Ingatanku akan kejadian beberapa hari yang lalu kembali berputar di mana saat itu, aku duduk di taman sendiri karena merasa sedikit pusing. "Aish, kepalaku sakit banget," keluhku sambil memijatnya. "Mana mual lagi."
Aku menutup mulut saat ada dorongan dari lambung. Aku segera mendongak untuk mencegah mual itu. Namun, itu ternyata tak berhasil karena rasa ingin muntah itu justru semasih terus membayangiku.Tak tahan, aku pun langsung berlari ke tong sampah terdekat dan mengeluarkan semua isi lambungku. "Pahit," keluhku.Tiba-tiba, aku merasa bagian tengkukku ada yang memijat dan bahkan rambutku yang terurai menghalangi kini sudah dipegang oleh orang tersebut. "Sudah," ujarku memberitahu.Setelah selesai memuntahkan semua, badanku terasa lemas dan lagi-lagi orang itu membantuku untuk duduk ke kursi."Ckckck, kamu tuh ngapain berangkat kerja kalau lagi sakit, Na!" Kaisar Mahendra, seniorku ketika kuliah dulu. Tapi, kami beda jurusan, cuma karena kami satu arah dan menjadi tetangga kos makanya selalu bersama.Aku tersenyum, walau nyatanya itu tidak akan berpengaruh untuk Kaisar. "Bang Kai, bisa gak kamu pijitin bahuku? Kayaknya ada tuyul yang menggelendotiku sedari tadi, berat banget soalnya," ujarku sambil tersenyum memperlihatkan deretan gigiku yang rapi."Itu bukan tuyul ataupun setan, melainkan dosamu yang menggunung, Na," sindirnya. Bang Kai adalah nama panggilan yang aku buat untuknya, tetapi jika aku sedang kesal atau marah maka aku akan memanggilnya Bangke."Sialan! Gak usah ngomongin dosa bisa gak, sih, Bang? Aku tuh jadi merasa manusia paling hina di dunia ini."Bang Kai hanya menggelengkan kepala melihatku. Dia ini beda satu tahun denganku, atau dua tahun, yah? Ah, entahlah. Intinya dia itu seniorku yang selalu ada untukku.Duh, berasa punya Abang kalau sama dia. Soalnya dia itu tipe cowok yang humble, peduli dengan sekitar, merangkul, halah bahasanya bikin pusing. Intinya dia itu baik."Kak Tama masih suka menindasmu apa gimana, hm?""Iya, itu, Bang. Enak banget," tuturku keenakan saat tangan pria itu memijat bagian kepalaku yang pusing. "Eh, tadi Bang Kai ngomong apa?""Kak Tama masih memberimu tugas-tugas yang banyak?" tanya pria itu lagi."Ckckck, gak pantas dia dipanggil Kak, Yang ada pantasnya dia itu dipanggil Devil, bapaknya Evil. Njir, Gedeg banget aku tuh sama dia, Bang," keluhku. Saking semangatnya, aku sampai meremas botol kaleng minumanku hingga penyok.Aku mendengar Bang Kai tersenyum. "Kamu ini kenapa sih, kalau sama dia bawaannya emosi terus? Padahal, Kak Tama orangnya baik, loh."Aku langsung menepis tangan Bang Kai, kemudian memberi tatapan sengit kepadanya. "Baik dari mananya? Hongkong? Atau, Korea? Cih!" ucapku tak terima. "Kalau dia baik, gak mungkin aku bisa sampai kayak gini." Tanganku langsung dilipat di depan dada.Lagi-lagi Bang Kai tersenyum. "Haduh, please, deh! Itu lesung pipi kenapa harus nyempil di sana, sih? Kan, aku jadi gemes pengin nusuk," batinku gemas."Kamunya aja yang terlalu membawa perasaan, Na. Coba, kamu pikirkan keadaan kamu dulu dengan sekarang! Apa kamu tak sadar itu?"Aku langsung memberengut kesal. Aku yang dulu bukanlah siapa-siapa, bahkan untuk sekadar membeli pulsa saja masih ngutang ke penjaga counter, apalagi beli bedak dan ponsel mahal? Bisa setahun aku gak makan.Dulu aku tinggal di kontrakan dengan kamar mandi di luar dan harus berebut dengan penghuni lain.Membayangkan akan masa lalu membuatku meringis