Setelah adegan mari mengangkat koper ala kuli panggul–yang kata si bos berisi salah satu koleksi terbarunya– selesai, kini kami sudah tiba di apartemen milik bos yang letaknya 5 lantai dari kamar milikku.
Ya, kami memang tinggal satu apartemen. Bedanya dia kelas wahid, sedangkan aku masih sama dengan yang lain. Gartama sendiri menempati lantai paling atas, tepatnya penthouse yang kadang membuatku iri setengah mati akan semua harta yang dimilikinya.“Pak, ini kopernya mau ditaruh di mana?” tanyaku sopan.Jangan kalian pikir aku akan dengan baik hati menggotong koper ini lagi, big no. Terima kasih. Aku lebih memilih untuk memanggil security untuk membantuku membawanya.“Taruh situ saja. Udah sana keluar! Aku mau tidur.”Hatiku pun bersorak senang karena bisa terbebas dari Gartama. Dengan cepat aku membungkukkan badan dan tersenyum begitu lebar, kebebasan ini sudah seperti oase di gurun pasir yang terlihat begitu menggiurkan. “Kalau begitu a–”“Jangan lupa besok kamu bangunkan saya pukul 6 pagi dan untuk sarapan ... aku mau roti panggang saja dan juga teh.”“Apa ada lagi, Pak?”“Kamu tolong tutup pintu itu!”“Ok.”“Naina!”Aku yang sudah membalikkan badan kembali harus memutar tubuhku lagi. Masih dengan senyum yang merekah lebar, aku menatap Gartama. “Apa ada lagi, Pak?” tanyaku masih berusaha menahan kewarasanku.“Tolong kamu ganti sandal bulu-bulumu! Itu membuatku geli,” ujarnya dengan tatapan yang sungguh membuatku muak.Bibirku langsung berkedut. Ingin kumaki bos di depanku ini, tetapi ingat cicilan apartemen yang belum lunas membuatku menahan semua rasa jengkelku padanya.“Ingat, Na! Dia itu adalah bos kamu. Dia yang memberikan kamu uang, pekerjaan, bahkan semua fasilitas yang kamu miliki itu diberikan dari gaji perusahaannya. Ok, keep calm, Girl!” batinku.“Kamu ngapain masih di sini?”Tanpa sadar, ternyata aku masih berdiri diam di tempat. Aku pun langsung gelagapan dan segera undur diri sebelum mood pria tua itu menjadi buruk dan mengakibatkan diriku yang tidak akan bisa tidur lagi. “Permisi, Pak.”Kini, setelah sampai di kamar, kulemparkan tubuh ini ke ranjang. Kutatap langit-langit apartemen yang berwarna putih. Aku kira setelah kembali ke kamar aku bisa melanjutkan istirahat, tetapi kenyataannya rasa kantuk itu sudah hilang bersama dengan emosiku kepada si bos.“Tak bisakah dia bersikap wajar saja? Ini sudah lebih dari 10 tahun berlalu, tapi kenapa sikapmu masih saja belum berubah.” Aku pun mendesah, "Masa iya dia masih ada rasa sama aku? Tapi, kalo cinta kenapa kejem banget. Masa iya jam segini aku diminta jemput dia."Aku berbicara sendiri sambil mengingat-ingat akan kejadian beberapa tahun lalu di mana saat itu masih menjadi mahasiswa di salah satu fakultas ternama. Selama aku menempuh pendidikan S1-ku, semua terasa begitu lancar dan damai sebelum kedatangan dia di semester 4.Gratama Wirasesa yang saat itu menjadi seorang dosen baru yang digilai oleh banyak anak kampus karena ketampanan dan juga kepandaiannya.Bagaimana tidak dielu-elukan, di usianya yang baru menginjak 27 tahun dia sudah menjadi dosen, bahkan gelar yang ada di belakang namanya sungguh membuatku iri. Dr. Gratama Wirasesa, B.Sc., M.B.A.Panjang banget bukan namanya?Katanya pria itu sering mengikuti akselerasi saat masih sekolah sehingga membuatnya sudah bisa menjadi dosen muda seperti sekarang.Saat itu, aku ditunjuk menjadi asdosnya Gartama, itu pun karena desakan dari mahasiswa lain. Katanya, mereka semua terlalu takut dan juga susah bernapas, kalau sudah berdekatan dengan dosen muda dan tampan itu.Sungguh menggelikan bukan alasan mereka, tetapi dengan bodohnya aku pun menyanggupi. Seiring berjalannya waktu, kami sering terlibat diskusi bersama di kampus ataupun di tempat lain, bahkan kami sempat berdebat hanya karena perbedaan pendapat.Sebenarnya aku hampir menangis saat itu, tetapi karena gengsi aku menahannya dan tetap menatap pria itu dengan percaya diri.Pada hari