Share

Bab 6 Membeku

Saat Arin membuka matanya terlihat jam telah menunjukkan pukul enam pagi, kamar yang begitu besar itu terasa dingin. Suara rintik hujan terdengar di telinga Arin, begitu bising karena dia tidak menyukai hujan. Arin masih mengenakan gaun yang semalam karena ia semalam ketiduran.

Arin memilih berjalan ke arah kamar mandi, wajahnya tampak tidak memiliki semangat hidup. Dia berhenti menatap dirinya dari pantulan cermin di depan wastafel. Wajahnya tampak berantakan dan terdapat tanda merah di lehernya. Sekelebat kejadian semalam terlintas di benak Arin membuat Arin langsung mengusap wajahnya dengan air.

Arin menghela nafasnya dengan kasar untuk mengatur perasaan hatinya, dia lalu memilih mandi agar pikirannya lebih fresh. Setelah mandi Arin keluar dengan mengenakan bathrobe, saat keluar dari kamar mandi ia baru tersadar jika ia tidak memiliki pakaian. Memakai gaun yang semalam tentu saja tidak mungkin, saat tengah berpikir tiba-tiba pintu kamar dibuka.

Ia langsung berbalik ke arah pintu, terlihat Samuel yang masuk membuat Arin menarik bathrobe untuk menutupi dadanya dengan sempurna. "Pakaianmu ada walk in closet, segera ganti baju lalu sarapan kita akan ke KUA hari ini," ujar Samuel tanpa ekspresi.

"Bukankah masih ada waktu enam hari? Saya janji akan melunasinya."

"Dengan apa? Menjual diri?"

Perkataan Samuel sungguh menggoreskan luka di hati Arin. Samuel berjalan mendekat ke arah Arin, "Kalau iya jual tubuhmu itu ke saya, kamu mau berapa? Satu milyar? Dua miliar? Atau tiga milyar? Saya bisa membayarnya," ujar Samuel.

Tangan kanan Arin melayang untuk memberikan tamparan di pipi Samuel. Namun Samuel segera menahanya, tatapan keduanya begitu tajam. "Kenapa marah? Bukankah itu yang kamu lakukan semalam?"

Cengkraman tangan Samuel di pergelangan tangan Arin semakin kencang membuat Arin meringis. "Apa saya semurah itu di mata Anda?" tanya Arin dengan kedua mata yang telah berair.

"Kamu sendiri yang membuat dirimu murah, bukan?" ujar Samuel yang melepaskan cengkraman tangannya lalu keluar dari kamar itu.

Arin terduduk lemas di lantai, hatinya benar-benar hancur karena perkataan Samuel. Hingga suara ketukan membuat Arin berdiri dan menghapus air matanya. "Permisi Nyonya, saya mau mengantar sarapan," tutur seorang wanita dari balik pintu.

"Masuk," ujar Arin yang membalik tubuhnya agar wajahnya yang berantakan tidak terlihat.

"Saya letakan di sini ya, Nyonya," ucap maid itu. "Tuan berpesan untuk Anda keluar satu jam lagi," sambung maid itu.

Arin tidak menjawab apapun hingga maid berpamitan untuk keluar dari kamar Arin. Setelah maid itu keluar makan Arin menuju ke walk in closet ia memilih sweater dengan kerah turtleneck untuk menutupi tanda merah di lehernya. Arin memadupadankan dengan rok coklat yang panjangnya dibawah lutut.

Tak hanya pakaian tetapi disana juga terlihat beberapa tas yang tersusun rapi. Arin memilih sebuah tas kecil karena dia hanya akan membawa ponsel. Namun saat Arin akan keluar pandangannya teralihkan ke sebuah tas yang cukup besar. Arin pun memilih tas itu, ia lalu sarapan terlebih dahulu.

Sungguh ia tidak memiliki nafsu makan hingga membuatnya susah menelan makanan itu. Arin menghela nafasnya lalu meletakan sendok dan garpu itu. Kepalanya ia sangga menggunakan kedua tangan, ia nampak berpikir keras.

Tok tok tok

Suara ketukan membuat Arin menoleh ke arah pintu. "Nyonya ini saya Alfred," ucap Alfred yang kemudian membuka pintu kamar Arin. "Tuan Samuel telah menunggu Anda dibawah, Nyonya," tutur Alfred membuat Arin bangkit dari duduknya.

Ia diantar Alfred menuju ke lantai satu, di ruang tamu terlihat Samuel tengah berdiri membelakanginya. Ia tengah berbicara dengan seseorang di telepon, saat mendengar langkah kaki Arin mana Samuel segera menutup telepon itu. Tanpa mengatakan apapun Samuel berjalan keluar dari rumah diikuti oleh Arin.

