Ingatanku akan kejadian beberapa hari yang lalu kembali berputar di mana saat itu, aku duduk di taman sendiri karena merasa sedikit pusing. "Aish, kepalaku sakit banget," keluhku sambil memijatnya. "Mana mual lagi."
Aku menutup mulut saat ada dorongan dari lambung. Aku segera mendongak untuk mencegah mual itu. Namun, itu ternyata tak berhasil karena rasa ingin muntah itu justru semasih terus membayangiku.Tak tahan, aku pun langsung berlari ke tong sampah terdekat dan mengeluarkan semua isi lambungku. "Pahit," keluhku.Tiba-tiba, aku merasa bagian tengkukku ada yang memijat dan bahkan rambutku yang terurai menghalangi kini sudah dipegang oleh orang tersebut. "Sudah," ujarku memberitahu.Setelah selesai memuntahkan semua, badanku terasa lemas dan lagi-lagi orang itu membantuku untuk duduk ke kursi."Ckckck, kamu tuh ngapain berangkat kerja kalau lagi sakit, Na!" Kaisar Mahendra, seniorku ketika kuliah dulu. Tapi, kami beda jurusan, cuma karena kami satu arah dan menjadi tetangga kos makanya selalu bersama.Aku tersenyum, walau nyatanya itu tidak akan berpengaruh untuk Kaisar. "Bang Kai, bisa gak kamu pijitin bahuku? Kayaknya ada tuyul yang menggelendotiku sedari tadi, berat banget soalnya," ujarku sambil tersenyum memperlihatkan deretan gigiku yang rapi."Itu bukan tuyul ataupun setan, melainkan dosamu yang menggunung, Na," sindirnya. Bang Kai adalah nama panggilan yang aku buat untuknya, tetapi jika aku sedang kesal atau marah maka aku akan memanggilnya Bangke."Sialan! Gak usah ngomongin dosa bisa gak, sih, Bang? Aku tuh jadi merasa manusia paling hina di dunia ini."Bang Kai hanya menggelengkan kepala melihatku. Dia ini beda satu tahun denganku, atau dua tahun, yah? Ah, entahlah. Intinya dia itu seniorku yang selalu ada untukku.Duh, berasa punya Abang kalau sama dia. Soalnya dia itu tipe cowok yang humble, peduli dengan sekitar, merangkul, halah bahasanya bikin pusing. Intinya dia itu baik."Kak Tama masih suka menindasmu apa gimana, hm?""Iya, itu, Bang. Enak banget," tuturku keenakan saat tangan pria itu memijat bagian kepalaku yang pusing. "Eh, tadi Bang Kai ngomong apa?""Kak Tama masih memberimu tugas-tugas yang banyak?" tanya pria itu lagi."Ckckck, gak pantas dia dipanggil Kak, Yang ada pantasnya dia itu dipanggil Devil, bapaknya Evil. Njir, Gedeg banget aku tuh sama dia, Bang," keluhku. Saking semangatnya, aku sampai meremas botol kaleng minumanku hingga penyok.Aku mendengar Bang Kai tersenyum. "Kamu ini kenapa sih, kalau sama dia bawaannya emosi terus? Padahal, Kak Tama orangnya baik, loh."Aku langsung menepis tangan Bang Kai, kemudian memberi tatapan sengit kepadanya. "Baik dari mananya? Hongkong? Atau, Korea? Cih!" ucapku tak terima. "Kalau dia baik, gak mungkin aku bisa sampai kayak gini." Tanganku langsung dilipat di depan dada.Lagi-lagi Bang Kai tersenyum. "Haduh, please, deh! Itu lesung pipi kenapa harus nyempil di sana, sih? Kan, aku jadi gemes pengin nusuk," batinku gemas."Kamunya aja yang terlalu membawa perasaan, Na. Coba, kamu pikirkan keadaan kamu dulu dengan sekarang! Apa kamu tak sadar itu?"Aku langsung memberengut kesal. Aku yang dulu bukanlah siapa-siapa, bahkan untuk sekadar membeli pulsa saja masih ngutang ke penjaga counter, apalagi beli bedak dan ponsel mahal? Bisa setahun aku gak makan.Dulu aku tinggal di kontrakan dengan kamar mandi di luar dan harus berebut dengan penghuni lain.Membayangkan akan masa lalu membuatku meringis ngilu. "Ya, secara dulu aku kan hanya anak rantauan yang butuh duit buat bertahan hidup, Bang."Aku berkilah, karena memang tidak mau mengakui jika semua yang telah aku dapatkan sekarang adalah campur tangan dari Tama si bos kampret. Aku tak sudi! Intinya semua ini kudapatkan dengan kerja kerasku, bukan dari Tama."Makanya