“Kamu di mana? Apa kamu gak tau ini sudah jam berapa?”
“Em, sebentar, Pak!” Aku menggosok kedua mataku yang terasa berat untuk terbuka. Pukul 02.00 wib. Seketika mataku berotasi jengah.Aku menguap lebar sebelum kembali menempelkan ponsel pintar itu ke telinga."Iya, Pak Tama. Maaf, saya ada di apartemen sekarang. Apa ada yang bisa saya bantu?"Tolong, ini masih pagi! Jangan buat kucing betina ini nge-reog dan berubah menjadi harimau buas yang siap memangsa siapa pun yang sudah menyenggolnya.Aku gak membiarkan pria di seberang sana bicara. "Denger yah, Pak. Lagian ini masih jam pagi ... jam 2 dini hari!" Kutekan kan setiap kata-kataku. "Bapak kalau mau nyuruh sesuatu juga mikir, dong!"Aku meniup poniku yang jatuh menutupi salah satu mata."Asal bapak tau, yah, kalau saya ini baru mejamin mata pukul 12 tadi. Apa bapak kira saya ini robot yang harus standby 24 jam buat ngurusin bapak doang?" keluhku dalam satu tarikan napas.“Naina. Udah selesai ngocehnya?”“Udah!” ucapku ketus.Ya, Naina Kayla Putri adalah namaku, sedangkan si penelpon kurang asem yang menghubungiku di jam kalong adalah atasanku, tepatnya bosku, namanya Gartama Wirasesa. Si bos ganteng, tapi super nyebelin.Nama Naina adalah pemberian mendiang ayahku yang sudah meninggal beberapa tahun lalu. Akan tetapi, tolong jangan tanyakan di mana ibuku karena aku sedang tidak ingin membahasnya.“Kalau gitu cepetan kemari dan jemput aku di Hotel Braga sekarang juga!” Suara bernada memerintah kembali membuatku sadar jika masih berada di dunia, bukan alam mimpi.“What! Tapi, Pak … hallo! Pak … aish, kok malah dimatiin, sih! Arghhh … Punya bos kok gini amat, sih!” Belum selesai aku bicara, tetapi panggilan sudah diputus secara sepihak oleh bos gila itu.Aku langsung membanting ponsel itu ke atas ranjang karena tidak mungkin ku banting ke lantai. Bisa rugi bandar, kalau sampai harus beli hp baru lagi. Mending buat beli skincare, atau nonton konser boyband kesayanganku.Ketika diriku sibuk mengumpat, notifikasi pesan masuk dan tanpa perlu melihat pun aku sudah tahu siapa orang itu. Siapa lagi kalau bukan si bos kuampret yang gila kerja.Bos Gila: Aku tunggu 10 menit, kalau telat kupotong gajimu 10%.Kubalas dengan pasrah. "Ok, Aku Nyerah Bos!"“Jangkrik!” Kutendang selimut yang tadi baru saja menyelimuti tubuh lelahku.“Bisa gak sih, pak tua itu gak usah kebanyakan gaya. Udah tau tidur lagi nyenyak-nyenyaknya malah disuruh jemput orang. Mana jauh lagi. Arghhh!"Kulirik jam dinding yang sialnya tetap bergerak tanpa tahu jika diriku ini butuh istirahat. Aku berteriak sambil meremas rambutku. Rasa kantuk yang sempat mendatangiku hampir kandas setelah mendengar suara si bos.“Hahhh … sekate-kate banget itu orang nyuruh aku buat kerja di jam segini!”Omelanku terus berlanjut, walau tangan dan kaki ini terus bergerak mengambil jaket dan kunci mobil yang kuletakkan di atas nakas.For your information, ini adalah milik pak Bos sialan itu. Dia sengaja memberikan satu untukku jika terjadi sesuatu, seperti sekarang ini.