Wajah Bian terlihat terkejut, lalu mengajak istrinya sedikit menjauh.
"Kamu jangan suka kirim ke medsos semua aktivitas kita, Yang," tegur Bian, tapi masih bisa kudengar.
"Loh, apa yang salah, Bang? Aku kan sudah memasang stiker di wajah Abang. Biasanya protes karena itu. Sekarang gak ada lagi loh foto atau video yang memperlihatkannya wajah Abang yang ganteng ini," balas Inayah, mengusap wajah sang suami dengan mesra.
"Lagian dia bisa jadi teman yang baik, kok. Dia ramah, baik, sopan …."
Apa maksudnya memuji-mujiku?
Senyuman Inayah terkembang, lantas melirikku sekilas.
"Tapi kan …."
"Udah deh, Bang. Jangan melebih-lebihkan. Aku sayang kok sama Abang. Kalau orang lain memamerkan liburan di luar kota atau bahkan luar negeri dan makan di restoran mahal, aku puas dengan memperlihatkan kebersamaan kita yang harmonis. Aku tidak menuntut Abang agar punya gaji yang besar supaya bisa beli barang-barang branded atau liburan yang mewah. Cuma itu caraku mengekspresikan rasa bahagia," cerocos Inayah.
Bian meletakkan telunjuk di bibir sang istri.
"Iya, gak apa-apa. Makasih, Sayang. Kamu memang selalu pengertian padaku," balas Bian, mencubit mesra pipi Inayah. Mereka pun saling melempar senyum.
Ah, mereka seperti pamer kemesraan lagi, atau aku yang salah masuk tempat ke rumah pasangan ini?
Sejoli itu bergandengan tangan, lalu mempersilakanku duduk.
"Biar Abang yang bikin minumannya. Mengobrol lah dengan tamu," tutur lelaki yang dulu bertakhta di hatiku. Tak menunggu lama, dia datang membawa dua cangkir teh dan satu cappucino.
"Silakan minum, Mbak," ujar Inayah saat ia mendekatkan cangkir yang berbeda itu padaku.
"Kok tahu kalau saya suka cappucino?" tanyaku dengan dada bergemuruh. Apakah Bian masih ingat dengan semua kesukaanku?
"Jangan salah sangka. Gula kami habis dan cuma bisa membuat dua teh. Kebetulan ada sisa satu sachet cappucino. Itu kesukaan ibu saya," beber Bian yang membuatku tersenyum tipis.
Entah itu cuma alasan, tapi aku memang merindukan kopi buatan lelaki ini. Dia masih sosok yang perhatian, sama seperti yang kukenal dahulu. Bedanya dia tak lagi mencintaiku. Dia hanya sebatas mantan yang pernah menjadikanku orang spesial.
"Saya memang sangat suka cappucino, minuman nikmat yang sering kuhabiskan bersama calon ibu mertua. Namun semenjak memiliki mertua yang lain, saya lebih suka minum air putih saja," paparku, menyentil sedikit potongan kisah masa lalu.
"Oh, sama berarti dengan Bang Bian. Cappucino adalah minuman kesukaan suami saya dan calon istrinya. Tapi karena sudah terbiasa bersama saya, seleranya pun ikutan berubah," kekeh Inayah. "Saya ambil dulu air putih kalau begitu," ujar wanita yang kini mengisinya hari-hari mantan tunanganku.
Kami duduk dalam kebisuan sembari menunggu Inayah datang. Seperti sengaja dilama-lamakan, sekitar sepuluh menit baru dia datang.
"Maaf agak lama. Saya beli kue sebentar," tuturnya dengan seulas senyum.
"Hmm, istriku ini memang sangat hormat pada tamu dan pandai menjaga perasaan suaminya. Abang ke kamar dulu, ya," ujar Bian, mengecup pucuk kepala wanitanya.
Dub dub dub.
Detak jantung berpacu lebih cepat. Ada rasa getir melihat kebersamaan mereka yang terang-terangan saling memperlihatkan rasa cinta. Apakah aku cemburu?
Aku sudah mencoba melupakanmu, tapi kenapa kita harus bertemu lagi dengan statusmu seperti ini?
