"Rin." Ibu masuk ke dalam kamarku saat aku sedang membereskan pakaianku. Wanita yang sudah melahirkanku dua belas tahun lalu itu duduk di tepi ranjang dengan wajah sendu."Maafkan ibu. Ibu tidak tahu kalau ternyata Mas Haryo akan melarangmu untuk ikut bersama ibu."Aku menghentikan aktivitasku memasukkan baju ke dalam tas. Lalu berbalik membuat posisiku dan ibu berhadapan."Tidak apa-apa, Bu. Semuanya sudah terlanjur terjadi. Itu juga keputusan ibu, bukan?" Aku sengaja sedikit menekan nada bicaraku."Tapi bukan ini yang ibu inginkan." Ibu masih berusaha membela dirinya."Dari awal Rindu sudah melarang ibu untuk menikah dengan Om Haryo. Karena Rindu sudah bisa melihat kalau dia tidak menyayangi Rindu. Tapi ibu tetap bersikeras untuk menikah dengannya." Aku kembali mengingatkan ibu."Maafkan ibu kalau keputusan ibu menyakitimu." Ibu memegang tanganku. Menatap mataku begitu lekat. Aku bisa melihat kesedihan di dalam matanya."Tidak apa-apa, Bu. Rindu hanya bisa mendoakan ibu, semoga ibu
Aku mengatakan yang sejujurnya. Nenek memang selalu menjagamu dengan baik. Dia tidak pernah membiarkan aku kelelahan mengerjakan pekerjaan rumah seperti ibu dulu. Tapi kami selalu melakukannya bersama. Berbagi tugas."Syukurlah. Ibu tau kamu akan baik-baik saja. Kamu itu anak yang kuat. Ibu lega mendengarnya. Jadi ibu tidak terlalu khawatir meskipun jauh dari kamu." Ibu tersenyum simpul. Memperlihatkan lesung pipi yang membuatnya terlihat lebih cantik."Tapi kamu juga harus sering-sering jenguk Rindu, Santi. Kasian dia," proses nenek."Iya, Bu," jawab ibu."Bu, sebentar lagi ada acara perpisahan di sekolah Rindu. Orang tua wajib datang." Meski ragu ibu akan datang, aku tetap memberi tahunya."Ibu usahakan datang, ya," jawab ibu dengan senyum sedikit dipaksakan.Aku membalas senyumannya depan anggukkan."Rindu, mau ngelanjutin sekolah ke SMP, Bu," ucapku lagi."Ehmm, nanti, ibu bicarakan lagi sama ayahmu, ya. Ibu akan bujuk dia untuk biayain sekolah kamu." Ibu menjawab seolah tak yakin
Semakin malam batuk nenek semakin bertambah banyak. Aku terus saja berada di sampingnya. Membaluri punggungnya dengan minyak kayu putih supaya hangat sambil memijatnya perlahan."Nek, besok kita ke puskesmas, ya? Rindu khawatir." Aku berkata dengan nada cemas."Tidak perlu, Rindu. Nenek cuma batuk biasa. Insyaallah besok juga mendingan." Nenek menjawab dengan terbata diselingi batuk. Lagi-lagi kulihat ada darah di kain yang dipakai menutup mulut nenek."Tapi batuk Nenek selalu mengeluarkan darah. Rindu tidak mau terjadi sesuatu pada Nenek. Rindu gak punya siapa-siapa lagi selain Nenek." Air mata mulai menetes di kedua pipiku."Rindu, kan masih punya ibu. Rindu gak akan sendirian. Rindu jaga diri baik-baik, ya. Selalu doakan nenek setiap habis solat," pesan nenek."Kenapa Nenek bilang seperti itu? Nenek juga akan baik-baik saja. Nenek akan selalu menemani Rindu di sini, di rumah ini." Aku menatap mata nenek yang terlihat memerah.Nenek hanya tersenyum samar tanpa berkata.Malam ini aku
