Share

Bab 7 Diam dan Tetap Berada di Sisi Saya

"Pak Sam," gumam Arin ketika mata hazel itu menatap ke arahnya. Tubuhnya seakan membeku tidak bisa ia gerakan. Laki-laki yang memakai kemeja putih itu berjalan ke arahnya, membuat tubuh Arin terduduk lemas.

"Saya mohon lepaskan saya," pinta Arin dengan mata yang berkaca-kaca.

"Tidak bisakah kamu diam dan tetap berada di sisi saya?"

Beberapa detik kemudian tubuhnya telah berada dalam gendongan Samuel. Arin memberontak dan terus berteriak meminta tolong. Beberapa anak kos keluar karena teriakan Arin dan ingin menghampiri mereka.

"Terimakasih atas bantuannya ya, Bu," ucap Samuel kepada pemilik kos-kosan.

"Sama-sama," balas ibu itu. "Neng geulis, marah sama suaminya jangan lama-lama," sambung ibu itu sebelum Arin dan Samuel masuk ke dalam mobil.

Sopir segera melajukan mobilnya, Arin masih dalam dekapan Samuel. "Lepas!" seru Arin yang merasa tidak nyaman dengan posisi itu.

Samuel membiarkan Arin turun dari pangkuannya, Arin duduk di samping Samuel ia merapikan pakaiannya. Ia tidak tahu harus melakukan apalagi untuk bisa terlepas dari Samuel. Dia tidak mengerti mengapa Samuel bisa dengan mudah menemukannya.

Semua seakan sia-sia padahal kakinya begitu lelah berjalan sejak sore tadi. Hari telah gelap dan perutnya kini terus berbunyi membuatnya merasa malu karena tentu saja itu terdengar di telinga Samuel. Namun, laki-laki itu nampak acuh dia tetap fokus ke ponsel yang ia pegang.

Mobil itu memasuki area sebuah bangunan mewah yang Arin yakini adalah sebuah hotel bintang lima. Tetapi mobil itu tidak berhenti di depan lobi, hal itu membuat Arin merasa bingung. Hingga mobil itu pun menuju ke basement dan berhenti disana. Banyak mobil terparkir di sana tetapi Arin tidak melihat seorangpun disana.

Ia menoleh ke arah Samuel, laki-laki itu masih menatap layar ponselnya. Arin segera membuka pintu mobil dan dia berlari menjauh dari sana membuat Samuel berdecak kesal. Ia segera keluar dari mobil, berjalan santai mengejar Arin.

Arin yang memakai hak tinggi membuatnya kesulitan berlari, ia pun melepas kedua sepatu itu. Beberapa meter sebelum dia berhasil keluar dari basement tiba-tiba pintu basement itu tertutup. Arin berbalik dan terlihat Samuel yang berdiri dengan tangan yang ia lipat di depan dada. "Kemarilah," panggil Samuel dengan nada lembut.

Arin terduduk lemas dan dia pun menangis. "Saya berjanji akan membayar kerugian yang Anda tanggung, tetapi saya mohon lepaskan saya," ucap Arin yang berlutut.

Terlihat Samuel yang menghela nafasnya ia pun berjalan ke arah Arin. Tanpa mengatakan apapun tubuh Arin telah berada di pundak Samuel. Arin meronta-ronta meminta Samuel untuk melepaskannya.

Samuel membawanya masuk ke dalam lift, "Turunkan saya!" seru Arin berkali-kali tetapi tidak digubris Samuel.

Hingga Samuel pun membawanya ke ruangan, itu bukan sekedar kamar tetapi ruangan itu memiliki ruang tamu. Samuel baru menurunkan Arin ketika mereka berada di dalam kamar. Tak lupa Samuel mengunci kamar itu.

Arin menatap waspada ke arah Samuel, dia melangkah mundur menjauh dari Samuel. "Apa yang Anda inginkan?" tanya Arin dengan menyilangkan tangan di depan dada.

Samuel tidak menjawabnya dia justru berjalan ke arah kamar mandi tanpa memperdulikan Arin. Beberapa saat kemudian terdengar suara air mengalir yang Arin yakini jika Samuel tengah mandi. Ia merasa memiliki kesempatan untuk kabur dari tempat itu, ia pun mencari celah untuk bisa melarikan diri.