Ada apa dengan istrimu? Kenapa dia seolah menginginkanku agar bertemu dengan kalian?
Pikiranku berkelana.
Lelaki dengan tinggi 165 centi itu bergegas ke kamar, meninggalkanku dengan istrinya.
"Silakan diminum, Mbak. Maaf cuma seadanya," tutur Inayah dengan lembut. Senyumannya begitu menawan, pantas saja sangat dicintai suaminya.
"Apa kamu tidak cemas mengundangku ke rumah ini? Aku yakin, kamu tahu kalau Bian adalah mantan suami, eh, mantan tunanganku," ujarku to the point. Aku tersenyum tipis, merutuki diri karena salah ucap.
Inayah tidak perlu tahu tentang hubunganku dengan Bian yang sebenarnya di masa lalu. Aku butuh penjelasannya kenapa ingin melibatkanku sejauh ini.
Menjadi seorang janda memang sering dianggap sebelah mata. Banyak lelaki dengan terang-terangan memintaku menjadi istri simpanan. Namun semua kutolak dengan tegas. Aku tidak butuh status atau lelaki yang siap membiayai hidupku karena penghasilanku lebih dari cukup.
Sekarang sedikit berbeda karena si istri sendiri yang seperti menawarkan suaminya? Kegilaan macam apa ini? Aku yakin, setiap istri tidak ingin ada wanita kedua jika ada kesempatan menjadi yang pertama dan satu-satunya. Lalu kenapa dia ingin sebaliknya, sedangkan aku sudah lama hilang kontak dengan Bian?
"Ya, aku memang tahu kalau suamiku pernah gagal menikah dengan seorang perempuan bernama Carisa. Foto kamu banyak di rumah mertuaku. Mereka selalu memujamu. Tapi saya ingin membuktikan kalau kamu memang tak berharga di mata suamiku meskipun seluruh dunia memujimu," cibirnya dengan senyuman mengejek.
Aku meneguk ludah. Satu sisi aku kasihan padanya, jika memang benar orang tua Bian masih terus menyebut namaku, apalagi di depan Inayah. Tapi aku juga kesal pada diriku yang sudah terpancing dengan permainan Inayah. Seharusnya aku tidak ada di sini.
"Kamu tahu, kami sudah tak ada hubungan. Aku juga gak berminat menjadi orang ketiga dalam hubungan kalian. Aku permisi dulu," ujarku dan langsung berdiri.
"Kenapa buru-buru? Kamu sedih karena tak dianggap lagi sama suamiku?" sergahnya yang membuatku menahan langkah.
Gimana nih? Carisa maju atau mundur?
"Jangan memaksaku terlibat terlalu jauh. Mungkin sekarang kamu bangga, tapi siapa sangka ke depannya kamu bisa menangis," ujarku memperingatkan wanita ini. "Kamu yang akan menangis. Aku tahu, kamu sudah jadi janda, kan? Pasti kamu sedang mencari mangsa baru." Nada bicaranya seperti mencemooh "Mangsa? Kamu kira aku predator?" sergahku mulai tersinggung. Bahasanya semakin menyudutkanku, seolah ia telah jadi cctv kehidupanku. Mengetahui detail seluk beluk hidup yang kujalani. Atau dia ingin membuatku marah di rumahnya sendiri? Biar Bian tahu seperti apa diriku kalau sedang dikuasai amarah? Pikiran wanita yang memakai piyama warna coklat ini susah ditebak. "Maaf, kata-kataku mungkin terlalu kasar. Aku cuma tidak ingin kamu kesepian," balasnya, tersenyum menyeringai. Ah, dia ternyata musang berbulu ayam."Sepertinya kamu terlalu mengurusi hidupku," cetusku, menatap matanya dengan tajam. "Kamu juga mengurusi hidupku. Buktinya, kamu sering stalking akunku, kan?"Si@l, aku lupa kalau
