"Apa kamu tahu di mana kacamataku?"
Aku dan Nadia langsung bertemu tatap dan kami refleks melihat ke arah Tama yang masih berdiri di depan pintu ruangannya."Naina," panggilnya lagi dengan suara huskynya yang membuatku merinding."Em, apa bapak lupa menaruhnya di kamar mandi? Bukankah biasanya--""Masuk dan bantu aku cari!" perintahnya dengan seenaknya. Si Tama dengan semua jiwa otoriternya kadang membuatku hanya bisa mengangguk."Baik, Pak." Aku lalu melirik ke arah Nadia yang langsung membuat gesture telepon dengan tangannya. Kepalaku mengangguk dan kemudian meninggalkan Nadia yang juga pergi meninggalkan lantai 14."Permisi, Pak," ujarku saat akan melewati Tama. Aku berusaha menjaga kesopanan di antara makian yang kini sudah berada di ujung lidahku. "Lagian ini orang kenapa tidak menyingkir, sih? Kenapa juga harus tetap berdiri di samping pintu?" batinku menggerutu."Apa yang sedang dia lakukan tadi? Apa dia akan mengajakmu pulang?" Suara Tama tiba-tiba sudah berada di belakangku yang kini tengah berdiri di meja kerjanya dan sialnya, wajah dia tetap aja kelihatan ganteng, padahal ini sudah sore. Ini manusia apa bukan, sih?Sementara diriku ? Dekil in the kumel, kayak baju belum disetrika. Eh, tapi gak dekil juga, sih. Aku sudah melihat wajahku sekilas pada kaca besar yang ada di ruangan si Tama. Masih pantaslah untuk menemani si bos Kutukupret yang senang bikin baper anak orang ke mana-mana.Apa kata duni jika seorang Naina Kayla Putri, sektretaris dari Gartama Wirasesa tidak cantik dan malah kucel? Itu, bisa menjadi musibah untuk kami, terutama untukku."Nania?""Eh, iya, Pak. Em, maksud Bapak, Nadia?" tanyaku bodoh."Menurut kamu siapa lagi selain dia, Naina!" Dia seolah ingin menekankan bahwa diriku ini bodoh karena tidak mengerti dengan apa yang dia katakan.Bibirku refleks memberengut. "Lagian situ ngomongnya gak jelas. Dia ... dia siapa? Kan, yang ada di dalam pikiranku gak hanya mikirin satu dia doang, tetapi kerjaan dan juga tetek bengek si Pak Tua itu juga yang bikin kinerja otakku diperas bagai kuda," desisku kesalAkan tetapi, bibirku mengulas senyum semanis mungkin ke arah Tama. Namun, pria itu justru melengos. Dih, kuampret banget bukan?"Nadia hanya ingin mengajakku pulang, Pak. Kan, tadinya saya pikir tidak akan lembur makanya dia mau memberikan tumpangan padaku," jelasku sambil terus mencari kacamata si Tama yang entah berada di mana.Dari di atas meja, sampai laci pun tak luput dari pencarianku. Akan tetapi, si kacamata yang nyebelinnya sama dengan si pemilik justru seolah sembunyi begitu rapat sehingga membuatku kewalahan.Aku pun kembali berdiri dan menatap Tama dengan mata memmincinh kesal. "Maaf, Pak. Sebenernya bapak terakhir memakai, atau menaruhnya di mana? Siapa tahu dengan seperti itu saya bisa mempunyai bayangan," lanjutku cepat."Kalau aku tau, gak mungkin aku nyuruh kamu buat nyariin, Naina!""Auw! Kenapa Bapak nyentil keningku lagi, sih? Ini yang tadi aja masih kerasa sakitnya," geeutuku pelan di akhir kalimat. Aku langsung mengusap dahiku yang kembali kena sentilan dari Tama."Karena kamu itu bodoh!" ujarnya tanpa beban.Aku langsung menatap pria itu dengan sorot mata tak percaya. Sambil memegang dahi, aku segera berjalan mendekat ke bosku. Namun, karena perbedaan tinggi bada kami, aku harus mendongak hanya untuk berbicara padanya."Apa?" tanya Tama dengan seringai tengilnya. Otot tangannya yang dilipat di depan dada itu benar-benar membuatku hilang fokus. "Kenapa melihatku seperti itu? Nyesel kamu nolak aku dulu?"Aku menelan kasar ludahku. "Jangkrik! Ini maksudnya apa coba bahas