gak usah ngoyo nyari duit, Na. Kalau sakit kayak gini, terus siapa yang repot? Kamu sendiri, 'kan?"Aku mengibaskan tanganku. "Ngomong mah enak, Bang Kai. Tapi, realitanya pun kamu juga melakukan hal yang sama, Bang," sindirku sambil menahan sakit di kepala. "Sshh!""Ckckck, kamu udah malam belum, sih?" Tangannya kembali mendarat di kepalaku dan memijitnya."Udah ... tadi pagi," jelasku nyengir. Namun, dia justru menoyor kepalaku. "Ish, aku tuh lagi sakit loh, Bang. Tega banget sih, sama orang sakit.""Cih! Malas banget aku kasihan sama orang yang gak mau peduli sama kesehatannya sendiri." Bibir boleh mencibir, tetapi Bang Kai tetaplah Abang yang tidak akan pernah tega melihatku sakit.Lihat saja dia sekarnag, dia justru menarikku ke dalam pelukannya. "Duh, nyaman banget, sih, Bang," ujarku sambil menyamankan diri ketika tangan pria itu memijit bagian kepalaku.Aku tau seberapa keras Bang Kai dalam mencari nafkah. Adiknya ada 2 dan mereka masih kuliah dan yang kecil SMA kelas 3. Sedang kedua orang tuanya sudah meninggal waktu mereka kecil. Jadi, dia adalah tulang punggung dalam keluarganya.Sedih, sih lihatnya. Tetapi mau gimana lagi. Hidupku pun juga tak kalah menyedihkan jika diceritakan. Bedanya, aku masih punya ibu, tetapi tidak berpengaruh apa pun untukku."Ngomong-ngomong, kamu ngerasa gak, sih, Na?""Ngerasa apa?" Aku bertanya bingung.Aku duduk dengan tegak dan menatap Bang Kai dengan pandangan bertanya. "Ada apaan, Bang?"Bang Kai menggeleng sambil mengusap tengkuknya. "Gak tau kenapa, aku merasa kayak ada yang lagi ngelihatin kita," ungkapnya saat itu.Sekarang aku pun jadi mengerti. Ternyata orang yang sedang mengawasi kami saat itu adalah pria yang kini tengah menatapku tajam, alias Gartama Wirasesa.Aku pun langsung berdiri sambil berpegangan pada dinding di belakangku. "Maaf, Pak. Saya dan Bang Kai itu hanya teman. Kalaupun kami ada hubungan apa-apa," jedaku untuk melihat tanggapannya. "Anda tidak perlu ikut campur karena Anda ini bukanlah kekasihku!""Ah, jadi kamu sedang memintaku untuk menjadikanmu sebagai kekasihku?"Mataku langsung melotot dengan mulut setengah melongo. Aku menelengkan kepala sambil mencari di mana kata-kataku yang menyebutkan jika aku memintanya untuk menjadikannya sebagai kekasihku.Tidak ada. Aku pun langsung mendengkus. "Please ya, Pak! Ini masih jam kerja. Jadi tolong bersikaplah profesional!" tuturku setengah menggeram menahan emosi.Namun, bukannya menyerah, Tama justru semakin menyeringai di tempatnya. Aku pun tidak peduli dan memilih berjalan pergi menuju pintu keluar. Sudah tak peduli aku tentang di mana kacamata si bos. Aku harus pergi dan menyelamatkan emosiku yang sebentar akan lagi meledak."Naina. Mau ke mana kamu? Aku belum selesai bicara!"Langkahku berhenti saat tangan pria itu menarikku terlalu kencang hingga tubuh kami saling bertubrukan. Aku mendongak berniat untuk protes, tetapi Tama yang justru merunduk membuat bibir kami kembali bertemu."Ah!" Aku langsung mendorongnya menjauh dan kupalingkan wajah yang kini pasti kembali merona merah."Itu aku gak sengaja," ujarnya sambil menyeringai. "Mungkin, bibir kita tahu di mana tempat yang pas untuk saling berciuman.""Gila! Bapak gila!" seruku sambil keluar ruangan dengan menutup wajahku.Hari ini adalah hari jumat. Hari di mana menjadi akhir dari satu minggu bagi kami para karyawan untuk bekerja di Perusahaan Wirasesa. Semua berlomba-lomba merencanakan untuk bang out bareng temen dan juga pacar. Bagiku yang jomblo, mau besok weekend, ataupun hari biasa itu tidak akan merubah apa pun. Aku lebih memilih rebahan di atas ranjang sambil memeluk bantal guling dan bertemu sosok tampan di dalam mimpi. Ah, membayangkan saja aku langsung tersenyum senang. Namun, semua itu sepertinya sulit terealisasi karena satu perempuan sedari tadi membuntutiku dengan wajah memelas."Apa sih, Nad?" tanyaku jengah. "Ini aku lagi cuci tangan loh. Jangan sampai air ini kulempar ke muka kamu!" "Ayo, dong, Na! Please! Kamu ikut, yah?" Aku menoleh bosan ke arah Nadia. Dia seharian ini sudah sibuk menerorku, bahkan sebelum matahari terbit dia sudah mengirimiku chat dengan berbagai macam rencana ini dan itu. Kurang kerjaan banget memang itu Nadia.Kami sekarang sedang berada di toilet lantai 5,
