Share

Bab 3 Tawaran

Arin berangkat ke rumah Samuel pukul enam lewat tiga puluh menit, ia takut dirinya terlambat sehingga ia berangkat lebih awal. Arin menggunakan angkutan umum menuju ke alamat yang Samuel berikan. Ini pertama kalinya ia ke rumah sang dosen, jantungnya berdetak dengan kencang.

Sopir angkot itu menaikkan beberapa penumpang, Arin duduk di samping pintu melihat ke arah jalan raya. Dengan totebag yang ia peluk ia terus menatap jalanan, semakin dekat dengan rumah Samuel membuatnya semakin gugup. Ia pun berhenti di pinggir jalan raya karena angkot itu tidak memasuki kawasan rumah Samuel.

Arin harus berjalan kaki menuju ke rumah itu, sekarang sudah pukul tujuh lewat lima belas menit. Arin melihat sekeliling, ia terpukau melihat rumah-rumah mewah disana. Tetapi ia tidak terkejut mengetahui Samuel tinggal di kawasan elit karena mobil yang Samuel naiki pun bernilai miliaran.

Tetapi saat sampai di depan rumah Samuel dia pun terdiam dengan mulut yang menganga. Rumah itu benar-benar besar bahkan paling besar dari rumah yang lainnya. Dengan nuansa hitam membuatnya menyeramkan untuk Arin.

Dadanya bergemuruh ia benar-benar takut menemui Samuel, sudah terbayang makiannya di telinga Arin yang memekik.

"Permisi," panggil Arin dari luar pintu gerbang. Pintu gerbang itu sangat tinggi membuat Arin tak terlihat. Ia yang melihat bel pun menekannya.

Tak lama seseorang yang memakai pakaian hitam pun muncul. "Cari siapa?" tanya laki-laki itu yang semakin membuat Arin ketakutan karena wajahnya yang begitu tegas.

"Pak Samuelnya ada? Saya ada janji dengan beliau," tanya Arin yang diakhiri dengan senyuman.

Tanpa mengatakan apapun lagi sang penjaga langsung membuka pintu gerbang. "Terimakasih, Pak," ucap Arin dengan sopan.

Penjaga itu mengantarkan Arin menggunakan mobil golf. Arin kembali terpukau ia duduk di belakang sang penjaga menuju pintu utama. Halaman rumah itu sangat luar, Arin mengedarkan pandangannya.

"Nona," panggil sang penjaga membuat Arin menoleh ke arahnya. Ternyata dirinya telah sampai di depan pintu utama,

Arin tidak menyadari itu karena dia terlalu menikmati pemandangan yang memukau baginya. Arin pun segera turun dan sang penjaga membukakan pintu utama untuknya. "Silahkan Anda masuk saja, Nona. Tuan Sam nanti akan turun," tutur penjaga itu.

Arin pun mengangguk dan masuk ke rumah mewah itu, penjaga itu tak lagi menemaninya membuat Arin kebingungan. Di ruang tamu itu terlihat sofa panjang disana tetapi dirinya tak berani duduk, ia terus berdiri menunggu Samuel datang.

Keringat sudah membasahi dahi Arin, kedua telapak tangannya pun terasa dingin. Dia benar-benar takut, perasaan takutnya kini bertambah berkali-kali lipat saat mendengar suara langkah kaki seseorang. Arin mengusap keringat yang menetes dia mengatur nafasnya supaya lebih tenang.

"Pa-pagi Pak," sapa Arin yang mencoba tersenyum.

Samuel tak menggubrisnya ia langsung duduk membuat Arin memilin bajunya. "Ngapain kamu masih berdiri? Duduk!" ujar Samuel dengan wajah tanpa ekspresi.

Arin pun mengambil tempat duduk di sofa lain, dia menekan ujung jarinya untuk mengurangi rasa takut. "Bagaimana kamu mau bertanggung jawab?" tanya Samuel memecahkan keheningan diantara mereka.

Mendengar pertanyaan Samuel membuat Arin menelan ludahnya dengan susah payah. Ia benar-benar tidak tahu harus menjawab apa.

"Apa boleh saya mencicilnya, Pak? Sungguh jika harus menggantinya sekarang saya tidak sanggup," ucap Arin terus terang yang menatap wajah Samuel tapi tak lama kemudian ia menundukkan kepalanya lagi.