ngilu. "Ya, secara dulu aku kan hanya anak rantauan yang butuh duit buat bertahan hidup, Bang."Aku berkilah, karena memang tidak mau mengakui jika semua yang telah aku dapatkan sekarang adalah campur tangan dari Tama si bos kampret. Aku tak sudi! Intinya semua ini kudapatkan dengan kerja kerasku, bukan dari Tama."Makanya gak usah ngoyo nyari duit, Na. Kalau sakit kayak gini, terus siapa yang repot? Kamu sendiri, 'kan?"Aku mengibaskan tanganku. "Ngomong mah enak, Bang Kai. Tapi, realitanya pun kamu juga melakukan hal yang sama, Bang," sindirku sambil menahan sakit di kepala. "Sshh!""Ckckck, kamu udah malam belum, sih?" Tangannya kembali mendarat di kepalaku dan memijitnya."Udah ... tadi pagi," jelasku nyengir. Namun, dia justru menoyor kepalaku. "Ish, aku tuh lagi sakit loh, Bang. Tega banget sih, sama orang sakit.""Cih! Malas banget aku kasihan sama orang yang gak mau peduli sama kesehatannya sendiri." Bibir boleh mencibir, tetapi Bang Kai tetaplah Abang yang tidak akan pernah tega melihatku sakit.Lihat saja dia sekarnag, dia justru menarikku ke dalam pelukannya. "Duh, nyaman banget, sih, Bang," ujarku sambil menyamankan diri ketika tangan pria itu memijit bagian kepalaku.Aku tau seberapa keras Bang Kai dalam mencari nafkah. Adiknya ada 2 dan mereka masih kuliah dan yang kecil SMA kelas 3. Sedang kedua orang tuanya sudah meninggal waktu mereka kecil. Jadi, dia adalah tulang punggung dalam keluarganya.Sedih, sih lihatnya. Tetapi mau gimana lagi. Hidupku pun juga tak kalah menyedihkan jika diceritakan. Bedanya, aku masih punya ibu, tetapi tidak berpengaruh apa pun untukku."Ngomong-ngomong, kamu ngerasa gak, sih, Na?""Ngerasa apa?" Aku bertanya bingung.Aku duduk dengan tegak dan menatap Bang Kai dengan pandangan bertanya. "Ada apaan, Bang?"Bang Kai menggeleng sambil mengusap tengkuknya. "Gak tau kenapa, aku merasa kayak ada yang lagi ngelihatin kita," ungkapnya saat itu.Sekarang aku pun jadi mengerti. Ternyata orang yang sedang mengawasi kami saat itu adalah pria yang kini tengah menatapku tajam, alias Gartama Wirasesa.Aku pun langsung berdiri sambil berpegangan pada dinding di belakangku. "Maaf, Pak. Saya dan Bang Kai itu hanya teman. Kalaupun kami ada hubungan apa-apa," jedaku untuk melihat tanggapannya. "Anda tidak perlu ikut campur karena Anda ini bukanlah kekasihku!""Ah, jadi kamu sedang memintaku untuk menjadikanmu sebagai kekasihku?"Mataku langsung melotot dengan mulut setengah melongo. Aku menelengkan kepala sambil mencari di mana kata-kataku yang menyebutkan jika aku memintanya untuk menjadikannya sebagai kekasihku.Tidak ada. Aku pun langsung mendengkus. "Please ya, Pak! Ini masih jam kerja. Jadi tolong bersikaplah profesional!" tuturku setengah menggeram menahan emosi.Namun, bukannya menyerah, Tama justru semakin menyeringai di tempatnya. Aku pun tidak peduli dan memilih berjalan pergi menuju pintu keluar. Sudah tak peduli aku tentang di mana kacamata si bos. Aku harus pergi dan menyelamatkan emosiku yang sebentar akan lagi meledak."Naina. Mau ke mana kamu? Aku belum selesai bicara!"Langkahku berhenti saat tangan pria itu menarikku terlalu kencang hingga tubuh kami saling bertubrukan. Aku mendongak berniat untuk protes, tetapi Tama yang justru merunduk membuat bibir kami kembali bertemu."Ah!" Aku langsung mendorongnya menjauh dan kupalingkan wajah yang kini pasti kembali merona merah."Itu aku gak sengaja," ujarnya sambil menyeringai. "Mungkin, bibir