“Sungguh malang sekali nasibmu, Na, punya bos tapi kok suka nyiksa karyawan,” keluhku tanpa arti karena tidak akan pernah didengar oleh si bos.Jika kata Nadia–anak divisi 5– Pak Bos itu udah cinta mati sama Naina.Aku yang mendengar ucapan Nadia langsung menatap ngeri ke gadis tersebut. Lagian, tidak ada dalam sejarahnya seorang lelaki yang cinta sama pasangannya akan tega menyiksa, bahkan menjadikan wanitanya seorang babu seperti yang dilakukan oleh Gartama gila itu.Kalau disuruh memilih antara Pak Bos atau resign, aku akan dengan senang hati memilih resign.Kenapa?Ya, karena pria tua itu terlalu menyebalkan untuk dibayangkan menjadi pendamping hidup. Memikirkan saja sudah membuat bulu kudukku merinding.Pak Tua yang aku maksud itu adalah bosku sendiri. Gartama Wirasesa berusia 37 tahun yang statusnya masih available, alias jomblo menahun itu. Bos yg kerjaannya selalu membuat kepalaku pusing, bahkan tensi darahku selalu naik jika sudah berurusan dengan pria itu.Ganteng, sih.Tapi, kelakuannya bener-bener minus. Tidak ada perikemanusiaannya sama sekali kepada karyawan, tetapi itu hanya berlaku padaku. Jika kepada karyawan lain, dia hanya akan diam dan tak banyak komentar.Kurang asem apalagi coba si Gartama itu padaku.Sebenarnya enak, sih, bekerja di perusahaan Gartama. Gaji dua digit dengan fasilitas kantor mewah, makan gratis, dan bonus yang diterima sungguh sulit dicari di tempat lain. Makanya aku bisa bertahan selama 7 tahun di sana, walau imbalannya aku harus jadi budak Gartama yang super-super nyebelin.Lebih menyedihkan lagi adalah di mana tugasku bukan hanya sebagai sekretaris Gartama saja, melainkan masalah pribadinya saja aku harus ikut menangani.Kalau sampai pihak tenaga kerja terkait tahu, mungkin Gartama akan kena sanksi tegas karena sudah memperbudak karyawannya yang paling cantik ini.Jika ditanya apa aku menyesal bekerja di Perusahaan Wirasesa? Jawabannya, iya dan tidak. Iya karena gaji gede, tidak karena kadang aku harus menyimpan banyak dendam karena sikap Gartama yang suka semena-mena.Selama dalam perjalanan, aku terus berusaha menahan kantuk agar tidak tidur saat mengemudi. Mulutku terus mengomentari setiap perlakuan Gartama padaku yang kadang suka iseng di kantor.Di mana dia yang selalu curi-curi kesempatan untuk dekat denganku, atau tidak saat si bos yang suka main sentil jidatku jika aku melakukan kesalahan sedikit.Sungguh menyebalkan bukan dia?"Udah kesel seharian di panggil mulu di kantor. Ina ... antar aku ke kamar mandi. Ina ... buatkan kopi! Ina ini, Ina itu. Njir! Gedeg banget sumpah!" Bibirku mengerucut dengan kepala bergoyang kecil menirukan si Pak Tua itu bicara.Mobilku berhenti di do traffic light. Sambil menunggu, aku mencari permen yang selalu aku sediakan di dasbor mobil untuk menjaga lidahku yang kadang tidak betah jika tidak mengemut sesuatu.Ketika lampu berubah hijau, aku segera menginjak pedal gas. Aku menghela napas pasrah karena harus berjibaku dengan lalu lintas dini hari yang tentunya tidak baik untukku yang seorang lajang karena rawan begal dan penjahat.Memikirkan statusku, aku langsung menghela napas. Namun, belum sempat aku memikirkannya, mobil yang kubawa sudah lebih dulu sampai di Hotel Braga. Tempat yang pastinya hanya didatangi oleh orang-orang elit seperti Gartama Wirasesa.Aku langsung berdecih sinis saat melihat tampilan super kece milik Pak Tua itu. Penampilannya memang akan selalu tampan dan rupawan, walaupun baru terkena badai.Ah, aku merasa Tuhan begitu tidak adil saat menciptakan pria tua tersebut. Dia terlalu perfek untuk seorang yang menyebalkan dan bermulut pedas.Aku memilih turun dari mobil sebelum pria sok ganteng itu memecahkan kaca mobil. Aku membungkuk sopan kepada pria yang kini tengah menatapku sinis. “Selamat pagi, Pak!” sindirku halus.