"Aku tahu kok, Bi, kamu baru ketemu sama Inayah," ujarku setelah kami menghabiskan cendol yang Bian bawa. Seketika Bian terbatuk, lalu meminum air putih yang sudah kusediakan."Kamu kok tahu? Apa Inayah yang kasih tahu kamu?" tanya Bian setelah menguasai keadaan. Wajahnya sedikit pucat, lalu nyengir."Aku sempat denger pas dia datang. Siapa sih yang bisa tidur lagi saat mantan istri suaminya datang ke rumah dan mengajak keluar?" tanyaku seraya tersenyum."Maaf, aku hanya …." Bian terlihat salah tingkah."Lalu aku ikutin deh kalian biar Hi lebih lega. Makasih, ya, Sayang, kamu tak terpengaruh dengan ucapan Inayah. Aku gak ada hubungan dengan Rino, kok. Sengaja tak memberi tahu kamu karena tak ingin kepikiran. Aku sudah blokir dia juga agar tidak mengusik ketenangan hati kita," tuturku.Tadi aku merasa bersalah karena kesannya tidak percaya pada suami sendiri. Sempat merasa curiga, tapi semua terpatahkan dengan menyaksikan sendiri bagaimana cara Bian menghadapi mantannya."Kamu tidak ma
"Udah, Ca. Bibi minta maaf karena bikin kamu cemas. Aku tidak bermaksud loh, Beib," ujar Bian merangkulku dengan erat. Aku terus saja memukul kakinya dengan pelan lalu tak menolak pelukannya lagi.Setelah beberapa saat, aku mengurai pelukan suamiku. Menatap netranya dengan tatapan sendu."Kamu tak tahu bagaiman cemasnya aku, Bi? Aku hampir jantungan gara-gara ulahmu. Aku kira akan ditinggal lagi untuk selamanya. Kamu gak tahu kan, bagaimana rasanya orang yang dicintai terbujur kaku, Bi? Aku mohon, jangan bersikap seperti ini lagi. Aku mencintaimu dan tak ingin kehilangmu," tuturku, lalu memeluk suamiku sambil memejamkan mata.Ya Robbi, terimakasih masih memberikan kesempatan untuk berbahagia."Aku tak meragukan kesetiaanmu, Sayang. Aku hanya berusaha menjauhkan Inayah dari kita. Kamu lihat, kan, dia tak pernah tulus mencintaiku. Aku memang yang salah karena tak memberitahu terlebih dahulu," ujar Bian dengan suara serak. Aku tahu, dia pun ikutan menangis.Aku tak bisa marah terlalu lam
Dari pukul sepuluh hingga salat zhuhur, aku dan Bian belum menemukan putra kami. Beberapa tetangga juga ikut membantu mencari, meskipun kata mereka tak melihat Boy keluar rumah. "Coba cari dalam rumah dulu, Bian. Mana tahu dia sedang tidur di rumah," ujar tetangga samping rumah. Iya juga, ya. Kenapa kami tak kepikiran akan hal itu? Kami pun masuk dengan langkah gontai. "Gimana? Ketemu, gak?" desak Ibu mertua. Padahal beliau pun melihat kalau tak ada cucunya kami bawa. Rasa khawatir kentara di wajahnya. Aku menggeleng lemah, lalu duduk di sofa berwarna coklat. "Ke dalam kamar aja, Ca. Kamu istirahat, biar aku yang cari lagi," usul Bian yang tak bisa kutolak lagi. Kakiku sudah pegal semua. Jujur aku cemas, pikiran tak karuan. Untung saja Bian selalu mengajakku berhuznuzon kalau semua akan baik-baik saja. Aku dan Bian masuk ke kamar dan langsung mencari Boy. Aku membeliakkan mata saat melihat satu telapak kaki kecil berasal dari bawah tempat tidur kami yang terbuat dari kayu jat
"Sehat, Ca. Apa kamu mau ngomong sama Papa? Papa kamu sudah sangat rindu."Aku mengangguk, tapi menimbulkan salah paham di seberang sana. Kami bicara melewati sambungan telpon biasa, tentu saja mereka tak melihat anggukanku. "Kalau Carisa gak mau ngomong sama Papa, gak apa-apa. Yang penting dia sudah bahagia dengan Bian. Jangan merusak suasana hatinya, Ma."Ya Allah, pipiku semakin dialiri cairan hangat. Dulu aku memang kesal sama keegoisan Papa hingga malas bicara dengan beliau. Tapi sikapku sudah melunak sejak beberapa bulan lalu. "Papa, Carisa sayang banget sama Papa," lirihku."Apa? Coba ulangi lagi, Nak?" Suara Papa terdengar jelas, sepertinya sudah mengambil alih ponsel Mama. "Carisa sayang sama Papa. Papa adalah kesayangan Carisa. Maafkan anak Papa yang sering membuat Papa sedih," tuturku. "Papa juga sayang sama kamu, Nak. Jaga kesehatan kamu di sana. Cuma kamu buah hati kami," balas Papa. Rasa nyeri terasa menusuk ulu hati. Bukan karena kesedihan, melainkan rasa haru yang
