Mataku menatap tajam ke arah Om Haryo. Jantungku berdegup kencang. Tubuh terasa gemetaran. Hanya saja aku mencoba menyembunyikannya. "Ma-maaf, Om hanya bermaksud untuk membangunkanmu. Rindi juga sepertinya sudah nyenyak. Sini, biar Om simpan di box bayi."Tangan Om Haryo terulur hendak mengambil Rindi dari pangkuanku. Aku pun segera memberikannya.Om Haryo masih saja menatapku dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Membuat bulu kudukku serasa berdiri.Aku bangkit sambil menurunkan rok selutut yang memang sudah sedikit tersingkap hingga menampakkan paha mulusku. Kulihat Om Haryo memandangku tanpa berkedip lalu menelan saliva dengan susah punya. Buru-buru aku pergi meninggalkannya.Masuk ke dalam kamar, aku langsung mengunci pintunya. Lalu langsung menghambur ke atas kasur yang seolah melambai-lambai. Aku yakin sekali, yang tadi itu bukan mimpi. Tangan Om Haryo benar-benar memegang pahaku. Buktinya rok yang kugunakan jadi tersingkap.Ya Alloh, bagaimana ini? Aku takut sekali. Aku kh
Ibu yang memang sudah bersiap pergi, meletakkan tas tangan yang yang dibawanya di atas meja. Kemudian duduk atas sofa. Matanya menatap lurus ke arahku."Rindu, Om Haryo itu sekarang sudah jadi ayahmu. Wajar kalau dia sekadar ingin menyentuh atau memelukmu. Dia bahkan sekarang sudah begitu menyayangimu. Om Haryo pernah bilang sama ibu, kalau sekarang dia sudah menganggapmu anaknya sendiri. Dia bahkan berharap kamu bisa memanggilnya ayah.""Tapi, Bu. Rindu sekarang sudah cukup dewasa. Rindu tau mana menyentuh yang wajar dan tidak. Rindu takut, Bu. Ayolah, Bu. Rindu mohon. Kita kembali saja ke rumah lama." Aku berkata dengan mata berkaca-kaca."Sudah deh Rindu jangan minta yang aneh-aneh. Lihat dong sekarang sudah ada Rindi. Adikmu itu juga membutuhkan kasih sayang seorang ayah. Apa kamu mau hidup Rindi sama seperti hidupmu yang kekurangan kasih sayang seorang ayah? Apa kamu mau melihat adikmu itu hidup menderita? Hidup serba kekurangan seperti kita dulu? Lagi pula kamu itu terlalu menga
Seketika mataku berbinar melihat orang itu. Andika. Lelaki bertubuh tinggi itu turun dari motor matic miliknya, kemudian berjalan menghampiriku."Kamu lagi apa di sini?" tanya Andika. "Kamu juga gak pake sandal." Andika melirik kedua kakiku yang memang tanpa alas kaki.Melihat mimik mukaku yang murung, Andika berhenti bertanya. Kemudian ikut duduk di sampingku."Cerita lah. Aku tau kamu sedang tidak baik-baik saja." Setelah cukup lama kami terdiam, akhirnya dia kembali bersuara."Aku ... aku." Aku tidak bisa bersuara. Tenggorokanku terasa tercekat. Peristiwa yang tadi kualami, benar-benar membuatku ketakutan."Apa ayah tirimu kembali menyakitimu?" Andika menatapku lekat.Aku mengangguk pelan lalu mengusap air mata yang mulai mengalir di kedua pipiku."Apa yang dia lakukan padamu? Katakan padaku, Rindu!" Andika memegang kedua bahuku. Suaranya terdengar begitu emosi."Dia ... dia hampir menodaiku." Aku tergugu. Tangisku pecah di hadapan laki-laki yang sudah menjadi teman baikku selama i
