"Maaf, Pak. Aku gak bisa." Setelah itu, aku pun beringsut mundur. Berdeham untuk menetralkan rasa yang sempat menghampiriku. "S-sebaiknya bapak segera masuk ke dalam!" tuturku lagi. Aku tak lagi mau melihat wajah Pak Tama. Aku justru sibuk melihat sepatuku sampai aku bisa merasakan usapan di kepala dan karena hal itu pula aku mendongak, menatapnya bingung. Pria tua itu tersenyum kecil, tetapi terlihat begitu menyedihkan dan apa benar itu karena ulahku? Tiba-tiba, rasa bersalah langsung menyelimuti hatiku. "Baiklah, jika memang kamu belum bersedia memberiku kesempatan. Tapi, kamu gak akan menjauhiku, 'kan?"Keningku langsung mengernyit. Pria itu menggaruk belakang kepalanya. "Apa kamu tidak ingat? Saat itu kamu selalu menghindar jika bertemu denganku, bahkan kamu sampai putar arah ketika kita tidak sengaja berpapasan?"Bibirku tersenyum meringis. Kini, gantian aku yang menggaruk tengkukku tak enak hati. "S-soal itu ... em, sebaiknya kita tak perlu bahas, Pak. Lagian, mana mungkin sa
Aku segera keluar mansion milik Pak Tama. Sumpah, asli aku udah tak bisa kalau berada satu ruangan lagi dengan mereka. Mereka seolah menyudutkanku dalam sebuah jurang yang akan siap menangkap ku kapan saja.Lelah. Hati dan pikiranku kini sudah tak tahu harus bagaimana. Belum usai pengakuan cinta Pak Tama tadi, sekarang aku kembali terlibat dalam masalah yang jauh lebih pelik. "Calon masa depan? Huh! Gila kali itu orang!" Aku mendengkus kesal sambil menghentakkan kaki ke lantai."Lagian, ada apa dengan pria tua itu? Apa dia pikir setelah membuat jantungku berdebar akan kata-katanya yang romantis, aku akan terpesona? Oh, tidak semudah itu Ferguso!Aku sudah belasan tahun hidup sendiri tanpa bantuan orang tua, bahkan siapa pun. Aku berdiri sendiri, mencari jati diriku hingga kini bisa berdiri tegak seperti ini. Hah! Lalu, apa dia kira akan bisa membeliku dengan kata-kata murahannya itu? Menggelikan!"Kuhentikan langkahku saat sudah berada di kursi taman milik keluarga Wirasesa. Kutolehka
Setelah kembali ke apartemen, aku memilih langsung ke kamar. Melepas asal sepatuku dan menaruh tas yang sedari tadi kubawa. Aku berjalan ke dapur untuk mengambil air minum. Setelah habis, kutaruh lagi gelas itu. Lanjut pergi ke kamar, di sana ternyata ranjang sudah memanggilku untuk menidurinya. "Fyuhhh!" Kuhempaskan tubuh lelah inidi atas ranjang yang empuk dan nyaman.Sambil memeluk guling favoritku, kupejamkan mata mencoba untuk terlelap, tetapi nyatanya mata ini justru tak mau diajak kerjasama. Kejadian tadi di mansion milik keluarga Wirasesa cukup banyak mengambil alih.Kujadikan tanganku sebagai bantal, lalu netra ini menatap kosong langit-langit kamar yang berwarna putih. Aku mengabaikan tubuhku yang sudah lengket oleh keringat. Perasaanku jauh lebih penting sekarang daripada mandi. "Bego! Bego! Bego! Bego!" Kutendang selimut yang ada di bawah kaki dengan perasaan kesal, gemas, dan juga nelangsa. Kutarik salah satu bantal dan kututup wajah ini saking rumitnya kejadian hari i
Setelah drama weekend yang Gatot, alias gagal total. Pagi ini aku sudah berada di kantor, berangkat seorang diri tanpa perlu mengawal si pak tua itu. Aku mendesah lega karena Pak Tama tiba-tiba harus pergi ke tempat yang jauh bersama Gilang dan itu bagaikan angin segar dong untukku.Kenapa aku tidak ikut? Heuh, seperti diriku tak ada kerjaan lain saja selalu ngintilin dia. Lagipula, dia tidak mungkin membiarkanku tinggal di kantor hanya untuk berleha-leha saja. Sudah ada setumpuk dokumen yang harus aku lihat sebelum diberikan kepadanya.Sialan banget memang itu bos kampret. Entah kenapa setiap hari selalu saja ada cara dia membuatku emosi. Capek emang kerja sama orang gila kerja macam pak Tama. Sedang asyik-asyiknya mengghibahi atasan, aku justru berpapasan dengan beberapa karyawan kantor yang hendak naik lift. Aku memberikan senyuman ramah ala-ala wanita berpendidikan tinggi kepada mereka yang satu divisi dengan Nadia.Eh? Memang cara tersenyum orang berpendidikan beda, yah? Iyakah