Ibu memandangku sendu. Matanya terlihat berkaca-kaca. Tapi yang dikatakan Om Haryo itu memang benar adanya. Dulu, akulah yang mengerjakan semua pekerjaan rumah."Mas." Ibu menatap Om Haryo lekat. Seolah memohon agar apa yang dikatakannya tidak benar-benar serius."Kalau kamu setuju, silakan anakmu itu tinggal di rumah ini. Tapi kalau keberatan, dia boleh pergi ke mana saja. Atau mungkin mau nyari bapak kandungnya?" Om Haryo menyunggingkan sebelah bibirnya. Sinis."Gak apa-apa, kok, Bu. Rindu gak keberatan. Yang penting Rindu ada tempat untuk berteduh, terutama bisa melanjutkan sekolah." Aku buru-buru bersuara. Takut perdebatan antara ibu dan ayah tiriku itu merembet kemana-mana. Apalagi Om Haryo sudah membahas bapak yang entah di mana sekarang."Nah, itu Rindu saja tidak keberatan. Sudah Untung aku mengizinkannya tinggal di sini. Bisa makan gratis. Bisa melanjutkan sekolah. Padahal itu bukan tanggung jawabku. Itu tanggung jawab bapak kandungnya," gerutu Om Haryo.Ibu hanya menunduk. S
Kegiatan belajar sudah kembali dimulai. Beruntung Om Haryo mengizinkan aku untuk tetap bersekolah. Meskipun dengan syarat semua pekerjaan rumah harus sudah selesai dan tanpa bantuan ibu yang sedang hamil muda.Sebelum subuh aku sudah bangun. Dikarenakan rumah ini lebih besar dan luas dari rumah nenek atau rumah ibu yang sebelumnya, jadi butuh waktu lebih banyak untuk membersihkannya. Memasak makanan pun tidak cukup satu macam lauk seperti dulu. Paling tidak ada dua atau tiga macam lauk yang harus terhidang di meja makan.Jarak dari rumah Om Haryo ke sekolahku pun lebih jauh dibanding dari rumah nenek dulu. Beruntung ibu memberiku uang bekal sehingga aku bisa naik angkot dan tidak perlu jalan kaki. Ya, meskipun itu artinya aku tidak bisa jajan di sekolah. Tapi tak apa. Toh aku sudah sarapan dari rumah.Di SMP aku masih satu sekolah dengan geng centil yang sampai sekarang masih suka mem-bully diriku. Untungnya kali ini tidak sekelas. Pun dengan Andika yang suka menolongku. Kami berbeda
Mataku menatap tajam ke arah Om Haryo. Jantungku berdegup kencang. Tubuh terasa gemetaran. Hanya saja aku mencoba menyembunyikannya. "Ma-maaf, Om hanya bermaksud untuk membangunkanmu. Rindi juga sepertinya sudah nyenyak. Sini, biar Om simpan di box bayi."Tangan Om Haryo terulur hendak mengambil Rindi dari pangkuanku. Aku pun segera memberikannya.Om Haryo masih saja menatapku dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Membuat bulu kudukku serasa berdiri.Aku bangkit sambil menurunkan rok selutut yang memang sudah sedikit tersingkap hingga menampakkan paha mulusku. Kulihat Om Haryo memandangku tanpa berkedip lalu menelan saliva dengan susah punya. Buru-buru aku pergi meninggalkannya.Masuk ke dalam kamar, aku langsung mengunci pintunya. Lalu langsung menghambur ke atas kasur yang seolah melambai-lambai. Aku yakin sekali, yang tadi itu bukan mimpi. Tangan Om Haryo benar-benar memegang pahaku. Buktinya rok yang kugunakan jadi tersingkap.Ya Alloh, bagaimana ini? Aku takut sekali. Aku kh
Ibu yang memang sudah bersiap pergi, meletakkan tas tangan yang yang dibawanya di atas meja. Kemudian duduk atas sofa. Matanya menatap lurus ke arahku."Rindu, Om Haryo itu sekarang sudah jadi ayahmu. Wajar kalau dia sekadar ingin menyentuh atau memelukmu. Dia bahkan sekarang sudah begitu menyayangimu. Om Haryo pernah bilang sama ibu, kalau sekarang dia sudah menganggapmu anaknya sendiri. Dia bahkan berharap kamu bisa memanggilnya ayah.""Tapi, Bu. Rindu sekarang sudah cukup dewasa. Rindu tau mana menyentuh yang wajar dan tidak. Rindu takut, Bu. Ayolah, Bu. Rindu mohon. Kita kembali saja ke rumah lama." Aku berkata dengan mata berkaca-kaca."Sudah deh Rindu jangan minta yang aneh-aneh. Lihat dong sekarang sudah ada Rindi. Adikmu itu juga membutuhkan kasih sayang seorang ayah. Apa kamu mau hidup Rindi sama seperti hidupmu yang kekurangan kasih sayang seorang ayah? Apa kamu mau melihat adikmu itu hidup menderita? Hidup serba kekurangan seperti kita dulu? Lagi pula kamu itu terlalu menga