kita tahu di mana tempat yang pas untuk saling berciuman.""Gila! Bapak gila!" seruku sambil keluar ruangan dengan menutup wajahku.Hari ini adalah hari jumat. Hari di mana menjadi akhir dari satu minggu bagi kami para karyawan untuk bekerja di Perusahaan Wirasesa. Semua berlomba-lomba merencanakan untuk bang out bareng temen dan juga pacar. Bagiku yang jomblo, mau besok weekend, ataupun hari biasa itu tidak akan merubah apa pun. Aku lebih memilih rebahan di atas ranjang sambil memeluk bantal guling dan bertemu sosok tampan di dalam mimpi. Ah, membayangkan saja aku langsung tersenyum senang. Namun, semua itu sepertinya sulit terealisasi karena satu perempuan sedari tadi membuntutiku dengan wajah memelas."Apa sih, Nad?" tanyaku jengah. "Ini aku lagi cuci tangan loh. Jangan sampai air ini kulempar ke muka kamu!" "Ayo, dong, Na! Please! Kamu ikut, yah?" Aku menoleh bosan ke arah Nadia. Dia seharian ini sudah sibuk menerorku, bahkan sebelum matahari terbit dia sudah mengirimiku chat dengan berbagai macam rencana ini dan itu. Kurang kerjaan banget memang itu Nadia.Kami sekarang sedang berada di toilet lantai 5,
Terjebak di dalam lift bersama dengan lelaki tampan, kece, otak brilian, dan incaran banyak wanita itu adalah impian banyak perempuan. Namun, bagiku biasa saja, apalagi kalau modelannya seperti bos seperti Gartama Wirasesa ... ah, tidak terima kasih. Hobinya yang suka bikin baper ini kadang membuatku ingin mencekik leher si pria ter hot di di depanku. Lupakan punggungnya yang lebar dan sandarable itu. Lupakan juga uangnya yang tidak berseri. Sumpah, lupakan semuanya karena percuma juga baper sama itu orang."Kenapa kamu tidak langsung naik ke atas?""Eh, ada apa Pak?" Aku mendongak untuk melihat pantulan wajah datarnya yang ada di depanku. Aku menelan ludah gugup saat pria di depanku balas melihatku, walau lewat kaca lift. Reflek, kepalaku langsung menunduk tak berani menatap balik wajah sempurna Tama. Pria itu berdecak. "Ada urusan apa kamu ke sana? Bukankah hari ini gak ada agenda untuk berkunjung ke divisi 5?" tanyanya ketus.Mataku berotasi jengah. "Maaf, Pak. Saya tadi ke sana
Kalian tahu hal apa yang paling menyebalkan di dunia ini? Yup, menunggu. Aku sudah dandan cantik dari pagi, bahkan aku sampai berendam dengan sabun mahal yang pernah dibelikan oleh Pak Tama. Katanya sih, ada diskon makanya dia beliin aku juga. But, thanks. Apa pun alasannya aku tak peduli yang terpenting aku bisa irit pengeluaran bulan ini dengan produk diskon itu. Aku juga yakin walaupun ini barang diskon harganya tetap membuat dompetku meringis.Semurahnya barang yang dibeli oleh Pak Tama, bagiku tetap mehong, alias mahal. Aku sudah sering menemaninya, bahkan setiap bulan aku yang selalu membeli semua kebutuhan dari beliau. Jadi, tak heran jika aku tau semua harga barang di penthouse nya.Lupakan masalah sabun dan barang-barang si Pak Tama. Jika ada yang tanya kenapa aku bisa berada di lobi apartemen dibandingkan menemani Pak Tama yang sedang meeting dengan klien hari ini, maka akan kujawab dengan senyum senang. Yeah, i'm free. Seperti yang kalian duga, akhirnya aku bisa membuju