Terjebak di dalam lift bersama dengan lelaki tampan, kece, otak brilian, dan incaran banyak wanita itu adalah impian banyak perempuan. Namun, bagiku biasa saja, apalagi kalau modelannya seperti bos seperti Gartama Wirasesa ... ah, tidak terima kasih. Hobinya yang suka bikin baper ini kadang membuatku ingin mencekik leher si pria ter hot di di depanku. Lupakan punggungnya yang lebar dan sandarable itu. Lupakan juga uangnya yang tidak berseri. Sumpah, lupakan semuanya karena percuma juga baper sama itu orang."Kenapa kamu tidak langsung naik ke atas?""Eh, ada apa Pak?" Aku mendongak untuk melihat pantulan wajah datarnya yang ada di depanku. Aku menelan ludah gugup saat pria di depanku balas melihatku, walau lewat kaca lift. Reflek, kepalaku langsung menunduk tak berani menatap balik wajah sempurna Tama. Pria itu berdecak. "Ada urusan apa kamu ke sana? Bukankah hari ini gak ada agenda untuk berkunjung ke divisi 5?" tanyanya ketus.Mataku berotasi jengah. "Maaf, Pak. Saya tadi ke sana
Kalian tahu hal apa yang paling menyebalkan di dunia ini? Yup, menunggu. Aku sudah dandan cantik dari pagi, bahkan aku sampai berendam dengan sabun mahal yang pernah dibelikan oleh Pak Tama. Katanya sih, ada diskon makanya dia beliin aku juga. But, thanks. Apa pun alasannya aku tak peduli yang terpenting aku bisa irit pengeluaran bulan ini dengan produk diskon itu. Aku juga yakin walaupun ini barang diskon harganya tetap membuat dompetku meringis.Semurahnya barang yang dibeli oleh Pak Tama, bagiku tetap mehong, alias mahal. Aku sudah sering menemaninya, bahkan setiap bulan aku yang selalu membeli semua kebutuhan dari beliau. Jadi, tak heran jika aku tau semua harga barang di penthouse nya.Lupakan masalah sabun dan barang-barang si Pak Tama. Jika ada yang tanya kenapa aku bisa berada di lobi apartemen dibandingkan menemani Pak Tama yang sedang meeting dengan klien hari ini, maka akan kujawab dengan senyum senang. Yeah, i'm free. Seperti yang kalian duga, akhirnya aku bisa membuju
"Jadi?" Aku menatap wajah Nadia dengan tampang memelas. Suasana ramai yang ada di sekitar kedai makanan yang kami kunjungi tak membuatku bersemangat, bahkan di saat kue yang sedang viral itu tersaji di depanku, itu tidak membuatku goyah untuk mengangkat wajah.Helaan napas pasrah kini terembus dari hidung mancungku. "Harapan untuk bisa menicure, pedicure, dan shopping pun langsung kandas gegara pak Tama sialan itu, Nad," keluhku lemas.Sengaja aku gak mengangkat panggilan yang entah sudah keberapa kalinya dari orang yang sama. Siapa lagi kalau bukan Gartama Wirasesa. Setelah mematikan panggilan tadi, aku lebih memilih menarik Nadia ke gerai makanan. "Kayaknya itu bos emang beneran cinta deh sama kamu, Na. Eh, biasa aja kali gak usah melotot gitu!"Kupalangkan wajahku ke arah lain. Sial banget nasibku. "Mau sampai lebaran monyet pun, itu orang kagak bakalan bisa jadi jodohku, Nad. Jadi, Lo gak usah berkhayal terlalu tinggi! Jatuhnya nanti situ malah koid gegara aku gak jadi nikah sam
