Share

Bab 2 Penuh Masalah

Hari telah malam saat Arin pulang dari cafe, jam menunjukkan pukul sembilan malam. Seperti biasa untuk menghemat biaya ia berjalan ke kosnya, Arin berjalan dengan perut yang lapar. Ini akhir bulan uangnya tinggal dua lembar tapi gajian masih satu minggu lagi.

Entah akan cukup atau tidak Arin pun tidak tahu, apalagi jika ia diminta revisi lagi otomatis ia harus mencetak ulang. Arin menghela nafasnya memikirkan nasibnya sekarang. Ia yang melihat batu di jalan yang ia lewati pun menendangnya. Sebenarnya ia hanya main-main tetapi tanpa dia sadari ia menendang terlalu keras.

Mulutnya terbuka saat batu itu mengenai sebuah mobil yang terparkir di sana. 'Ferrari hitam' batin Arin yang kemudian dirinya begitu menyesal. Rasanya Arin ingin berlari dari sana tetapi dia tak bisa lari dari tanggung jawab. Ia pun berjalan ke arah mobil itu, terlihat kaca mobil itu yang retak.

"Ya Tuhan semoga pemiliknya baik hati," batin Arin yang terus berdoa.

Arin menoleh saat merasa jika ada seseorang dibelakangnya. "Pak Sam," ucap Arin yang tercengang.

"Masalah apa lagi yang kamu lakukan?" tanya Sam karena dia mendengar alarm mobilnya.

"Pak, sungguh saya minta maaf," ucap Arin penuh penyesalan. Ia benar-benar tulus mengucapkannya, rasa takut pun menyelimutinya hingga pandangannya berkabut akibat air mata yang akan menetes.

"Apa tidak bisa seharipun kau tidak buat masalah dengan saya?!" tanya Samuel dengan membentak membuat air mata Arin menetes.

"Sa-ya akan menggantinya dengan mencicil, Pak," ujar Arin hanya itu yang ia pikirkan.

Arin menundukan kepalanya tak berani menatap wajah Samuel, dirinya benar-benar merasa bersalah sekaligus merasa takut. Samuel hanya diam membuat nyali Arin semakin menciut, ia tahu bagaimana sifat sang dosen. Dirinya pasti tak di lepaskan begitu saja.

"Besok ke rumah saya jam delapan pagi, jangan sampai terlambat," ucap Samuel yang kemudian masuk ke dalam mobil.

Arin bahkan belum mengatakan apapun lagi tetapi mobil itu telah pergi dari sana. Arin tertunduk lemas ia berjongkok disana sambil menangis. Ia terus-terusan mengumpati dirinya sendiri, tetesan air terasa membasahi tubuh Arin.

Ia mendongakkan kepalanya yang ternyata hujan turun, Arin pun bangkit dan berlari untuk pulang. Hujan semakin lebat saat Arin sampai di kos-kosannya, badanya basah kuyup beruntung tas yang ia pakai waterproof jadi buku dan bahan skripsinya aman. Tubuh Arin menggigil karena kedinginan, ia memutuskan untuk langsung berganti pakaian.

Perutnya yang lapar terus berbunyi ditambah udara yang dingin membuat ia semakin lapar. Arin membuka lemari kecil tempat ia menyimpan makanan. Terlihat sebutir telur disana, tak ada sedikitpun nasi yang tersisa. Rasanya ia ingin menangis tetapi ia tahu hal itu akan percuma.

Tok tok tok

"Arin... Arin," panggil seseorang yang mengetuk pintu kamar kos Arin.

"Iya sebentar," jawab Arin yang berjalan ke arah pintu. Ia membuka pintu itu dan terlihat bu Santi disana dengan membawa sebuah rantang.

"Ini untuk kamu, kamu pasti lapar tadi ibu lihat kamu kehujanan," tutur Bu Santi memberikan rantang itu kepada Arin.

"Ya ampun Bu, makasih banyak ibu selalu kasih Arin makanan," tutur Arin yang sangat merasa bersyukur masih ada yang baik padanya.

"Sama-sama Rin, dimakan ya jangan sampai sakit," pesan Bu Santi sebelum ia pulang.