Dua hari tanpa keberadaan Pak Tama sudah seperti Surga Dunia bagiku. Aku bebas dari kata lembur, bebas dari gangguan setiap malam ketika aku ingin tidur, bebas juga dari panggilan telepon yang selalu membuatku jengkel setengah mampus."Seneng amat, Bes? Kirain kamu bakalan ngegalau gegara ditinggal suami minggat," goda Nadia sambil menyerahkan satu map di atas mejaku.Dia bahkan tak sungkan mengambil satu bungkus permen yang memang selalu ada di gelas khusus di atas meja. "Ish, ini permen apa, sih? Kok, asem banget kayak hidupmu?""Sialan kalau ngoceh!" Kutimpuk Nadia dengan map yang baru saja dia bawa. “Lagian, apa gunanya juga aku ngegala, kalau hidup seperti inilah yang aku inginkan,” balasku sambil mengibaskan rambutku yang hari ini digerai.“Preeettt!”Aku hanya menggelengkan kepala melihat tingkah Nadia. Hari ini adalah hari ke-3 pak Tama dan juga Gilang dinas di luar, tetapi harusnya hari ini mereka pulang. "Eh, hari ini ternyata ada rapat sama klien Jepang,” ucapku sambil memeg
"Maaf, Pak. Em, jadi saya langsung aja, yah. pak Tama dan Gilang apa nanti siang sudah bisa kembali ke kantor?" tanyaku langsung. Sudah gerah aku dibuat Pak Tama salting dan kali ini aku harus segera mengakhirinya. Aku gak boleh kalah, aku harus bisa melawan diriku sendiri. Come on, Naina! Dia itu cuma pak Tama, bukan Mr. Crush yang selama ini kamu dambakan menjadi pendamping hidup."Kamu maunya kapan? Jika kamu memang sudah benar-benar rindu padaku, ya, aku bisa pulang sekarang juga?" Pertanyaan macam apa itu? Aku menatap wajah tampan dan sok iyes milik pak Tama dengan horor. Kucoba untuk menarik napas dalam, lalu membuangnya dari mulut. Setelah itu, kuberikan senyum senatural mungkin agar pria tua itu tak berpikir lain. "Saya serius, Pak?""Loh, aku juga serius, Naina. Kapan sih, aku pernah gak serius sama kamu?" Wajahnya sok ganteng ditumpukkan di atas telapak tangan itu benar-benar membuat bibirku berkedut ingin mengumpat.Boleh nyekek tikus tetangga gak, sih? Gemas sekali aku
"Apa kamu baik-baik saja? Atau, ada yang terluka? Bagian yang mana?"Aku menelan kasar ludahku. Njir! Ini orang punya berapa kepribadian, sih? Lah, itu tadi siapa yang habis ngomel di tengah jalan? Terus, ini yang lagi megang-megang wajah, bahu, bahkan tubuhku sampai dimiringkan ke kanan dan kiri ini siapa?Woi! Situ siape? Kenapa jadi orang seneng banget bikin orang salah paham, sih? Aku mendengkus melihatnya."Tuh, kan. Apa jangan-jangan karena kamu hampir ketabrak tadi kamu jadi bego?"Mataku menatap tak percaya pada Pak Tama yang kembali mengeluarkan kata-kata saktinya, bahkan mulut ini sampai melongo dibuatnya. Tak menghinaku sedetik saja sepertinya ini orang bakalan mati, deh. Aku yakin itu."Naina," panggilnya lagi.Mulutku sudah hampir mangap, tapi usapan di bagian pipiku mampu membuatku menelan ludah. Aku memejamkan mata saat wajah pria itu semakin mendekat, bahkan terpaan napas pria tua membuat bulu kudukku meremang geli. "Apa kamu mengganti parfummu, hm?" tanyanya dengan d
"Hei, ada apa dengan teriakanmu itu?" tanyanya dengan wajah tak bersalah."Bapak yang bikin aku berteriak," balasku ketus. Tiba-tiba, dia menyentil lagi keningku. "Apa di dalam otakmu yang kecil itu selalu berpikiran mesum terus, eoh?"Sambil mengusap kening, aku mendengkus. Sialan banget ini orang. "Sakit, Pak!" Hanya keluhan saja yang berani kuungkap, untuk segala umpatan dan pengelakanku hanya kusimpan dalam hati."Dasar manja!" sarkasnya."Dih! Siapa juga yang manja sama situ. Orang sakit beneran juga." Aku menggerutu sambil melihat ke arah luar jendela. Kelakuan Pak Tama memang serandom itu. Setelah membuat anak gadis orang baper, maka mulutnya bisa dalam sekejap akan membuatku ilfill. Belum lagi tangannya yang selalu hobi main sentil kening, itukan sakit. Dasar Pak Tua kuampret.Ketika pangkuanku terasa ringan dan si pelaku ternyata sudah kembali duduk sendiri. Aku pun langsung menggeser dudukku. Kakiku dibiarkan bertumpu pada satu kaki lainnya seolah mencegah ada kepala yang