“Bisa gak sekali saja kamu bangunin saya gak pake teriak, Na! Bisa-bisa telinga saya ini jadi tuli.”
Suara serak dan maskulin langsung menyapa indera pendengaranku. Bibirku langsung cemberut dan dengan cepat membalikkan tubuh hingga membelakangi seorang lelaki yang dengan begitu percaya diri tidur hanya mengenakan celana pendek.Apa pria ini tidak tahu jika auratnya itu begitu membuatku menggila. Aku ini adalah pecinta pria yang bertubuh atletis dan kenapa juga Gartama harus memiliki semua tipe idealku sebagai pendamping hidup, tetapi tidak dengan sifat menyebalkan yang sungguh membuatku ingin menceburkan dia ke sungai A****n.“Kamu ngapain masih berdiri di situ? Dan mau sampai kapan kau membelakangiku? Apa kamu tidak ingin memberitahu jadwalku hari ini?”“T-tapi bapak sudah berpakaian, ‘kan?” Eh, itu bukan suaraku, ‘kan? Kenapa jadi gugup begini, sih! Come on, Ina! Itu tubuh udah sering kamu lihat beberapa tahun ini. Jadi, gak usah lebay, deh!“Cih, gayamu udah kayak anak perawan saja.” Cibirannya benar-benar membuatku ingin melempar sandal rumah ini ke mulutnya yang kissable itu. Oh, ayolah, Naina. Ada apa dengan otakmu pagi ini? Aku pun memutuskan untuk menarik napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkannya dari mulut.“Naina.”“Bisa gak sih gak usah panggil namaku semanis itu?” jeritku dalam hati.Aku pun membalikkan tubuh dan ternyata memang benar jika pria itu sudah menggunakan jubah tidurnya, tetapi itu kulit dadanya bisa gak sih ditutup dengan benar. Apa dia gak tahu tangan ini begitu gatal ingin mengusapnya. “Naina, stop! Otakmu sepertinya mulai bermasalah!” batinku mengingatkan.“Untuk jam 10 nanti bapak ada rapat dengan Pak Riki di restoran Jepang, lalu jam 3 sore ada rapat dengan dewan direksi. Sedangkan nanti malam, Nyonya meminta saya untuk mengingatkan Anda untuk datang ke acara pernikahan dari Nona Rebecca.”“Bisakah yang terakhir kamu batalkan?”“Ada pa, Tuan?”“Aku sedang tak berminat untuk datang ke acara itu.”Aku hanya menyeringai sinis.“Ada apa dengan seringaimu itu?”Sontak hal itu membuatku refleks mengulum bibir. Aku tidak tahu jika pria di depan sana memperhatikanku. Akan tetapi, perhatian dia itu sungguh membuat jengkel. “Tapi, Nyonya Anggun meminta saya untuk membawa Anda–”“Maksudnya, kamu ikut ke sana?” Entah kenapa aku bisa mendengar nada antusias pada suara Gartama, atau mungkin telingaku saja yang mulai eror.“Benar, Tuan,” ujarku sopan. “Kalau gak inget emak situ maksa juga aku ogah datang,” lanjutkan dalam hati.“Ok. Kalau gitu kamu minta Dion buat mempersiapkan pakaian terbaikku.” Dion adalah desainer pribadi keluarga Wirasesa. Kalian tidak perlu kaget, hal itu sudah biasa bagi kaum elite seperti mereka. Memang diriku yang kaum mendang-mending.Walaupun banyak pertanyaan yang kini mulai menggelayuti otakku, tetapi aku memilih mengenyahkan dan segera menunduk sopan karena Gartama akan mandi. Tidak mungkin juga aku melihatnya basah-basahan dan membuat otakku yang masih suci ini menjadi kotor karena harus membayangkan hal tak senonoh berkelebat dalam pikiran.Sambil menunggu pria itu memakai baju, aku duduk di sofa dan memberi perintah kepada Gilang–sekretaris kedua yang selalu siap membantuku ketika aku kerepotan menangani semua jadwal super sibuk milik Gartama. Jika tidak ada Gilang, mungkin aku sudah gila sendiri. Percuma punya duit banyak, tetapi tidak bisa menikmati, itu kata Nadia yang sok bijak.“Pakaikan dasiku!”Sebuah tangan besar tiba-tiba berada tepat di depan wajahku yang sedang sibuk dengan tablet. Aku mendongak dan menemukan wajah Gartama yang sialnya selalu tampan.