berikutnya, Gartama memintaku untuk bertemu di cafe dengan berbagai macam alasan yang menurutku tak masuk akal. Namun, aku tetap datang karena mengira jika dia akan memberiku sebuah bahan untuk matkul besok.Realitanya, pria itu justru mengatakan cinta kepadaku.Kaget, dong!Shock hingga membuatku hanya melongo melihatnya.Ini gila.Aku bahkan sampai mengorek telingaku sendiri dan memintanya untuk mengulang pernyataan cintanya itu. Bukannya mengulang, melainkan dia justru menyebutku dengan gadis bodoh dan tidak peka.Bunuh saja tikus di got itu!Tentu aku terperangah dan juga bingung. Walaupun aku ini jomblo sejati, tetapi aku juga tahu jika pernyataan cinta dari seorang Gartama sungguh sangat tidak romantis, bahkan sangat jauh dari kesan itu.“Maaf, Pak. Aku gak bisa. Aku masih ingin belajar.” Dengan menahan kesal, kujawab saja seperti itu.Mungkin karena itu, Gartama masih menyimpan dendam kepadaku. Pernyataan cinta yang sangat tidak romantis dan juga terkesan menyepelekan itu membuatnya menjadi dendam hingga melakukan penyiksaan di saat aku mendaftar menjadi sekretaris di perusahaan Wirasesa.“Ganteng, sih, ganteng. Tapi, dendaman. Cih! Pantes aja masih jomblo! Eh, tapi aku juga masih jomblo!” Kugaruk rambutku kesal.Karena sibuk mengejar impianku yang ingin menjadi wanita mandiri dan berpenghasilan tinggi, membuatku menjadi manusia paling sengsara di dunia ini, apalagi ketika malam minggu datang.Pada saat karyawan lain sibuk mencari tempat untuk kencan bersama pasangan, sedangkan diriku yang seorang jomblo hanya sibuk tidur, paling banter nonton serial drama yang ada di layar plasma besar yang ada di apartemen.“Hah, menyedihkan banget, sih, hidupku ini. Andai saja, papa masih ada. Pasti Ina gak akan seperti ini,” ucapku berandai-andai.Terlalu sibuk berandai-andai, aku sampai tidak sadar jika alarmku berbunyi. Pukul 05.20. Embusan napas kasar langsung keluar dari hidung mancungku.“Ok, Naina. Sekarang waktunya kerja dan gak usah kebanyakan ngeluh karena itu gak akan memperbaiki apa pun dalam hidupmu. Mari kita hadapi kehidupan yang memang kamu cita-citakan selama ini!” Kukobarkan semangatku.Setelah bersih-bersih, kaki ini melangkah untuk naik ke lantai paling atas menggunakan lift. Ketika menunggu, aku sudah mengorder sarapan pagi untukku dan juga si boss.Jangan berharap aku akan masak untuk Tama, karena akan sangat percuma. Bukannya pujian yang kudapat, melainkan semburan yang kuperoleh.Jika disuruh memilih untuk menjadi ibu rumah tangga yang harus sibuk di dapur atau depan laptop? Maka dengan sangat tegas aku memilih untuk duduk di kursi sambil menghadap laptop.Bunyi lift terbuka membuatku tersadar dari lamunan sesaatku. Sepatu high heel yang kugunakan kini tengah membawaku ke sebuah satu pintu besar yang memang hanya orang-orang tertentu yang bisa mengaksesnya, termasuk diriku.Satu ruangan dengan orang yang pernah kutolak cintanya dulu sungguh membuat sesak napas. Bukan karena aku merasa menyesal menolaknya, melainkan tatapan menusuk dan juga sikap dingin, serta memerintahnya membuatku ingin mencakar dinding.Kutempelkan kartu akses itu dan pintu pun terbuka. Aku terus berjalan menuju satu pintu yang masih tertutup rapat dan sebelum ku ketuk pintu itu, aku menyiapkan sarapan kami yang sudah diantar oleh pihak keamanan tadi.Kini, waktunya membangunkan singa tidur. “Pak Tama, ini sudah pukul 6,” ucapku sambil menempelkan telinga pada pintu.Hening.Hingga dalam hitungan ketiga tidak ada jawaban, berarti bisa dipastikan jika si bos masih terlelap maka kuputuskan untuk mendorong pintu itu.Gelap adalah hal pertama yang aku tangkap ketika memasuki kamar si boss.“Kebiasaan banget, sih, tidurnya pakai dimatiin lampunya. Apa dia tidak tahu jika setan suka gel– arghh!” teriakku sambil menutup mata.