Kalian tahu hal apa yang paling menyebalkan di dunia ini? Yup, menunggu. Aku sudah dandan cantik dari pagi, bahkan aku sampai berendam dengan sabun mahal yang pernah dibelikan oleh Pak Tama. Katanya sih, ada diskon makanya dia beliin aku juga. But, thanks. Apa pun alasannya aku tak peduli yang terpenting aku bisa irit pengeluaran bulan ini dengan produk diskon itu. Aku juga yakin walaupun ini barang diskon harganya tetap membuat dompetku meringis.Semurahnya barang yang dibeli oleh Pak Tama, bagiku tetap mehong, alias mahal. Aku sudah sering menemaninya, bahkan setiap bulan aku yang selalu membeli semua kebutuhan dari beliau. Jadi, tak heran jika aku tau semua harga barang di penthouse nya.Lupakan masalah sabun dan barang-barang si Pak Tama. Jika ada yang tanya kenapa aku bisa berada di lobi apartemen dibandingkan menemani Pak Tama yang sedang meeting dengan klien hari ini, maka akan kujawab dengan senyum senang. Yeah, i'm free. Seperti yang kalian duga, akhirnya aku bisa membuju
"Jadi?" Aku menatap wajah Nadia dengan tampang memelas. Suasana ramai yang ada di sekitar kedai makanan yang kami kunjungi tak membuatku bersemangat, bahkan di saat kue yang sedang viral itu tersaji di depanku, itu tidak membuatku goyah untuk mengangkat wajah.Helaan napas pasrah kini terembus dari hidung mancungku. "Harapan untuk bisa menicure, pedicure, dan shopping pun langsung kandas gegara pak Tama sialan itu, Nad," keluhku lemas.Sengaja aku gak mengangkat panggilan yang entah sudah keberapa kalinya dari orang yang sama. Siapa lagi kalau bukan Gartama Wirasesa. Setelah mematikan panggilan tadi, aku lebih memilih menarik Nadia ke gerai makanan. "Kayaknya itu bos emang beneran cinta deh sama kamu, Na. Eh, biasa aja kali gak usah melotot gitu!"Kupalangkan wajahku ke arah lain. Sial banget nasibku. "Mau sampai lebaran monyet pun, itu orang kagak bakalan bisa jadi jodohku, Nad. Jadi, Lo gak usah berkhayal terlalu tinggi! Jatuhnya nanti situ malah koid gegara aku gak jadi nikah sam
"Sepertinya," jawabku."Oh.""Oh?" Aku membeo ucapan dari pria tua di hadapanku. Mataku menatap penuh tanya dari maksud satu kalimat pendek yang seperti tak ada artinya itu. Pak tua itu tiba-tiba bangun dari posisi jongkoknya dan meninggalkanku tanpa berniat membantuku berdiri. "Kamu bisa jalan sendiri, 'kan? Kalau begitu aku tunggu di mobil!""What?!" Mulutku melongo dengan mata melotot. "Seriusly dia nyuruh aku buat jalan sendiri? Wah!" Aku menunjuk diriku sendiri dengan tak oercaya. "Gila! Laki macam apa dia?" Aku menepuk bagian dadaku yang terasa dongkol akan tingkah menyebalkan Pak Tama. Andai saja aku tahu jika dia akan meninggalkanku seperti ini, aku tak akan pernah mau datang ke sini.Pandanganku kini menatap punggung pria tua itu dengan sorot mata yang tajam. Sementara dia terus melangkah dengan gagahnya keluar lobi dan meninggalkanku yang kini seperti pengemis terduduk di lantai nan dingin ini. Seribu umpatan, bahkan makian sudah berada diujung tenggorokanku, tetapi lagi-
Kini kami telah sampai di kediaman yang tidak pantas disebut dengan rumah. Mansion, atau istana jika kalian ini membayangkan. Bagaimana tidak, pilar-pilar tinggi dan besar itu seolah menegaskan betapa besar dan mewahnya rumah keluarga Wirasesa."Padahal ini bukan kali pertama aku datang, tapi tetap saja masih kagum sama desain ini mansion," gumamku saat mobil kami sudah memasuki halaman luas kediaman Wirasesa.Kali ini adalah kunjunganku yang entah ke berapa karena sudah tidak bisa dihitung, tapi itu bohong. Karena kenyataannya ini adalah kali ketiga aku berkunjung ke mansion ini. Dulu aku datang saat perayaan ulang tahun yang entah keberapa dari orang tua Pak Tama.Kedua, karena saat itu aku tidak sengaja bertemu dengan Anggun Lir–ibu dari Pak Tama– di mall dan kami lanjut memintaku mengibrol di mansion. Sekarang, aku kembali datang atas ajakan dari anaknya, itu pun karena tidak berdaya.“Kamu bisa jalan, kan?” Aku melirik pria itu, lalu tersenyum dengan sinis. “Maaf, Pak. Tugas saya
