[Baru bangun langsung makan. Makasih ya, Bebeb akoh] tulis sebuah akun bernama Inayah di wall f******k miliknya, entah kapan kami berteman dan aku tak mengenalnya.
Aku tidak terbiasa meng-add akun yang tidak kukenal. Tapi terkadang aku mengkonfirmasi semuanya saat senggang karena beberapa orang temanku ada yang chat kalau mereka menggunakan akun dengan nama samaran ataupun anak sendiri. Mungkin akun Inayah ini yang add aku duluan. Dan entah kenapa, aku suka melihat semua postingannya. Lumayan mengobati rindu pada suamiku yang telah meninggal dunia. Lelaki yang mencintaiku meskipun ia tahu hatiku masih memikirkan seseorang dari masa lalu.
Aku memutar video yang memperlihatkan seorang lelaki sedang memasak nasi goreng dan menyajikannya di atas piring.
Maskulin sekali. Seorang lelaki yang memperlakukan istrinya dengan lembut bagiku sangat mempesona.Aku mulai tertarik.
Memang ada stiker menutupi wajahnya lelaki yang merupakan suami dari Inayah itu, tapi tetap saja banjir pujian dari warganet.
[Udah macho, rajin bantuin istri pula. Duh, suami idaman banget] tulisku, ikut meramaikan komentar. Ini komentar pertamaku setelah sekian lama. Rasanya gatal saja jemari ini kalau tidak ikut menanggapi.
[Kalau masih ada suami seperti ini, sisakan satu untukku] tulis yang lain.
[Duh, iri deh ngelihatnya. Suamiku boro-boro mau masakin istri, muji msakanakunaka gak pernah]
[Suamiku kalau lagi libur malah main-main sama temannya]
Berbagai pujian sejenisnya dan ada juga yang menegur pemilik akun itu karena dianggap terlalu pamer suami. Bukan sekali dua kali dia memperlihatkan kebaikan suami, hampir setiap hari. Ya, meskipun dengan kata-kata manis atau sekedar foto dan selalu ramai dengan tanggapan dari akun yang didominasi para wanita.
Dari sekian banyak komentar, satu yang mencuri perhatianku. Dia memberikan tanggapan emoticon tertawa di akunku yang bernama Carisa. Aku sampai menelusuri komentar akun yang lain dan memang cuma aku. Apakah dia mengenalku? Atau dia temanku yang sudah melakukan operasi plastik hingga tak kukenali?
Ah, mungkin saja komentarku baginya terlalu lucu.
Aku menutup ponsel dan kembali berkutat dengan laptop, menyelesaikan beberapa pekerjaan kantor yang kukerjakan dari rumah. Sengaja tak ke kantor karena anakku, Boy, sedang tak enak badan.
Balita berusia empat tahun itu sesekali mengingau, lalu kembali tidur saat aku mengusap-usap rambutnya.
*
[Aku memang tak mengenal suami kamu, tapi dari semua postinganmu, aku yakin kalau dia tampan, pekerja keras, sayang istri dan setia. Apa Mbak ini sebenarnya mau cari adik madu?]komentarku ditambah emot tertawa di postingan Inayah yang memperlihatkan seorang lelaki yang tidur di atas ranjang memakai celana panjang dan singlet. Seperti biasa stiker menutupi wajah itu.
Seperti sebelumnya, sekarang pun ia memberikan react tertawa.
[Silakan goda suamiku, Ca. Jika dia mau menjadikanmu yang kedua, tak masalah. Namun, jika kamu dapat penolakan dari suamiku, pasti harga dirimu akan terluka] balas Inayah dengan sombongnya.
Lima menit berlalu. Aku masih mematung membaca tulisan akun ini.
Silakan goda suamiku?
Astaga, apa wanita ini sudah tak war@s? Ketika seorang istri takut kalau suaminya berpaling, dia malah begitu yakin kalau pria yang menikahinya itu tak akan pernah tergoda dengan wanita manapun.
Apa aku harus meladeninya?
Seperti ada yang mendorong dari dalam, ingin tahu seperti apa sih setianya suami dari Inayah itu. Apalagi aku seperti mengenal bentuk badannya. Terkadang orang yang suka pamer itu hanya untuk menutupi betapa tak bahagianya hidupnya sehingga butuh pujian dari dunia luar, meskipun tak saling kenal.
Aku memilih mengirim pesan secara pribadi.
[Mbak, apakah serius dengan komentarnya tadi? Kalau iya, kebetulan saya sedang cari suami]
[Oh, tentu saja. Tapi saya takut kalau kamu akan kecewa]
Aku menelan saliva membaca balasannya.