“Bisa gak sekali saja kamu bangunin saya gak pake teriak, Na! Bisa-bisa telinga saya ini jadi tuli.” Suara serak dan maskulin langsung menyapa indera pendengaranku. Bibirku langsung cemberut dan dengan cepat membalikkan tubuh hingga membelakangi seorang lelaki yang dengan begitu percaya diri tidur hanya mengenakan celana pendek. Apa pria ini tidak tahu jika auratnya itu begitu membuatku menggila. Aku ini adalah pecinta pria yang bertubuh atletis dan kenapa juga Gartama harus memiliki semua tipe idealku sebagai pendamping hidup, tetapi tidak dengan sifat menyebalkan yang sungguh membuatku ingin menceburkan dia ke sungai A****n.“Kamu ngapain masih berdiri di situ? Dan mau sampai kapan kau membelakangiku? Apa kamu tidak ingin memberitahu jadwalku hari ini?” “T-tapi bapak sudah berpakaian, ‘kan?” Eh, itu bukan suaraku, ‘kan? Kenapa jadi gugup begini, sih! Come on, Ina! Itu tubuh udah sering kamu lihat beberapa tahun ini. Jadi, gak usah lebay, deh! “Cih, gayamu udah kayak anak perawan
“Yakin kamu masih nanya?” Kuabaikan tatapan mengintimidasinya.“Bilang iya doang aja pelit,” gerutuku. Aku langsung melengos dan segera berjalan menjauhi sang bos, tetapi pria itu justru menarikku hingga mata kami saling bertemu tatap. Mataku menyipit saat tidak melihat tatapan dingin, ataupun menyebalkan yang biasa diperlihatkan Gartama. Namun, aku justru menemukan sebuah tatapan memohon. Seriously?“Naina, aku dengar!” “Bapak ini sebenarnya ada masalah apa dengan saya, sih? Kenapa setiap saya ingin cuti, atau bahkan libur saja selalu dipersulit? Saya juga manusia, Pak. Saya juga butuh istirahat. Otak saya ini bisa meledak jika terus-terusan digempur oleh kerjaan!” ungkapku pada akhirnya. Deru napasku memburu, kubuang wajahku saat manik hitam legam milik Gartama–yang selalu membuatku luluh– kini tertuju padaku. Akan tetapi, kali ini aku tekadkan hati untuk tidak mudah gentar, apalagi goyah hanya karena sebuah iming-iming bonus, atau kenaikan gaji. Naina Kayla Putri harus mendapat
Aku mengaduh kesakitan saat kening mulusku membentur dashboard. Namun, aku mencoba mengabaikan rasa sakit itu dan menoleh ke arah belakang. “Bapak Tama gak apa-apa, ‘kan? Apa ada yang terluka?” tanyaku cemas.Pria itu terlihat mendesis dan menggelengkan kepala. Aku yakin dia juga kaget karena kejadian itu terlalu mendadak. “Pak? Apa kepala Anda terbentur? Gegar otak atau gimana?” tanyaku beruntun.“Apa kamu mau membuat kita mat– yakh!” Tiba-tiba Gartama berteriak dan menarik wajahku. “Ada apa dengan keningmu?” “Saya?” Aku menatap pria itu dengan bingung, tetapi ketika tangan pria tersebut menyentuh keningku aku langsung meringis. “Kamu berdarah?” “S-saya gak tau,” ucapku, tetapi Pak Gunadi yang melihatku juga langsung sama cemasnya. Dia bahkan meminta maaf langsung kepadaku.Belum sempat aku membuka mulut, tiba-tiba ketukan di jendela bagian belakang membuat kami bertiga menoleh semua. Seorang wanita dengan pakaian yang cukup terbuka itu terlihat begitu ngotot dan seperti ingin men
Aku yakin setelah ini bakalan ada gosip-gosip murahan tentangku. Bukannya aku sok kepedean, melainkan sudah sedari lama aku mendengar tuduhan tak bermoral seperti itu melekat padaku. Gila bukan? Aku saja yang melakoni hidup tidak pernah merasa menjadi simpanan para lelaki hidung belang, apalagi simpanan Gartama Wirasesa. Heol, itu sih bukan aku banget.“Aku melalukan itu biar kamu sadar, kalau kamu itu sudah melakukan hal bodoh karena berniat menjadi sainganku. Lagian, situ gak usah sok manis, deh. Kamu, ‘kan, yang selama ini menyuruh Tama menghindariku? Kamu juga ‘kan yang memblokir nomorku di hp Tama? Kamu juga–”“Wait!” Aku langsung memotong ucapan wanita itu. “Maaf, Nona. Sepertinya ada kesalahpahaman di sini!” ujarku berniat menjelaskan. Namun, wanita itu lagi-lagi langsung menyela ucapanku.“Salah paham!” Ada apa dengan orang ini? Apa pita suaranya tak sakit berteriak keras seperti itu.Lagipula, ini orang ada masalah apa, sih, sama aku? Perasaan aku tak pernah menyinggung siapa
