Rindu, seorang anak yang mengalami banyak cobaan sejak ayahnya pergi meninggalkan dirinya. Juga setelah sang ibu memutuskan untuk menikah lagi. Berbagai kejadian pahit ia alami hingga ia menemukan orang yang mengubah seluruh kehidupannya.
Lihat lebih banyakPerlahan pintu itu kembali terbuka. Sesaat kemudian Om Haryo keluar dari rumahku dengan senyum yang mengembang.
"Aku pulang dulu, ya," ucap Om Haryo pada ibuku yang berdiri di ambang pintu."Hati-hati," jawab ibuku dengan memberikan senyum termanisnya."Rindu, Om pulang dulu, ya." Om Haryo mengusap kepalaku pelan. Namun, aku tetap bergeming tanpa berniat menjawabnya.Setelah melihat Om Haryo melesat dengan CRV hitam miliknya, ibu kembali masuk ke dalam rumah. Disusul olehku dari belakang."Rindu, kamu itu yang sopan kalau diajak bicara sama Om Haryo," bentak ibu.Aku yang akan melangkahkan kaki ke kamar langsung berhenti."Bu, kenapa ibu melakukan semua itu? Itu dosa, Bu. Ibu sama Om Haryo belum menikah. Rindu malu, Bu. Rindu malu sama teman-teman Rindu. Mereka bilang kalau ibu itu pel*kor," tuturku pilu."Halah ... anak kecil tau apa sih? Memang kamu tau apa itu pel*kor? Kamu itu seharusnya bersyukur, sejak kenal Om Haryo, ibu gak perlu cari kerja sana sini. Kamu pikir, dari mana ibu punya uang buat kamu sekolah, buat makan, buat semuanya? Dari bapakmu? Bahkan bapakmu saja tidak pernah ingat sama kamu, anaknya. Sekarang sok-sokan nasihati ibu."Aku hanya bisa menunduk. Tak berani menatap mata ibu yang sudah pasti terlihat tajam memandangku."Sudah, sekarang masuk kamar sana. Ganti bajumu. Habis itu masak buat makan siang," titah ibu sambil berlalu masuk ke dalam kamarnya.Dengan gontai aku masuk ke dalam kamarku yang tanpa pintu. Hanya menggunakan gorden lusuh sebagai penutupnya. Dengan hati yang berdenyut nyeri aku duduk di pinggir ranjang. Ranjang kayu usang dengan kasur terbuat dari kapuk yang sudah menipis itu sedikit berderit.Dengan pelan aku lepaskan tas yang masih menempel di punggungku. Lalu meletakkannya di atas kasur. Perlahan aku baringkan tubuhku yang lelah setelah berjalan kurang lebih 1 km dari sekolahku. Mataku menatap langit-langit kamar yang terlihat menguning karena sering bocor jika hujan.
"Ya Alloh, kenapa hidupku harus seperti ini? Aku mempunyai ibu tapi dia seperti tidak menyayangiku. Aku juga mempunyai ayah tapi entah di mana dia sekarang. Dia bahkan meninggalkanku. Tak pernah menjengukku setelah 5 tahun kepergiannya dari rumah ini. Kata Ustadz yang mengajariku mengaji setiap malam, Alloh akan mengabulkan doa-doa hambanya. Tapi kenapa Alloh tidak mengabulkan doaku? Padahal setiap hari aku sudah solat, mengaji, juga berbakti kepada ibuku." Aku terus meracau dalam hati."Rin ... Rindu." Panggilan melengking dari ibuku membuatku buru-buru bangkit. Dengan tergesa aku membuka lemari plastik yang terletak di pinggir ranjang. Mengambil kaos lengan pendek dengan celana panjang. Kubuka seragam merah putih yang masih melekat di tubuhku. Seragam sekolah yang akan kupakai dalam waktu beberapa bulan lagi. Menggantinya dengan baju yang baru saja kuambil.
