melihat Boy keluar rumah. "Coba cari dalam rumah dulu, Bian. Mana tahu dia sedang tidur di rumah," ujar tetangga samping rumah. Iya juga, ya. Kenapa kami tak kepikiran akan hal itu? Kami pun masuk dengan langkah gontai. "Gimana? Ketemu, gak?" desak Ibu mertua. Padahal beliau pun melihat kalau tak ada cucunya kami bawa. Rasa khawatir kentara di wajahnya. Aku menggeleng lemah, lalu duduk di sofa berwarna coklat. "Ke dalam kamar aja, Ca. Kamu istirahat, biar aku yang cari lagi," usul Bian yang tak bisa kutolak lagi. Kakiku sudah pegal semua. Jujur aku cemas, pikiran tak karuan. Untung saja Bian selalu mengajakku berhuznuzon kalau semua akan baik-baik saja. Aku dan Bian masuk ke kamar dan langsung mencari Boy. Aku membeliakkan mata saat melihat satu telapak kaki kecil berasal dari bawah tempat tidur kami yang terbuat dari kayu jat
"Sehat, Ca. Apa kamu mau ngomong sama Papa? Papa kamu sudah sangat rindu."Aku mengangguk, tapi menimbulkan salah paham di seberang sana. Kami bicara melewati sambungan telpon biasa, tentu saja mereka tak melihat anggukanku. "Kalau Carisa gak mau ngomong sama Papa, gak apa-apa. Yang penting dia sudah bahagia dengan Bian. Jangan merusak suasana hatinya, Ma."Ya Allah, pipiku semakin dialiri cairan hangat. Dulu aku memang kesal sama keegoisan Papa hingga malas bicara dengan beliau. Tapi sikapku sudah melunak sejak beberapa bulan lalu. "Papa, Carisa sayang banget sama Papa," lirihku."Apa? Coba ulangi lagi, Nak?" Suara Papa terdengar jelas, sepertinya sudah mengambil alih ponsel Mama. "Carisa sayang sama Papa. Papa adalah kesayangan Carisa. Maafkan anak Papa yang sering membuat Papa sedih," tuturku. "Papa juga sayang sama kamu, Nak. Jaga kesehatan kamu di sana. Cuma kamu buah hati kami," balas Papa. Rasa nyeri terasa menusuk ulu hati. Bukan karena kesedihan, melainkan rasa haru yang
Membahagiakan Ibu adalah salah satu tujuan hidupku. Aku yakin, tak mudah bagi Ibu meninggalkan rumah dimana beliau dilahirkan, tumbuh dan membesar di sana. Di rumah itu juga lah jadi saksi kedua orang tuaku menjalani kehidupan dalam berumah tangga.Ya, rumah itu adalah peninggalan kedua orang tua dari Ibu. Karena Bapak tak punya siapa-siapa di kota, beliau ikut tinggal di rumah Ibu.Mungkin, di setiap sudut rumah tua yang sudah direnovasi beberapa kali itu memiliki banyak kenangan manis. Tidak ada memang yang memaksa Ibu harus tinggal di Sidimpuan ini, tapi kerinduan itu pasti ada.Aku juga sama, tapi tidak terlalu kentara karena cintaku ada di sini, bersamaku. Namun aku tak menyangka kalau Caca juga merindukan rumahnya. Kerinduan yang wajar memang."Kita berangkat saja, Bi. Kasihan Ibu, beliau hanya ingin berziarah ke makam Bapak. Kita berserah diri saja pada Allah. Semoga tidak ada halangan yang berarti di sana," ujar Caca."Beneran, Ca?" tanyaku antusias."Iya, Bi.""Makasih, ya, S