Cukup lama aku termenung di resto ini hingga pengunjung mulai sepi, karena jam makan siang sudah usai. Semua makanan belum terjamah. Rasa lapar yang mendera tadi sebelum ke sini mendadak hilang gara-gara tahu luka yang ditanggung Bian. Mungkin aku juga salah, tak berani melawan dengan tegas. Bisa saja aku lari, kan? Tapi aku juga terlalu takut kalau Mama dan Papa bertengkar yang bisa membuat wanita kesayanganku jatuh sakit. Hidup memang kadang tak bisa memberikan kita pilihan terbaik. Bagai memakan buah simalakama. Dimakan atau dibuang, tetap saja ada resikonya."Kok belum dimakan, Bu Carisa? Apa rasa makanan resto kami mengalami penurunan kualitas?" tanya Lina, manajer tempat makan ini dengan raut wajahnya yang cemas. Aku tersenyum terpaksa. Ia pasti khawatir melihatku belum menyentuh makanan kesukaanku itu. Dia adalah teman lamaku juga, tapi tidak terlalu akrab sebelumnya. Setelah sering makan di sini, barulah komunikasi kami membaik. "Ah, tidak. Aku cuma merasa kurang enak bad
"Setia itu pilihan, Bu. Jika ada cinta yang hadir setelah pernikahan, itu ujian," tegas Bian yang membuatku menarik napas dalam. Mungkin aku hanya salah sangka dan terlalu kepedean kalau Bian belum bisa move on.Aku memberikan Boy kepada Mbak Tika, lalu memutar badan, mendekati keluarga itu. "Iya, Bu. Ibu cuma salah sangka. Bian baru kerja hari ini di perusahaan yang didirikan mendiang suami Caca. Dia jadi staff dan juga sopir pribadi aku, Bu," jelasku. "Loh, Bian dipecat dari kantor lama? Kok Ibu gak tahu? Sejak menikah dengan Inayah, anak ini memang tak pernah cerita lagi sama Ibu. Bahkan berkunjung saja jarang." Bu Ranti kelihatan kecewa. "Sudahlah, Bu. Jangan bertengkar di sini? Malu sama Kak Caca," ujar Nisa menengahi. Bian membuang muka, lalu mengambil kunci mobil dan menyerahkannya padaku. "Saya pulang dulu, Bu. Ini kuncinya.""Loh, rumah kamu kan, lumayan jauh. Bawa saja mobilnya. Lagian besok kamu harus menjemputku lagi," balasku dan menyerahkan kunci. "Oh iya, apa Ibu
Selain terkejut karena Bian kenal suamiku, ada satu kata yang membuatku merasa antara senang dan juga sedih.Dia menyebutku istrinya? Baru sekali ini aku mendengarnya."Memangnya Abang kenal suami Kak Caca?" tanya Anisa."Ya, kenal banget. Dia bosnya Abang di kantor lama. Pernah dia melihat Caca saat mengantar makanan ke kantor dan mengatakan kalau suka sama Caca. Abang kira waktu itu cuma bercanda," jelasnya.Aku membulatkan mata dan menutup mulut. Ini di luar dugaan.Benarkah dunia sesempit ini?Aku memang sesekali datang ke kantor Bian, tapi hanya sampai lobi karena sudah menelpon terlebih dahulu. Selebihnya aku bantu Papa di kantor, tidak terlalu fokus karena merasa gak punya bakat dalam hal itu. Mungkin karena merasa cukup juga, tidak pernah kekurangan sehingga berleha-leha."Atau kamu sudah mengenalnya sebelum kalian pergi dari kota ini, Ca? Kekayaannya telah membuatmu meninggalakanku?" tuduh Bian."Enggak, kami tak pernah saling kenal sebelumnya, Bi. Kenapa kamu berpikir kalau
Anisa mengusap-usap punggung ibunya, lalu berpelukan dengan erat. Kami berempat membisu cukup lama. Tak terasa, matahari hampir tenggelam di ufuk barat. Aku menatap nanar semburat warna merah menerobos melalui ventilasi. Senja yang lumayan indah, tapi tak sejalan dengan rumitnya persoalan dalam rumah ini. Aku sibuk dengan isi kepala hingga suara dering telepon membuatku tersadar. Ternyata itu suara ponsel Bian. Dia sedikit menjauh, lalu dengan tutur katanya langsung bisa ketebak kalau yang menghubunginya adalah Inayah, istri sah Bian sekarang. Dia mungkin cemas karena suaminya terlambat pulang, tapi kenapa wanita berparas manis itu tidak cemas mempertemukan aku dan Bian? Inilah salah satu yang aku khawatirkan, takut menambah luka lagi. Aku sudah terlalu lama memendam luka dan rasa bersalah. Pertama saat menikah dengan Mas Reno dan meninggalkan Bian, aku terus menyalahkan diri, menangis dalam keheningan. Aku berusaha mencintai suamiku, tapi tak mampu. Kami hanya pura-pura bahagia d