"Iya, Bu," jawabku sambil keluar kamar. Menyibak gorden biru bergambar angsa."Kamu lama banget, sih. Cepetan dong ibu lapar." Ibu menatap tajam ke arahku."Maaf, Bu. Tadi Rindu istirahat sebentar. Rindu cape baru pulang sekolah." Aku mencoba mengiba. Barangkali wanita yang sudah melahirkanku itu akan terketuk hatinya."Jalan kaki segitu aja cape. Ga usah manja. Kalau mau enak-enakan santai, sana cari bapakmu. Ini semua juga kan gara-gara bapakmu. Udah mah kere, gak bertanggung jawab lagi," cerocos ibu.Aku segera berlalu menuju dapur. Dari pada mendengar omelan ibu yang pasti panjang sepanjang rel kereta api. Aku berdiri, terpaku dekat kompor. Bingung harus memasak apa."Masak mie instan aja biar cepat," teriak ibu dari tengah rumah. "Jangan lupa pakai telor terus tambah cabe rawit tiga biji," lanjutnya lagi.Aku pun segera menjarang air di teplon. Kemudian memasukkan mie setelah airnya mendidih. Hanya butuh waktu tak lebih dari sepuluh menit, mie instan itu sudah matang. Wanginya menguar membuat air liurku hampir menetes. Sayang mie instannya tinggal satu. Tak ada lagi.Aku segera mengantarkan semangkuk mie yang masih mengepul itu kepada ibu."Ini, Bu." Aku menyimpan mangkuk itu di meja meja di hadapan ibu.Wanita yang baru saja memasuki usia tiga puluh tahun itu langsung menyimpan gawainya. Meraih sendok yang ada di dalam mangkuk, lalu meniup mie yang masih mengepul itu kemudian melahapnya. Aku memperhatikannya sambil menelan ludah.
"Ngapain kamu berdiri di situ?" tanya ibu dengan mulut yang penuh dengan mie.
"Rindu juga lapar, Bu," jawabku sambil meremas perut yang mulai terasa perih.
"Kalau lapar tinggal makan. Bukannya berdiri aja lihatin ibu. Emangnya kenyang cuma lihatin doang?"
"Tapi ... mienya habis, Bu. Tinggal satu."
"Makan aja apa yang ada. Tuh di meja masih ada kerupuk. Makan sana sama kerupuk." Ibu menunjuk ke arah dapur.
"Habis makan jangan lupa langsung cuci semua piring kotor. Terus itu baju-baju ibu juga sudah numpuk yang belum disetrika." Ibu terus saja memberi perintah. Seolah ini aku robot yang tak punya rasa lelah.
Aku hanya bisa mengangguk lesu. Dengan langkah gontai aku berjalan menuju dapur. Mengambil nasi dari magic com kemudian duduk di kursi. Membuka toples plastik lalu mengambil satu buah kerupuk.
Dengan mata yang mulai memanas, aku mulai menyuap nasi ke dalam mulutku, lalu menggigit kerupuk.
"Ah, ternyata sudah agak melempem," lirihku. Namun, aku tetap saja memakannya sampai nasi dalam piring habis tak bersisa. Aku butuh tenaga untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah.
***"Rindu ... Ibu pergi dulu, ya. Jangan lupa kunci pintu." Kepala ibu menyembul dari gorden yang menutupi kamarku.Ibuku memang kerap pergi malam hari. Dengan siapa lagi kalau bukan Om Haryo.
Aku hanya mengangguk lalu kembali melanjutkan membaca buku. Belajar untuk ulangan besok.
Tok tok tok tok
Tiba-tiba suara pintu diketuk dengan kasar. Bahkan ibu saja belum sempat keluar dari rumah. Aku langsung bangkit, keluar dari kamar. Ibu terlihat masih berdiri di dekat pintu, hendak membukanya tapi terlihat ragu.
"Keluar kau wanita j*l*ng!" teriak orang itu sambil terus menggedor pintu.
"Siapa, Bu?" tanyaku pelan.
Ibu hanya menggeleng. Wajahnya terlihat ketakutan.