"Jadi?" Aku menatap wajah Nadia dengan tampang memelas. Suasana ramai yang ada di sekitar kedai makanan yang kami kunjungi tak membuatku bersemangat, bahkan di saat kue yang sedang viral itu tersaji di depanku, itu tidak membuatku goyah untuk mengangkat wajah.Helaan napas pasrah kini terembus dari hidung mancungku. "Harapan untuk bisa menicure, pedicure, dan shopping pun langsung kandas gegara pak Tama sialan itu, Nad," keluhku lemas.Sengaja aku gak mengangkat panggilan yang entah sudah keberapa kalinya dari orang yang sama. Siapa lagi kalau bukan Gartama Wirasesa. Setelah mematikan panggilan tadi, aku lebih memilih menarik Nadia ke gerai makanan. "Kayaknya itu bos emang beneran cinta deh sama kamu, Na. Eh, biasa aja kali gak usah melotot gitu!"Kupalangkan wajahku ke arah lain. Sial banget nasibku. "Mau sampai lebaran monyet pun, itu orang kagak bakalan bisa jadi jodohku, Nad. Jadi, Lo gak usah berkhayal terlalu tinggi! Jatuhnya nanti situ malah koid gegara aku gak jadi nikah sam
"Sepertinya," jawabku."Oh.""Oh?" Aku membeo ucapan dari pria tua di hadapanku. Mataku menatap penuh tanya dari maksud satu kalimat pendek yang seperti tak ada artinya itu. Pak tua itu tiba-tiba bangun dari posisi jongkoknya dan meninggalkanku tanpa berniat membantuku berdiri. "Kamu bisa jalan sendiri, 'kan? Kalau begitu aku tunggu di mobil!""What?!" Mulutku melongo dengan mata melotot. "Seriusly dia nyuruh aku buat jalan sendiri? Wah!" Aku menunjuk diriku sendiri dengan tak oercaya. "Gila! Laki macam apa dia?" Aku menepuk bagian dadaku yang terasa dongkol akan tingkah menyebalkan Pak Tama. Andai saja aku tahu jika dia akan meninggalkanku seperti ini, aku tak akan pernah mau datang ke sini.Pandanganku kini menatap punggung pria tua itu dengan sorot mata yang tajam. Sementara dia terus melangkah dengan gagahnya keluar lobi dan meninggalkanku yang kini seperti pengemis terduduk di lantai nan dingin ini. Seribu umpatan, bahkan makian sudah berada diujung tenggorokanku, tetapi lagi-
Kini kami telah sampai di kediaman yang tidak pantas disebut dengan rumah. Mansion, atau istana jika kalian ini membayangkan. Bagaimana tidak, pilar-pilar tinggi dan besar itu seolah menegaskan betapa besar dan mewahnya rumah keluarga Wirasesa."Padahal ini bukan kali pertama aku datang, tapi tetap saja masih kagum sama desain ini mansion," gumamku saat mobil kami sudah memasuki halaman luas kediaman Wirasesa.Kali ini adalah kunjunganku yang entah ke berapa karena sudah tidak bisa dihitung, tapi itu bohong. Karena kenyataannya ini adalah kali ketiga aku berkunjung ke mansion ini. Dulu aku datang saat perayaan ulang tahun yang entah keberapa dari orang tua Pak Tama.Kedua, karena saat itu aku tidak sengaja bertemu dengan Anggun Lir–ibu dari Pak Tama– di mall dan kami lanjut memintaku mengibrol di mansion. Sekarang, aku kembali datang atas ajakan dari anaknya, itu pun karena tidak berdaya.“Kamu bisa jalan, kan?” Aku melirik pria itu, lalu tersenyum dengan sinis. “Maaf, Pak. Tugas saya
"Kalau begini ...." Sambil menahan napas, aku berusaha mundur secara perlahan, tetapi tangan Pak Tama justru menahan pinggangku hingga tubuh kami kembali menempel. Aku menelan kasar saat pria tua itu terus mendekatkan wajahnya. "P-pak ....""Iya, Naina?"Wajahku langsung melengos saat jarak kami begitu dekat. Jantungku tiba-tiba berdetak tak terkontrol, apalagi ketika aku merasakan embusan napas pria itu menyentuh leher jenjangku. "Shit! Ini, gak boleh! Pokoknya kamu harus bisa lepas dari dia, Na!" rapalku dalam hati."I-itu nyo-nya u-dah nung-guin, P-pak." Ada apa dengan suaraku? Kenapa aku menjadi gugup seperti ini? Oh, Tuhan. Makhluk apa yang sedang ada di depanku? "Mama sudah masuk sedari tadi, Naina. Jadi, kamu gak perlu takut, atau kamu ingin mama tahu jika kit--""Stop, ah ... pak!" Aku menggigit bibirku yang sudah begitu lancang mengeluarkan suara yang sangat menjijikkan. Kutatap pria itu protes, tetapi Pak Tama justru tersenyum menyeringai."Mendesah, eoh?"Sial! Bos kuampr