masa lalu si sini?" batinku berteriak. Namun, lagi-lagi yang keluar dari mulutku justru berbeda dengan raungan hatiku. "Maaf, Pak. Saya mau nyari kacamata bapak di kamar mandi dulu."Aku sudah berniat kabur. Akan tetapi, seseorang tiba-tiba menarik kerah kemejaku dari belakang. Siapa lagi pelakunya jika bukan Tama, si Pak Tua yang hobi bikin darah tinggi. "Em, apa Bapak butuh sesuatu?" Aku tersenyum manis.Tama diam, tetapi dia melihatku dengan sorot mata yang berbeda dan itu sungguh membuat bulu kudukku meremang. Kakiku bahkan refleks berjalan mundur kala pria di depanku terus mendekat sampai langkahku terhenti saat punggung ini sudah mentok.Aku menelan ludah gugup. Tangannya yang berotot itu kini sudah bertengger kokoh di sisi kepalaku dengan satunya lagi berada di pinggangku. "Woi, jantung! Bisa diem gak? Gak usah bikin kakiku lemas, dong!" batinku memelas."Apa kamu masih dekat dengan dia?" Aroma mint langsung masuk indera penciumanku saat pria itu berbicara begitu dekat denganku."Oh, Tuhan. Please! Tolong hambamu ini agar bisa keluar dari jerat bos gilaku ini!" batinku meminta tolong, apalagi saat jari telunjuk Tama dengan lancang menelusuri wajahku. Aku sampai merinding."Em, bisakah Bapak m-mundur s-sedikit?" Aku berusaha bicara senormal mungkin, walau kenyataannya sulit. Suaraku masih terdengar bergetar gugup dan itu benar-benar melukai harga diriku."Kenapa? Apa jantungmu berdebar sekarang?" Suaranya yang begitu dekat itu membuatku menahan napas. Rasanya, aku ingin pergi, tetapi kakiku seolah tertanam hingga membuatku sulit bergerak."Bukankah kamu juga sering melakukan hal ini dengan dia?""Dia?" Aku mulai menatap balik wajah Tama yang kini hanya berjarak beberapa centi dari wajahku. Aku bahkan hampir kehilangan fokus jika saja tak ingat, kalau pria di depanku ini sering membuatku baper, lalu setelah itu kembali dibanting ke dasar bumi."Maksud Bapak apa?" Keningku mengernyit. "Lalu, siapa yang dimaksud oleh Bapak?"Dia berdecih sinis. "Apa kamu lupa, atau pura-pura lupa dengan apa yang kalian lakukan beberapa hari lalu di taman kantor, hm?" bisiknya tepat di samping telingaku.Tubuhku langsung merinding. Tanganku pun terkepal erat saat merasa tak tahan dengan situasi absurd bin menegangkan ini. Namun, sebisa mungkin aku tetap mengutamakan kewarasan.Otakku mulai berpikir dengan siapa yang dimaksud oleh Tama. Setelah mencoba menggali ingatan, satu nama langsung terlontar begitu saja dari bibirku. "Kaisar?"Lagi-lagi Tama berdecih, bahkan setelah itu dia melepaskan kungkungan diriku hingga tubuhku yang lemas ini terjatuh di atas lantai. Aku mengumpat dengan reaksi tubuhku yang begitu lemah akah keberadaan si Tama itu."Menjauh lah dari dia! Aku gak suka!" perintahnya dingin."Hah!"Ingatanku akan kejadian beberapa hari yang lalu kembali berputar di mana saat itu, aku duduk di taman sendiri karena merasa sedikit pusing. "Aish, kepalaku sakit banget," keluhku sambil memijatnya. "Mana mual lagi."Aku menutup mulut saat ada dorongan dari lambung. Aku segera mendongak untuk mencegah mual itu. Namun, itu ternyata tak berhasil karena rasa ingin muntah itu justru semasih terus membayangiku.Tak tahan, aku pun langsung berlari ke tong sampah terdekat dan mengeluarkan semua isi lambungku. "Pahit," keluhku.Tiba-tiba, aku merasa bagian tengkukku ada yang memijat dan bahkan rambutku yang terurai menghalangi kini sudah dipegang oleh orang tersebut. "Sudah," ujarku memberitahu.Setelah selesai memuntahkan semua, badanku terasa lemas dan lagi-lagi orang itu membantuku untuk duduk ke kursi."Ckckck, kamu tuh ngapain berangkat kerja kalau lagi sakit, Na!" Kaisar Mahendra, seniorku ketika kuliah dulu. Tapi, kami beda jurusan, cuma karena kami satu arah dan menjadi tetangga kos ma
