[Seseorang yang mau marah jika kita salah, itulah sebenar-benarnya orang yang peduli dan sayang. Bukan malah cuek diam saja ketika sudah melakukan hal konyol seperti kamu] balasku, memancing emosinya. Sedang mengetik. Beberapa menit berlalu, belum juga masuk balasan. Sebenarnya aku penasaran, tapi sayang waktuku untuk menunggu. Aku menyimpan ponsel dan duduk di sisi ranjang. Mungkin saja Inayah mau mengirim pesan panjang lebar padaku. Semacam pidato pembina upacara saat hari senin. "Ma, aku kangen sama Papa," celetuk Boy. Bocah itu masuk kamar sambil mendekap sebuah foto dengan bingkai berwarna emas. Di sana ada aku, Boy dan Mas Reno."Mama juga kangen, Nak. Jangan lupa doakan Papa, ya," ujarku sambil mengelus kepala putraku. Bocah itu tersenyum dan mengangguk.Anak lelakiku itu mengusap foto wajah almarhum suamiku yang tersenyum semringah sambil menggendong Boy yang sudah bisa jalan. Kami seperti pasangan bahagia. Padahal, senyumku waktu itu hanya terpaksa agar terlihat sebagai k
"Bu! Bangun, Bu! Apa Ibu sakit?"Mbak Tika membangunkanku sambil menepuk-nepuk lengan. Aku mengerjap beberapa kali, lalu memicingkan mata. "Memangnya jam berapa, Mbak?""Udah pukul 05.30, Bu," balasnya dengan wajah cemas. Aku melonjak kaget dan langsung duduk sebentar, lantas masuk kamar mandi. Begitu lelahnya pikiran hingga jam weker tak mampu membangunkanku. Bukan karena takut terlambat ke kantor, tapi takut terlewat shubuh. Aku memang tidak alim, tapi satu pinta Mas Reno membuatku semakin jarang meninggalkan salat. Itulah sebabnya, jika aku tidak sedang datang bulan, aku akan meminta Mbak Tika membangunkanku bila terlambat. Dan itu jarang terjadi. "Nanti setelah Mas tiada, salatmu jangan pernah lupa, ya, Beb. Do'akan Mas agar diampuni dosa-dosanya selama hidup. Kalau kamu mau membina rumah tangga lagi, menikah lah dengan lelaki yang kamu cintai," pesannya kala itu. Hampir setiap selesai salat, dia mengucapkan hal yang sama. Tubuh ringkih itu tak lagi bisa salat berdiri sempurna,
"Stop! Ini kantorku. Kalian mau pamer kemesraan atau nyari kerjaan?" tanyaku dengan suara tegas. Muak melihat Inayah yang merengek terus dan juga merajuk kepada suaminya hingga tangan kokoh Bian mengelus-elus pucuk kepala wanitanya. "Kami butuh pekerjaan, Ca," balas Inayah dengan tatapan memohon.Inayah bisa diibaratkan bunglon yang mudah berubah warna. Sikapnya tidak bisa ditebak. Suasana hatinya juga tak pasti. Aku tahu keahlian Bian, sangat lihai dalam pemasaran. Mungkin karena tutur katanya yang lembut dan sopan membuat calon customer jadi yakin apa pun produk atau jasa yang ditawarkan Bian tidak akan mengecewakan. "Kalau Bian mau, bisa menjadi staff marketing. Untuk satu ini, cuma itu yang kurang," ujarku. "Kok cuma staff? Jadi manajer saja kenapa?" protes Inayah dengan tidak tahu dirinya. "Bukan apa-apa, kami lagi butuh banyak uang," lanjutnya dengan wajah sendu. Bian memberi kode agar istrinya diam. Kasihan kamu, Bi. Sebenarnya kalian bahagia atau hanya pura-pura? Seperti
Salah satu caraku untuk meringankan beban pikiran adalah berbicara dengan Boy, meskipun cuma video call. Senyumannya yang natural dan ceria membuat semangatku kembali bergelora. Aku kerja demi dia juga. Walupun kami memiliki aset yang lumayan, tapi bila tidak dikelola dengan baik, bisa saja hancur sebelum Boy dewasa.Aku tidak mau itu terjadi. Aku ingin membersamainya selalu dan menyiapkan keuangan yang memadai. Setiap orang tua tentu tak ingin anaknya kesusahan. Begitu juga denganku.Jam makan siang, aku mengajak Bian makan di resto yang letaknya tepat di depan kantor ini. Dia tak menolak, tapi tetap menjaga jarak saat kami menyebrang jalan menuju tempat makan favoritku itu."Gimana kerjanya, Bi? Sudah bisa beradaptasi dengan staff yang lain, kan?" tanyaku sambil menunggu pesanan kami datang."Lumayan, Bu," balasnya kaku."Ini di luar kantor, Bi. Tak apa kalau kita saling panggil nama," ujarku.Ia tersenyum tipis, lalu memandang ke tempat lain. Resto ini selalu ramai setiap jam makan