"Maaf, Pak. Aku gak bisa." Setelah itu, aku pun beringsut mundur. Berdeham untuk menetralkan rasa yang sempat menghampiriku. "S-sebaiknya bapak segera masuk ke dalam!" tuturku lagi. Aku tak lagi mau melihat wajah Pak Tama. Aku justru sibuk melihat sepatuku sampai aku bisa merasakan usapan di kepala dan karena hal itu pula aku mendongak, menatapnya bingung. Pria tua itu tersenyum kecil, tetapi terlihat begitu menyedihkan dan apa benar itu karena ulahku? Tiba-tiba, rasa bersalah langsung menyelimuti hatiku. "Baiklah, jika memang kamu belum bersedia memberiku kesempatan. Tapi, kamu gak akan menjauhiku, 'kan?"Keningku langsung mengernyit. Pria itu menggaruk belakang kepalanya. "Apa kamu tidak ingat? Saat itu kamu selalu menghindar jika bertemu denganku, bahkan kamu sampai putar arah ketika kita tidak sengaja berpapasan?"Bibirku tersenyum meringis. Kini, gantian aku yang menggaruk tengkukku tak enak hati. "S-soal itu ... em, sebaiknya kita tak perlu bahas, Pak. Lagian, mana mungkin sa
“Mama! Di mana kaos Abang?”“Huwaa! Abang kenapa buang dasi Nina?”Suara teriakan dan tangisan mengawali pagiku hari ini. Astaga! Kepalaku hampir pecah mengurus dua bocil kesayangan Tama. Setiap hari, bahkan setiap pagi telingaku hampir berdengung mendengar teriakan duo kembar itu.Itu sebenarnya anak siapa, sih? Sumpah berisik banget.“Mah, gak usah dumel dalam hati, deh! Buruan bantu Abang cariin kaos kaki!” Teriakan dari dalam kamar anak pertamaku kembali terdengar. Aku menghela napas. Tangan yang sedang memegang spatula rasanya sudah gatal ingin melempar benda tersebut. Namun, jika teringat bagaimana aku mengandung, melahirkan, dan menyusui, semua amarahku langsung luruh.Berganti menjadi rasa sayang. “Mama lagi masak, Abang,” balasku berteriak. Berharap Nino mau mengerti akan kesibukan mamanya juga.Ya, Nina dan Nino adalah anakku dan Mas Tama. Mereka kini sudah besar, bahkan sudah belajar di sekolah swasta, kelas 2. Usia mereka 8 tahun dan sedang aktif-aktifnya. Jadi, ibunya ju
Masa kehamilan adalah masa di mana semua para ibu harus bekerja extra untuk menjaga diri serta calon jabang bayi di dalam kandungan. Dia tidak boleh stres, tidak boleh makan makanannya yang terlalu manis, atau pedas, dan masih banyak pantangan lainnya.Seperti yang sedang kurasakan sekarang. Pada trimester pertama dan kedua, aku tak begitu banyak keluhan. Namun, ketika trimester akhir, aku jadi sulit tidur, tidak leluasa bergerak, bahkan ketika bangun tidur pun kesulitan bangun.Oh my God. Ini jelas sangat menyiksa. Namun, tidak semua ibu hamil buruk, kok. Ada kalanya aku merasa menjadi orang yang spesial, yaitu ketika semua keluarga memberikan apa pun yang aku inginkan. Dari perhatian hingga semua kasih sayang tercurah untukku.I’m so happy.Kini di usia kehamilanku yang sudah mencapai 37 minggu, perutku sudah beberapa kali mengalami yang namanya kontraksi palsu. Aku sedikit ada cerita. Waktu itu, pada saat pertama kali mengalami kontraksi palsu, aku sampai heboh dan memanggil Mas T