“Apa kamu akan hanya melihatku tanpa mau membantuku?” Pertanyaan bernada sinis terlontar dari mulut Gartama yang memang selalu sukses membuat imajinasiku ambyar.Dengan satu kali tarikan napas, aku mulai mengulas senyum dan berdiri tepat di depan Gartama, tetapi sepertinya hal ini yang paling membuatku benci dengan diriku. “Maaf, Pak. Bisa tidak bapak menunduk sedikit? Saya kesulitan memasangkan dasi kepada Anda,” ujarku.Tinggi badan Gartama 183 cm, sedangkan diriku yang hanya 163 membuatku terlihat kecil ketika berdiri di sisinya, padahal jika di sebelah teman-teman yang lain aku ini termasuk tinggi. Namun, jika sudah di samping si bos maka aku terlihat seperti kurcaci. Ingin mengelak pun terasa percuma.“Makanya minum susu peninggi badan,” sindirnya.Aku pun hanya tersenyum seadanya, walau tangan ini ingin sekali memukul mulut Gartama yang senang sekali meledek tinggi badanku. “Bapak saja yang terlalu tinggi,” balasku mencibir.Setelah itu, tidak ada yang berbicara. Aku sibuk mengikat dasi di kerah kemeja si bos, sedangkan Gartama … entahlah. Aku tidak bisa melihatnya yang kurasakan dari dirinya adalah embusan napas pria itu menyentuh kulit kepalaku. Mata ini terlalu sibuk untuk membuat simpul kematian di leher sang bos, bercanda. Mana mungkin aku berani melakukan itu, bisa kere langsung diriku.“Aku dengar, kamu mau mengajukan cuti. Mau ke mana kamu?”Keningku mengernyit, lalu setelah selesai membuat simpul dasi pada kemeja si bos kini netraku pun fokus padanya. “Apa saya sudah membicarakan hal ini dengan Anda?” Aku merasa belum pernah bicara tentang hal tersebut makanya bertanya pada si bos.Gartama menggeleng sambil sedikit melonggarkan dasi yang kusimpul tadi. Mungkin dia merasa tercekik karena aku mengikatnya terlalu kencang, tetapi aku tak peduli.“Gilang yang bicara padaku.”Kedua netraku langsung berotasi jengah. Mulut Gilang ini memang paling tidak bisa menjaga rahasia barang sedikit pun, tetapi yang membuat heran kenapa harus kepada Gartama? Padahal niatku hari ini mau bicara langsung pada si bos, tetapi kalau sudah seperti ini pun terasa percuma. Sudah tercebur, ya lanjut basah sekalianlah.“Naina.” Tuh, ‘kan. Gartama dengan suara manis sungguh perpaduan yang membuat jantungku meringis. Sungguh, aku tidak suka jika sudah dalam kondisi seperti ini. Belum sempat aku membuka mulut, pria di depanku sudah kembali bicara.“Kenapa harus 7 hari?” tanya Gartama masih tidak menyerah. “Ya, karena apalagi selain aku ingin bebas darimu, Bos,” balasku dalam hati. Ingat, dalam hati. Mana berani aku bicara segamblang itu di depannya.“Kenapa tidak pergi di hari weekend saja? Kenapa harus satu minggu? Apa kamu tidak tahu jika dalam 7 hari itu ….” Gartama terus saja bicara panjang lebar tentang bagaimana dirinya dan perusahaan tanpa seorang Naina yang sering menghandle semuanya. Belum lagi ketakutan yang sangat tidak masuk akal jika diriku akan mati dimakan buaya, atau dibegal di jalan, atau hal-hal lain yang membuatku ingin sekali mencium bibirnya itu.Aku mengumpat saat pikiran kotor itu kembali membayangiku. Sungguh, diriku ini adalah wanita yang juga memiliki ketertarikan fisik kepada lawan jenis. Akan tetapi, jika mulut si bos sudah khotbah begini kadang membuatku sedikit ilfil. “Jadi, intinya bapak mau ngasih saya cuti apa gak?” Kupotong langsung ceramah Gartama saat diri ini sulit menemukan celah diriku bicara.“Yakin kamu masih nanya?” Kuabaikan tatapan mengintimidasinya.“Bilang iya doang aja pelit,” gerutuku. Aku langsung melengos dan segera berjalan menjauhi sang bos, tetapi pria itu justru menarikku hingga mata kami saling bertemu tatap. Mataku menyipit saat tidak melihat tatapan dingin, ataupun menyebalkan yang biasa diperlihatkan Gartama. Namun, aku justru menemukan sebuah tatapan memohon. Seriously?“Naina, aku dengar!” “Bapak ini sebenarnya ada masalah apa dengan saya, sih? Kenapa setiap saya ingin cuti, atau bahkan libur saja selalu dipersulit? Saya juga manusia, Pak. Saya juga butuh istirahat. Otak saya ini bisa meledak jika terus-terusan digempur oleh kerjaan!” ungkapku pada akhirnya. Deru napasku memburu, kubuang wajahku saat manik hitam legam milik Gartama–yang selalu membuatku luluh– kini tertuju padaku. Akan tetapi, kali ini aku tekadkan hati untuk tidak mudah gentar, apalagi goyah hanya karena sebuah iming-iming bonus, atau kenaikan gaji. Naina Kayla Putri harus mendapat