"Keluar! Dasar wanita m*r*han. Pelak*r!" Lagi-lagi orang di luar sana berteriak.
Perlahan ibu mundur dari dekat pintu. Wajahnya yang dipoles make up sedikit menor mulai berkeringat. Padahal udara tidak panas. Bahkan sedikit dingin karena hujan turun sore tadi. Apalagi ibu mengenakan dress selutut tanpa lengan.
Untuk sesaat, Andika sempat tertegun. Namun, sesaat kemudian, dia langsung berdiri dan menyambut uluran tangan Mas Raihan meskipun terlihat salah tingkah. Mereka berdua bersalaman sambil menyebutkan nama masing-masing."Yuk, kita pulang," ajak Mas Raihan sambil merangkul bahuku.Aku mengangguk."Dik, aku pulang dulu, ya," pamitku pada Andika yang berubah muram.Andika mengangguk lesu. Ada lengkungan senyum yang terlihat dipaksakan di sudut bibirnya.Aku berjalan bersisian dengan Mas Raihan. Tangannya merangkul bahuku mesra. Saat akan masuk ke dalam mobil, aku kembali menoleh ke arah Andika. Dia masih duduk termenung memandangiku sendu. Ada rasa bersalah yang menggelayut hebat di dada. Pertemuan pertama kami, dilandasi kecanggungan seperti ini."Apa dia Andika yang sama dengan sahabatmu dulu?" tanya Mas Raihan saat kami sudah di dalam mobil. Ada nada cemburu dalam suaranya."Iya. Kenapa?" Tanyaku pura-pura tak bisa membaca aura cemburu yang dipancarkannya."Oh, gak apa-apa. Mas seneng
KETIKA IBUKU MENIKAH LAGIBab 69Hamil? Rasanya gak mungkin. "Kamu ini ngomong apa sih, Ri? Lihat, kakak iparmu sampai kaget gitu!" tegur Mas Raihan sambil meraih tissue dan mengelap sisa teh yang tersisa di bibirku."Loh, apanya yang salah? Wajar kan kalau Rindu hamil? Dia kan sudah punya suami. Kalau masih gadis, baru panik," sahut Riana tak terima. "Kalian ini aneh," gerutunya sambil berlalu pergi.Aku dan Mas Raihan hanya saling pandang. Tentu saja kami sama-sama bungkam tentang rahasia ranjang kami. Tidak ada yang tau bahwa belum pernah terjadi pertempuran apapun di ranjang itu. Hingga bisa dipastikan aku masih tersegel sampai detik ini.Mas Raihan benar-benar menepati janjinya untuk tidak meminta haknya sampai aku benar-benar siap. Kami hanya menghabiskan malam bersama dengan mendekap tubuh satu sama lain. Setelah Riana pergi, kami sama-sama tertawa. Menyadari bahwa apa yang disangkakan Riana itu mustahil."Kamu gak apa-apa kan, Sayang?" Mas Raihan memindai wajahku.Aku mengge
Handel pintu mulai bergerak. Dan pintu pun terbuka."Wa'alaikum salam. Maaf cari --."Pertanyaan ibu terhenti saat memandangku. Matanya mulai berkaca-kaca. Kedua tangannya refleks menutup mulutnya yang terbuka.Aku tertegun. Terkesiap menatap wajah ibu yang sudah sekian lama kurindukan. Buliran bening pun mulai lolos satu persatu dari pelupuk. "Apa kamu Rindu anak ibu?" tanyanya dengan pipi tirus yang bersimbah air mata.Dalam hati aku terenyuh. Ibu masih mengenali putrinya ini meski jarak memisahkan kami tiga tahun lamanya. Mungkin karena memang tidak terlalu banyak yang berubah dariku.Aku mengangguk sambil bercucuran air mata. Sedetik kemudian aku menghambur memeluk tubuhnya. "Ibu ...." Aku menangis dalam dekapannya. Dekapan hangat yang selama ini aku rindukan bahkan sejak aku masih kecil.Isakan ibu makin lirih dengan bertambah eratnya pelukan kami. Tangan ibu mengusap-usap punggungku."Rindu anakku!" Ibu merintih menyebut namaku. Seakan selama ini ia begitu terluka saat jauh da