Hari ini adalah hari jumat. Hari di mana menjadi akhir dari satu minggu bagi kami para karyawan untuk bekerja di Perusahaan Wirasesa. Semua berlomba-lomba merencanakan untuk bang out bareng temen dan juga pacar. Bagiku yang jomblo, mau besok weekend, ataupun hari biasa itu tidak akan merubah apa pun. Aku lebih memilih rebahan di atas ranjang sambil memeluk bantal guling dan bertemu sosok tampan di dalam mimpi. Ah, membayangkan saja aku langsung tersenyum senang. Namun, semua itu sepertinya sulit terealisasi karena satu perempuan sedari tadi membuntutiku dengan wajah memelas."Apa sih, Nad?" tanyaku jengah. "Ini aku lagi cuci tangan loh. Jangan sampai air ini kulempar ke muka kamu!" "Ayo, dong, Na! Please! Kamu ikut, yah?" Aku menoleh bosan ke arah Nadia. Dia seharian ini sudah sibuk menerorku, bahkan sebelum matahari terbit dia sudah mengirimiku chat dengan berbagai macam rencana ini dan itu. Kurang kerjaan banget memang itu Nadia.Kami sekarang sedang berada di toilet lantai 5,
Terjebak di dalam lift bersama dengan lelaki tampan, kece, otak brilian, dan incaran banyak wanita itu adalah impian banyak perempuan. Namun, bagiku biasa saja, apalagi kalau modelannya seperti bos seperti Gartama Wirasesa ... ah, tidak terima kasih. Hobinya yang suka bikin baper ini kadang membuatku ingin mencekik leher si pria ter hot di di depanku. Lupakan punggungnya yang lebar dan sandarable itu. Lupakan juga uangnya yang tidak berseri. Sumpah, lupakan semuanya karena percuma juga baper sama itu orang."Kenapa kamu tidak langsung naik ke atas?""Eh, ada apa Pak?" Aku mendongak untuk melihat pantulan wajah datarnya yang ada di depanku. Aku menelan ludah gugup saat pria di depanku balas melihatku, walau lewat kaca lift. Reflek, kepalaku langsung menunduk tak berani menatap balik wajah sempurna Tama. Pria itu berdecak. "Ada urusan apa kamu ke sana? Bukankah hari ini gak ada agenda untuk berkunjung ke divisi 5?" tanyanya ketus.Mataku berotasi jengah. "Maaf, Pak. Saya tadi ke sana
Kalian tahu hal apa yang paling menyebalkan di dunia ini? Yup, menunggu. Aku sudah dandan cantik dari pagi, bahkan aku sampai berendam dengan sabun mahal yang pernah dibelikan oleh Pak Tama. Katanya sih, ada diskon makanya dia beliin aku juga. But, thanks. Apa pun alasannya aku tak peduli yang terpenting aku bisa irit pengeluaran bulan ini dengan produk diskon itu. Aku juga yakin walaupun ini barang diskon harganya tetap membuat dompetku meringis.Semurahnya barang yang dibeli oleh Pak Tama, bagiku tetap mehong, alias mahal. Aku sudah sering menemaninya, bahkan setiap bulan aku yang selalu membeli semua kebutuhan dari beliau. Jadi, tak heran jika aku tau semua harga barang di penthouse nya.Lupakan masalah sabun dan barang-barang si Pak Tama. Jika ada yang tanya kenapa aku bisa berada di lobi apartemen dibandingkan menemani Pak Tama yang sedang meeting dengan klien hari ini, maka akan kujawab dengan senyum senang. Yeah, i'm free. Seperti yang kalian duga, akhirnya aku bisa membuju