“Ya, aku memang gila karena dirimu. Jadi, jangan pernah bermain-main denganku! Mengerti!”Aku terkikik, mengangguk sambil menangkupkan kedua tangan dengan menundukkan kepala sebagai tanda menyerah. “Ok, aku takut dikutuk eh kamu, Sayang. Jadi, kita akhiri inis emua sebelum merembet ke mana-mana!”“Nah, gitu, dong! Itu baru istri Gratama Wirasesa.” Senyumnya culas. Perdebatan kecil itu pun berakhir dengan kemenangan Mas Tama. Lebih tepatnya aku yang mengalah.Astaga, random banget emang itu calon bapak satu. Dia pikir manusia bisa memilih? Jelas tidak. Takdir itu sudah diatur oleh Tuhan. Jodoh, rezeki, anak, hidup, dan mati seseorang semua hanyalah Tuhan yang tahu. Jadi, daripada perdebatan kami tak selesai, akhirnya aku mengalah. “Mas, kita telpon kakek, yuk!”“Ah, benar. Sebentar, biar aku ambilkan ponselmu.”Aku menunggu dengan kaki selonjor yang digoyang-goyang, lucu. Apalagi sandal bulu dengan kepala boneka kelinci yang besar semakin membuat gak henti memainkannya.Mas Tama data
Setelah aku mengusir Mas Tama, aku tidak mendengar suara apa pun lagi. Aku pikir, dia pergi dan lebih memilih mementingkan egonya. Tanpa sadar, aku mendengkus dan menitikkan air mata.Bodoh.Akan tetapi, aku langsung menghentikan tanganku yang hendak mengusap mata. Mataku mengerjap ketika merasakan sisi ranjang di belakang punggungku bergerak. Aku sedikit berjengit kala kepalaku diangkat olehnya.Akan tetapi, yang membuat bibirku tak bisa menahan senyum adalah saat tangan Mas Tama dijadikan bantalan untuk kepalaku. Semua emosi yang sempat mengisi relung hatiku seketika luruh. Digantikan oleh rasa hangat dan nyaman di mana darahku berdesir mendapati perhatian-perhatian kecil itu. Aku tetapi, aku tetap bergeming. Tak mengatakan apa-apa, walau kini tubuhku sudah ditarik untuk didekap erat olehnya. Bibir bagian bawahku seketika turun. Ragu, antara ingin tetap diam, atau bicara padanya.“Maaf, Naina,” bisiknya tepat di sisi telingaku.Aku melipat bibir ke dalam, menunggu kelanjutan ucapa
Sebuah kecelakaan baru saja terjadi. Mobil yang kami tumpangi ditabrak oleh mobil yang lawan arah. “Ada apa ini?” Mas Tama keluar dari mobil untuk mengecek kondisi di luar.Sementara diriku hendak menyusul dan membuka pintu, tetapi mulutku langsung merintih kesakitan sambil memegang bagian perut. “Arkh, kenapa sakit sekali?” tanyaku bingung.Aku menarik napas, membuangnya lewat mulut, berusaha untuk menetralisir rasa sakit itu. Namun, hal itu sama sekali tidak membantu. Perutku terasa melilit, seperti diaduk-aduk hingga membuat keringat mulai keluar dari pori-pori kulitku.“M-mas,” panggilku tertatih. Aku mendongak, menatap Mas Tama dari kaca jendela. Dia sedang berdebat di luar. Aku kembali menunduk, memelukku perutku sendiri. Rasanya, aku ingin meraung dan menangis sejadi-jadinya. Ini benar-benar sakit sekali.“Nona.”Kepalaku mendongak saat mendengar bunyi pintu dibuka dan ditutup dari depan. Jack–supir pribadi Mas Tama– masuk untuk mengecek keadaanku. “Nona? Nona kenapa?” Wajah
"Bagaimana, Dok?” tanya Mas Tama tak sabar.Aku sendiri baru saja duduk di kursi samping Mas Tama, setelah dokter memeriksa perutku. Entah cream apa yang digunakan karena terasa dingin di kulit perutku. Tangan kami saling bertaut satu sama lain di bawah meja. Aku yakin Mas Tama juga merasakan apa yang sedang kurasakan. “Sebentar, yah!” Dokter bernama Karina tersenyum sambil menulis sesuatu di kertas catatan milikku. Untuk sementara waktu, kami semua dilingkupi keheningan hingga perasaan gugup dan juga deg-degan begitu terasa. Dokter Karina sendiri tetap santai di kursinya dan jujur aku kesal.Dia tak tahu saja jika sekarang jantungku dugun-dugun gak jelas, kayak lagi nungguin Mas Tama nyatain cinta sama aku. Jadi, please, deh, Dok! Gak usah bikin anak orang mati penasaran.“Dok,” panggil Mas Tama sekali lagi.Aku melirik Mas Tama yang juga sudah tak sabar menunggu hasil pemeriksaan. Aku menepuk punggung tangannya dan mengusapnya lembut. Dia lalu mengangguk, tersenyum kecil sambil m