Aku harus tetap tenang. Jangan grogi. Jangan panik."Ini ... Rindu bawa baju olahraga, Bu. Sama buku-buku yang mau dikembalikan ke perpustakaan." Aku menjawab setenang mungkin."Iya, ibu juga cuma asal bicara. Mana mungkin kamu mau minggat. Kamu kan gak punya siapa-siapa. Bapakmu juga gak tau di mana."Aku mengangguk, lalu meraih Rindi dari pangkuan ibu. Kegendong bayi berusia hampir satu tahun itu."Kakak pergi dulu, ya. Rindi main yang anteng." Mataku berkaca-kaca menatap wajah lucu Rindi. Kuciumi wajahnya untuk yang terakhir kali."Maafkan kakak Rindi. Kakak sangat menyayangimu. Tapi kakak harus pergi," batinku menjerit.Aku kembali meletakkan Rindi di pangkuan ibu, lalu berjalan menuju pintu keluar."Rindu." Seruan Om Haryo menghentikan langkahku. Aku berbalik, menatap malas pada laki-laki itu.Om Haryo menghampiriku. "Ini, ambil lah. Buat jajan di sekolah." Lelaki berkumis tipis itu mengulurkan selembar uang berwarna merah."Mas, kamu itu terlalu manjain Rindu. Ngapain ngasih uan
Bus berhenti di terminal kampung rambutan menjelang sore. Turun dari bus, mataku memperhatikan sekeliling. Suasana terminal sangat ramai. Namun, aku bingung, ke mana harus kubawa kaki ini melangkah.Beberapa orang menatapku dengan sorot aneh. Tentu saja, itu karena aku masih menggunakan seragam sekolah berwarna putih biru ini."Permisi. Toilet sebelah mana, ya?" tanyaku pada seorang wanita paruh baya yang sedang berjualan."Di sebelah sana, Dek. Lurus saja. Lalu belok kiri," ucapnya menjelaskan."Terima kasih, Bu."Aku pun berlalu menuju arah yang ditunjuk orang tadi.Benar saja, beberapa kamar mandi terlihat berjejer. Bergegas aku memasuki salah satu kamar mandi yang kosong. Lalu mengganti baju yang kugunakan dengan celana span panjang dipadukan dengan kaos lengan panjang juga.Setelah selesai, aku keluar kamar mandi dengan kebingungan yang sama. Arah tujuan yang sama sekali tidak pernah terpikirkan sebelumnya.Bagiku, ini adalah kali pertama aku menginjakkan kaki di ibu kota Jakarta
Aku tidak bermaksud menguping sama sekali. Hanya saja, karena kontrakan ini cukup kecil, jadi percakapan di dalam kamar pun tetap terdengar. Apalagi pintu kamarnya tidak terdapat pintu. Hanya ada gorden tipis yang menutupinya."Sssttt ... Abi jangan ngomong kayak gitu. Umi kasian lihat Rindu. Umi ketemu dia di masjid tadi. Katanya baru sampai Jakarta mau cari pekerjaan. Dia tidak tau mau ke mana. Umi gak tega biarin dia luntang-lantung di jalanan seorang diri. Bahaya. Ibu ingat sama anak kita, Ainun. Dia hampir seusia Ainun. Lagi pula, hanya untuk malam ini. Besok dia akan mulai mencari pekerjaan. Boleh, ya, Bi?"Aku masih mendengar perdebatan di antara mereka. "Ya sudah. Boleh. Tapi malam ini saja. Kontrakan kita sempit, Mi.""Terima kasih, ya, Bi. Semoga besok dia bisa mendapatkan pekerjaan sekaligus tempat tinggal."Setelah tidak terdengar lagi percakapan di dalam kamar, tak berselang lama umi kembali ke ruang tengah. Menghampiriku yang masih duduk di atas karpet dengan perasaan t
Aku buru-buru melihat isi tas. Seingatku, aku menyimpan dompet di tas bagian depan. Tapi sekarang dompetnya tidak ada. Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Lalu ke belakang. Terlihat seorang lelaki mengenakan jaket jeans belel dan topi berlari sambil sesekali menoleh ke arahku. Tak salah lagi. Orang itu pasti sudah mencuri dompetku."Pencopet ... pencopet ...," teriakku."Mana, mana?" Beberapa orang menghampiriku."Itu, Pak." Sebagian orang yang berkerumun mulai berlari untuk mengejar pencopet itu."Apa yang dicopet?" Sebagian yang lain ada yang menanyaiku."Dompetku." Aku terduduk lesu di pinggir sebuah kios sambil terus berdoa semoga dompetku bisa kembali.Beberapa orang yang tadi berusaha mengejar pencopet, terlihat sudah kembali."Maaf, Dek. Kami kehilangan jejak," ucap salah satunya. Membuatku semakin tertegun.Orang-orang mulai meninggalkanku dan kembali ke aktivitasnya masing-masing. Aku masih termenung sendirian. Pekerjaan belum dapat, uang yang dibawa pun kini sudah melayang. Ba