"Jadi?" Aku menatap wajah Nadia dengan tampang memelas. Suasana ramai yang ada di sekitar kedai makanan yang kami kunjungi tak membuatku bersemangat, bahkan di saat kue yang sedang viral itu tersaji di depanku, itu tidak membuatku goyah untuk mengangkat wajah.Helaan napas pasrah kini terembus dari hidung mancungku. "Harapan untuk bisa menicure, pedicure, dan shopping pun langsung kandas gegara pak Tama sialan itu, Nad," keluhku lemas.Sengaja aku gak mengangkat panggilan yang entah sudah keberapa kalinya dari orang yang sama. Siapa lagi kalau bukan Gartama Wirasesa. Setelah mematikan panggilan tadi, aku lebih memilih menarik Nadia ke gerai makanan. "Kayaknya itu bos emang beneran cinta deh sama kamu, Na. Eh, biasa aja kali gak usah melotot gitu!"Kupalangkan wajahku ke arah lain. Sial banget nasibku. "Mau sampai lebaran monyet pun, itu orang kagak bakalan bisa jadi jodohku, Nad. Jadi, Lo gak usah berkhayal terlalu tinggi! Jatuhnya nanti situ malah koid gegara aku gak jadi nikah sam
"Sepertinya," jawabku."Oh.""Oh?" Aku membeo ucapan dari pria tua di hadapanku. Mataku menatap penuh tanya dari maksud satu kalimat pendek yang seperti tak ada artinya itu. Pak tua itu tiba-tiba bangun dari posisi jongkoknya dan meninggalkanku tanpa berniat membantuku berdiri. "Kamu bisa jalan sendiri, 'kan? Kalau begitu aku tunggu di mobil!""What?!" Mulutku melongo dengan mata melotot. "Seriusly dia nyuruh aku buat jalan sendiri? Wah!" Aku menunjuk diriku sendiri dengan tak oercaya. "Gila! Laki macam apa dia?" Aku menepuk bagian dadaku yang terasa dongkol akan tingkah menyebalkan Pak Tama. Andai saja aku tahu jika dia akan meninggalkanku seperti ini, aku tak akan pernah mau datang ke sini.Pandanganku kini menatap punggung pria tua itu dengan sorot mata yang tajam. Sementara dia terus melangkah dengan gagahnya keluar lobi dan meninggalkanku yang kini seperti pengemis terduduk di lantai nan dingin ini. Seribu umpatan, bahkan makian sudah berada diujung tenggorokanku, tetapi lagi-
Kini kami telah sampai di kediaman yang tidak pantas disebut dengan rumah. Mansion, atau istana jika kalian ini membayangkan. Bagaimana tidak, pilar-pilar tinggi dan besar itu seolah menegaskan betapa besar dan mewahnya rumah keluarga Wirasesa."Padahal ini bukan kali pertama aku datang, tapi tetap saja masih kagum sama desain ini mansion," gumamku saat mobil kami sudah memasuki halaman luas kediaman Wirasesa.Kali ini adalah kunjunganku yang entah ke berapa karena sudah tidak bisa dihitung, tapi itu bohong. Karena kenyataannya ini adalah kali ketiga aku berkunjung ke mansion ini. Dulu aku datang saat perayaan ulang tahun yang entah keberapa dari orang tua Pak Tama.Kedua, karena saat itu aku tidak sengaja bertemu dengan Anggun Lir–ibu dari Pak Tama– di mall dan kami lanjut memintaku mengibrol di mansion. Sekarang, aku kembali datang atas ajakan dari anaknya, itu pun karena tidak berdaya.“Kamu bisa jalan, kan?” Aku melirik pria itu, lalu tersenyum dengan sinis. “Maaf, Pak. Tugas saya
"Kalau begini ...." Sambil menahan napas, aku berusaha mundur secara perlahan, tetapi tangan Pak Tama justru menahan pinggangku hingga tubuh kami kembali menempel. Aku menelan kasar saat pria tua itu terus mendekatkan wajahnya. "P-pak ....""Iya, Naina?"Wajahku langsung melengos saat jarak kami begitu dekat. Jantungku tiba-tiba berdetak tak terkontrol, apalagi ketika aku merasakan embusan napas pria itu menyentuh leher jenjangku. "Shit! Ini, gak boleh! Pokoknya kamu harus bisa lepas dari dia, Na!" rapalku dalam hati."I-itu nyo-nya u-dah nung-guin, P-pak." Ada apa dengan suaraku? Kenapa aku menjadi gugup seperti ini? Oh, Tuhan. Makhluk apa yang sedang ada di depanku? "Mama sudah masuk sedari tadi, Naina. Jadi, kamu gak perlu takut, atau kamu ingin mama tahu jika kit--""Stop, ah ... pak!" Aku menggigit bibirku yang sudah begitu lancang mengeluarkan suara yang sangat menjijikkan. Kutatap pria itu protes, tetapi Pak Tama justru tersenyum menyeringai."Mendesah, eoh?"Sial! Bos kuampr