"Jangan memaksaku terlibat terlalu jauh. Mungkin sekarang kamu bangga, tapi siapa sangka ke depannya kamu bisa menangis," ujarku memperingatkan wanita ini.
"Kamu yang akan menangis. Aku tahu, kamu sudah jadi janda, kan? Pasti kamu sedang mencari mangsa baru." Nada bicaranya seperti mencemooh
"Mangsa? Kamu kira aku predator?" sergahku mulai tersinggung. Bahasanya semakin menyudutkanku, seolah ia telah jadi cctv kehidupanku. Mengetahui detail seluk beluk hidup yang kujalani.
Atau dia ingin membuatku marah di rumahnya sendiri? Biar Bian tahu seperti apa diriku kalau sedang dikuasai amarah?
Pikiran wanita yang memakai piyama warna coklat ini susah ditebak.
"Maaf, kata-kataku mungkin terlalu kasar. Aku cuma tidak ingin kamu kesepian," balasnya, tersenyum menyeringai.
Ah, dia ternyata musang berbulu ayam.
"Sepertinya kamu terlalu mengurusi hidupku," cetusku, menatap matanya dengan tajam.
"Kamu juga mengurusi hidupku. Buktinya, kamu sering stalking akunku, kan?"
Si@l, aku lupa kalau bisa melacak siapa yang sering stalking akun. Memang beberapa hari terakhir, aku menyusuri wall f******knya.
"Sudahlah, Inayah. Aku punya banyak urusan," balasku dan berjalan keluar, tapi kaki jenjangnya ikut menyusulku sampai ke dekat mobil.
"Kamu mengaku kalah? Tidak akan sanggup menggoda suamiku? Ck, tadi kamu kelihatan percaya diri ingin menjadi benalu dalam rumah tanggaku. Pasti melihat dinginnya sikap Bang Bian, nyali kamu kayak kerupuk disiram air panas. Ya, langsung melempem," sindirnya, lalu terkekeh sekilas.
Aku memutar badan, meletakkan jari telunjuk di dagu.
"Aku pikir kamu teman sekolah yang sengaja menggodaku. Bisa saja seseorang melakukan operasi plastik hingga wajahnya tak kukenali lagi. Tapi aku salah besar, kamu masa depan dari pria masa laluku. Asal kamu tahu, aku tak tertarik lagi padanya. Kisah kami sudah usai setelah aku memutuskan menikah dengan orang lain."
Aku melangkah pelan mendekatinya. Kami saling melempar senyum.
"Tapi kalau kamu menantangku apakah bisa meraih perhatian lelaki yang kamu banggakan, kamu salah besar. Bersiaplah untuk tukar posisi. Kamu jadi masa lalu dan aku masa depannya," lanjutku, membuka kaca mata yang sering membuatku terlihat cupu.
Benda itu kupakai karena tuntutan pekerjaanku yang sering duduk di depan layar komputer. Sengaja juga menggunakan kaca mata tebal dan besar agar penampilanku tidak mengundang ketertarikan pria hidung belang.
Senyuman Inayah sedikit memudar. Aku yakin dia sudah takut sekarang. Tapi dugaanku ternyata salah. Dia mengulurkan tangan.
"Aku tunggu bukti kepercayaan dirimu!" ujarnya.
"Oke, tunggu saja," balasku, menjabat tangannya dengan erat. Aku masuk ke mobil dan langsung tancap gas dengan pikiran yang berkecamuk. Sore ini aku telah membuang waktuku yang berharga dengan sia-sia. Harusnya aku bisa menemani Boy yang sedang tidak enak badan, tapi entah dorongan dari mana menuntunku sampai ke rumah teman yang kudapatkan dari medsos.
Tapi, bayangan Bian mulai berjejal di ingatan. Dia tak jauh berubah dengan sosok yang kukenal lima tahun yang lalu. Pandangannya yang meneduhkan masih sama, tapi sayangnya tidak tertuju lagi padaku.
Astaghfirullah.
Aku mengusap wajah sesaat, lalu menghembuskan napas dengan kasar. Kembali fokus dengan kemudi.
Sesampainya di halaman, aku dikejutkan dengan suara tangisan Boy. Dengan tergesa aku membuka pintu mobil dan setengah berlari masuk ke rumah. Bocah yang wajahnya mirip dengan ayah biologisnya itu sedang menolak makan.