"Sepertinya," jawabku."Oh.""Oh?" Aku membeo ucapan dari pria tua di hadapanku. Mataku menatap penuh tanya dari maksud satu kalimat pendek yang seperti tak ada artinya itu. Pak tua itu tiba-tiba bangun dari posisi jongkoknya dan meninggalkanku tanpa berniat membantuku berdiri. "Kamu bisa jalan sendiri, 'kan? Kalau begitu aku tunggu di mobil!""What?!" Mulutku melongo dengan mata melotot. "Seriusly dia nyuruh aku buat jalan sendiri? Wah!" Aku menunjuk diriku sendiri dengan tak oercaya. "Gila! Laki macam apa dia?" Aku menepuk bagian dadaku yang terasa dongkol akan tingkah menyebalkan Pak Tama. Andai saja aku tahu jika dia akan meninggalkanku seperti ini, aku tak akan pernah mau datang ke sini.Pandanganku kini menatap punggung pria tua itu dengan sorot mata yang tajam. Sementara dia terus melangkah dengan gagahnya keluar lobi dan meninggalkanku yang kini seperti pengemis terduduk di lantai nan dingin ini. Seribu umpatan, bahkan makian sudah berada diujung tenggorokanku, tetapi lagi-
Kini kami telah sampai di kediaman yang tidak pantas disebut dengan rumah. Mansion, atau istana jika kalian ini membayangkan. Bagaimana tidak, pilar-pilar tinggi dan besar itu seolah menegaskan betapa besar dan mewahnya rumah keluarga Wirasesa."Padahal ini bukan kali pertama aku datang, tapi tetap saja masih kagum sama desain ini mansion," gumamku saat mobil kami sudah memasuki halaman luas kediaman Wirasesa.Kali ini adalah kunjunganku yang entah ke berapa karena sudah tidak bisa dihitung, tapi itu bohong. Karena kenyataannya ini adalah kali ketiga aku berkunjung ke mansion ini. Dulu aku datang saat perayaan ulang tahun yang entah keberapa dari orang tua Pak Tama.Kedua, karena saat itu aku tidak sengaja bertemu dengan Anggun Lir–ibu dari Pak Tama– di mall dan kami lanjut memintaku mengibrol di mansion. Sekarang, aku kembali datang atas ajakan dari anaknya, itu pun karena tidak berdaya.“Kamu bisa jalan, kan?” Aku melirik pria itu, lalu tersenyum dengan sinis. “Maaf, Pak. Tugas saya
"Kalau begini ...." Sambil menahan napas, aku berusaha mundur secara perlahan, tetapi tangan Pak Tama justru menahan pinggangku hingga tubuh kami kembali menempel. Aku menelan kasar saat pria tua itu terus mendekatkan wajahnya. "P-pak ....""Iya, Naina?"Wajahku langsung melengos saat jarak kami begitu dekat. Jantungku tiba-tiba berdetak tak terkontrol, apalagi ketika aku merasakan embusan napas pria itu menyentuh leher jenjangku. "Shit! Ini, gak boleh! Pokoknya kamu harus bisa lepas dari dia, Na!" rapalku dalam hati."I-itu nyo-nya u-dah nung-guin, P-pak." Ada apa dengan suaraku? Kenapa aku menjadi gugup seperti ini? Oh, Tuhan. Makhluk apa yang sedang ada di depanku? "Mama sudah masuk sedari tadi, Naina. Jadi, kamu gak perlu takut, atau kamu ingin mama tahu jika kit--""Stop, ah ... pak!" Aku menggigit bibirku yang sudah begitu lancang mengeluarkan suara yang sangat menjijikkan. Kutatap pria itu protes, tetapi Pak Tama justru tersenyum menyeringai."Mendesah, eoh?"Sial! Bos kuampr
"Maaf, Pak. Aku gak bisa." Setelah itu, aku pun beringsut mundur. Berdeham untuk menetralkan rasa yang sempat menghampiriku. "S-sebaiknya bapak segera masuk ke dalam!" tuturku lagi. Aku tak lagi mau melihat wajah Pak Tama. Aku justru sibuk melihat sepatuku sampai aku bisa merasakan usapan di kepala dan karena hal itu pula aku mendongak, menatapnya bingung. Pria tua itu tersenyum kecil, tetapi terlihat begitu menyedihkan dan apa benar itu karena ulahku? Tiba-tiba, rasa bersalah langsung menyelimuti hatiku. "Baiklah, jika memang kamu belum bersedia memberiku kesempatan. Tapi, kamu gak akan menjauhiku, 'kan?"Keningku langsung mengernyit. Pria itu menggaruk belakang kepalanya. "Apa kamu tidak ingat? Saat itu kamu selalu menghindar jika bertemu denganku, bahkan kamu sampai putar arah ketika kita tidak sengaja berpapasan?"Bibirku tersenyum meringis. Kini, gantian aku yang menggaruk tengkukku tak enak hati. "S-soal itu ... em, sebaiknya kita tak perlu bahas, Pak. Lagian, mana mungkin sa