“Apa kamu lupa cara menjalankan mesin mobilmu?”See, belum apa-apa dia sudah menyindirku. Memang paling the best Gartama ini. Aku mencoba untuk tetap tersenyum, walau dalam hati jengkel. “Maksudnya, Pak?”“Kenapa kamu lama sekali? Apa kamu tidak tahu kalau aku di sini sudah hampir mati kedinginan? Hah!”Kalau semisal bunuh bos sendiri boleh gak, sih? Rasa-rasanya aku ingin sekali melakukan itu, lalu mengambil semua koleksi mobil mewah dan juga seluruh koleksi berharga lainnya.“Kenapa diam saja? Mulut kamu ada lemnya apa gimana?”Aku memberikan senyuman selebar mungkin agar Pak Tua di depanku tidak tahu jika diriku sedang mengumpatinya.“Maaf, Pak. Saya berkendara sesuai aturan lalu lintas. Jika saya ngebut, saya takut kena tilang elektronik," jelasku. "Lagian, Bapak juga gak mau ‘kan, kalau sampai saya berurusan dengan polisi?”Aku merasa menjadi orang berkepribadian ganda ketika berhadapan dengan Gartama Wirasesa.“Alasan! Buruan bukain pintu! Aku udah ngantuk!”Ingin rasanya aku melempar sepatu milik security ke kepala Pak Tama. Sumpah, ngeselin pakai banget punya bos modelan kayak dia. Tiap hari bawaannya turun berok mulu.“Woi!”“Ah, iya, Bos. Maaf!” Aku langsung berlari kecil menuju bagian samping mobil, kemudian membukakan pintu belakang untuknya. “Silakan, Bos!” tuturku lembut, walau dalam hati kini tengah menyumpah serapah pria tersebut.“Jangan lupa itu koperku!”Lah, itu orang habis minggat apa gimana?“Gak usah banyak mikir, Naina!”“Ah, iya, Bos.”Aku kembali berlari menuju tempat di mana tadi si bos berdiri. Kucoba tarik pegangan koper itu, tetapi mataku langsung melotot kala benda tersebut tidak bergerak.“Jangan bilang koper mahal begini rusak!” jeritku tertahan.“Oh hampir lupa. Koper itu rusak gara-gara tadi gak sengaja jatuh. Jadi, tolong kamu angkat koper itu!” kata si bos.Bibirku berkedut, menahan segala sumpah serapah yang siap memporak-porandakan dunia Pak Tama. "Calm down, Naina!" Aku menarik napas, lalu mengembuskannya secara perlahan.Keningku mengernyit. “Eh, kok ini berat banget, yah?” tanyaku bingung. “Apa jangan-jangan ini koper isinya mayat?” tanyaku dengan wajah pucat.Setelah adegan mari mengangkat koper ala kuli panggul–yang kata si bos berisi salah satu koleksi terbarunya– selesai, kini kami sudah tiba di apartemen milik bos yang letaknya 5 lantai dari kamar milikku. Ya, kami memang tinggal satu apartemen. Bedanya dia kelas wahid, sedangkan aku masih sama dengan yang lain. Gartama sendiri menempati lantai paling atas, tepatnya penthouse yang kadang membuatku iri setengah mati akan semua harta yang dimilikinya.“Pak, ini kopernya mau ditaruh di mana?” tanyaku sopan. Jangan kalian pikir aku akan dengan baik hati menggotong koper ini lagi, big no. Terima kasih. Aku lebih memilih untuk memanggil security untuk membantuku membawanya.“Taruh situ saja. Udah sana keluar! Aku mau tidur.”Hatiku pun bersorak senang karena bisa terbebas dari Gartama. Dengan cepat aku membungkukkan badan dan tersenyum begitu lebar, kebebasan ini sudah seperti oase di gurun pasir yang terlihat begitu menggiurkan. “Kalau begitu a–”“Jangan lupa besok kamu bangunkan saya puku