"Mau sampai kapan? Pekerjaan kamu sebagai pelayan cafe tidak akan bisa menggantinya," ujar Samuel membuat hati Arin tergores.

Ia tahu pekerjaannya itu gajinya sedikit tetapi ia tidak suka Samuel mengatakan jika ia tidak akan bisa menggantinya. Meskipun sulit Arin pasti akan berusaha mendapatkan uang itu.

"Setelah lulus saya akan mencari pekerjaan yang lebih baik, Pak. Saya tidak akan lepas dari tanggung jawab," jelas Arin meyakinkan Samuel.

"Lulus? Skripsimu saja belum acc sampai sekarang, bagaimana kamu mau lulus?"

"Saya minta tolong Bapak periksa skripsi saya lagi, saya mohon Pak," pinta Arin dengan memohon. Dia benar-benar berharap Samuel mau melakukannya.

"Saya cuman memberimu waktu satu minggu untuk mengganti kaca mobil saya, setelah itu saya akan memeriksa skripsi kamu."

"Tapi Pak bagaimana mungkin dalam waktu satu minggu saya bisa menggantinya?" ujar Arin. Samuel mengangkat kedua bahunya seakan ia tidak peduli bagaimana caranya Arin mengumpulkan uangnya. "Kalau boleh tahu berapa yang harus saya bayar, Pak?" tanya Arin dengan ragu karena dia tahu nominalnya pasti sangat besar.

"Seratus juta," jawab Samuel membuat Arin memekik kaget dan mulutnya kini terbuka.

"Saya ada tawaran lain agar kamu tidak menggantinya," sambung Samuel membuat Arin antusias untuk mendengarkannya. "Menikahlah dengan saya," imbuh Samuel yang justru membuat Arin semakin terkejut.

Jantungnya seakan ingin lepas dari tempatnya ia benar-benar tidak menyangka Samuel akan mengatakan itu. "Pak?"

"Oma saya mendesak untuk saya menikah jadi kamu harus membantu saya dan kamu tidak perlu mengganti rugi," tutur Samuel. Arin akan mengatakan sesuatu tetapi Samuel memotongnya. "Saya akan langsung acc skripsi kamu," imbuh Samuel.

Sebenarnya tak hanya Samuel yang akan diuntungkan tetapi juga dirinya. Namun, membayangkan ia menikah dengan Samuel membuat Arin bergidik ngeri. Laki-laki itu begitu menyeramkan baginya, bertemu setiap hari di kampus saja membuatnya selalu ketakutan apalagi mereka yang harus tinggal satu rumah. Arin tidak bisa membayangkan hal tersebut akan terjadi.

"Saya tidak bisa melakukannya, Pak," ujar Arin menolak Samuel.

Terlihat wajah Samuel yang memerah, Arin tahu jelas jika laki-laki itu tengah marah. "Baiklah saya tunggu pertanggung jawabanmu satu minggu lagi, jika satu minggu kamu tidak menggantinya maka kamu harus menikah dengan saya," ujar Samuel yang langsung bangkit dari duduknya meninggalkan Arin begitu saja.

Arin ingin mengatakan sesuatu ia ingin bernegosiasi dengan Samuel, tetapi Samuel tidak memberikannya waktu. Arin mengusap wajahnya dengan kasar memikirkan bagaimana caranya mengumpulkan uang sedangkan uangnya yang dia miliki saat ini tak sampai dua ratus ribu.

Arin terlihat bingung dia berjalan keluar dari rumah itu dengan lunglai. Seperti tak ada semangat untuknya hidup. Otaknya berpikir keras bagaimana caranya ia mengumpulkan uang. Arin tidak memiliki barang berharga untuknya dijual, meminta pertolongan ia tak memiliki seorang pun yang dapat ia mintai pertolongan.

Dengan uang sebesar itu tidak mungkin juga ia meminjam dia tak punya apapun untuk jaminan. Langkahnya terasa berat ia berjalan keluar dari komplek rumah mewah itu. Tak berniat mencari angkutan umum, ia berjalan di trotoar seperti tak punya tujuan.

Dan jika hanya bekerja di cafe tentu saja uangnya tidak akan cukup, untuk membiayai hidupnya sehari-hari saja dia masih kesusahan bagaimana caranya bisa mengumpulkan uang sebanyak itu dengan tempo satu minggu. Arin merasa frustasi dia semakin membenci dosennya itu yang tidak memiliki rasa kemanusiaan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status