"Mama kenapa?" tanya Boy panik. Ia menghambur ke pelukanku. Bu Ranti dan Nisa berpandangan. Mungkin mereka juga sama terkejutnya. "Mama gak apa-apa, Sayang. Kita makan, ya, sekarang. Om, Tante dan Nenek mau pulang sebentar lagi," balasku seraya tersenyum.Boy membulatkan mulut, mengangguk, lalu berlari lagi ke dekat Bian. Sekarang ia mengajak bermain pesawat dengan asyiknya karena Bian juga sempat berdiri karena suaraku yang terlampau kuat. Aku tak menyangka saja kalau Bian harus mengalami hal setragis itu. Tidak akan pernah punya anak lagi. Apakah Inayah sengaja ingin membuang suaminya karena tak akan bisa kasih keturunan? Atau dia sengaja ingin menyatukan kami berdua? Entahlah."Jangan bilang sama Bian kalau aku tahu tentang musibah ini, ya, Bu. Aku tak ingin dia rendah diri di hadapanku," ujarku pelan. Itu pasti aib/kekurangan baginya. "Iya, Ca. Maaf jika Ibu terkesan egois karena ingin kamu menikah dengan anak Ibu yang tak lagi sempurna. Tapi Ibu hanya ingin melihat dia bah
"Assalamualaikum, Boy."Aku menghela napas lega, ternyata Bian yang menelpon. Aku memberikan ponselku pada Boy, menyimak mereka yang sedang mengobrol dengan seru. Boy seperti anak seumurannya lagi aktif-aktifnya bertanya segala hal yang tak penting sekalipun, tapi Bian menjawab dengan sabar. Dia memang ayah yang baik. Mereka sudah sangat akrab dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam. Bagaimana jika sering bertemu? Apa mungkin aku akan diabaikan putraku? "Udah nelponnya, ya, Nak. Udah malam. Om harus istirahat karena besok mau kerja lagi," ujarku memperingatkan. "Iya, Ma. Dadah Om," balas Boy, memberikan ponselku lantas naik ke ranjang. Aku menyelimutinya dan mengecup kening jagoanku itu. "Caca!" Itu suara Bian. Aku menatap layar ponsel yang ternyata masih tersambung. "Ya," balasku singkat. Menekan dada yang bergemuruh. Ah, gara-gara tantangan Inayah, aku seperti pelakor. Sekarang malah bicara malam-malam dengan suami orang."Jangan begadang! Assalamualaikum," tandasnya. Si
"Percaya pada suami itu harus, tapi jangan menguji kesetiaannya dengan memberi peluang untuk berpaling." (Carisa) * Suara ketukan di pintu ruanganku terdengar nyaring. Fokusku yang sedang memilih makanan dari aplikasi online jadi teralihkan. Ini kan, jam makan siang. Siapa, ya? "Masuk!" titahku kemudian. Ternyata Bian. "Bu Carisa, bagaimana kalau kita makan siang di resto depan? Sebenarnya aku lapar melihat makanan kemarin, tapi …." Aku mendongak karena sedang duduk dan dia berdiri di sampingku. Terdengar aneh saat dia memanggilku 'bu'. "Maaf, itu memang salahku. Tak seharusnya aku mengungkit tentang …." "Enggak, Bu Carisa. Berhenti mengatakan maaf. Semua ada hikmahnya. Sebagai permintaan maaf, aku yang akan traktir," potongnya dengan tatapan memohon. Aku menahan napas, lalu membuangnya dengan pelan-pelan. Tersenyum tipis dan mengangguk. Astaga, aku merasa seperti pertama kali diajak kencan oleh calon suami. "Alhamdulillah, makasih, ya, Bu Caca." "Tidak ada kata maaf dan j
"Oh iya, tadi kamu kok gak balas pesanku? Padahal kulihat kamu sedang mengetik, tapi jadi dikirim. Ada apa? Jarimu tak sanggup mengetik karena dikalahkan tangisanmu yang deras?" bisikku. Inayah terlihat terkejut, menatapku dengan tajam. Ia berdecak meremehkan "Menangis? Buat apa? Aku tahu kalau kamu hanya mencoba memanas-manasiku. Cuman tadi aku lagi sibuk saja," jelasnya. Aku membuka tas hitam yang selalu kubawa, lantas mengeluarkan kaca kecil. Benda mungil itu sangat membantu menjaga penampilan jika seumpama ada berbagai rempah yang tersangkut di gigi. Gak asik kan kalau tertawa dan orang pun menertawakan kita. Aku meletakkan cermin berbentuk bulat itu di hadapannya. "Untuk apa ini?" sinisnya. "Aku sudah memastikan penampilanku sempurna sebelum ke sini," imbuhnya dengan pongah. Dia memang manis, terlihat kalem jika belum bicara. Tapi kalau sudah mengeluarkan kalimat-kalimat sombong dan nyelekit, dia tak ubahnya seperti wewe gombel. Menyeramkan. "Inayah ... Inayah. Kamu c