Ia masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi pengemudi, Samuel melajukan mobilnya saat Arin telah masuk ke dalam mobil. Tidak ada yang berbicara di antara mereka membuat suasana sunyi. Arin sibuk menatap keluar jendela, kepalanya terus memikirkan cara agar bisa lepas dari Samuel.

"Heem."

Suara itu membuat Arin tersadar dari lamunannya, ia baru menyadari jika mobil telah berhenti. "Pak," panggil Arin yang menoleh ke arah Samuel.

Samuel melepas seatbelt tanpa menoleh ke arah Arin. "Sepertinya kita harus berbicara," sambung Arin membuat Samuel menatap ke arahnya.

Bukkk!

"Akh!" erang Samuel saat Arin tiba-tiba memukul kepalanya menggunakan benda keras.

Arin langsung keluar dari mobil tanpa memperdulikan Samuel yang terluka. Ia sengaja menggunakan tas yang cukup besar agar bisa memasukan sebuah hiasan yang tingginya kurang lebih dua puluh lima senti. Bukan untuk mencurinya tetapi ia memang berencana menggunakannya untuk memukul kepala Samuel.

Benda yang terbuat dari keramik itu pecah saat ia gunakan untuk memukul kepala Samuel. Darah mengalir dari pelipis Samuel membuat Samuel geram tetapi dia diam tidak mengejar Arin.

Arin merasa beruntung karena ada bus yang lewat di depannya, ia segera menaiki bus itu. Saat telah duduk Arin terus menatap kebelakang untuk mengawasi apakah Samuel mengikuti dirinya. Ia akhirnya bisa bernafas lega karena tidak melihat mobil Samuel.

Dengan sisa uang yang ia punya ia gunakan untuk membayar bus itu. Arin tidak lagi memperdulikan skripsinya yang dia pikirkan hanyalah terlepas dari Samuel. Hari telah sore saat Arin turun dari bus itu.

Daerah itu nampak asing bagi Arin tetapi Arin tidak peduli yang terpenting dia bisa menjauh dari Samuel. Arin berjalan kaki menyusuri jalanan itu untuk menghemat ongkos karena kini uangnya hanya tersisa satu lembar berwarna hijau. Uang itu tersimpan dengan aman di dalam tas Arin.

Ia berencana mencari tempat untuk ia tinggal, meskipun ia tahu jika itu hal mustahil karena dia hanya memegang uang dua puluh ribu. Namun Arin tidak menyerah ia bertanya kesana kemari tetapi mereka menginginkan Arin membayarnya di awal bulan.

Arin tentu saja tidak bisa menyanggupinya, ia pun terus berjalan berharap ada tempat yang bisa ditinggali. Arin berhenti di sebuah toilet pom bensin.

"Hey kamu," panggil seseorang membuat Arin menoleh. "Tas kamu ini asli atau palsu?" tanya wanita dengan dandanannya yang heboh itu.

Arin terdiam karena dia sungguh tidak tahu. "Ini sungguh seperti asli," gumam wanita itu. "Mau kamu jual tidak?" sambungnya membuat Arin tertegun.

"Ini pasti palsu, kalau kamu mau satu juta ku beli," ucap wanita itu.

"Boleh kak," jawab Arin segera.

Dia tidak tahu berapa harga tas itu sebenarnya tetapi dengan uang satu juta mampu untuk Arin mencari tempat tinggal. Tanpa berpikir panjang wanita itu langsung membayarnya, dengan wajah sumringah ia membawa tas itu segera.

Sedangkan Arin pun bernafas lega karena mendapatkan uang yang nominalnya bagi dia tidak sedikit. Setelah dari kamar mandi Arin kembali mencari sebuah kos yang tempatnya tidak jauh dari sana.

Kamar kos itu terlihat kecil namun itu cukup bagi Arin, Arin membayar lima ratus ribu kepada pemilik kos. "Tenang aja neng geulis disini kamar mandi dalam kok meskipun kamarnya kecil," tutur ibu itu dengan ramah.

"Ini kuncinya, neng gelis bisa langsung istirahat saja," sambungnya setelah membuka pintu kamar itu.

"Makasih ya Bu," ucap Arin dengan senyum yang sangat lebar.

"Sama-sama, kalau begitu ibu tinggal ya neng," pamit ibu itu yang dijawab anggukan kepala oleh Arin.

Arin bernafas lega, ia masuk ke dalam kamar kos itu. Tidak lupa mengunci pintunya, Arin meregangkan tangannya. Ia pun berbalik dan mengedarkan pandangannya, matanya melotot tubuhnya seakan membeku tidak dapat dia gerakan.

"Pak Sam.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status