Aku semakin mempercepat langkahku menjauhi area pom bensin. Sesekali aku menengok ke belakang. Mami masih berusaha mengejarku sambil menjinjing sepatu hak tingginya. Namun, jaraknya sudah lumayan jauh karena tubuh mami yang subur membuatnya sedikit kesusahan berlari.Di depan sana, terlihat seorang lelaki yang sedang menelpon di pinggir mobilnya dengan pintu mobil terbuka.Aku bergegas mendekat ke arahnya. Lalu diam-diam masuk ke dalam mobil laki-laki itu. Bersembunyi di jok bagian belakang.BrughTak berselang lama, laki-laki itu masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang kemudi.Mesin mobil mulai dihidupkan. Kemudian maju perlahan. Laki-laki yang belum terlihat wajahnya itu belum menyadari keberadaanku di dalam mobilnya. Aku masih bersembunyi di bawah jok.GuprakTerdengar sebuah benda yang jatuh."Kenapa hapenya harus jatuh segala sih," gerutu laki-laki itu. Mobil terasa berhenti. Laki-laki itu menunduk untuk mengambil hapenya yang jatuh."Hei, kamu siapa? Kenapa bisa ada di dalam
Untuk sesaat, Andika sempat tertegun. Namun, sesaat kemudian, dia langsung berdiri dan menyambut uluran tangan Mas Raihan meskipun terlihat salah tingkah. Mereka berdua bersalaman sambil menyebutkan nama masing-masing."Yuk, kita pulang," ajak Mas Raihan sambil merangkul bahuku.Aku mengangguk."Dik, aku pulang dulu, ya," pamitku pada Andika yang berubah muram.Andika mengangguk lesu. Ada lengkungan senyum yang terlihat dipaksakan di sudut bibirnya.Aku berjalan bersisian dengan Mas Raihan. Tangannya merangkul bahuku mesra. Saat akan masuk ke dalam mobil, aku kembali menoleh ke arah Andika. Dia masih duduk termenung memandangiku sendu. Ada rasa bersalah yang menggelayut hebat di dada. Pertemuan pertama kami, dilandasi kecanggungan seperti ini."Apa dia Andika yang sama dengan sahabatmu dulu?" tanya Mas Raihan saat kami sudah di dalam mobil. Ada nada cemburu dalam suaranya."Iya. Kenapa?" Tanyaku pura-pura tak bisa membaca aura cemburu yang dipancarkannya."Oh, gak apa-apa. Mas seneng
KETIKA IBUKU MENIKAH LAGIBab 69Hamil? Rasanya gak mungkin. "Kamu ini ngomong apa sih, Ri? Lihat, kakak iparmu sampai kaget gitu!" tegur Mas Raihan sambil meraih tissue dan mengelap sisa teh yang tersisa di bibirku."Loh, apanya yang salah? Wajar kan kalau Rindu hamil? Dia kan sudah punya suami. Kalau masih gadis, baru panik," sahut Riana tak terima. "Kalian ini aneh," gerutunya sambil berlalu pergi.Aku dan Mas Raihan hanya saling pandang. Tentu saja kami sama-sama bungkam tentang rahasia ranjang kami. Tidak ada yang tau bahwa belum pernah terjadi pertempuran apapun di ranjang itu. Hingga bisa dipastikan aku masih tersegel sampai detik ini.Mas Raihan benar-benar menepati janjinya untuk tidak meminta haknya sampai aku benar-benar siap. Kami hanya menghabiskan malam bersama dengan mendekap tubuh satu sama lain. Setelah Riana pergi, kami sama-sama tertawa. Menyadari bahwa apa yang disangkakan Riana itu mustahil."Kamu gak apa-apa kan, Sayang?" Mas Raihan memindai wajahku.Aku mengge