Seketika mataku berbinar melihat orang itu. Andika. Lelaki bertubuh tinggi itu turun dari motor matic miliknya, kemudian berjalan menghampiriku."Kamu lagi apa di sini?" tanya Andika. "Kamu juga gak pake sandal." Andika melirik kedua kakiku yang memang tanpa alas kaki.Melihat mimik mukaku yang murung, Andika berhenti bertanya. Kemudian ikut duduk di sampingku."Cerita lah. Aku tau kamu sedang tidak baik-baik saja." Setelah cukup lama kami terdiam, akhirnya dia kembali bersuara."Aku ... aku." Aku tidak bisa bersuara. Tenggorokanku terasa tercekat. Peristiwa yang tadi kualami, benar-benar membuatku ketakutan."Apa ayah tirimu kembali menyakitimu?" Andika menatapku lekat.Aku mengangguk pelan lalu mengusap air mata yang mulai mengalir di kedua pipiku."Apa yang dia lakukan padamu? Katakan padaku, Rindu!" Andika memegang kedua bahuku. Suaranya terdengar begitu emosi."Dia ... dia hampir menodaiku." Aku tergugu. Tangisku pecah di hadapan laki-laki yang sudah menjadi teman baikku selama i
Untuk sesaat, Andika sempat tertegun. Namun, sesaat kemudian, dia langsung berdiri dan menyambut uluran tangan Mas Raihan meskipun terlihat salah tingkah. Mereka berdua bersalaman sambil menyebutkan nama masing-masing."Yuk, kita pulang," ajak Mas Raihan sambil merangkul bahuku.Aku mengangguk."Dik, aku pulang dulu, ya," pamitku pada Andika yang berubah muram.Andika mengangguk lesu. Ada lengkungan senyum yang terlihat dipaksakan di sudut bibirnya.Aku berjalan bersisian dengan Mas Raihan. Tangannya merangkul bahuku mesra. Saat akan masuk ke dalam mobil, aku kembali menoleh ke arah Andika. Dia masih duduk termenung memandangiku sendu. Ada rasa bersalah yang menggelayut hebat di dada. Pertemuan pertama kami, dilandasi kecanggungan seperti ini."Apa dia Andika yang sama dengan sahabatmu dulu?" tanya Mas Raihan saat kami sudah di dalam mobil. Ada nada cemburu dalam suaranya."Iya. Kenapa?" Tanyaku pura-pura tak bisa membaca aura cemburu yang dipancarkannya."Oh, gak apa-apa. Mas seneng
KETIKA IBUKU MENIKAH LAGIBab 69Hamil? Rasanya gak mungkin. "Kamu ini ngomong apa sih, Ri? Lihat, kakak iparmu sampai kaget gitu!" tegur Mas Raihan sambil meraih tissue dan mengelap sisa teh yang tersisa di bibirku."Loh, apanya yang salah? Wajar kan kalau Rindu hamil? Dia kan sudah punya suami. Kalau masih gadis, baru panik," sahut Riana tak terima. "Kalian ini aneh," gerutunya sambil berlalu pergi.Aku dan Mas Raihan hanya saling pandang. Tentu saja kami sama-sama bungkam tentang rahasia ranjang kami. Tidak ada yang tau bahwa belum pernah terjadi pertempuran apapun di ranjang itu. Hingga bisa dipastikan aku masih tersegel sampai detik ini.Mas Raihan benar-benar menepati janjinya untuk tidak meminta haknya sampai aku benar-benar siap. Kami hanya menghabiskan malam bersama dengan mendekap tubuh satu sama lain. Setelah Riana pergi, kami sama-sama tertawa. Menyadari bahwa apa yang disangkakan Riana itu mustahil."Kamu gak apa-apa kan, Sayang?" Mas Raihan memindai wajahku.Aku mengge
Handel pintu mulai bergerak. Dan pintu pun terbuka."Wa'alaikum salam. Maaf cari --."Pertanyaan ibu terhenti saat memandangku. Matanya mulai berkaca-kaca. Kedua tangannya refleks menutup mulutnya yang terbuka.Aku tertegun. Terkesiap menatap wajah ibu yang sudah sekian lama kurindukan. Buliran bening pun mulai lolos satu persatu dari pelupuk. "Apa kamu Rindu anak ibu?" tanyanya dengan pipi tirus yang bersimbah air mata.Dalam hati aku terenyuh. Ibu masih mengenali putrinya ini meski jarak memisahkan kami tiga tahun lamanya. Mungkin karena memang tidak terlalu banyak yang berubah dariku.Aku mengangguk sambil bercucuran air mata. Sedetik kemudian aku menghambur memeluk tubuhnya. "Ibu ...." Aku menangis dalam dekapannya. Dekapan hangat yang selama ini aku rindukan bahkan sejak aku masih kecil.Isakan ibu makin lirih dengan bertambah eratnya pelukan kami. Tangan ibu mengusap-usap punggungku."Rindu anakku!" Ibu merintih menyebut namaku. Seakan selama ini ia begitu terluka saat jauh da
Kakiku rasanya berat untuk melangkah membuka pintu. Namun, suara ketukan lagi-lagi terdengar meskipun pelan. Setelah mengatur pernapasan setenang mungkin, akhirnya pintu itu kubuka. Aku sedikit bernapas lega saat melihat Riana yang berdiri, bukan Mas Raihan."Kenapa, Ri?" tanyaku setenang mungkin."Icha udah tidur?" Kepalanya mengintip ke dalam kamar."Udah.""Syukurlah. Biar aku yang tidur di sini. Kamu ke atas saja. Masa pengantin baru tidurnya terpisah gini?" tutur Riana sambil menerobos masuk ke dalam kamar."Tapi, Ri ...." "Udah. Gak usah pake tapi segala. Sana buruan!" Riana mendorong tubuhku untuk keluar dari kamar.Karena bingung sekaligus malu harus ke kamar atas, akhirnya aku memilih duduk di sofa ruang TV. Menikmati tayangan yang sama sekali tidak menarik untuk ditonton. "Hai, kenapa malah di sini?"Karena terlalu fokus pada lamunan, hingga aku tak sadar kalau Mas Raihan sudah ada di belakangku.Aku menoleh. Tersenyum kikuk."Iya, Mas. Icha baru saja tertidur."Ya, tadi R
Bapak langsung terkejut mendengar penuturan Tuan Raihan. Matanya menatapku dengan kening berkerut. Menyelidik memandangku dengan tatapan rasa tak percaya."Benarkah kamu Rindu, anak bapak?" tanya bapak dengan suara bergetar.Aku diam. Hanya air mata yang mengalir deras yang berbicara. Seolah berkata, benar. Ini aku putrimu. Putri yang kau terlantarkan lebih dari sepuluh tahun lamanya."Katakan, Nak! Benarkah kamu putriku?" Bapak sekali lagi bertanya. Matanya sudah nampak berkabut. Ah, bapak. Saking lamanya sampai tidak mengenali sedikit pun anakmu ini.Aku hanya mengangguk lemah. Buliran bening semakin deras membasahi pipi."Ya Alloh ... Nak. Kenapa kamu tidak bilang kalau kamu anak bapak?" Bapak mulai menangis. Lelaki yang menjadi cinta pertamaku itu berjalan mendekat ke arahku. Tiba-tiba tubuhnya ambruk dan berlutut di kakiku."Maafkan bapak, Nak. Maafkan bapak! Bapak Rindu sekali sama Rindu. Maafkan bapak. Bapak memang bukan ayah yang baik. Selama ini bapak tega mengabaikanmu sampa
POV RinduMendengar perkataan Tuan Raihan, jantungku serasa berhenti berdetak untuk sejenak. Namun, sesaat kemudian, kembali berdebar dengan begitu hebatnya. Apa aku tak salah dengar? Tuan Raihan melamarku? Memintaku menjadi istrinya? Aku mencubit lenganku dengan sedikit keras."Awww." Sakit. Ternyata ini nyata dan bukan mimpi. "Rindu. Maukah kamu menikah denganku?" Lagi Tuan Raihan bertanya. Membuatku kembali limbung dan seolah terperosok ke pusat bumi. Aku benar-benar bingung harus menjawab apa. Bibirku kelu. Ini terlalu mendadak. Aku bahkan tidak pernah terpikirkan hal ini sebelumnya.Menikah? Di usiaku yang baru saja menginjak remaja. Aku mematung. Otakku berputar berpikir keras untuk menentukan jawaban. Tuan Raihan berjalan menghampiri Raisa. Menuntun tangannya, kemudian berhenti tepat di hadapanku. Berjongkok."Sekali lagi aku bertanya. Maukah kamu menjadi istriku dan ibu dari anakku?" Tatapan Tuan Raihan begitu memohon. Pun si cantik Raisa. Ada harapan besar yang terlukis di