Arin menatap Bu Santi yang berjalan menjauh menggunakan payung agar tubuhnya tidak basah karena air hujan. Setelah Bu Santi menghilang dari pandangannya ia pun menutup pintu dan menguncinya.

Arin tak sabar untuk makan, ia segera membuka rantang dua susun itu. Susun paling atas berisi telur dadar dan ayam goreng. Sedangkan yang bawah berisi nasi goreng, mata Arin berbinar ia pun segera memakannya. Arin tak menghabiskan makanan itu, ia sengaja menyisakannya untuk besok sarapan.

Arin memasukan sisa makanan itu ke dalam lemari kecil, lalu dirinya menuju ke kasur untuk tidur. Di luar sana masih hujan lebat membuat dia merasa kedinginan, tubuhnya tertutup selimut hingga ke leher. Lampunya memang sengaja tidak ia matikan karena ia takut kegelapan.

Sebelum tidur Arin sudah memasang alarm dengan volume tinggi, ia memastikan agar besok tidak kesiangan. Setelah itu Arin pun mencoba untuk menutup matanya dan tak lama kemudian ia telah masuk ke alam mimpi.

“Ayah, ibu?” panggil Arin yang mendekati meja makan.

“Eh Sayangku sudah bangun, sini makan dulu ibu sudah masakin makanan kesukaan kamu.’’

Mendengar suara itu Arin tersenyum sambil matanya berkaca-kaca. Arin mendekati meja makan dan duduk di sebelah ibunya dan di depan ayah yang sedang memegang koran di tangan sambil tersenyum ke arahnya.

Dengan penuh kebahagiaan Arin melihat kedua Orang Tuanya itu. Terasa hangat dan penuh kasih sayang. tiiiinggg. Terdengar suara sendok yang jatuh karena tersenggol tangan Arin.

Perlahan Arin membuka mata, tanpa sadar air mata mengalir di pelipis matanya. "Ternyata tadi hanyalah mimpi," gumam Arin yang mengusap air matanya.

Arin membuka ponselnya untuk melihat jam yang ternyata pukul lima pagi. Ia hanya duduk dengan tatapan kosong, entah apa yang ada di pikiranya saat ini yang jelas begitu banyak masalah yang ia hadapi sekarang.

"Bu, boleh nggak Arin nyerah saja?" gumam Arin seolah sedang berbicara dengan ibunya. "Arin lelah," sambung Arin yang kembali menangis. "Kenapa kalian tidak membawa Arin?"

Ia akan terdengar dari gadis itu, tubuhnya terguncang karena tangisnya yang semakin pecah. Kedua orang tuanya meninggal ketika dia masih SMA dan setelah kedua orang tuanya meninggal ia harus berusaha menghidupi dirinya sendiri. Sang Ayah memiliki adik tetapi bukannya merawat Arin justru ia mengambil rumah kedua orang tua Arin.

Arin hampir putus asa hingga ia bertemu Bu Santi, Bu Santi membiarkannya tinggal di kos-kosan miliknya. Dua bulan awal Arin dibiarkanya tinggal gratis di sana dan makan Arin pun selalu di kasih oleh Bu Santi. Tetapi Arin tidak tinggal diam, dia selalu membersihkan rumah Bu Santi hingga ia mendapat pekerjaan.

Setelah bekerja Arin mulai membayar kosnya, ia pun membayar kos dua bulan yang sebelumnya tidak ia bayar. Padahal memang Bu Santi yang ingin memberinya tempat tinggal gratis. Tetapi Arin tidak mau, ia tetap membayarnya dengan desakannya pun membuat Santi menerima uang dari Arin.

Terlihat jelas Bu Santi yang menyayangi Arin dan ia bangga dengan Arin yang tidak hanya diam menerima bantuan orang lain. Setiap hari Arin lalui dengan berusaha tetap tersenyum, tapi kali ini ia tidak lagi bisa memaksa senyumnya.

Arin terus mengatai dirinya yang begitu bodoh hingga membuat lecet mobil Samuel. Mobil itu mobil mahal yang tentu saja kaca mobilnya berharga jutaan. Sejak semalam Arin memikirkan itu, jika semalam ia tak merasa pusing pasti semalaman ia tidak tidur karena memikirkannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status