Tiga hari kemudian, aku dikejutkan dengan suara seseorang yang tengah muntah-muntah. “Itu siapa, sih?” keluhku. Aku meraba ke sisi ranjang, mencari keberadaan suami tercintaku. Namun, kosong. Sontak, mataku terbuka. Rasa kantukku langsung hilang tatkala menyadari jika Mas Tama tak ada di mana-mana. “Mas, kamu di mana?” Suaraku serak. Aku segera bangun, duduk di atas ranjang dengan sedikit sisa kantuk. Aku mengucek kelopak mataku, lalu bergumam, “Mas Tama ke mana, sih? Masa iya, dia udah ke kantor?”Mulutku menguap, tetapi segera kututup dengan lengan. Setelah itu, mataku mengedar dengan tangan menggaruk rambut, linglung. Sekitar kosong, dan lagi-lagi suara itu kembali terdengar. “Itu siapa, sih, yang lagi muntah? Atau, jangan-jangan….”Mas Tama.Sontak, perasaanku dilingkupi cemas. “Mas, apa kamu di dalam?” Aku segera turun dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi. Rambut segera ku gelung ke atas agar tidak mengganggu. Ketika tiba di depan pintu kamar mandi yang terbuka, suara
Sepanjang perjalanan, Mas Tama tak pernah melepaskan tautan tangan kami. Dia bahkan melakukan pemindahan perseneling saja masih dengan tangan kami seperti itu.Seneng, sih, dapat perhatian, dan merasa disayang. Tapi, ngeri-ngeri sedep juga, kalau terjadi sesuatu. Apalagi, kita kan lagi di jalan raya, dan tahu dong, bagaimana kondisi lalu lintasnya? Mau heran, tapi dia suamiku. “Kita mau makan apa, Dear?” tanya Mas Tama. Dia melirik ke arahku sekilas, lalu kembali melihat ke arah depan.“Mas. Bukankah kita baru saja makan tadi di rumah mama?” Aku bertanya heran. Ya, kali perutnya yang udah kek roti sobek itu mau dihancurkan dengan makan malam, lagi. “Aku lapar, Sayang. Aku pengin makan di tempat langganan aku beli. Kamu mau ikut, kan?” Wajahnya begitu memelas. Aku pun menggaruk belakang kepala. Mau menolak, tetapi gak enak. Tapi, kalau aku iyakan, mau ditaruh mana itu makanan. Secara, aku masih kenyang. Kalaupun diisi, palingan hanya minuman saja yang muat.“Apa aku punya pilihan?”
Menjadi seorang istri adalah hal yang baru buatku. Namun, untuk membuatkan sarapan, menyiapkan teh, dan juga baju untuk Mas Tama, itu sudah menjadi kebiasaan untukku beberapa tahun lalu. Maksudnya, aku hanya menyiapkan roti panggang dengan selai saja. Untuk memasak, aku masih harus menjalani kursus agar tidak membakar apartemen suamiku.Tidak lucu, kan, kalau pasangan suami istri yang baru saja menikah dikabarkan mati, dikarenakan si istri membakar rumahnya karena lupa cara mematikan kompor. Itu jelas nanti akan sangat mencoreng nama baik Naina. Jadi, hari ini aku berkesempatan untuk mengikuti les memasak dengan para mama muda yang usianya di bawahku. Iya, kalian gak salah lihat. Seorang Naina rela meluangkan waktunya hanya untuk membuat dirinya dianggap sebagai istri yang pandai memasak. Aish, tolong jangan melihatku dengan syirik begitu. Santai saja.Tapi, aku sedikit canggung karena, you know lah, usiaku paling tua di sini. Huhuhu, nyesel banget sekarang. Kenapa gak sedari dulu