“Bisa gak sekali saja kamu bangunin saya gak pake teriak, Na! Bisa-bisa telinga saya ini jadi tuli.” Suara serak dan maskulin langsung menyapa indera pendengaranku. Bibirku langsung cemberut dan dengan cepat membalikkan tubuh hingga membelakangi seorang lelaki yang dengan begitu percaya diri tidur hanya mengenakan celana pendek. Apa pria ini tidak tahu jika auratnya itu begitu membuatku menggila. Aku ini adalah pecinta pria yang bertubuh atletis dan kenapa juga Gartama harus memiliki semua tipe idealku sebagai pendamping hidup, tetapi tidak dengan sifat menyebalkan yang sungguh membuatku ingin menceburkan dia ke sungai A****n.“Kamu ngapain masih berdiri di situ? Dan mau sampai kapan kau membelakangiku? Apa kamu tidak ingin memberitahu jadwalku hari ini?” “T-tapi bapak sudah berpakaian, ‘kan?” Eh, itu bukan suaraku, ‘kan? Kenapa jadi gugup begini, sih! Come on, Ina! Itu tubuh udah sering kamu lihat beberapa tahun ini. Jadi, gak usah lebay, deh! “Cih, gayamu udah kayak anak perawan
“Yakin kamu masih nanya?” Kuabaikan tatapan mengintimidasinya.“Bilang iya doang aja pelit,” gerutuku. Aku langsung melengos dan segera berjalan menjauhi sang bos, tetapi pria itu justru menarikku hingga mata kami saling bertemu tatap. Mataku menyipit saat tidak melihat tatapan dingin, ataupun menyebalkan yang biasa diperlihatkan Gartama. Namun, aku justru menemukan sebuah tatapan memohon. Seriously?“Naina, aku dengar!” “Bapak ini sebenarnya ada masalah apa dengan saya, sih? Kenapa setiap saya ingin cuti, atau bahkan libur saja selalu dipersulit? Saya juga manusia, Pak. Saya juga butuh istirahat. Otak saya ini bisa meledak jika terus-terusan digempur oleh kerjaan!” ungkapku pada akhirnya. Deru napasku memburu, kubuang wajahku saat manik hitam legam milik Gartama–yang selalu membuatku luluh– kini tertuju padaku. Akan tetapi, kali ini aku tekadkan hati untuk tidak mudah gentar, apalagi goyah hanya karena sebuah iming-iming bonus, atau kenaikan gaji. Naina Kayla Putri harus mendapat
Aku mengaduh kesakitan saat kening mulusku membentur dashboard. Namun, aku mencoba mengabaikan rasa sakit itu dan menoleh ke arah belakang. “Bapak Tama gak apa-apa, ‘kan? Apa ada yang terluka?” tanyaku cemas.Pria itu terlihat mendesis dan menggelengkan kepala. Aku yakin dia juga kaget karena kejadian itu terlalu mendadak. “Pak? Apa kepala Anda terbentur? Gegar otak atau gimana?” tanyaku beruntun.“Apa kamu mau membuat kita mat– yakh!” Tiba-tiba Gartama berteriak dan menarik wajahku. “Ada apa dengan keningmu?” “Saya?” Aku menatap pria itu dengan bingung, tetapi ketika tangan pria tersebut menyentuh keningku aku langsung meringis. “Kamu berdarah?” “S-saya gak tau,” ucapku, tetapi Pak Gunadi yang melihatku juga langsung sama cemasnya. Dia bahkan meminta maaf langsung kepadaku.Belum sempat aku membuka mulut, tiba-tiba ketukan di jendela bagian belakang membuat kami bertiga menoleh semua. Seorang wanita dengan pakaian yang cukup terbuka itu terlihat begitu ngotot dan seperti ingin men
Aku yakin setelah ini bakalan ada gosip-gosip murahan tentangku. Bukannya aku sok kepedean, melainkan sudah sedari lama aku mendengar tuduhan tak bermoral seperti itu melekat padaku. Gila bukan? Aku saja yang melakoni hidup tidak pernah merasa menjadi simpanan para lelaki hidung belang, apalagi simpanan Gartama Wirasesa. Heol, itu sih bukan aku banget.“Aku melalukan itu biar kamu sadar, kalau kamu itu sudah melakukan hal bodoh karena berniat menjadi sainganku. Lagian, situ gak usah sok manis, deh. Kamu, ‘kan, yang selama ini menyuruh Tama menghindariku? Kamu juga ‘kan yang memblokir nomorku di hp Tama? Kamu juga–”“Wait!” Aku langsung memotong ucapan wanita itu. “Maaf, Nona. Sepertinya ada kesalahpahaman di sini!” ujarku berniat menjelaskan. Namun, wanita itu lagi-lagi langsung menyela ucapanku.“Salah paham!” Ada apa dengan orang ini? Apa pita suaranya tak sakit berteriak keras seperti itu.Lagipula, ini orang ada masalah apa, sih, sama aku? Perasaan aku tak pernah menyinggung siapa
