"Apa kamu tahu di mana kacamataku?"Aku dan Nadia langsung bertemu tatap dan kami refleks melihat ke arah Tama yang masih berdiri di depan pintu ruangannya. "Naina," panggilnya lagi dengan suara huskynya yang membuatku merinding. "Em, apa bapak lupa menaruhnya di kamar mandi? Bukankah biasanya--""Masuk dan bantu aku cari!" perintahnya dengan seenaknya. Si Tama dengan semua jiwa otoriternya kadang membuatku hanya bisa mengangguk. "Baik, Pak." Aku lalu melirik ke arah Nadia yang langsung membuat gesture telepon dengan tangannya. Kepalaku mengangguk dan kemudian meninggalkan Nadia yang juga pergi meninggalkan lantai 14."Permisi, Pak," ujarku saat akan melewati Tama. Aku berusaha menjaga kesopanan di antara makian yang kini sudah berada di ujung lidahku. "Lagian ini orang kenapa tidak menyingkir, sih? Kenapa juga harus tetap berdiri di samping pintu?" batinku menggerutu."Apa yang sedang dia lakukan tadi? Apa dia akan mengajakmu pulang?" Suara Tama tiba-tiba sudah berada di belakangk
Ingatanku akan kejadian beberapa hari yang lalu kembali berputar di mana saat itu, aku duduk di taman sendiri karena merasa sedikit pusing. "Aish, kepalaku sakit banget," keluhku sambil memijatnya. "Mana mual lagi."Aku menutup mulut saat ada dorongan dari lambung. Aku segera mendongak untuk mencegah mual itu. Namun, itu ternyata tak berhasil karena rasa ingin muntah itu justru semasih terus membayangiku.Tak tahan, aku pun langsung berlari ke tong sampah terdekat dan mengeluarkan semua isi lambungku. "Pahit," keluhku.Tiba-tiba, aku merasa bagian tengkukku ada yang memijat dan bahkan rambutku yang terurai menghalangi kini sudah dipegang oleh orang tersebut. "Sudah," ujarku memberitahu.Setelah selesai memuntahkan semua, badanku terasa lemas dan lagi-lagi orang itu membantuku untuk duduk ke kursi."Ckckck, kamu tuh ngapain berangkat kerja kalau lagi sakit, Na!" Kaisar Mahendra, seniorku ketika kuliah dulu. Tapi, kami beda jurusan, cuma karena kami satu arah dan menjadi tetangga kos ma
Hari ini adalah hari jumat. Hari di mana menjadi akhir dari satu minggu bagi kami para karyawan untuk bekerja di Perusahaan Wirasesa. Semua berlomba-lomba merencanakan untuk bang out bareng temen dan juga pacar. Bagiku yang jomblo, mau besok weekend, ataupun hari biasa itu tidak akan merubah apa pun. Aku lebih memilih rebahan di atas ranjang sambil memeluk bantal guling dan bertemu sosok tampan di dalam mimpi. Ah, membayangkan saja aku langsung tersenyum senang. Namun, semua itu sepertinya sulit terealisasi karena satu perempuan sedari tadi membuntutiku dengan wajah memelas."Apa sih, Nad?" tanyaku jengah. "Ini aku lagi cuci tangan loh. Jangan sampai air ini kulempar ke muka kamu!" "Ayo, dong, Na! Please! Kamu ikut, yah?" Aku menoleh bosan ke arah Nadia. Dia seharian ini sudah sibuk menerorku, bahkan sebelum matahari terbit dia sudah mengirimiku chat dengan berbagai macam rencana ini dan itu. Kurang kerjaan banget memang itu Nadia.Kami sekarang sedang berada di toilet lantai 5,
Terjebak di dalam lift bersama dengan lelaki tampan, kece, otak brilian, dan incaran banyak wanita itu adalah impian banyak perempuan. Namun, bagiku biasa saja, apalagi kalau modelannya seperti bos seperti Gartama Wirasesa ... ah, tidak terima kasih. Hobinya yang suka bikin baper ini kadang membuatku ingin mencekik leher si pria ter hot di di depanku. Lupakan punggungnya yang lebar dan sandarable itu. Lupakan juga uangnya yang tidak berseri. Sumpah, lupakan semuanya karena percuma juga baper sama itu orang."Kenapa kamu tidak langsung naik ke atas?""Eh, ada apa Pak?" Aku mendongak untuk melihat pantulan wajah datarnya yang ada di depanku. Aku menelan ludah gugup saat pria di depanku balas melihatku, walau lewat kaca lift. Reflek, kepalaku langsung menunduk tak berani menatap balik wajah sempurna Tama. Pria itu berdecak. "Ada urusan apa kamu ke sana? Bukankah hari ini gak ada agenda untuk berkunjung ke divisi 5?" tanyanya ketus.Mataku berotasi jengah. "Maaf, Pak. Saya tadi ke sana