Kakiku rasanya berat untuk melangkah membuka pintu. Namun, suara ketukan lagi-lagi terdengar meskipun pelan. Setelah mengatur pernapasan setenang mungkin, akhirnya pintu itu kubuka. Aku sedikit bernapas lega saat melihat Riana yang berdiri, bukan Mas Raihan."Kenapa, Ri?" tanyaku setenang mungkin."Icha udah tidur?" Kepalanya mengintip ke dalam kamar."Udah.""Syukurlah. Biar aku yang tidur di sini. Kamu ke atas saja. Masa pengantin baru tidurnya terpisah gini?" tutur Riana sambil menerobos masuk ke dalam kamar."Tapi, Ri ...." "Udah. Gak usah pake tapi segala. Sana buruan!" Riana mendorong tubuhku untuk keluar dari kamar.Karena bingung sekaligus malu harus ke kamar atas, akhirnya aku memilih duduk di sofa ruang TV. Menikmati tayangan yang sama sekali tidak menarik untuk ditonton. "Hai, kenapa malah di sini?"Karena terlalu fokus pada lamunan, hingga aku tak sadar kalau Mas Raihan sudah ada di belakangku.Aku menoleh. Tersenyum kikuk."Iya, Mas. Icha baru saja tertidur."Ya, tadi R
Bapak langsung terkejut mendengar penuturan Tuan Raihan. Matanya menatapku dengan kening berkerut. Menyelidik memandangku dengan tatapan rasa tak percaya."Benarkah kamu Rindu, anak bapak?" tanya bapak dengan suara bergetar.Aku diam. Hanya air mata yang mengalir deras yang berbicara. Seolah berkata, benar. Ini aku putrimu. Putri yang kau terlantarkan lebih dari sepuluh tahun lamanya."Katakan, Nak! Benarkah kamu putriku?" Bapak sekali lagi bertanya. Matanya sudah nampak berkabut. Ah, bapak. Saking lamanya sampai tidak mengenali sedikit pun anakmu ini.Aku hanya mengangguk lemah. Buliran bening semakin deras membasahi pipi."Ya Alloh ... Nak. Kenapa kamu tidak bilang kalau kamu anak bapak?" Bapak mulai menangis. Lelaki yang menjadi cinta pertamaku itu berjalan mendekat ke arahku. Tiba-tiba tubuhnya ambruk dan berlutut di kakiku."Maafkan bapak, Nak. Maafkan bapak! Bapak Rindu sekali sama Rindu. Maafkan bapak. Bapak memang bukan ayah yang baik. Selama ini bapak tega mengabaikanmu sampa
POV RinduMendengar perkataan Tuan Raihan, jantungku serasa berhenti berdetak untuk sejenak. Namun, sesaat kemudian, kembali berdebar dengan begitu hebatnya. Apa aku tak salah dengar? Tuan Raihan melamarku? Memintaku menjadi istrinya? Aku mencubit lenganku dengan sedikit keras."Awww." Sakit. Ternyata ini nyata dan bukan mimpi. "Rindu. Maukah kamu menikah denganku?" Lagi Tuan Raihan bertanya. Membuatku kembali limbung dan seolah terperosok ke pusat bumi. Aku benar-benar bingung harus menjawab apa. Bibirku kelu. Ini terlalu mendadak. Aku bahkan tidak pernah terpikirkan hal ini sebelumnya.Menikah? Di usiaku yang baru saja menginjak remaja. Aku mematung. Otakku berputar berpikir keras untuk menentukan jawaban. Tuan Raihan berjalan menghampiri Raisa. Menuntun tangannya, kemudian berhenti tepat di hadapanku. Berjongkok."Sekali lagi aku bertanya. Maukah kamu menjadi istriku dan ibu dari anakku?" Tatapan Tuan Raihan begitu memohon. Pun si cantik Raisa. Ada harapan besar yang terlukis di