Arin melihat sebuah balkon dia berlari ke arah balkon tetapi saat ingin membuka pintu itu ternyata terkunci. Pintu kaca itu membuat Arin memiliki pikiran untuk memecahkannya. Arin mengedarkan pandangannya untuk mencari sesuatu.

Tak ada yang ia temui di ruangan itu selain vas bunga, Arin pun melempar vas itu ke arah pintu kaca. Pyar! Vas itu pecah tetapi pintu kaca itu tetap kokoh tanpa goresan. Justru lengan Arin terluka karena serpihan vas yang mengenai dirinya.

"Apa lagi yang mau kamu hancurkan?" tanya Samuel membuat Arin berbalik ke arahnya.

Samuel berdiri di ambang pintu dengan melilitkan handuk di pinggangnya. Sontak hal itu membuat Arin terkejut, ia langsung menutup matanya dan kembali membelakangi Samuel.

"Cepat mandi lalu kita akan makan," ujar Samuel.

"Tidak mau!"

"Apa kamu mau saya yang melakukannya?"

Mendengar pertanyaan itu sontak membuat Arin berlari ke arah kamar mandi. Dia mendorong tubuh Samuel agar bisa masuk ke dalam kamar mandi. Pintunya ia tutup dengan kencang sehingga menimbulkan suara yang nyaring.

***

"Pak, saya tidak memiliki pakaian ganti," teriak Arin dari dalam kamar mandi setelah ia selesai mandi.

Tak ada jawaban dari Samuel sehingga Arin membuka pintu kamar mandi dan mengeluarkan kepalanya. Ia melihat Samuel berdiri di balkon dan tengah bertelepon.

"Pak Sam!" teriak Arin membuat Samuel menoleh. Ia langsung mematikan sambungan teleponnya itu. "Baju."

"Ada di ruangan itu," ujar Samuel yang menunjuk sebuah ruangan yang berada di samping kamar mandi.

"Saya tidak suka memakai pakaian milik orang lain," ucap Arin.

"Itu punya kamu, tak pernah ada wanita lain yang memakainya," tutur Samuel yang kemudian merebahkan dirinya di atas tempat tidur.

Mendengar jawaban dari Samuel membuat Arin langsung berlari menuju ke walk in closet. Dia membuka ruangan itu dan tercengang melihat pakaian wanita yang tertata rapi disana. Saat Samuel mengatakan jika pakaian itu milik Arin, ia berpikir jika Samuel membeli satu pakaian untuknya. Tetapi di dalam ruangan itu banyak sekali pakaian wanita.

Arin bingung bagaimana Samuel bisa menyiapkan semua ini. Seakan Samuel tahu jika mereka akan berada disana malam itu.

Setelah melihat-lihat maka Arin pun memilih baju tidur dengan lengan pendek dan celana pendek. Baju tidur disana cuman itu yang menurutnya sopan karena yang lain bukanlah baju tidur tetapi lingerie. Sebenarnya Arin sempat merinding saat melihat begitu banyak lingerie disana.

Ia kembali was-was dengan Samuel, otaknya kembali terlintas malam itu dimana Samuel menciumnya tanpa ampun. Arin menepuk kepalanya laku dia berjalan keluar dari ruangan itu.

"Ayo makan," ajak Samuel ketika ia mendengar pintu ruang ganti dibuka.

Ia berjalan keluar dari kamar tanpa menatap ke arah Arin dan tanpa menunggu jawaban dari Arin. Arin tentu saja tidak bisa menolaknya karena dia sangat kelaparan. Meskipun tengah marah tetapi ia harus segera mengisi perutnya sebelum asam lambungnya itu naik.

Ternyata tidak hanya ruang tamu tetapi ada ruang makan dan dapur kecil di sana. Arin terlihat kagum dengan apa yang dia lihat, ia kemudian mengambil tempat duduk di depan Samuel. Makanan telah tertata dengan rapi disana, Arin tidak pernah melihat makanan sebanyak ini. Aroma yang sedap membuat cacing di perutnya semakin berisik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status