“Mama! Di mana kaos Abang?”“Huwaa! Abang kenapa buang dasi Nina?”Suara teriakan dan tangisan mengawali pagiku hari ini. Astaga! Kepalaku hampir pecah mengurus dua bocil kesayangan Tama. Setiap hari, bahkan setiap pagi telingaku hampir berdengung mendengar teriakan duo kembar itu.Itu sebenarnya anak siapa, sih? Sumpah berisik banget.“Mah, gak usah dumel dalam hati, deh! Buruan bantu Abang cariin kaos kaki!” Teriakan dari dalam kamar anak pertamaku kembali terdengar. Aku menghela napas. Tangan yang sedang memegang spatula rasanya sudah gatal ingin melempar benda tersebut. Namun, jika teringat bagaimana aku mengandung, melahirkan, dan menyusui, semua amarahku langsung luruh.Berganti menjadi rasa sayang. “Mama lagi masak, Abang,” balasku berteriak. Berharap Nino mau mengerti akan kesibukan mamanya juga.Ya, Nina dan Nino adalah anakku dan Mas Tama. Mereka kini sudah besar, bahkan sudah belajar di sekolah swasta, kelas 2. Usia mereka 8 tahun dan sedang aktif-aktifnya. Jadi, ibunya ju
“Kamu di mana? Apa kamu gak tau ini sudah jam berapa?”“Em, sebentar, Pak!” Aku menggosok kedua mataku yang terasa berat untuk terbuka. Pukul 02.00 wib. Seketika mataku berotasi jengah. Aku menguap lebar sebelum kembali menempelkan ponsel pintar itu ke telinga. "Iya, Pak Tama. Maaf, saya ada di apartemen sekarang. Apa ada yang bisa saya bantu?"Tolong, ini masih pagi! Jangan buat kucing betina ini nge-reog dan berubah menjadi harimau buas yang siap memangsa siapa pun yang sudah menyenggolnya.Aku gak membiarkan pria di seberang sana bicara. "Denger yah, Pak. Lagian ini masih jam pagi ... jam 2 dini hari!" Kutekan kan setiap kata-kataku. "Bapak kalau mau nyuruh sesuatu juga mikir, dong!"Aku meniup poniku yang jatuh menutupi salah satu mata. "Asal bapak tau, yah, kalau saya ini baru mejamin mata pukul 12 tadi. Apa bapak kira saya ini robot yang harus standby 24 jam buat ngurusin bapak doang?" keluhku dalam satu tarikan napas.“Naina. Udah selesai ngocehnya?”“Udah!” ucapku ketus. Ya
Setelah adegan mari mengangkat koper ala kuli panggul–yang kata si bos berisi salah satu koleksi terbarunya– selesai, kini kami sudah tiba di apartemen milik bos yang letaknya 5 lantai dari kamar milikku. Ya, kami memang tinggal satu apartemen. Bedanya dia kelas wahid, sedangkan aku masih sama dengan yang lain. Gartama sendiri menempati lantai paling atas, tepatnya penthouse yang kadang membuatku iri setengah mati akan semua harta yang dimilikinya.“Pak, ini kopernya mau ditaruh di mana?” tanyaku sopan. Jangan kalian pikir aku akan dengan baik hati menggotong koper ini lagi, big no. Terima kasih. Aku lebih memilih untuk memanggil security untuk membantuku membawanya.“Taruh situ saja. Udah sana keluar! Aku mau tidur.”Hatiku pun bersorak senang karena bisa terbebas dari Gartama. Dengan cepat aku membungkukkan badan dan tersenyum begitu lebar, kebebasan ini sudah seperti oase di gurun pasir yang terlihat begitu menggiurkan. “Kalau begitu a–”“Jangan lupa besok kamu bangunkan saya puku
“Bisa gak sekali saja kamu bangunin saya gak pake teriak, Na! Bisa-bisa telinga saya ini jadi tuli.” Suara serak dan maskulin langsung menyapa indera pendengaranku. Bibirku langsung cemberut dan dengan cepat membalikkan tubuh hingga membelakangi seorang lelaki yang dengan begitu percaya diri tidur hanya mengenakan celana pendek. Apa pria ini tidak tahu jika auratnya itu begitu membuatku menggila. Aku ini adalah pecinta pria yang bertubuh atletis dan kenapa juga Gartama harus memiliki semua tipe idealku sebagai pendamping hidup, tetapi tidak dengan sifat menyebalkan yang sungguh membuatku ingin menceburkan dia ke sungai A****n.“Kamu ngapain masih berdiri di situ? Dan mau sampai kapan kau membelakangiku? Apa kamu tidak ingin memberitahu jadwalku hari ini?” “T-tapi bapak sudah berpakaian, ‘kan?” Eh, itu bukan suaraku, ‘kan? Kenapa jadi gugup begini, sih! Come on, Ina! Itu tubuh udah sering kamu lihat beberapa tahun ini. Jadi, gak usah lebay, deh! “Cih, gayamu udah kayak anak perawan
“Yakin kamu masih nanya?” Kuabaikan tatapan mengintimidasinya.“Bilang iya doang aja pelit,” gerutuku. Aku langsung melengos dan segera berjalan menjauhi sang bos, tetapi pria itu justru menarikku hingga mata kami saling bertemu tatap. Mataku menyipit saat tidak melihat tatapan dingin, ataupun menyebalkan yang biasa diperlihatkan Gartama. Namun, aku justru menemukan sebuah tatapan memohon. Seriously?“Naina, aku dengar!” “Bapak ini sebenarnya ada masalah apa dengan saya, sih? Kenapa setiap saya ingin cuti, atau bahkan libur saja selalu dipersulit? Saya juga manusia, Pak. Saya juga butuh istirahat. Otak saya ini bisa meledak jika terus-terusan digempur oleh kerjaan!” ungkapku pada akhirnya. Deru napasku memburu, kubuang wajahku saat manik hitam legam milik Gartama–yang selalu membuatku luluh– kini tertuju padaku. Akan tetapi, kali ini aku tekadkan hati untuk tidak mudah gentar, apalagi goyah hanya karena sebuah iming-iming bonus, atau kenaikan gaji. Naina Kayla Putri harus mendapat
Aku mengaduh kesakitan saat kening mulusku membentur dashboard. Namun, aku mencoba mengabaikan rasa sakit itu dan menoleh ke arah belakang. “Bapak Tama gak apa-apa, ‘kan? Apa ada yang terluka?” tanyaku cemas.Pria itu terlihat mendesis dan menggelengkan kepala. Aku yakin dia juga kaget karena kejadian itu terlalu mendadak. “Pak? Apa kepala Anda terbentur? Gegar otak atau gimana?” tanyaku beruntun.“Apa kamu mau membuat kita mat– yakh!” Tiba-tiba Gartama berteriak dan menarik wajahku. “Ada apa dengan keningmu?” “Saya?” Aku menatap pria itu dengan bingung, tetapi ketika tangan pria tersebut menyentuh keningku aku langsung meringis. “Kamu berdarah?” “S-saya gak tau,” ucapku, tetapi Pak Gunadi yang melihatku juga langsung sama cemasnya. Dia bahkan meminta maaf langsung kepadaku.Belum sempat aku membuka mulut, tiba-tiba ketukan di jendela bagian belakang membuat kami bertiga menoleh semua. Seorang wanita dengan pakaian yang cukup terbuka itu terlihat begitu ngotot dan seperti ingin men
Aku yakin setelah ini bakalan ada gosip-gosip murahan tentangku. Bukannya aku sok kepedean, melainkan sudah sedari lama aku mendengar tuduhan tak bermoral seperti itu melekat padaku. Gila bukan? Aku saja yang melakoni hidup tidak pernah merasa menjadi simpanan para lelaki hidung belang, apalagi simpanan Gartama Wirasesa. Heol, itu sih bukan aku banget.“Aku melalukan itu biar kamu sadar, kalau kamu itu sudah melakukan hal bodoh karena berniat menjadi sainganku. Lagian, situ gak usah sok manis, deh. Kamu, ‘kan, yang selama ini menyuruh Tama menghindariku? Kamu juga ‘kan yang memblokir nomorku di hp Tama? Kamu juga–”“Wait!” Aku langsung memotong ucapan wanita itu. “Maaf, Nona. Sepertinya ada kesalahpahaman di sini!” ujarku berniat menjelaskan. Namun, wanita itu lagi-lagi langsung menyela ucapanku.“Salah paham!” Ada apa dengan orang ini? Apa pita suaranya tak sakit berteriak keras seperti itu.Lagipula, ini orang ada masalah apa, sih, sama aku? Perasaan aku tak pernah menyinggung siapa
“Yah!” teriak Hina sambil memisahkan tubuh kami.Aku sendiri langsung menatap manik hitam milik Tama dengan pandangan shock. Namun, entah kenapa mataku justru tertuju ke arah bibir Tama. Seketika bayangan bibir itu yang menciumku tadi kembali terbayang dalam otakku layaknya kaset rusak."Gak, Na. Kamu gak boleh mikir kayak gitu!" batinku mengelak. Aku langsung menunduk untuk menutupi rona merah di pipiku ketika pandangan mata kami tidak sengaja saling bertemu."Tama!" Wanita itu menjerit tak terima, tetapi tidak kami pedulikan sampai hal yang lebih mengejutkan terjadi. "Arghhh!" "Pak Tama!" Aku menjerit reflek saat Tama yang tiba-tiba berdiri melindungi wajahku dari serangan si Hina.Aku menatap orang yang kini tengah memelukku dan melindungiku dengan tatapan campur aduk. Aroma musk langsung menyapa indera penciumanku saat tubuhnya memelukku. Aku langsung menunduk dan meremas bagian dadaku ketika debaran itu kembali datang.Aku langsung mengumpat dengan imajinasiku yang kadang suka m