"Nak, apakah sudah saatnya kamu tahu siapa bapak kandungmu?" gumamku, mengecup pucuk kepala bocah yang sudah tidur pulas itu. Aku menyimpan ponsel agak jauh, lalu merebahkan badan di samping anak lelakiku. Semoga kisah cintamu kelak tidak serumit kisah mamamu, Nak.*Inayah masih terus memamerkan kebaikan atau sikap romantis suaminya di media sosial, bahkan acapkali seperti menyindir para jomblo. Di story WA lebih intens lagi, baik menggunakan nomornya ataupun kontak yang katanya milik Bian. Aku jadi teringat ucapan Inayah. Katanya dia mengenalku melalui foto di rumah Bu Ranti yang merupakan ibunya Bian. Wanita yang sayang padaku itu juga masih mengingat diri ini. Benarkah begitu? Mungkin tak ada salahnya aku berkunjung ke sana. Boy sudah mendingan dan bisa kutinggal, makanya aku sekarang sedang ada di kantor. Setelah makan siang, aku bisa mengunjungi mantan calon mertuaku itu. Mungkin saja mereka masih tinggal di rumah yang sama. Kami memang tinggal di kota yang sama, tapi hari
"Bu, aku pulang dulu, ya. Kapan-kapan Ibu sama Nisa main ke rumahku," ujarku sambil menyerahkan kartu nama. Meskipun aku tak jadi bagian keluarga ini, tak salah dong kalau kami tetap menjalin hubungan baik. "Loh, kok Kak Caca cepat kali mau pulang? Minum dulu, baru boleh pulang," ujar Nisa yang sedang membawa nampan berisi tiga gelas cappucino. "Kamu sih, lama baru suguhkan minuman," protes Bu Ranti. "Gasnya habis, Bu, mau manasin airnya. Aku tadi ngutang ke warung depan dulu," balas Nisa, lalu nyengir saat Bu Ranti mendelik tajam. Ngutang? Apa hidup mereka sesusah itu sampai ngutang segala? Apakah Bian tak menyokong perekonomian keluarganya ini? Aku jadi prihatin. "Minum dulu, Ca. Kenapa harus buru-buru pulang sih?""Aku ada urusan lain, Bu," balasku, lalu mengambil cangkir keramik itu. Menyeruput isinya perlahan. Ah, aku seperti kembali ke masa lalu dan kini terulang kembali. Namun rasa kopi ini tak senikmat dulu karena hati sedikit nyeri mengingat cinta tak bisa memiliki. Ta
"Senyum itu sedekah. Jangan manyun begitu," candaku. "Kamu yang menyuruhku menggoda suamimu, lalu kenapa terlihat tak suka?"Aku meneguk sisa air minum seraya menatap istri Bian ini. Inayah tersenyum mengejek. Ia mendekatkan wajah ke arahku. "Aku hanya ingin meremas kepercayaan dirimu yang terlalu tinggi. Kamu memang pernah spesial di hati suamiku, tapi sekarang, kamu cuma bekas," ujarnya dengan pelan, tapi tegas. Aku menarik napas perlahan, jangan sampai terlihat emosi. Jujur saja, aku tak suka disebut 'bekas'. Meskipun tujuannya sama dengan mantan. "Sebenarnya kita sama-sama percaya diri. Tapi aku tidak akan meladeni kalau kamu minta agar permainan ini dihentikan. Bian bukan lah barang. Ia pasti akan kecewa kalau dirinya dijadikan sebagai bahan rebutan," balasku setelah memastikan Bian belum kembali. "Aku sudah bilang, silakan goda suamiku kalau kamu mampu. Di dunia ini banyak lelaki hidung belang, tapi terkecuali suamiku," tegasnya. Entah apa maksudnya bersikap begini? Apa dia
[Seseorang yang mau marah jika kita salah, itulah sebenar-benarnya orang yang peduli dan sayang. Bukan malah cuek diam saja ketika sudah melakukan hal konyol seperti kamu] balasku, memancing emosinya. Sedang mengetik. Beberapa menit berlalu, belum juga masuk balasan. Sebenarnya aku penasaran, tapi sayang waktuku untuk menunggu. Aku menyimpan ponsel dan duduk di sisi ranjang. Mungkin saja Inayah mau mengirim pesan panjang lebar padaku. Semacam pidato pembina upacara saat hari senin. "Ma, aku kangen sama Papa," celetuk Boy. Bocah itu masuk kamar sambil mendekap sebuah foto dengan bingkai berwarna emas. Di sana ada aku, Boy dan Mas Reno."Mama juga kangen, Nak. Jangan lupa doakan Papa, ya," ujarku sambil mengelus kepala putraku. Bocah itu tersenyum dan mengangguk.Anak lelakiku itu mengusap foto wajah almarhum suamiku yang tersenyum semringah sambil menggendong Boy yang sudah bisa jalan. Kami seperti pasangan bahagia. Padahal, senyumku waktu itu hanya terpaksa agar terlihat sebagai k