“Yah!” teriak Hina sambil memisahkan tubuh kami.Aku sendiri langsung menatap manik hitam milik Tama dengan pandangan shock. Namun, entah kenapa mataku justru tertuju ke arah bibir Tama. Seketika bayangan bibir itu yang menciumku tadi kembali terbayang dalam otakku layaknya kaset rusak."Gak, Na. Kamu gak boleh mikir kayak gitu!" batinku mengelak. Aku langsung menunduk untuk menutupi rona merah di pipiku ketika pandangan mata kami tidak sengaja saling bertemu."Tama!" Wanita itu menjerit tak terima, tetapi tidak kami pedulikan sampai hal yang lebih mengejutkan terjadi. "Arghhh!" "Pak Tama!" Aku menjerit reflek saat Tama yang tiba-tiba berdiri melindungi wajahku dari serangan si Hina.Aku menatap orang yang kini tengah memelukku dan melindungiku dengan tatapan campur aduk. Aroma musk langsung menyapa indera penciumanku saat tubuhnya memelukku. Aku langsung menunduk dan meremas bagian dadaku ketika debaran itu kembali datang.Aku langsung mengumpat dengan imajinasiku yang kadang suka m
"Apa kamu tahu di mana kacamataku?"Aku dan Nadia langsung bertemu tatap dan kami refleks melihat ke arah Tama yang masih berdiri di depan pintu ruangannya. "Naina," panggilnya lagi dengan suara huskynya yang membuatku merinding. "Em, apa bapak lupa menaruhnya di kamar mandi? Bukankah biasanya--""Masuk dan bantu aku cari!" perintahnya dengan seenaknya. Si Tama dengan semua jiwa otoriternya kadang membuatku hanya bisa mengangguk. "Baik, Pak." Aku lalu melirik ke arah Nadia yang langsung membuat gesture telepon dengan tangannya. Kepalaku mengangguk dan kemudian meninggalkan Nadia yang juga pergi meninggalkan lantai 14."Permisi, Pak," ujarku saat akan melewati Tama. Aku berusaha menjaga kesopanan di antara makian yang kini sudah berada di ujung lidahku. "Lagian ini orang kenapa tidak menyingkir, sih? Kenapa juga harus tetap berdiri di samping pintu?" batinku menggerutu."Apa yang sedang dia lakukan tadi? Apa dia akan mengajakmu pulang?" Suara Tama tiba-tiba sudah berada di belakangk
Ingatanku akan kejadian beberapa hari yang lalu kembali berputar di mana saat itu, aku duduk di taman sendiri karena merasa sedikit pusing. "Aish, kepalaku sakit banget," keluhku sambil memijatnya. "Mana mual lagi."Aku menutup mulut saat ada dorongan dari lambung. Aku segera mendongak untuk mencegah mual itu. Namun, itu ternyata tak berhasil karena rasa ingin muntah itu justru semasih terus membayangiku.Tak tahan, aku pun langsung berlari ke tong sampah terdekat dan mengeluarkan semua isi lambungku. "Pahit," keluhku.Tiba-tiba, aku merasa bagian tengkukku ada yang memijat dan bahkan rambutku yang terurai menghalangi kini sudah dipegang oleh orang tersebut. "Sudah," ujarku memberitahu.Setelah selesai memuntahkan semua, badanku terasa lemas dan lagi-lagi orang itu membantuku untuk duduk ke kursi."Ckckck, kamu tuh ngapain berangkat kerja kalau lagi sakit, Na!" Kaisar Mahendra, seniorku ketika kuliah dulu. Tapi, kami beda jurusan, cuma karena kami satu arah dan menjadi tetangga kos ma