"Apa yang kamu katakan, Ri? Menikah?" Kak Raihan bangkit dari duduknya, lalu berjalan mondar-mandir dengan ekspresi bingung."He'em. Rindu udah lulus SMA. Dia bukan gadis dibawah umur lagi. Gak ada yang salah kan?" Aku ikut berdiri."Tapi, Ri. Yang kakak lihat, Rindu begitu semangat mengejar cita-citanya. Kakak gak mau jadi penghalang dia untuk mewujudkan cita-citanya itu." Aku berjalan beberapa langkah, berhenti tepat di depan Kak Raihan."Kak, memangnya kalau sudah menikah, Rindu gak bisa mengejar cita-citanya, ya? Dia kan masih bisa kuliah meskipun sudah menikah." Aku meyakinkan Kak Raihan."Coba kakak pikir. Di mana lagi kakak mau cari wanita seperti Rindu? Dia cantik, pintar, solehah, sudah diterima semua keluarga kakak terutama Icha. Apalagi yang kurang dari Rindu?" lanjutku menggebu-gebu.Kak Raihan nampak berpikir. "Beri kakak waktu untuk memikirkannya.""Kak! Waktu kita tuh gak banyak. Beberapa hari lagi Rindu udah mau pergi. Kopernya aja udah disiapin di sudut kamar. Kalau
Ditatap seperti itu oleh dua orang, nyaliku mendadak ciut. Keringat dingin mulai keluar dari sela-sela jilbab. Jantungku tak hentinya berlompatan serasa mau keluar dari tempatnya."Katakan saja, Rindu. Ada apa?" Tuan Raihan yang dari tadi diam akhirnya bersuara. Mungkin sudah jenuh menungguku yang tak kunjung berkata."Sebenarnya ... saya mau bilang, kalau saya keterima beasiswa di perguruan tinggi di Jogjakarta. Dan bulan depan, saya harus sudah di sana." Aku berkata dengan suara gemetar."Maksud kamu apa? Saya belum paham?" tanya Tuan Raihan."Maksud saya, saya mau mengundurkan diri sebagai pengasuh Raisa. Makanya saya bilang dari sekarang, agar Tuan punya waktu untuk mencari pengasuh baru," sahutku hati-hati."Loh. Kenapa mendadak seperti ini, Rindu? Saya pikir kamu mau melanjutkan kuliah di Jakarta saja bareng Riana. Kenapa kamu juga tidak pernah membicarakan ini sebelumnya?" tanya Tuan Raihan."Saya sudah pernah membicarakan ini dengan Riana, Tuan." Aku melirik Riana yang masih t
Aku sedikit tergagap mendapat banyak pertanyaan sekaligus dari Riana. Karena sebenarnya aku juga belum siap untuk menceritakannya. Toh masih ada waktu beberapa bulan ke depan."Rin, kok diam?" Riana mengguncang tubuhku pelan. Wajahnya nampak tegang menunggu jawaban dariku."Eh, itu Ri. Aku kan cuma tanya. Itu juga seandainya. Siapa tau nanti aku keterima kuliah di luar kota kan?" "Memangnya kamu berniat daftar kuliah di luar kota?""Ya ... namanya juga nyari beasiswa. Jadi harus dicoba di semua universitas negeri.""Tapi kamu kan bisa nyari beasiswa di Jakarta aja," protes Riana tampak tak terima."Kalau gak keterima gimana?""Kak Rai masih sanggup kok biayain kuliah kamu.""Ri ... aku tuh gak enak kalau harus terus-terusan merepotkan Tuan Raihan. Aku ini bukan siapa-siapa. Aku bukan tanggung jawabnya. Aku cuma seorang pengasuh anaknya. Jadi harus tau diri. Aku gak mau dianggap ngelunjak. Apalagi dianggap memanfaatkan keadaan untuk meraih cita-cita aku. Setelah lulus SMA nanti, setid
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen