Aku mengaduh kesakitan saat kening mulusku membentur dashboard. Namun, aku mencoba mengabaikan rasa sakit itu dan menoleh ke arah belakang. “Bapak Tama gak apa-apa, ‘kan? Apa ada yang terluka?” tanyaku cemas.
Pria itu terlihat mendesis dan menggelengkan kepala. Aku yakin dia juga kaget karena kejadian itu terlalu mendadak. “Pak? Apa kepala Anda terbentur? Gegar otak atau gimana?” tanyaku beruntun.“Apa kamu mau membuat kita mat– yakh!” Tiba-tiba Gartama berteriak dan menarik wajahku. “Ada apa dengan keningmu?”“Saya?” Aku menatap pria itu dengan bingung, tetapi ketika tangan pria tersebut menyentuh keningku aku langsung meringis.“Kamu berdarah?”“S-saya gak tau,” ucapku, tetapi Pak Gunadi yang melihatku juga langsung sama cemasnya. Dia bahkan meminta maaf langsung kepadaku.Belum sempat aku membuka mulut, tiba-tiba ketukan di jendela bagian belakang membuat kami bertiga menoleh semua. Seorang wanita dengan pakaian yang cukup terbuka itu terlihat begitu ngotot dan seperti ingin menghancurkan kaca mobil kami.“Maaf, Pak. Apa Anda mengenal wanita itu?” tanyaku pada Gartama. Kuabaikan darah yang mengalir di pelipisku hanya untuk melihat reaksinya.“Diamlah. Jalan, Pak!” tutur Gartama dingin, tetapi tangannya dengan cekatan segera mengusap pelipisku dengan sapu tangan mahalnya.“Eh, gak usah, Pak. Nanti biar saya–”“Bisa diam gak, sih? Apa susahnya menerima bantuan dari seseorang!”Aku langsung mengatupkan bibir saat mendengar nada dingin serta mata yang menatapku tajam. Rasa takut langsung menyelubungi hatiku jika sudah berhadapan dengan sosok Gartama yang seakan-akan siap memangsa orang.“T-tapi itu tadi–”“Kamu mau diam atau kucium bibirmu!”Aku langsung mundur, tetapi sebuah tangan sudah berada di belakang tengkuk untuk menahan pergerakanku. Mataku pun kembali menatap wajah tampan tanpa cacat Gartama, bahkan kulit wajahnya begitu mulus dan aku yakin lalat akan terpeleset ketika hinggap di sana. Jiwaku langsung iri dengki melihat itu. Aku yang seorang perempuan saja tidak sesempurna itu.“Apa kebiasaanmu yang selalu menahan napas ketika dekat dengan lelaki akan terus berlanjut?”“Hah? Maksudnya?” Aku bertanya heran. Jarak kami begitu dekat, bahkan aku bisa merasakan embusan napasnya dan itu benar-benar menggelitik perutku hingga membuatku menjadi mulas. “B-bapak bisa gak munduran sedikit?”“Kenapa?”“Karena situ udah bikin aku hampir sesak napas, Pak!” Ingin sekali aku berkata seperti itu, tetapi mulutku justru berkata lain, “K-karena itu di gigi bapak ada yang nyangkut.”Setelah itu, Gartama menjauh dan aku langsung menatap ke depan. Aku langsung memegang bagian dadaku yang terus-terusan berdebar setelah kedekatan kami yang benar-benar membuatku sesak napas.Aku juga tidak memedulikan suara Gartama, atau wajahnya yang berubah memerah di belakang setelah apa yang kukatakan. Kini, aku lebih memilih untuk menyelamatkan diri sendiri.“Tapi, Tuan. Mbak yang tadi sepertinya tidak menyerah, deh.” Beritahu Pak Gunadi sambil melirik ke arah spion di depannya.“Maksud kamu?” tanya Gartama yang membuatku jadi ikutan melihat ke arah belakang.Aku mengernyit, tetapi kembali meringis saat luka itu kembali terasa perih. Namun, sosok yang dibicarakan oleh Pak Gunadi memang benar ada di sana. Wanita itu kini tengah menaiki ojek untuk mengejar kami. Aku segera menoleh ke arah sang bos. “Pak, itu gimana?”Terdengar embusan napas berat dari Gartama. Entah masalah apa yang terjadi di antara dua orang itu, tetapi aku tebak jika wanita itu adalah salah satu teman main si bos yang mungkin saja mengejarnya karena ingin minta pertanggungjawaban dari si bos. Aku meringis dengan segala pemikiran buruk yang berkelebat dalam otakku tentang Gartama.“Biarkan saja dia!”Lah, tumben amat. Biasanya kalau ada perempuan yang deketin langsung disosor kayak bebek.“Ngapain kamu ngeliatin aku kayak gitu?”