Handel pintu mulai bergerak. Dan pintu pun terbuka."Wa'alaikum salam. Maaf cari --."Pertanyaan ibu terhenti saat memandangku. Matanya mulai berkaca-kaca. Kedua tangannya refleks menutup mulutnya yang terbuka.Aku tertegun. Terkesiap menatap wajah ibu yang sudah sekian lama kurindukan. Buliran bening pun mulai lolos satu persatu dari pelupuk. "Apa kamu Rindu anak ibu?" tanyanya dengan pipi tirus yang bersimbah air mata.Dalam hati aku terenyuh. Ibu masih mengenali putrinya ini meski jarak memisahkan kami tiga tahun lamanya. Mungkin karena memang tidak terlalu banyak yang berubah dariku.Aku mengangguk sambil bercucuran air mata. Sedetik kemudian aku menghambur memeluk tubuhnya. "Ibu ...." Aku menangis dalam dekapannya. Dekapan hangat yang selama ini aku rindukan bahkan sejak aku masih kecil.Isakan ibu makin lirih dengan bertambah eratnya pelukan kami. Tangan ibu mengusap-usap punggungku."Rindu anakku!" Ibu merintih menyebut namaku. Seakan selama ini ia begitu terluka saat jauh da
Kakiku rasanya berat untuk melangkah membuka pintu. Namun, suara ketukan lagi-lagi terdengar meskipun pelan. Setelah mengatur pernapasan setenang mungkin, akhirnya pintu itu kubuka. Aku sedikit bernapas lega saat melihat Riana yang berdiri, bukan Mas Raihan."Kenapa, Ri?" tanyaku setenang mungkin."Icha udah tidur?" Kepalanya mengintip ke dalam kamar."Udah.""Syukurlah. Biar aku yang tidur di sini. Kamu ke atas saja. Masa pengantin baru tidurnya terpisah gini?" tutur Riana sambil menerobos masuk ke dalam kamar."Tapi, Ri ...." "Udah. Gak usah pake tapi segala. Sana buruan!" Riana mendorong tubuhku untuk keluar dari kamar.Karena bingung sekaligus malu harus ke kamar atas, akhirnya aku memilih duduk di sofa ruang TV. Menikmati tayangan yang sama sekali tidak menarik untuk ditonton. "Hai, kenapa malah di sini?"Karena terlalu fokus pada lamunan, hingga aku tak sadar kalau Mas Raihan sudah ada di belakangku.Aku menoleh. Tersenyum kikuk."Iya, Mas. Icha baru saja tertidur."Ya, tadi R
Bapak langsung terkejut mendengar penuturan Tuan Raihan. Matanya menatapku dengan kening berkerut. Menyelidik memandangku dengan tatapan rasa tak percaya."Benarkah kamu Rindu, anak bapak?" tanya bapak dengan suara bergetar.Aku diam. Hanya air mata yang mengalir deras yang berbicara. Seolah berkata, benar. Ini aku putrimu. Putri yang kau terlantarkan lebih dari sepuluh tahun lamanya."Katakan, Nak! Benarkah kamu putriku?" Bapak sekali lagi bertanya. Matanya sudah nampak berkabut. Ah, bapak. Saking lamanya sampai tidak mengenali sedikit pun anakmu ini.Aku hanya mengangguk lemah. Buliran bening semakin deras membasahi pipi."Ya Alloh ... Nak. Kenapa kamu tidak bilang kalau kamu anak bapak?" Bapak mulai menangis. Lelaki yang menjadi cinta pertamaku itu berjalan mendekat ke arahku. Tiba-tiba tubuhnya ambruk dan berlutut di kakiku."Maafkan bapak, Nak. Maafkan bapak! Bapak Rindu sekali sama Rindu. Maafkan bapak. Bapak memang bukan ayah yang baik. Selama ini bapak tega mengabaikanmu sampa
POV RinduMendengar perkataan Tuan Raihan, jantungku serasa berhenti berdetak untuk sejenak. Namun, sesaat kemudian, kembali berdebar dengan begitu hebatnya. Apa aku tak salah dengar? Tuan Raihan melamarku? Memintaku menjadi istrinya? Aku mencubit lenganku dengan sedikit keras."Awww." Sakit. Ternyata ini nyata dan bukan mimpi. "Rindu. Maukah kamu menikah denganku?" Lagi Tuan Raihan bertanya. Membuatku kembali limbung dan seolah terperosok ke pusat bumi. Aku benar-benar bingung harus menjawab apa. Bibirku kelu. Ini terlalu mendadak. Aku bahkan tidak pernah terpikirkan hal ini sebelumnya.Menikah? Di usiaku yang baru saja menginjak remaja. Aku mematung. Otakku berputar berpikir keras untuk menentukan jawaban. Tuan Raihan berjalan menghampiri Raisa. Menuntun tangannya, kemudian berhenti tepat di hadapanku. Berjongkok."Sekali lagi aku bertanya. Maukah kamu menjadi istriku dan ibu dari anakku?" Tatapan Tuan Raihan begitu memohon. Pun si cantik Raisa. Ada harapan besar yang terlukis di