[Saya terbiasa kecewa. Kalau pemilik rumah sudah mengizinkan bertamu, share lock saja, nanti sore aku akan datang] balasku, tak lupa dengan emot tertawa seperti biasanya.
Aku yakin kalau nyalinya akan ciut. Namun tak menunggu lama, sebuah alamat lengkap sudah ia kirimkan. Tidak terlalu jauh dari sini.
Baiklah, mungkin tidak salah kalau aku datang ke sana. Hitung-hitung hiburan untuk mengobati kejenuhan akan rutinitas yang monoton.
Pukul tiga sore, aku melajukan kenderaan roda empatku ke alamat rumah yang dikirimkan Inayah. Tidak terlalu jauh, hanya memakan waktu 30 menit perjalanan. Sebuah rumah permanen minimalis sesuai dengan nomor rumah yang ia kirim.
Ini seperti model rumah impianku dengan seseorang yang pernah mengisi ruang hati ini. Ah, perih bila mengingatnya.
Aku melangkahkan kaki dengan gamang. Tujuanku hanya iseng dan juga penasaran. Bisa juga Inayah hanya iseng memberikanku alamat palsu. Ah, bod*hnya aku bisa datang ke sini.
Aku melihat tirai jendela tersingkap, lalu pintu terbuka dengan lebar.
"Mbak Carisa, ya?" tanyanya.
Aku mengangguk ragu. Ternyata akun Inayah itu memang berwujud manusia, bukan sejenis kuntilanak atupun wewe gombel. Dia memang manis, sesuai dengan fotonya.
"Mari masuk, Mbak. Kebetulan suami saya di dalam," ajaknya setelah kami berjabat tangan.
Kegilaan macam apa ini? Sudah kepalang basah, ya sudah mandi saja sekalian. Aku melangkahkan kaki mengikuti wanita itu dan duduk di sofa.
"Siapa, Yang?" Suara lelaki terdengar dari kamar. Suara itu seperti …. Ah, tidak mungkin.
Aku menatap fokus ke pintu kamar yang mulai terbuka. Mataku membola dan napas rasanya tercekat. Aku langsung berdiri dan hendak pulang. Aku yakin kalau Inayah ini mengetahui kisah masa lalu kami dan sekarang sengaja memanas-manasi.
"Caca?" gumam lelaki itu.
Aku menahan langkah. Ya, aku pasti tidak salah orang.Hanya mantan tunanganku, pria bernama Bian itu dan keluarganya yang memanggilku Caca.Mungkin ia pun tak menyangka kalau aku bisa bertamu ke rumahnya.
Suasana mendadak hening melihat pria yang pernah kucintai kini ada di hadapanku. Aku telah menghilang cukup lama, tapi kenapa takdir seolah ingin mempertemukan kami melalui sosial media istrinya.
Aku melirik sekilas ke arah Inayah. Bibir mungil wanita itu menyunggingkan senyuman mengejek. Aku jadi curiga kalau setiap postingannya di medsos hanya untuk memancingku. Aku belum tahu motif aslinya. Tapi besar dugaanku kalau Inayah ingin memamerkan kalau dia telah mendapatkan seseorang yang sering hadir di mimpiku.
"Ngapain kamu kesini? Bagaimana bisa kamu tahu rumah ini? Setelah aku mampu mengobati sayatan yang kamu torehkan dan sudah mencintai istriku, kamu mau menyiram lukaku lagi?" bentak lelaki itu.
"A-ku sampai ke sini karena undangan dari Inayah. Kami berteman di f******k," balasku, berusaha tenang.
Sekarang dia sudah berumah tangga, jangan sampai dia merasa terusik atau tidak enak hati atas kehadiranku. Aku memang tidak pernah mencarinya setelah tragedi beberapa tahun lalu, di saat hari pernikahan kami tinggal seminggu lagi. Aku tiba-tiba hilang karena sesuatu hal yang tidak bisa kujelaskan, tapi pasti meningalkan luka mendalam bagi Bian dan keluarganya.
Wajah Bian terlihat terkejut, lalu mengajak istrinya sedikit menjauh. "Kamu jangan suka kirim ke medsos semua aktivitas kita, Yang," tegur Bian, tapi masih bisa kudengar. "Loh, apa yang salah, Bang? Aku kan sudah memasang stiker di wajah Abang. Biasanya protes karena itu. Sekarang gak ada lagi loh foto atau video yang memperlihatkannya wajah Abang yang ganteng ini," balas Inayah, mengusap wajah sang suami dengan mesra. "Lagian dia bisa jadi teman yang baik, kok. Dia ramah, baik, sopan …." Apa maksudnya memuji-mujiku?Senyuman Inayah terkembang, lantas melirikku sekilas. "Tapi kan ….""Udah deh, Bang. Jangan melebih-lebihkan. Aku sayang kok sama Abang. Kalau orang lain memamerkan liburan di luar kota atau bahkan luar negeri dan makan di restoran mahal, aku puas dengan memperlihatkan kebersamaan kita yang harmonis. Aku tidak menuntut Abang agar punya gaji yang besar supaya bisa beli barang-barang branded atau liburan yang mewah. Cuma itu caraku mengekspresikan rasa bahagia," ceroc
"Jangan memaksaku terlibat terlalu jauh. Mungkin sekarang kamu bangga, tapi siapa sangka ke depannya kamu bisa menangis," ujarku memperingatkan wanita ini. "Kamu yang akan menangis. Aku tahu, kamu sudah jadi janda, kan? Pasti kamu sedang mencari mangsa baru." Nada bicaranya seperti mencemooh "Mangsa? Kamu kira aku predator?" sergahku mulai tersinggung. Bahasanya semakin menyudutkanku, seolah ia telah jadi cctv kehidupanku. Mengetahui detail seluk beluk hidup yang kujalani. Atau dia ingin membuatku marah di rumahnya sendiri? Biar Bian tahu seperti apa diriku kalau sedang dikuasai amarah? Pikiran wanita yang memakai piyama warna coklat ini susah ditebak. "Maaf, kata-kataku mungkin terlalu kasar. Aku cuma tidak ingin kamu kesepian," balasnya, tersenyum menyeringai. Ah, dia ternyata musang berbulu ayam."Sepertinya kamu terlalu mengurusi hidupku," cetusku, menatap matanya dengan tajam. "Kamu juga mengurusi hidupku. Buktinya, kamu sering stalking akunku, kan?"Si@l, aku lupa kalau
"Nak, apakah sudah saatnya kamu tahu siapa bapak kandungmu?" gumamku, mengecup pucuk kepala bocah yang sudah tidur pulas itu. Aku menyimpan ponsel agak jauh, lalu merebahkan badan di samping anak lelakiku. Semoga kisah cintamu kelak tidak serumit kisah mamamu, Nak.*Inayah masih terus memamerkan kebaikan atau sikap romantis suaminya di media sosial, bahkan acapkali seperti menyindir para jomblo. Di story WA lebih intens lagi, baik menggunakan nomornya ataupun kontak yang katanya milik Bian. Aku jadi teringat ucapan Inayah. Katanya dia mengenalku melalui foto di rumah Bu Ranti yang merupakan ibunya Bian. Wanita yang sayang padaku itu juga masih mengingat diri ini. Benarkah begitu? Mungkin tak ada salahnya aku berkunjung ke sana. Boy sudah mendingan dan bisa kutinggal, makanya aku sekarang sedang ada di kantor. Setelah makan siang, aku bisa mengunjungi mantan calon mertuaku itu. Mungkin saja mereka masih tinggal di rumah yang sama. Kami memang tinggal di kota yang sama, tapi hari
"Bu, aku pulang dulu, ya. Kapan-kapan Ibu sama Nisa main ke rumahku," ujarku sambil menyerahkan kartu nama. Meskipun aku tak jadi bagian keluarga ini, tak salah dong kalau kami tetap menjalin hubungan baik. "Loh, kok Kak Caca cepat kali mau pulang? Minum dulu, baru boleh pulang," ujar Nisa yang sedang membawa nampan berisi tiga gelas cappucino. "Kamu sih, lama baru suguhkan minuman," protes Bu Ranti. "Gasnya habis, Bu, mau manasin airnya. Aku tadi ngutang ke warung depan dulu," balas Nisa, lalu nyengir saat Bu Ranti mendelik tajam. Ngutang? Apa hidup mereka sesusah itu sampai ngutang segala? Apakah Bian tak menyokong perekonomian keluarganya ini? Aku jadi prihatin. "Minum dulu, Ca. Kenapa harus buru-buru pulang sih?""Aku ada urusan lain, Bu," balasku, lalu mengambil cangkir keramik itu. Menyeruput isinya perlahan. Ah, aku seperti kembali ke masa lalu dan kini terulang kembali. Namun rasa kopi ini tak senikmat dulu karena hati sedikit nyeri mengingat cinta tak bisa memiliki. Ta