"Bu! Bangun, Bu! Apa Ibu sakit?"Mbak Tika membangunkanku sambil menepuk-nepuk lengan. Aku mengerjap beberapa kali, lalu memicingkan mata. "Memangnya jam berapa, Mbak?""Udah pukul 05.30, Bu," balasnya dengan wajah cemas. Aku melonjak kaget dan langsung duduk sebentar, lantas masuk kamar mandi. Begitu lelahnya pikiran hingga jam weker tak mampu membangunkanku. Bukan karena takut terlambat ke kantor, tapi takut terlewat shubuh. Aku memang tidak alim, tapi satu pinta Mas Reno membuatku semakin jarang meninggalkan salat. Itulah sebabnya, jika aku tidak sedang datang bulan, aku akan meminta Mbak Tika membangunkanku bila terlambat. Dan itu jarang terjadi. "Nanti setelah Mas tiada, salatmu jangan pernah lupa, ya, Beb. Do'akan Mas agar diampuni dosa-dosanya selama hidup. Kalau kamu mau membina rumah tangga lagi, menikah lah dengan lelaki yang kamu cintai," pesannya kala itu. Hampir setiap selesai salat, dia mengucapkan hal yang sama. Tubuh ringkih itu tak lagi bisa salat berdiri sempurna,
"Stop! Ini kantorku. Kalian mau pamer kemesraan atau nyari kerjaan?" tanyaku dengan suara tegas. Muak melihat Inayah yang merengek terus dan juga merajuk kepada suaminya hingga tangan kokoh Bian mengelus-elus pucuk kepala wanitanya. "Kami butuh pekerjaan, Ca," balas Inayah dengan tatapan memohon.Inayah bisa diibaratkan bunglon yang mudah berubah warna. Sikapnya tidak bisa ditebak. Suasana hatinya juga tak pasti. Aku tahu keahlian Bian, sangat lihai dalam pemasaran. Mungkin karena tutur katanya yang lembut dan sopan membuat calon customer jadi yakin apa pun produk atau jasa yang ditawarkan Bian tidak akan mengecewakan. "Kalau Bian mau, bisa menjadi staff marketing. Untuk satu ini, cuma itu yang kurang," ujarku. "Kok cuma staff? Jadi manajer saja kenapa?" protes Inayah dengan tidak tahu dirinya. "Bukan apa-apa, kami lagi butuh banyak uang," lanjutnya dengan wajah sendu. Bian memberi kode agar istrinya diam. Kasihan kamu, Bi. Sebenarnya kalian bahagia atau hanya pura-pura? Seperti
Salah satu caraku untuk meringankan beban pikiran adalah berbicara dengan Boy, meskipun cuma video call. Senyumannya yang natural dan ceria membuat semangatku kembali bergelora. Aku kerja demi dia juga. Walupun kami memiliki aset yang lumayan, tapi bila tidak dikelola dengan baik, bisa saja hancur sebelum Boy dewasa.Aku tidak mau itu terjadi. Aku ingin membersamainya selalu dan menyiapkan keuangan yang memadai. Setiap orang tua tentu tak ingin anaknya kesusahan. Begitu juga denganku.Jam makan siang, aku mengajak Bian makan di resto yang letaknya tepat di depan kantor ini. Dia tak menolak, tapi tetap menjaga jarak saat kami menyebrang jalan menuju tempat makan favoritku itu."Gimana kerjanya, Bi? Sudah bisa beradaptasi dengan staff yang lain, kan?" tanyaku sambil menunggu pesanan kami datang."Lumayan, Bu," balasnya kaku."Ini di luar kantor, Bi. Tak apa kalau kita saling panggil nama," ujarku.Ia tersenyum tipis, lalu memandang ke tempat lain. Resto ini selalu ramai setiap jam makan