"Apa yang kamu katakan, Ri? Menikah?" Kak Raihan bangkit dari duduknya, lalu berjalan mondar-mandir dengan ekspresi bingung."He'em. Rindu udah lulus SMA. Dia bukan gadis dibawah umur lagi. Gak ada yang salah kan?" Aku ikut berdiri."Tapi, Ri. Yang kakak lihat, Rindu begitu semangat mengejar cita-citanya. Kakak gak mau jadi penghalang dia untuk mewujudkan cita-citanya itu." Aku berjalan beberapa langkah, berhenti tepat di depan Kak Raihan."Kak, memangnya kalau sudah menikah, Rindu gak bisa mengejar cita-citanya, ya? Dia kan masih bisa kuliah meskipun sudah menikah." Aku meyakinkan Kak Raihan."Coba kakak pikir. Di mana lagi kakak mau cari wanita seperti Rindu? Dia cantik, pintar, solehah, sudah diterima semua keluarga kakak terutama Icha. Apalagi yang kurang dari Rindu?" lanjutku menggebu-gebu.Kak Raihan nampak berpikir. "Beri kakak waktu untuk memikirkannya.""Kak! Waktu kita tuh gak banyak. Beberapa hari lagi Rindu udah mau pergi. Kopernya aja udah disiapin di sudut kamar. Kalau
Ditatap seperti itu oleh dua orang, nyaliku mendadak ciut. Keringat dingin mulai keluar dari sela-sela jilbab. Jantungku tak hentinya berlompatan serasa mau keluar dari tempatnya."Katakan saja, Rindu. Ada apa?" Tuan Raihan yang dari tadi diam akhirnya bersuara. Mungkin sudah jenuh menungguku yang tak kunjung berkata."Sebenarnya ... saya mau bilang, kalau saya keterima beasiswa di perguruan tinggi di Jogjakarta. Dan bulan depan, saya harus sudah di sana." Aku berkata dengan suara gemetar."Maksud kamu apa? Saya belum paham?" tanya Tuan Raihan."Maksud saya, saya mau mengundurkan diri sebagai pengasuh Raisa. Makanya saya bilang dari sekarang, agar Tuan punya waktu untuk mencari pengasuh baru," sahutku hati-hati."Loh. Kenapa mendadak seperti ini, Rindu? Saya pikir kamu mau melanjutkan kuliah di Jakarta saja bareng Riana. Kenapa kamu juga tidak pernah membicarakan ini sebelumnya?" tanya Tuan Raihan."Saya sudah pernah membicarakan ini dengan Riana, Tuan." Aku melirik Riana yang masih t
Aku sedikit tergagap mendapat banyak pertanyaan sekaligus dari Riana. Karena sebenarnya aku juga belum siap untuk menceritakannya. Toh masih ada waktu beberapa bulan ke depan."Rin, kok diam?" Riana mengguncang tubuhku pelan. Wajahnya nampak tegang menunggu jawaban dariku."Eh, itu Ri. Aku kan cuma tanya. Itu juga seandainya. Siapa tau nanti aku keterima kuliah di luar kota kan?" "Memangnya kamu berniat daftar kuliah di luar kota?""Ya ... namanya juga nyari beasiswa. Jadi harus dicoba di semua universitas negeri.""Tapi kamu kan bisa nyari beasiswa di Jakarta aja," protes Riana tampak tak terima."Kalau gak keterima gimana?""Kak Rai masih sanggup kok biayain kuliah kamu.""Ri ... aku tuh gak enak kalau harus terus-terusan merepotkan Tuan Raihan. Aku ini bukan siapa-siapa. Aku bukan tanggung jawabnya. Aku cuma seorang pengasuh anaknya. Jadi harus tau diri. Aku gak mau dianggap ngelunjak. Apalagi dianggap memanfaatkan keadaan untuk meraih cita-cita aku. Setelah lulus SMA nanti, setid