Aku mengaduh kesakitan saat kening mulusku membentur dashboard. Namun, aku mencoba mengabaikan rasa sakit itu dan menoleh ke arah belakang. “Bapak Tama gak apa-apa, ‘kan? Apa ada yang terluka?” tanyaku cemas.Pria itu terlihat mendesis dan menggelengkan kepala. Aku yakin dia juga kaget karena kejadian itu terlalu mendadak. “Pak? Apa kepala Anda terbentur? Gegar otak atau gimana?” tanyaku beruntun.“Apa kamu mau membuat kita mat– yakh!” Tiba-tiba Gartama berteriak dan menarik wajahku. “Ada apa dengan keningmu?” “Saya?” Aku menatap pria itu dengan bingung, tetapi ketika tangan pria tersebut menyentuh keningku aku langsung meringis. “Kamu berdarah?” “S-saya gak tau,” ucapku, tetapi Pak Gunadi yang melihatku juga langsung sama cemasnya. Dia bahkan meminta maaf langsung kepadaku.Belum sempat aku membuka mulut, tiba-tiba ketukan di jendela bagian belakang membuat kami bertiga menoleh semua. Seorang wanita dengan pakaian yang cukup terbuka itu terlihat begitu ngotot dan seperti ingin men
Aku yakin setelah ini bakalan ada gosip-gosip murahan tentangku. Bukannya aku sok kepedean, melainkan sudah sedari lama aku mendengar tuduhan tak bermoral seperti itu melekat padaku. Gila bukan? Aku saja yang melakoni hidup tidak pernah merasa menjadi simpanan para lelaki hidung belang, apalagi simpanan Gartama Wirasesa. Heol, itu sih bukan aku banget.“Aku melalukan itu biar kamu sadar, kalau kamu itu sudah melakukan hal bodoh karena berniat menjadi sainganku. Lagian, situ gak usah sok manis, deh. Kamu, ‘kan, yang selama ini menyuruh Tama menghindariku? Kamu juga ‘kan yang memblokir nomorku di hp Tama? Kamu juga–”“Wait!” Aku langsung memotong ucapan wanita itu. “Maaf, Nona. Sepertinya ada kesalahpahaman di sini!” ujarku berniat menjelaskan. Namun, wanita itu lagi-lagi langsung menyela ucapanku.“Salah paham!” Ada apa dengan orang ini? Apa pita suaranya tak sakit berteriak keras seperti itu.Lagipula, ini orang ada masalah apa, sih, sama aku? Perasaan aku tak pernah menyinggung siapa
“Yah!” teriak Hina sambil memisahkan tubuh kami.Aku sendiri langsung menatap manik hitam milik Tama dengan pandangan shock. Namun, entah kenapa mataku justru tertuju ke arah bibir Tama. Seketika bayangan bibir itu yang menciumku tadi kembali terbayang dalam otakku layaknya kaset rusak."Gak, Na. Kamu gak boleh mikir kayak gitu!" batinku mengelak. Aku langsung menunduk untuk menutupi rona merah di pipiku ketika pandangan mata kami tidak sengaja saling bertemu."Tama!" Wanita itu menjerit tak terima, tetapi tidak kami pedulikan sampai hal yang lebih mengejutkan terjadi. "Arghhh!" "Pak Tama!" Aku menjerit reflek saat Tama yang tiba-tiba berdiri melindungi wajahku dari serangan si Hina.Aku menatap orang yang kini tengah memelukku dan melindungiku dengan tatapan campur aduk. Aroma musk langsung menyapa indera penciumanku saat tubuhnya memelukku. Aku langsung menunduk dan meremas bagian dadaku ketika debaran itu kembali datang.Aku langsung mengumpat dengan imajinasiku yang kadang suka m