"Sayang, ada apa?" seruku.
"Dari tadi Boy nyariin Ibu. Badannya panas lagi, Bu. Saya mau ngasih makan dulu baru minum obat," beber Mbak Tika, perempuan muda yang sudah bersama kami sejak suamiku meninggal dua tahun lalu.
Aku menyuruh pengasuh anakku itu keluar, biar aku yang menanganinya.
"Maafin Mama ya, Nak. Hukum aja Mama, Nak," ujarku, memasang wajah memelas dan menadahkan tangan. Anak lelakiku memukul telapak tanganku, lalu memeluk tubuh ini.
"Mama jangan pergi lagi. Aku sayang Mama," lirihnya.
Aku mengangguk, lantas membalas pelukan bocah dengan perawakan agak subur itu. Dengan cepat aku membujuknya agar mau makan dan minum obat.
Boy tersenyum dan menuruti ucapanku. Sebenarnya dia anak yang baik dan penurut kepada Mbak Tika, tapi dia hanya akan mau dilayani olehku jika sedang sakit. Hanya saat sakit saja. Selebihnya dia akan berubah menjadi bocah yang menggemaskan.
*
Hampir jam sepuluh malam, aku baru memegang hape karena sibuk menemani Boy. Alhamdulillah, dia mulai lebih sehat.
[Hay, Ca. Ini nomor suamiku. Save ya]
Pesan yang masuk beberapa jam yang lalu. Ah, ini pasti kerjaan Inayah lagi. Sepertinya dia memang suka nyari penyakit.
Angka 1302 di ujung nomor ponsel. Nomornya sudah berganti karena memang aku hapal luar kepala. Namun kenapa harus angka 1302 lagi? Angka yang sama dengan tanggal ulang tahunku.
"Wanita itu suka ngambek kalau pasangan lupa tanggal lahirnya. Jadi biar gak pernah lupa, aku beli kartu yang akan mengingatkanku pada kelahiran wanita spesial di hati ini," ujarnya kala itu. Tapi, bukankah semuanya sudah berubah.
Aku meng-save nomor itu dan langsung memeriksa profilnya di aplikasi WA. Terpampang foto profil yang memperlihatkan Bian sedang memberikan cincin buat Inayah. Tatapannya mesra sekali.
[Tidak ada lagi tempat MANTAN di hati ini. Duhai istriku, sampai kapan pun hanya kamu di hatiku]
Caption di status WA Bian membuat dadaku bergemuruh. Ada potongan fotoku yang ditutupi stiker buaya dan satu lagi foto Inayah.
Aku jadi curiga kalau ini kerjaan dari Inayah, tapi seolah Bian yang menulisnya.
Baiklah, calon maduku, bersiaplah untuk pembalasanku.
"Nak, apakah sudah saatnya kamu tahu siapa bapak kandungmu?" gumamku, mengecup pucuk kepala bocah yang sudah tidur pulas itu. Aku menyimpan ponsel agak jauh, lalu merebahkan badan di samping anak lelakiku. Semoga kisah cintamu kelak tidak serumit kisah mamamu, Nak.*Inayah masih terus memamerkan kebaikan atau sikap romantis suaminya di media sosial, bahkan acapkali seperti menyindir para jomblo. Di story WA lebih intens lagi, baik menggunakan nomornya ataupun kontak yang katanya milik Bian. Aku jadi teringat ucapan Inayah. Katanya dia mengenalku melalui foto di rumah Bu Ranti yang merupakan ibunya Bian. Wanita yang sayang padaku itu juga masih mengingat diri ini. Benarkah begitu? Mungkin tak ada salahnya aku berkunjung ke sana. Boy sudah mendingan dan bisa kutinggal, makanya aku sekarang sedang ada di kantor. Setelah makan siang, aku bisa mengunjungi mantan calon mertuaku itu. Mungkin saja mereka masih tinggal di rumah yang sama. Kami memang tinggal di kota yang sama, tapi hari