"Senyum itu sedekah. Jangan manyun begitu," candaku. "Kamu yang menyuruhku menggoda suamimu, lalu kenapa terlihat tak suka?"Aku meneguk sisa air minum seraya menatap istri Bian ini. Inayah tersenyum mengejek. Ia mendekatkan wajah ke arahku. "Aku hanya ingin meremas kepercayaan dirimu yang terlalu tinggi. Kamu memang pernah spesial di hati suamiku, tapi sekarang, kamu cuma bekas," ujarnya dengan pelan, tapi tegas. Aku menarik napas perlahan, jangan sampai terlihat emosi. Jujur saja, aku tak suka disebut 'bekas'. Meskipun tujuannya sama dengan mantan. "Sebenarnya kita sama-sama percaya diri. Tapi aku tidak akan meladeni kalau kamu minta agar permainan ini dihentikan. Bian bukan lah barang. Ia pasti akan kecewa kalau dirinya dijadikan sebagai bahan rebutan," balasku setelah memastikan Bian belum kembali. "Aku sudah bilang, silakan goda suamiku kalau kamu mampu. Di dunia ini banyak lelaki hidung belang, tapi terkecuali suamiku," tegasnya. Entah apa maksudnya bersikap begini? Apa dia
[Seseorang yang mau marah jika kita salah, itulah sebenar-benarnya orang yang peduli dan sayang. Bukan malah cuek diam saja ketika sudah melakukan hal konyol seperti kamu] balasku, memancing emosinya. Sedang mengetik. Beberapa menit berlalu, belum juga masuk balasan. Sebenarnya aku penasaran, tapi sayang waktuku untuk menunggu. Aku menyimpan ponsel dan duduk di sisi ranjang. Mungkin saja Inayah mau mengirim pesan panjang lebar padaku. Semacam pidato pembina upacara saat hari senin. "Ma, aku kangen sama Papa," celetuk Boy. Bocah itu masuk kamar sambil mendekap sebuah foto dengan bingkai berwarna emas. Di sana ada aku, Boy dan Mas Reno."Mama juga kangen, Nak. Jangan lupa doakan Papa, ya," ujarku sambil mengelus kepala putraku. Bocah itu tersenyum dan mengangguk.Anak lelakiku itu mengusap foto wajah almarhum suamiku yang tersenyum semringah sambil menggendong Boy yang sudah bisa jalan. Kami seperti pasangan bahagia. Padahal, senyumku waktu itu hanya terpaksa agar terlihat sebagai k
"Bu! Bangun, Bu! Apa Ibu sakit?"Mbak Tika membangunkanku sambil menepuk-nepuk lengan. Aku mengerjap beberapa kali, lalu memicingkan mata. "Memangnya jam berapa, Mbak?""Udah pukul 05.30, Bu," balasnya dengan wajah cemas. Aku melonjak kaget dan langsung duduk sebentar, lantas masuk kamar mandi. Begitu lelahnya pikiran hingga jam weker tak mampu membangunkanku. Bukan karena takut terlambat ke kantor, tapi takut terlewat shubuh. Aku memang tidak alim, tapi satu pinta Mas Reno membuatku semakin jarang meninggalkan salat. Itulah sebabnya, jika aku tidak sedang datang bulan, aku akan meminta Mbak Tika membangunkanku bila terlambat. Dan itu jarang terjadi. "Nanti setelah Mas tiada, salatmu jangan pernah lupa, ya, Beb. Do'akan Mas agar diampuni dosa-dosanya selama hidup. Kalau kamu mau membina rumah tangga lagi, menikah lah dengan lelaki yang kamu cintai," pesannya kala itu. Hampir setiap selesai salat, dia mengucapkan hal yang sama. Tubuh ringkih itu tak lagi bisa salat berdiri sempurna,
"Stop! Ini kantorku. Kalian mau pamer kemesraan atau nyari kerjaan?" tanyaku dengan suara tegas. Muak melihat Inayah yang merengek terus dan juga merajuk kepada suaminya hingga tangan kokoh Bian mengelus-elus pucuk kepala wanitanya. "Kami butuh pekerjaan, Ca," balas Inayah dengan tatapan memohon.Inayah bisa diibaratkan bunglon yang mudah berubah warna. Sikapnya tidak bisa ditebak. Suasana hatinya juga tak pasti. Aku tahu keahlian Bian, sangat lihai dalam pemasaran. Mungkin karena tutur katanya yang lembut dan sopan membuat calon customer jadi yakin apa pun produk atau jasa yang ditawarkan Bian tidak akan mengecewakan. "Kalau Bian mau, bisa menjadi staff marketing. Untuk satu ini, cuma itu yang kurang," ujarku. "Kok cuma staff? Jadi manajer saja kenapa?" protes Inayah dengan tidak tahu dirinya. "Bukan apa-apa, kami lagi butuh banyak uang," lanjutnya dengan wajah sendu. Bian memberi kode agar istrinya diam. Kasihan kamu, Bi. Sebenarnya kalian bahagia atau hanya pura-pura? Seperti