"Apa kamu tahu di mana kacamataku?"Aku dan Nadia langsung bertemu tatap dan kami refleks melihat ke arah Tama yang masih berdiri di depan pintu ruangannya. "Naina," panggilnya lagi dengan suara huskynya yang membuatku merinding. "Em, apa bapak lupa menaruhnya di kamar mandi? Bukankah biasanya--""Masuk dan bantu aku cari!" perintahnya dengan seenaknya. Si Tama dengan semua jiwa otoriternya kadang membuatku hanya bisa mengangguk. "Baik, Pak." Aku lalu melirik ke arah Nadia yang langsung membuat gesture telepon dengan tangannya. Kepalaku mengangguk dan kemudian meninggalkan Nadia yang juga pergi meninggalkan lantai 14."Permisi, Pak," ujarku saat akan melewati Tama. Aku berusaha menjaga kesopanan di antara makian yang kini sudah berada di ujung lidahku. "Lagian ini orang kenapa tidak menyingkir, sih? Kenapa juga harus tetap berdiri di samping pintu?" batinku menggerutu."Apa yang sedang dia lakukan tadi? Apa dia akan mengajakmu pulang?" Suara Tama tiba-tiba sudah berada di belakangk
Ingatanku akan kejadian beberapa hari yang lalu kembali berputar di mana saat itu, aku duduk di taman sendiri karena merasa sedikit pusing. "Aish, kepalaku sakit banget," keluhku sambil memijatnya. "Mana mual lagi."Aku menutup mulut saat ada dorongan dari lambung. Aku segera mendongak untuk mencegah mual itu. Namun, itu ternyata tak berhasil karena rasa ingin muntah itu justru semasih terus membayangiku.Tak tahan, aku pun langsung berlari ke tong sampah terdekat dan mengeluarkan semua isi lambungku. "Pahit," keluhku.Tiba-tiba, aku merasa bagian tengkukku ada yang memijat dan bahkan rambutku yang terurai menghalangi kini sudah dipegang oleh orang tersebut. "Sudah," ujarku memberitahu.Setelah selesai memuntahkan semua, badanku terasa lemas dan lagi-lagi orang itu membantuku untuk duduk ke kursi."Ckckck, kamu tuh ngapain berangkat kerja kalau lagi sakit, Na!" Kaisar Mahendra, seniorku ketika kuliah dulu. Tapi, kami beda jurusan, cuma karena kami satu arah dan menjadi tetangga kos ma
Hari ini adalah hari jumat. Hari di mana menjadi akhir dari satu minggu bagi kami para karyawan untuk bekerja di Perusahaan Wirasesa. Semua berlomba-lomba merencanakan untuk bang out bareng temen dan juga pacar. Bagiku yang jomblo, mau besok weekend, ataupun hari biasa itu tidak akan merubah apa pun. Aku lebih memilih rebahan di atas ranjang sambil memeluk bantal guling dan bertemu sosok tampan di dalam mimpi. Ah, membayangkan saja aku langsung tersenyum senang. Namun, semua itu sepertinya sulit terealisasi karena satu perempuan sedari tadi membuntutiku dengan wajah memelas."Apa sih, Nad?" tanyaku jengah. "Ini aku lagi cuci tangan loh. Jangan sampai air ini kulempar ke muka kamu!" "Ayo, dong, Na! Please! Kamu ikut, yah?" Aku menoleh bosan ke arah Nadia. Dia seharian ini sudah sibuk menerorku, bahkan sebelum matahari terbit dia sudah mengirimiku chat dengan berbagai macam rencana ini dan itu. Kurang kerjaan banget memang itu Nadia.Kami sekarang sedang berada di toilet lantai 5,
Terjebak di dalam lift bersama dengan lelaki tampan, kece, otak brilian, dan incaran banyak wanita itu adalah impian banyak perempuan. Namun, bagiku biasa saja, apalagi kalau modelannya seperti bos seperti Gartama Wirasesa ... ah, tidak terima kasih. Hobinya yang suka bikin baper ini kadang membuatku ingin mencekik leher si pria ter hot di di depanku. Lupakan punggungnya yang lebar dan sandarable itu. Lupakan juga uangnya yang tidak berseri. Sumpah, lupakan semuanya karena percuma juga baper sama itu orang."Kenapa kamu tidak langsung naik ke atas?""Eh, ada apa Pak?" Aku mendongak untuk melihat pantulan wajah datarnya yang ada di depanku. Aku menelan ludah gugup saat pria di depanku balas melihatku, walau lewat kaca lift. Reflek, kepalaku langsung menunduk tak berani menatap balik wajah sempurna Tama. Pria itu berdecak. "Ada urusan apa kamu ke sana? Bukankah hari ini gak ada agenda untuk berkunjung ke divisi 5?" tanyanya ketus.Mataku berotasi jengah. "Maaf, Pak. Saya tadi ke sana