"Bu, aku pulang dulu, ya. Kapan-kapan Ibu sama Nisa main ke rumahku," ujarku sambil menyerahkan kartu nama. Meskipun aku tak jadi bagian keluarga ini, tak salah dong kalau kami tetap menjalin hubungan baik. "Loh, kok Kak Caca cepat kali mau pulang? Minum dulu, baru boleh pulang," ujar Nisa yang sedang membawa nampan berisi tiga gelas cappucino. "Kamu sih, lama baru suguhkan minuman," protes Bu Ranti. "Gasnya habis, Bu, mau manasin airnya. Aku tadi ngutang ke warung depan dulu," balas Nisa, lalu nyengir saat Bu Ranti mendelik tajam. Ngutang? Apa hidup mereka sesusah itu sampai ngutang segala? Apakah Bian tak menyokong perekonomian keluarganya ini? Aku jadi prihatin. "Minum dulu, Ca. Kenapa harus buru-buru pulang sih?""Aku ada urusan lain, Bu," balasku, lalu mengambil cangkir keramik itu. Menyeruput isinya perlahan. Ah, aku seperti kembali ke masa lalu dan kini terulang kembali. Namun rasa kopi ini tak senikmat dulu karena hati sedikit nyeri mengingat cinta tak bisa memiliki. Ta
"Senyum itu sedekah. Jangan manyun begitu," candaku. "Kamu yang menyuruhku menggoda suamimu, lalu kenapa terlihat tak suka?"Aku meneguk sisa air minum seraya menatap istri Bian ini. Inayah tersenyum mengejek. Ia mendekatkan wajah ke arahku. "Aku hanya ingin meremas kepercayaan dirimu yang terlalu tinggi. Kamu memang pernah spesial di hati suamiku, tapi sekarang, kamu cuma bekas," ujarnya dengan pelan, tapi tegas. Aku menarik napas perlahan, jangan sampai terlihat emosi. Jujur saja, aku tak suka disebut 'bekas'. Meskipun tujuannya sama dengan mantan. "Sebenarnya kita sama-sama percaya diri. Tapi aku tidak akan meladeni kalau kamu minta agar permainan ini dihentikan. Bian bukan lah barang. Ia pasti akan kecewa kalau dirinya dijadikan sebagai bahan rebutan," balasku setelah memastikan Bian belum kembali. "Aku sudah bilang, silakan goda suamiku kalau kamu mampu. Di dunia ini banyak lelaki hidung belang, tapi terkecuali suamiku," tegasnya. Entah apa maksudnya bersikap begini? Apa dia
[Seseorang yang mau marah jika kita salah, itulah sebenar-benarnya orang yang peduli dan sayang. Bukan malah cuek diam saja ketika sudah melakukan hal konyol seperti kamu] balasku, memancing emosinya. Sedang mengetik. Beberapa menit berlalu, belum juga masuk balasan. Sebenarnya aku penasaran, tapi sayang waktuku untuk menunggu. Aku menyimpan ponsel dan duduk di sisi ranjang. Mungkin saja Inayah mau mengirim pesan panjang lebar padaku. Semacam pidato pembina upacara saat hari senin. "Ma, aku kangen sama Papa," celetuk Boy. Bocah itu masuk kamar sambil mendekap sebuah foto dengan bingkai berwarna emas. Di sana ada aku, Boy dan Mas Reno."Mama juga kangen, Nak. Jangan lupa doakan Papa, ya," ujarku sambil mengelus kepala putraku. Bocah itu tersenyum dan mengangguk.Anak lelakiku itu mengusap foto wajah almarhum suamiku yang tersenyum semringah sambil menggendong Boy yang sudah bisa jalan. Kami seperti pasangan bahagia. Padahal, senyumku waktu itu hanya terpaksa agar terlihat sebagai k
"Bu! Bangun, Bu! Apa Ibu sakit?"Mbak Tika membangunkanku sambil menepuk-nepuk lengan. Aku mengerjap beberapa kali, lalu memicingkan mata. "Memangnya jam berapa, Mbak?""Udah pukul 05.30, Bu," balasnya dengan wajah cemas. Aku melonjak kaget dan langsung duduk sebentar, lantas masuk kamar mandi. Begitu lelahnya pikiran hingga jam weker tak mampu membangunkanku. Bukan karena takut terlambat ke kantor, tapi takut terlewat shubuh. Aku memang tidak alim, tapi satu pinta Mas Reno membuatku semakin jarang meninggalkan salat. Itulah sebabnya, jika aku tidak sedang datang bulan, aku akan meminta Mbak Tika membangunkanku bila terlambat. Dan itu jarang terjadi. "Nanti setelah Mas tiada, salatmu jangan pernah lupa, ya, Beb. Do'akan Mas agar diampuni dosa-dosanya selama hidup. Kalau kamu mau membina rumah tangga lagi, menikah lah dengan lelaki yang kamu cintai," pesannya kala itu. Hampir setiap selesai salat, dia mengucapkan hal yang sama. Tubuh ringkih itu tak lagi bisa salat berdiri sempurna,