“Yah!” teriak Hina sambil memisahkan tubuh kami.Aku sendiri langsung menatap manik hitam milik Tama dengan pandangan shock. Namun, entah kenapa mataku justru tertuju ke arah bibir Tama. Seketika bayangan bibir itu yang menciumku tadi kembali terbayang dalam otakku layaknya kaset rusak."Gak, Na. Kamu gak boleh mikir kayak gitu!" batinku mengelak. Aku langsung menunduk untuk menutupi rona merah di pipiku ketika pandangan mata kami tidak sengaja saling bertemu."Tama!" Wanita itu menjerit tak terima, tetapi tidak kami pedulikan sampai hal yang lebih mengejutkan terjadi. "Arghhh!" "Pak Tama!" Aku menjerit reflek saat Tama yang tiba-tiba berdiri melindungi wajahku dari serangan si Hina.Aku menatap orang yang kini tengah memelukku dan melindungiku dengan tatapan campur aduk. Aroma musk langsung menyapa indera penciumanku saat tubuhnya memelukku. Aku langsung menunduk dan meremas bagian dadaku ketika debaran itu kembali datang.Aku langsung mengumpat dengan imajinasiku yang kadang suka m
"Apa kamu tahu di mana kacamataku?"Aku dan Nadia langsung bertemu tatap dan kami refleks melihat ke arah Tama yang masih berdiri di depan pintu ruangannya. "Naina," panggilnya lagi dengan suara huskynya yang membuatku merinding. "Em, apa bapak lupa menaruhnya di kamar mandi? Bukankah biasanya--""Masuk dan bantu aku cari!" perintahnya dengan seenaknya. Si Tama dengan semua jiwa otoriternya kadang membuatku hanya bisa mengangguk. "Baik, Pak." Aku lalu melirik ke arah Nadia yang langsung membuat gesture telepon dengan tangannya. Kepalaku mengangguk dan kemudian meninggalkan Nadia yang juga pergi meninggalkan lantai 14."Permisi, Pak," ujarku saat akan melewati Tama. Aku berusaha menjaga kesopanan di antara makian yang kini sudah berada di ujung lidahku. "Lagian ini orang kenapa tidak menyingkir, sih? Kenapa juga harus tetap berdiri di samping pintu?" batinku menggerutu."Apa yang sedang dia lakukan tadi? Apa dia akan mengajakmu pulang?" Suara Tama tiba-tiba sudah berada di belakangk
Ingatanku akan kejadian beberapa hari yang lalu kembali berputar di mana saat itu, aku duduk di taman sendiri karena merasa sedikit pusing. "Aish, kepalaku sakit banget," keluhku sambil memijatnya. "Mana mual lagi."Aku menutup mulut saat ada dorongan dari lambung. Aku segera mendongak untuk mencegah mual itu. Namun, itu ternyata tak berhasil karena rasa ingin muntah itu justru semasih terus membayangiku.Tak tahan, aku pun langsung berlari ke tong sampah terdekat dan mengeluarkan semua isi lambungku. "Pahit," keluhku.Tiba-tiba, aku merasa bagian tengkukku ada yang memijat dan bahkan rambutku yang terurai menghalangi kini sudah dipegang oleh orang tersebut. "Sudah," ujarku memberitahu.Setelah selesai memuntahkan semua, badanku terasa lemas dan lagi-lagi orang itu membantuku untuk duduk ke kursi."Ckckck, kamu tuh ngapain berangkat kerja kalau lagi sakit, Na!" Kaisar Mahendra, seniorku ketika kuliah dulu. Tapi, kami beda jurusan, cuma karena kami satu arah dan menjadi tetangga kos ma
Hari ini adalah hari jumat. Hari di mana menjadi akhir dari satu minggu bagi kami para karyawan untuk bekerja di Perusahaan Wirasesa. Semua berlomba-lomba merencanakan untuk bang out bareng temen dan juga pacar. Bagiku yang jomblo, mau besok weekend, ataupun hari biasa itu tidak akan merubah apa pun. Aku lebih memilih rebahan di atas ranjang sambil memeluk bantal guling dan bertemu sosok tampan di dalam mimpi. Ah, membayangkan saja aku langsung tersenyum senang. Namun, semua itu sepertinya sulit terealisasi karena satu perempuan sedari tadi membuntutiku dengan wajah memelas."Apa sih, Nad?" tanyaku jengah. "Ini aku lagi cuci tangan loh. Jangan sampai air ini kulempar ke muka kamu!" "Ayo, dong, Na! Please! Kamu ikut, yah?" Aku menoleh bosan ke arah Nadia. Dia seharian ini sudah sibuk menerorku, bahkan sebelum matahari terbit dia sudah mengirimiku chat dengan berbagai macam rencana ini dan itu. Kurang kerjaan banget memang itu Nadia.Kami sekarang sedang berada di toilet lantai 5,