“Ah, itu. Gak, kok, Pak.” Aku langsung menatap kembali ke arah depan, mengabaikan tatapan menusuk dari belakang yang membuatku menelan ludah kasar. Mungkin dia marah atau dendam karena aku sudah membohonginya masalah gigi yang nyangkut itu. Akan tetapi, aku memilih masa bodo.Kini, setelah 15 menit dalam perjalanan, mobil kami sampai di lobi sebuah gedung pencakar langit milik Group Wirasesa. Perusahaan terbesar nomor 1 di Indonesia yang memiliki banyak anak perusahaan yang tersebar di berbagai daerah.Aku segera turun dan mencoba mensejajari langkah Gartama, tetapi pria itu justru menghentikan langkahnya. “Kenapa, Pak? Apa ada yang tertinggal?” Aku ikut melihat ke arah belakang, tetapi mobil yang kami tumpangi sudah pergi.“Kamu ke klinik dan obati lukamu! Aku tidak ingin membuat semua karyawan mengira jika aku ini adalah pemimpin yang tega kepada karyawannya,” tuturnya kemudian.Aku menatapnya datar. “Jika bapak mau tahu, kalau semua orang yang ada di perusahaan ini sudah menganggap bapak ini adalah pemimpin berdarah dingin,” batinku.“Ckckck. Naina, kamu denger gak sama apa yang aku perintahkan?”“Ah, baik, Pak. Saya janji setelah mengobati luka ini akan langsung ke atas buat menyiapkan rapat nanti.”“Gak usah. Aku mau pergi rapat sama Gilang saja. Sudah sana pergi!” usirnya padaku. Sedang dia berjalan menuju lift khusus milik si bos dengan diikuti oleh beberapa pengawal dan dewan direksi.Aku menggaruk rambutku bingung. “Kesambet kali dia, yah?”“Tama! Tunggu … aku mau bicara sama kamu!”Suara teriakan itu segera membuatku menoleh ke arah wanita itu. “Itu orang sampai ke sini juga. Aku samperin aja, deh!” Kulangkahkan kaki ini untuk menghampiri wanita yang sempat membuat kami hampir mati. Dia sendiri kini tengah berdiri di depan lift di mana si bos dan yang lain sudah lebih dulu pergi meninggalkan lantai bawah.Beberapa karyawan juga sama penasarannya denganku akan status wanita itu. Bagaimana tidak? Dia memanggil pemilik perusahaan ini dengan nama kecilnya. Tentu sebuah pertanyaan besar akan asal-usul dan statusnya membuat kami semua berspekulasi jika ada hubungan di antara Gartama dan wanita itu.“Tama!”“Permisi, Nona. Apa ada yang bisa saya bantu?” Aku memberikan senyum ramah kepada wanita itu. Ingat, ini adalah jam kerja dan diriku harus bersikap profesional, walau dalam hati ingin mencakar wajahnya yang kini tengah menatapku penuh penilaian dari atas hingga bawah. “Lancang sekali wanita ini!” umpatku dalam hati.“Kamu sekretarisnya Tama, ‘kan?” tanyanya sombong.Aku kembali mengulas senyum ramah. “Benar, Nona. Apa Anda ingin bertemu dengan Bapak Tama?” tanyanyaku sopan.“Gak usah sok manis, deh. Aku tahu kalau kamu itu hanyalah simpanan dia, ‘kan? Kamu yang udah buat Tama jadi menjauh dari aku, ‘kan? Ngaku aja, deh!” tuduhnya.Kupegang telunjuk tangan wanita yang menunjuk-nunjuk wajahku tidak sopan, bahkan beberapa karyawan yang masih berada di lantai bawah kini tengah mengerubungi kami. Aku turunkan tangan itu dengan perlahan dan masih mengulas senyum manis padanya. “Maaf, Nona. Sepertinya Anda salah orang. Ya, saya memang sekretaris bapak Tama. Tapi, saya bukan simpanan bapak. Jadi, jika Anda–”Tiba-tiba, sebuah tamparan keras sudah melayang ke wajahku. Aku mengerjap shock hingga beberapa detik tidak ada suara apa pun yang kudengar dari sekitar. Namun, setelah sadar dari rasa terkejut, aku berusaha bersikap biasa saja, walau aku merasakan anyir dalam mulutku. Kutegakkan kembali tubuh ini dan ditatapnya wajah wanita itu dengan dingin. “Apa maksud Anda menampar saya?”Aku yakin setelah ini bakalan ada gosip-gosip murahan tentangku. Bukannya aku sok kepedean, melainkan sudah sedari lama aku mendengar tuduhan tak bermoral seperti itu melekat padaku. Gila bukan? Aku saja yang melakoni hidup tidak pernah merasa menjadi simpanan para lelaki hidung belang, apalagi simpanan Gartama Wirasesa. Heol, itu sih bukan aku banget.