Cukup lama aku termenung di resto ini hingga pengunjung mulai sepi, karena jam makan siang sudah usai. Semua makanan belum terjamah. Rasa lapar yang mendera tadi sebelum ke sini mendadak hilang gara-gara tahu luka yang ditanggung Bian. Mungkin aku juga salah, tak berani melawan dengan tegas. Bisa saja aku lari, kan? Tapi aku juga terlalu takut kalau Mama dan Papa bertengkar yang bisa membuat wanita kesayanganku jatuh sakit. Hidup memang kadang tak bisa memberikan kita pilihan terbaik. Bagai memakan buah simalakama. Dimakan atau dibuang, tetap saja ada resikonya."Kok belum dimakan, Bu Carisa? Apa rasa makanan resto kami mengalami penurunan kualitas?" tanya Lina, manajer tempat makan ini dengan raut wajahnya yang cemas. Aku tersenyum terpaksa. Ia pasti khawatir melihatku belum menyentuh makanan kesukaanku itu. Dia adalah teman lamaku juga, tapi tidak terlalu akrab sebelumnya. Setelah sering makan di sini, barulah komunikasi kami membaik. "Ah, tidak. Aku cuma merasa kurang enak bad
"Setia itu pilihan, Bu. Jika ada cinta yang hadir setelah pernikahan, itu ujian," tegas Bian yang membuatku menarik napas dalam. Mungkin aku hanya salah sangka dan terlalu kepedean kalau Bian belum bisa move on.Aku memberikan Boy kepada Mbak Tika, lalu memutar badan, mendekati keluarga itu. "Iya, Bu. Ibu cuma salah sangka. Bian baru kerja hari ini di perusahaan yang didirikan mendiang suami Caca. Dia jadi staff dan juga sopir pribadi aku, Bu," jelasku. "Loh, Bian dipecat dari kantor lama? Kok Ibu gak tahu? Sejak menikah dengan Inayah, anak ini memang tak pernah cerita lagi sama Ibu. Bahkan berkunjung saja jarang." Bu Ranti kelihatan kecewa. "Sudahlah, Bu. Jangan bertengkar di sini? Malu sama Kak Caca," ujar Nisa menengahi. Bian membuang muka, lalu mengambil kunci mobil dan menyerahkannya padaku. "Saya pulang dulu, Bu. Ini kuncinya.""Loh, rumah kamu kan, lumayan jauh. Bawa saja mobilnya. Lagian besok kamu harus menjemputku lagi," balasku dan menyerahkan kunci. "Oh iya, apa Ibu
Selain terkejut karena Bian kenal suamiku, ada satu kata yang membuatku merasa antara senang dan juga sedih.Dia menyebutku istrinya? Baru sekali ini aku mendengarnya."Memangnya Abang kenal suami Kak Caca?" tanya Anisa."Ya, kenal banget. Dia bosnya Abang di kantor lama. Pernah dia melihat Caca saat mengantar makanan ke kantor dan mengatakan kalau suka sama Caca. Abang kira waktu itu cuma bercanda," jelasnya.Aku membulatkan mata dan menutup mulut. Ini di luar dugaan.Benarkah dunia sesempit ini?Aku memang sesekali datang ke kantor Bian, tapi hanya sampai lobi karena sudah menelpon terlebih dahulu. Selebihnya aku bantu Papa di kantor, tidak terlalu fokus karena merasa gak punya bakat dalam hal itu. Mungkin karena merasa cukup juga, tidak pernah kekurangan sehingga berleha-leha."Atau kamu sudah mengenalnya sebelum kalian pergi dari kota ini, Ca? Kekayaannya telah membuatmu meninggalakanku?" tuduh Bian."Enggak, kami tak pernah saling kenal sebelumnya, Bi. Kenapa kamu berpikir kalau
Anisa mengusap-usap punggung ibunya, lalu berpelukan dengan erat. Kami berempat membisu cukup lama. Tak terasa, matahari hampir tenggelam di ufuk barat. Aku menatap nanar semburat warna merah menerobos melalui ventilasi. Senja yang lumayan indah, tapi tak sejalan dengan rumitnya persoalan dalam rumah ini. Aku sibuk dengan isi kepala hingga suara dering telepon membuatku tersadar. Ternyata itu suara ponsel Bian. Dia sedikit menjauh, lalu dengan tutur katanya langsung bisa ketebak kalau yang menghubunginya adalah Inayah, istri sah Bian sekarang. Dia mungkin cemas karena suaminya terlambat pulang, tapi kenapa wanita berparas manis itu tidak cemas mempertemukan aku dan Bian? Inilah salah satu yang aku khawatirkan, takut menambah luka lagi. Aku sudah terlalu lama memendam luka dan rasa bersalah. Pertama saat menikah dengan Mas Reno dan meninggalkan Bian, aku terus menyalahkan diri, menangis dalam keheningan. Aku berusaha mencintai suamiku, tapi tak mampu. Kami hanya pura-pura bahagia d