"Kalau begini ...." Sambil menahan napas, aku berusaha mundur secara perlahan, tetapi tangan Pak Tama justru menahan pinggangku hingga tubuh kami kembali menempel. Aku menelan kasar saat pria tua itu terus mendekatkan wajahnya. "P-pak ....""Iya, Naina?"Wajahku langsung melengos saat jarak kami begitu dekat. Jantungku tiba-tiba berdetak tak terkontrol, apalagi ketika aku merasakan embusan napas pria itu menyentuh leher jenjangku. "Shit! Ini, gak boleh! Pokoknya kamu harus bisa lepas dari dia, Na!" rapalku dalam hati."I-itu nyo-nya u-dah nung-guin, P-pak." Ada apa dengan suaraku? Kenapa aku menjadi gugup seperti ini? Oh, Tuhan. Makhluk apa yang sedang ada di depanku? "Mama sudah masuk sedari tadi, Naina. Jadi, kamu gak perlu takut, atau kamu ingin mama tahu jika kit--""Stop, ah ... pak!" Aku menggigit bibirku yang sudah begitu lancang mengeluarkan suara yang sangat menjijikkan. Kutatap pria itu protes, tetapi Pak Tama justru tersenyum menyeringai."Mendesah, eoh?"Sial! Bos kuampr
"Maaf, Pak. Aku gak bisa." Setelah itu, aku pun beringsut mundur. Berdeham untuk menetralkan rasa yang sempat menghampiriku. "S-sebaiknya bapak segera masuk ke dalam!" tuturku lagi. Aku tak lagi mau melihat wajah Pak Tama. Aku justru sibuk melihat sepatuku sampai aku bisa merasakan usapan di kepala dan karena hal itu pula aku mendongak, menatapnya bingung. Pria tua itu tersenyum kecil, tetapi terlihat begitu menyedihkan dan apa benar itu karena ulahku? Tiba-tiba, rasa bersalah langsung menyelimuti hatiku. "Baiklah, jika memang kamu belum bersedia memberiku kesempatan. Tapi, kamu gak akan menjauhiku, 'kan?"Keningku langsung mengernyit. Pria itu menggaruk belakang kepalanya. "Apa kamu tidak ingat? Saat itu kamu selalu menghindar jika bertemu denganku, bahkan kamu sampai putar arah ketika kita tidak sengaja berpapasan?"Bibirku tersenyum meringis. Kini, gantian aku yang menggaruk tengkukku tak enak hati. "S-soal itu ... em, sebaiknya kita tak perlu bahas, Pak. Lagian, mana mungkin sa
Aku segera keluar mansion milik Pak Tama. Sumpah, asli aku udah tak bisa kalau berada satu ruangan lagi dengan mereka. Mereka seolah menyudutkanku dalam sebuah jurang yang akan siap menangkap ku kapan saja.Lelah. Hati dan pikiranku kini sudah tak tahu harus bagaimana. Belum usai pengakuan cinta Pak Tama tadi, sekarang aku kembali terlibat dalam masalah yang jauh lebih pelik. "Calon masa depan? Huh! Gila kali itu orang!" Aku mendengkus kesal sambil menghentakkan kaki ke lantai."Lagian, ada apa dengan pria tua itu? Apa dia pikir setelah membuat jantungku berdebar akan kata-katanya yang romantis, aku akan terpesona? Oh, tidak semudah itu Ferguso!Aku sudah belasan tahun hidup sendiri tanpa bantuan orang tua, bahkan siapa pun. Aku berdiri sendiri, mencari jati diriku hingga kini bisa berdiri tegak seperti ini. Hah! Lalu, apa dia kira akan bisa membeliku dengan kata-kata murahannya itu? Menggelikan!"Kuhentikan langkahku saat sudah berada di kursi taman milik keluarga Wirasesa. Kutolehka
Setelah kembali ke apartemen, aku memilih langsung ke kamar. Melepas asal sepatuku dan menaruh tas yang sedari tadi kubawa. Aku berjalan ke dapur untuk mengambil air minum. Setelah habis, kutaruh lagi gelas itu. Lanjut pergi ke kamar, di sana ternyata ranjang sudah memanggilku untuk menidurinya. "Fyuhhh!" Kuhempaskan tubuh lelah inidi atas ranjang yang empuk dan nyaman.Sambil memeluk guling favoritku, kupejamkan mata mencoba untuk terlelap, tetapi nyatanya mata ini justru tak mau diajak kerjasama. Kejadian tadi di mansion milik keluarga Wirasesa cukup banyak mengambil alih.Kujadikan tanganku sebagai bantal, lalu netra ini menatap kosong langit-langit kamar yang berwarna putih. Aku mengabaikan tubuhku yang sudah lengket oleh keringat. Perasaanku jauh lebih penting sekarang daripada mandi. "Bego! Bego! Bego! Bego!" Kutendang selimut yang ada di bawah kaki dengan perasaan kesal, gemas, dan juga nelangsa. Kutarik salah satu bantal dan kututup wajah ini saking rumitnya kejadian hari i