Kalian tahu hal apa yang paling menyebalkan di dunia ini? Yup, menunggu. Aku sudah dandan cantik dari pagi, bahkan aku sampai berendam dengan sabun mahal yang pernah dibelikan oleh Pak Tama. Katanya sih, ada diskon makanya dia beliin aku juga. But, thanks. Apa pun alasannya aku tak peduli yang terpenting aku bisa irit pengeluaran bulan ini dengan produk diskon itu. Aku juga yakin walaupun ini barang diskon harganya tetap membuat dompetku meringis.Semurahnya barang yang dibeli oleh Pak Tama, bagiku tetap mehong, alias mahal. Aku sudah sering menemaninya, bahkan setiap bulan aku yang selalu membeli semua kebutuhan dari beliau. Jadi, tak heran jika aku tau semua harga barang di penthouse nya.Lupakan masalah sabun dan barang-barang si Pak Tama. Jika ada yang tanya kenapa aku bisa berada di lobi apartemen dibandingkan menemani Pak Tama yang sedang meeting dengan klien hari ini, maka akan kujawab dengan senyum senang. Yeah, i'm free. Seperti yang kalian duga, akhirnya aku bisa membuju
"Jadi?" Aku menatap wajah Nadia dengan tampang memelas. Suasana ramai yang ada di sekitar kedai makanan yang kami kunjungi tak membuatku bersemangat, bahkan di saat kue yang sedang viral itu tersaji di depanku, itu tidak membuatku goyah untuk mengangkat wajah.Helaan napas pasrah kini terembus dari hidung mancungku. "Harapan untuk bisa menicure, pedicure, dan shopping pun langsung kandas gegara pak Tama sialan itu, Nad," keluhku lemas.Sengaja aku gak mengangkat panggilan yang entah sudah keberapa kalinya dari orang yang sama. Siapa lagi kalau bukan Gartama Wirasesa. Setelah mematikan panggilan tadi, aku lebih memilih menarik Nadia ke gerai makanan. "Kayaknya itu bos emang beneran cinta deh sama kamu, Na. Eh, biasa aja kali gak usah melotot gitu!"Kupalangkan wajahku ke arah lain. Sial banget nasibku. "Mau sampai lebaran monyet pun, itu orang kagak bakalan bisa jadi jodohku, Nad. Jadi, Lo gak usah berkhayal terlalu tinggi! Jatuhnya nanti situ malah koid gegara aku gak jadi nikah sam
"Sepertinya," jawabku."Oh.""Oh?" Aku membeo ucapan dari pria tua di hadapanku. Mataku menatap penuh tanya dari maksud satu kalimat pendek yang seperti tak ada artinya itu. Pak tua itu tiba-tiba bangun dari posisi jongkoknya dan meninggalkanku tanpa berniat membantuku berdiri. "Kamu bisa jalan sendiri, 'kan? Kalau begitu aku tunggu di mobil!""What?!" Mulutku melongo dengan mata melotot. "Seriusly dia nyuruh aku buat jalan sendiri? Wah!" Aku menunjuk diriku sendiri dengan tak oercaya. "Gila! Laki macam apa dia?" Aku menepuk bagian dadaku yang terasa dongkol akan tingkah menyebalkan Pak Tama. Andai saja aku tahu jika dia akan meninggalkanku seperti ini, aku tak akan pernah mau datang ke sini.Pandanganku kini menatap punggung pria tua itu dengan sorot mata yang tajam. Sementara dia terus melangkah dengan gagahnya keluar lobi dan meninggalkanku yang kini seperti pengemis terduduk di lantai nan dingin ini. Seribu umpatan, bahkan makian sudah berada diujung tenggorokanku, tetapi lagi-
Kini kami telah sampai di kediaman yang tidak pantas disebut dengan rumah. Mansion, atau istana jika kalian ini membayangkan. Bagaimana tidak, pilar-pilar tinggi dan besar itu seolah menegaskan betapa besar dan mewahnya rumah keluarga Wirasesa."Padahal ini bukan kali pertama aku datang, tapi tetap saja masih kagum sama desain ini mansion," gumamku saat mobil kami sudah memasuki halaman luas kediaman Wirasesa.Kali ini adalah kunjunganku yang entah ke berapa karena sudah tidak bisa dihitung, tapi itu bohong. Karena kenyataannya ini adalah kali ketiga aku berkunjung ke mansion ini. Dulu aku datang saat perayaan ulang tahun yang entah keberapa dari orang tua Pak Tama.Kedua, karena saat itu aku tidak sengaja bertemu dengan Anggun Lir–ibu dari Pak Tama– di mall dan kami lanjut memintaku mengibrol di mansion. Sekarang, aku kembali datang atas ajakan dari anaknya, itu pun karena tidak berdaya.“Kamu bisa jalan, kan?” Aku melirik pria itu, lalu tersenyum dengan sinis. “Maaf, Pak. Tugas saya