"Stop! Ini kantorku. Kalian mau pamer kemesraan atau nyari kerjaan?" tanyaku dengan suara tegas. Muak melihat Inayah yang merengek terus dan juga merajuk kepada suaminya hingga tangan kokoh Bian mengelus-elus pucuk kepala wanitanya. "Kami butuh pekerjaan, Ca," balas Inayah dengan tatapan memohon.Inayah bisa diibaratkan bunglon yang mudah berubah warna. Sikapnya tidak bisa ditebak. Suasana hatinya juga tak pasti. Aku tahu keahlian Bian, sangat lihai dalam pemasaran. Mungkin karena tutur katanya yang lembut dan sopan membuat calon customer jadi yakin apa pun produk atau jasa yang ditawarkan Bian tidak akan mengecewakan. "Kalau Bian mau, bisa menjadi staff marketing. Untuk satu ini, cuma itu yang kurang," ujarku. "Kok cuma staff? Jadi manajer saja kenapa?" protes Inayah dengan tidak tahu dirinya. "Bukan apa-apa, kami lagi butuh banyak uang," lanjutnya dengan wajah sendu. Bian memberi kode agar istrinya diam. Kasihan kamu, Bi. Sebenarnya kalian bahagia atau hanya pura-pura? Seperti
Salah satu caraku untuk meringankan beban pikiran adalah berbicara dengan Boy, meskipun cuma video call. Senyumannya yang natural dan ceria membuat semangatku kembali bergelora. Aku kerja demi dia juga. Walupun kami memiliki aset yang lumayan, tapi bila tidak dikelola dengan baik, bisa saja hancur sebelum Boy dewasa.Aku tidak mau itu terjadi. Aku ingin membersamainya selalu dan menyiapkan keuangan yang memadai. Setiap orang tua tentu tak ingin anaknya kesusahan. Begitu juga denganku.Jam makan siang, aku mengajak Bian makan di resto yang letaknya tepat di depan kantor ini. Dia tak menolak, tapi tetap menjaga jarak saat kami menyebrang jalan menuju tempat makan favoritku itu."Gimana kerjanya, Bi? Sudah bisa beradaptasi dengan staff yang lain, kan?" tanyaku sambil menunggu pesanan kami datang."Lumayan, Bu," balasnya kaku."Ini di luar kantor, Bi. Tak apa kalau kita saling panggil nama," ujarku.Ia tersenyum tipis, lalu memandang ke tempat lain. Resto ini selalu ramai setiap jam makan
Cukup lama aku termenung di resto ini hingga pengunjung mulai sepi, karena jam makan siang sudah usai. Semua makanan belum terjamah. Rasa lapar yang mendera tadi sebelum ke sini mendadak hilang gara-gara tahu luka yang ditanggung Bian. Mungkin aku juga salah, tak berani melawan dengan tegas. Bisa saja aku lari, kan? Tapi aku juga terlalu takut kalau Mama dan Papa bertengkar yang bisa membuat wanita kesayanganku jatuh sakit. Hidup memang kadang tak bisa memberikan kita pilihan terbaik. Bagai memakan buah simalakama. Dimakan atau dibuang, tetap saja ada resikonya."Kok belum dimakan, Bu Carisa? Apa rasa makanan resto kami mengalami penurunan kualitas?" tanya Lina, manajer tempat makan ini dengan raut wajahnya yang cemas. Aku tersenyum terpaksa. Ia pasti khawatir melihatku belum menyentuh makanan kesukaanku itu. Dia adalah teman lamaku juga, tapi tidak terlalu akrab sebelumnya. Setelah sering makan di sini, barulah komunikasi kami membaik. "Ah, tidak. Aku cuma merasa kurang enak bad