"Apa yang kamu katakan, Ri? Menikah?" Kak Raihan bangkit dari duduknya, lalu berjalan mondar-mandir dengan ekspresi bingung."He'em. Rindu udah lulus SMA. Dia bukan gadis dibawah umur lagi. Gak ada yang salah kan?" Aku ikut berdiri."Tapi, Ri. Yang kakak lihat, Rindu begitu semangat mengejar cita-citanya. Kakak gak mau jadi penghalang dia untuk mewujudkan cita-citanya itu." Aku berjalan beberapa langkah, berhenti tepat di depan Kak Raihan."Kak, memangnya kalau sudah menikah, Rindu gak bisa mengejar cita-citanya, ya? Dia kan masih bisa kuliah meskipun sudah menikah." Aku meyakinkan Kak Raihan."Coba kakak pikir. Di mana lagi kakak mau cari wanita seperti Rindu? Dia cantik, pintar, solehah, sudah diterima semua keluarga kakak terutama Icha. Apalagi yang kurang dari Rindu?" lanjutku menggebu-gebu.Kak Raihan nampak berpikir. "Beri kakak waktu untuk memikirkannya.""Kak! Waktu kita tuh gak banyak. Beberapa hari lagi Rindu udah mau pergi. Kopernya aja udah disiapin di sudut kamar. Kalau
Ditatap seperti itu oleh dua orang, nyaliku mendadak ciut. Keringat dingin mulai keluar dari sela-sela jilbab. Jantungku tak hentinya berlompatan serasa mau keluar dari tempatnya."Katakan saja, Rindu. Ada apa?" Tuan Raihan yang dari tadi diam akhirnya bersuara. Mungkin sudah jenuh menungguku yang tak kunjung berkata."Sebenarnya ... saya mau bilang, kalau saya keterima beasiswa di perguruan tinggi di Jogjakarta. Dan bulan depan, saya harus sudah di sana." Aku berkata dengan suara gemetar."Maksud kamu apa? Saya belum paham?" tanya Tuan Raihan."Maksud saya, saya mau mengundurkan diri sebagai pengasuh Raisa. Makanya saya bilang dari sekarang, agar Tuan punya waktu untuk mencari pengasuh baru," sahutku hati-hati."Loh. Kenapa mendadak seperti ini, Rindu? Saya pikir kamu mau melanjutkan kuliah di Jakarta saja bareng Riana. Kenapa kamu juga tidak pernah membicarakan ini sebelumnya?" tanya Tuan Raihan."Saya sudah pernah membicarakan ini dengan Riana, Tuan." Aku melirik Riana yang masih t
Aku sedikit tergagap mendapat banyak pertanyaan sekaligus dari Riana. Karena sebenarnya aku juga belum siap untuk menceritakannya. Toh masih ada waktu beberapa bulan ke depan."Rin, kok diam?" Riana mengguncang tubuhku pelan. Wajahnya nampak tegang menunggu jawaban dariku."Eh, itu Ri. Aku kan cuma tanya. Itu juga seandainya. Siapa tau nanti aku keterima kuliah di luar kota kan?" "Memangnya kamu berniat daftar kuliah di luar kota?""Ya ... namanya juga nyari beasiswa. Jadi harus dicoba di semua universitas negeri.""Tapi kamu kan bisa nyari beasiswa di Jakarta aja," protes Riana tampak tak terima."Kalau gak keterima gimana?""Kak Rai masih sanggup kok biayain kuliah kamu.""Ri ... aku tuh gak enak kalau harus terus-terusan merepotkan Tuan Raihan. Aku ini bukan siapa-siapa. Aku bukan tanggung jawabnya. Aku cuma seorang pengasuh anaknya. Jadi harus tau diri. Aku gak mau dianggap ngelunjak. Apalagi dianggap memanfaatkan keadaan untuk meraih cita-cita aku. Setelah lulus SMA nanti, setid