“Aku melalukan itu biar kamu sadar, kalau kamu itu sudah melakukan hal bodoh karena berniat menjadi sainganku. Lagian, situ gak usah sok manis, deh. Kamu, ‘kan, yang selama ini menyuruh Tama menghindariku? Kamu juga ‘kan yang memblokir nomorku di hp Tama? Kamu juga–”“Wait!” Aku langsung memotong ucapan wanita itu. “Maaf, Nona. Sepertinya ada kesalahpahaman di sini!” ujarku berniat menjelaskan. Namun, wanita itu lagi-lagi langsung menyela ucapanku.“Salah paham!” Ada apa dengan orang ini? Apa pita suaranya tak sakit berteriak keras seperti itu.Lagipula, ini orang ada masalah apa, sih, sama aku? Perasaan aku tak pernah menyinggung siapa
“Yah!” teriak Hina sambil memisahkan tubuh kami.Aku sendiri langsung menatap manik hitam milik Tama dengan pandangan shock. Namun, entah kenapa mataku justru tertuju ke arah bibir Tama. Seketika bayangan bibir itu yang menciumku tadi kembali terbayang dalam otakku layaknya kaset rusak."Gak, Na. Kamu gak boleh mikir kayak gitu!" batinku mengelak. Aku langsung menunduk untuk menutupi rona merah di pipiku ketika pandangan mata kami tidak sengaja saling bertemu."Tama!" Wanita itu menjerit tak terima, tetapi tidak kami pedulikan sampai hal yang lebih mengejutkan terjadi. "Arghhh!" "Pak Tama!" Aku menjerit reflek saat Tama yang tiba-tiba berdiri melindungi wajahku dari serangan si Hina.Aku menatap orang yang kini tengah memelukku dan melindungiku dengan tatapan campur aduk. Aroma musk langsung menyapa indera penciumanku saat tubuhnya memelukku. Aku langsung menunduk dan meremas bagian dadaku ketika debaran itu kembali datang.Aku langsung mengumpat dengan imajinasiku yang kadang suka m
"Apa kamu tahu di mana kacamataku?"Aku dan Nadia langsung bertemu tatap dan kami refleks melihat ke arah Tama yang masih berdiri di depan pintu ruangannya. "Naina," panggilnya lagi dengan suara huskynya yang membuatku merinding. "Em, apa bapak lupa menaruhnya di kamar mandi? Bukankah biasanya--""Masuk dan bantu aku cari!" perintahnya dengan seenaknya. Si Tama dengan semua jiwa otoriternya kadang membuatku hanya bisa mengangguk. "Baik, Pak." Aku lalu melirik ke arah Nadia yang langsung membuat gesture telepon dengan tangannya. Kepalaku mengangguk dan kemudian meninggalkan Nadia yang juga pergi meninggalkan lantai 14."Permisi, Pak," ujarku saat akan melewati Tama. Aku berusaha menjaga kesopanan di antara makian yang kini sudah berada di ujung lidahku. "Lagian ini orang kenapa tidak menyingkir, sih? Kenapa juga harus tetap berdiri di samping pintu?" batinku menggerutu."Apa yang sedang dia lakukan tadi? Apa dia akan mengajakmu pulang?" Suara Tama tiba-tiba sudah berada di belakangk
Ingatanku akan kejadian beberapa hari yang lalu kembali berputar di mana saat itu, aku duduk di taman sendiri karena merasa sedikit pusing. "Aish, kepalaku sakit banget," keluhku sambil memijatnya. "Mana mual lagi."Aku menutup mulut saat ada dorongan dari lambung. Aku segera mendongak untuk mencegah mual itu. Namun, itu ternyata tak berhasil karena rasa ingin muntah itu justru semasih terus membayangiku.Tak tahan, aku pun langsung berlari ke tong sampah terdekat dan mengeluarkan semua isi lambungku. "Pahit," keluhku.Tiba-tiba, aku merasa bagian tengkukku ada yang memijat dan bahkan rambutku yang terurai menghalangi kini sudah dipegang oleh orang tersebut. "Sudah," ujarku memberitahu.Setelah selesai memuntahkan semua, badanku terasa lemas dan lagi-lagi orang itu membantuku untuk duduk ke kursi."Ckckck, kamu tuh ngapain berangkat kerja kalau lagi sakit, Na!" Kaisar Mahendra, seniorku ketika kuliah dulu. Tapi, kami beda jurusan, cuma karena kami satu arah dan menjadi tetangga kos ma
Hari ini adalah hari jumat. Hari di mana menjadi akhir dari satu minggu bagi kami para karyawan untuk bekerja di Perusahaan Wirasesa. Semua berlomba-lomba merencanakan untuk bang out bareng temen dan juga pacar. Bagiku yang jomblo, mau besok weekend, ataupun hari biasa itu tidak akan merubah apa pun. Aku lebih memilih rebahan di atas ranjang sambil memeluk bantal guling dan bertemu sosok tampan di dalam mimpi. Ah, membayangkan saja aku langsung tersenyum senang. Namun, semua itu sepertinya sulit terealisasi karena satu perempuan sedari tadi membuntutiku dengan wajah memelas."Apa sih, Nad?" tanyaku jengah. "Ini aku lagi cuci tangan loh. Jangan sampai air ini kulempar ke muka kamu!" "Ayo, dong, Na! Please! Kamu ikut, yah?" Aku menoleh bosan ke arah Nadia. Dia seharian ini sudah sibuk menerorku, bahkan sebelum matahari terbit dia sudah mengirimiku chat dengan berbagai macam rencana ini dan itu. Kurang kerjaan banget memang itu Nadia.Kami sekarang sedang berada di toilet lantai 5,
Terjebak di dalam lift bersama dengan lelaki tampan, kece, otak brilian, dan incaran banyak wanita itu adalah impian banyak perempuan. Namun, bagiku biasa saja, apalagi kalau modelannya seperti bos seperti Gartama Wirasesa ... ah, tidak terima kasih. Hobinya yang suka bikin baper ini kadang membuatku ingin mencekik leher si pria ter hot di di depanku. Lupakan punggungnya yang lebar dan sandarable itu. Lupakan juga uangnya yang tidak berseri. Sumpah, lupakan semuanya karena percuma juga baper sama itu orang."Kenapa kamu tidak langsung naik ke atas?""Eh, ada apa Pak?" Aku mendongak untuk melihat pantulan wajah datarnya yang ada di depanku. Aku menelan ludah gugup saat pria di depanku balas melihatku, walau lewat kaca lift. Reflek, kepalaku langsung menunduk tak berani menatap balik wajah sempurna Tama. Pria itu berdecak. "Ada urusan apa kamu ke sana? Bukankah hari ini gak ada agenda untuk berkunjung ke divisi 5?" tanyanya ketus.Mataku berotasi jengah. "Maaf, Pak. Saya tadi ke sana
Kalian tahu hal apa yang paling menyebalkan di dunia ini? Yup, menunggu. Aku sudah dandan cantik dari pagi, bahkan aku sampai berendam dengan sabun mahal yang pernah dibelikan oleh Pak Tama. Katanya sih, ada diskon makanya dia beliin aku juga. But, thanks. Apa pun alasannya aku tak peduli yang terpenting aku bisa irit pengeluaran bulan ini dengan produk diskon itu. Aku juga yakin walaupun ini barang diskon harganya tetap membuat dompetku meringis.Semurahnya barang yang dibeli oleh Pak Tama, bagiku tetap mehong, alias mahal. Aku sudah sering menemaninya, bahkan setiap bulan aku yang selalu membeli semua kebutuhan dari beliau. Jadi, tak heran jika aku tau semua harga barang di penthouse nya.Lupakan masalah sabun dan barang-barang si Pak Tama. Jika ada yang tanya kenapa aku bisa berada di lobi apartemen dibandingkan menemani Pak Tama yang sedang meeting dengan klien hari ini, maka akan kujawab dengan senyum senang. Yeah, i'm free. Seperti yang kalian duga, akhirnya aku bisa membuju
"Jadi?" Aku menatap wajah Nadia dengan tampang memelas. Suasana ramai yang ada di sekitar kedai makanan yang kami kunjungi tak membuatku bersemangat, bahkan di saat kue yang sedang viral itu tersaji di depanku, itu tidak membuatku goyah untuk mengangkat wajah.Helaan napas pasrah kini terembus dari hidung mancungku. "Harapan untuk bisa menicure, pedicure, dan shopping pun langsung kandas gegara pak Tama sialan itu, Nad," keluhku lemas.Sengaja aku gak mengangkat panggilan yang entah sudah keberapa kalinya dari orang yang sama. Siapa lagi kalau bukan Gartama Wirasesa. Setelah mematikan panggilan tadi, aku lebih memilih menarik Nadia ke gerai makanan. "Kayaknya itu bos emang beneran cinta deh sama kamu, Na. Eh, biasa aja kali gak usah melotot gitu!"Kupalangkan wajahku ke arah lain. Sial banget nasibku. "Mau sampai lebaran monyet pun, itu orang kagak bakalan bisa jadi jodohku, Nad. Jadi, Lo gak usah berkhayal terlalu tinggi! Jatuhnya nanti situ malah koid gegara aku gak jadi nikah sam