Membahagiakan Ibu adalah salah satu tujuan hidupku. Aku yakin, tak mudah bagi Ibu meninggalkan rumah dimana beliau dilahirkan, tumbuh dan membesar di sana. Di rumah itu juga lah jadi saksi kedua orang tuaku menjalani kehidupan dalam berumah tangga.Ya, rumah itu adalah peninggalan kedua orang tua dari Ibu. Karena Bapak tak punya siapa-siapa di kota, beliau ikut tinggal di rumah Ibu.Mungkin, di setiap sudut rumah tua yang sudah direnovasi beberapa kali itu memiliki banyak kenangan manis. Tidak ada memang yang memaksa Ibu harus tinggal di Sidimpuan ini, tapi kerinduan itu pasti ada.Aku juga sama, tapi tidak terlalu kentara karena cintaku ada di sini, bersamaku. Namun aku tak menyangka kalau Caca juga merindukan rumahnya. Kerinduan yang wajar memang."Kita berangkat saja, Bi. Kasihan Ibu, beliau hanya ingin berziarah ke makam Bapak. Kita berserah diri saja pada Allah. Semoga tidak ada halangan yang berarti di sana," ujar Caca."Beneran, Ca?" tanyaku antusias."Iya, Bi.""Makasih, ya, S
"Kamu kenapa, Bi?" tanya Caca, membuyarkan lamunanku. "Eh?" Aku menatap sekeliling. "Ayo turun, Ibu sama Boy udah nungguin loh," ujar Caca. Aku mengusap wajah dengan pelan, lalu turun dari taksi online yang sudah berhenti sejak tadi. Aku mengikuti nenek dan cucunya itu masuk ke rumah mertuaku. Binar bahagia terpancar di wajah kedua mertuaku. Mereka tentu tak menyangka kalau kami akan datang ke sini, apalagi tidak dikabari sebelumnya. Boy tentu jadi idola, tak hentinya dihadiahi ciuman dari kakek neneknya. "Assalamualaikum!" sapa orang dari luar. Aku menoleh pada Caca. Itu seperti suara mantan mertua istriku. Dengan sigap Caca membuka pintu. "Ya Allah, Nak, kamu di sini? Kok gak ngabarin Mami? Ponsel kamu juga tak bisa dihubungi sejak tiga hari yang lalu. Mami kangen loh, Nak," lirih ibunya Reno. Keduanya berpelukan. "Namanya juga surprise, Mi.""Papaaaaaaaaaa!"Teriakan Boy yang lumayan kencang membuat kami semua menoleh. Aku terkejut bukan karena suaranya, melainkan kata
"Ada apa ini? Kok kamu sampai jatuh sih, Sayang?" tanya maminya Rino, membantu putranya berdiri. Dia terlihat cemas dan membolak-balik badan Rino, memeriksa apakah ada yang terluka."Gak ada apa-apa, Mi. Aku cuma terjatuh pas mau berdiri," balas lelaki itu, sedikit meringis dan melirikku sekilas.Kenapa dia harus berbohong? Padahal kalau dia mau, bisa saja mengatakan yang sebenarnya kalau aku telah memukul perutnya."Papa sakit?" tanya Boy cemas.Ya Allah, dia bukan papamu, Nak."Enggak kok, Sayang. Hanya sedikit."Wajah Rino membuatku muak. Dia meringis di depan putraku hingga Boy menarik tangan lelaki itu agar duduk di sofa.Tangan mungilnya mengusap-usap betis Rino yang katanya sakit. Tentu saja aku merasa tak nyaman melihat pemandangan ini karena sudah mendengar sendiri penuturan Rino tadi. Dia ingin merebut cintaku seperti yang dilakukan saudaranya.Apa di dunia ini tak ada lagi wanita lajang yang pas buatnya?Jika aku menjelaskan sekarang pada Boy bahwa lelaki tadi bukan papanya
"Pokoknya kamu juga harus nikah. Carisa udah mau nikah dan dia akan tingal di kampung suaminya itu. Siapa lagi yang jadi menantu Mami?" desak Mami. Aku berdecak kesal. Dulu Reno yang selalu jadi patokan kesuksesan. Sekarang, istrinya lah yang jadi acuan menjadi orang bahagia."Kalau gitu, nikahkan saja aku sama Carisa," balasku cuek. Mata Mami membeliak, lalu memegang kedua bahuku. "Kamu serius?""Iya. Sepertinya aku mulai menyukai janda itu."Mami terlihat bahagia, lalu kembali murung. Duduk di sofa dengan bahu terkulai. "Tapi sayangnya semua udah terlambat, Rino. Kamu sih, dulu pakai acara nolak segala. Coba kamu ikuti alur yang Mama buat, pasti sekarang kita akan berkumpul lagi sebagian keluarga yang utuh."Mami mengusap wajah dengan pelan. "Kamu coba pedekate sama anak temen Mami deh. Gak mungkin Mami ngerusak kebahagiaan Carisa dengan memaksanya menikah denganmu. Bisa rusak citra baik Mami."Aku berdecak lagi. Katanya ingin Carisa jadi menantunya lagi, tapi Mami gak sungguh-