“DULU aku suruh kamu, tunggu aku sembilan tahun lagi, kenapa kamu nggak sabar? Malah nikah sama Bhaga. Ck.” Dia berdecak. Deg. “Aku sudah tunggu kamu sembilan tahun. Ceraikan Bhaga. Ayo kita nikah.” “Vlad….” Meski tercekat, aku berhasil berbisik menyebut namanya. Vladimir Darmawangsa. *** Vladimir Darmawangsa, murid SMP yang pembangkang tapi pintar. Savannah Gayatri, guru magang di sekolah Vlad. Anna ditugaskan mentornya untuk mendampingi proyek gila Vlad agar Vlad bisa lulus di tahun itu. Anna menjalankan tugasnya demi nilai dan praktik kerjanya. Tapi totalitas Anna menyentuh sisi kelelakian Vlad. Saat perpisahan sekolah, Vlad mengutarakan isi hatinya dan berkata: Tunggu aku sembilan tahun lagi. Anna menganggap itu hanya ulah remaja yang belum bisa mengendalikan hormon. Tapi ketika Vlad sungguh muncul sembilan tahun kemudian sesuai ucapannya, Anna terkejut, apalagi dia sudah bersama Bhagavad Antares. Selama ini Anna merasa tiga tahun pernikahan dengan Bhaga baik-baik saja. Tapi ternyata mereka tidak baik-baik saja. Entah karena kehadiran Vlad atau memang Anna kehilangan arah bersama Bhaga. *** Cover by Zia
view moreSaat ini, 2021[1]
JAM berapa ini? tanyaku dalam hati sambil melirik pergelangan tangan. Fyuhh… sudah hampir tengah hari. Tapi masih ada satu kolom belum terisi di daftar hadir. Kubuka ponsel dan chat paling atas menampilkan nama orang yang kutunggu.
Bunda Zia VIII-2, 2021 : Maaf, Bu Anna, sebentar lagi ya.
Bunda Zia VIII-2, 2021 : Saya sudah di SPBU dekat sekolah.
Savannah Gayatri : Baik, Bunda. Santai aja.
Savannah Gayatri : Saya masih di kelas kok.
Savannah Gayatri : Hati-hati di jalan.
Dan itu lima menit lalu. Sambil menunggu, pandanganku tertuju ke arah lapangan. Masih cukup ramai meski matahari sedang di puncak sengatannya. Tapi ada satu sosok yang meski aku hanya meliriknya sekilas, yang sekilas itu bisa membuatku terpaku menatapnya. Seperti dia membalas tatapanku padahal dia berkacamata hitam. Aku seperti mengenali sosoknya. Mata yang tertutup kacamata hitam itu seperti lurus menatapku tajam dan tatapan itu membuatku beku sesaat. Sekilas yang membuatku menoleh ke arahnya lagi. Dan benar, aku masih bisa merasakan tatapannya. Aku kembali membeku, merasa tersesat entah di mana.
Tok tok tok
Suara ketukan di pintu membuatku tersadar dan segera mengalihkan pandangan. Ah, orang yang kutunggu datang. Bergegas aku berdiri menyambutnya. Sebergegas dia berjalan mendekat dengan tangan terkatup di dada. Meminta maaf. Segera saja proses pengambilan rapor terjadi. Tanpa antrian, kami santai berbincang mengingat dia adalah tamu terakhir yang datang.
“Ya sudah, Bu, kami pamit dulu. Terima kasih ya, Bu Maaf sudah bikin Ibu harus stay lebih lama di sekolah,” ujar sang ibu setelah satu jam kami berbincang. Sepasang suami istri berdiri bersamaan lalu bergantian menyalamiku di balik meja.
“Sama-sama, Pak, Bund. Ah, nggak apa-apa. Sudah biasa kok, Bunda. Anggap aja nunggu KBM selesai.”
“Ah, Bu Anna mah bisa aja menghibur saya. Saya beneran merasa bersalah loh, Bu. Ndilalah berdua nggak bisa banget ninggalin kantor.”
“Tapi sekalianya datang ya berdua. Saya senang kalau orangtua datang berdua ambil rapot. Kita bisa ngobrol langsung tentang anak-anak.”
“Iya, Bu. Benar itu.” Kali ini si bapak yang menjawab.
“Semoga Zia makin rajin belajarnya ya. Sudah naik kelas IX loh.” Aku menyalami kedua orang di depanku seramah dan sesantun mungkin.
“Aamiin.”
“Penempatan kelas seperti biasa ya, Bund. Menyusul.”
“Baik, Bu Anna. Terima kasih.”
Aku berdiri mengantar dua orang itu sampai ke pintu. Lalu kami bertiga membungkukkan sedikit punggung, menghormat. Aku masih terus tersenyum di balik punggung mereka, terus mengantar dengan senyum sampai keduanya menghilang di balik pintu mobil.
Ruang kelas sudah kosong. Meski sangat sadar tamu terakhir sudah pergi, tapi untuk memastikan, aku tetap melirik ke lembar absen. Semua kolom tanda tangan sudah terisi. Dan memang sudah tidak ada lagi berkas rapot yang tadi menumpuk di meja.
Akhirnyooo.... selesai juga...
Aku meregangkan tubuh, merentangkan tangan lebar-lebar sebagai tanda kelegaan lalu mengangkat tangan setinggi-tingginya tanda kebebasan. Selesai sudah kerja keras semua guru sepanjang ujian akhir semester sampai pembagian rapot.
Saatnya libur panjang kenaikan kelas.
Mengingat itu, senyumku semakin lebar, rentangan tanganku semakin lebar juga. Terbayang kegiatan yang kususun sebagai pengisi liburan.
Menghabiskan koleksi drakor, tidur di sela-sela waktu menonton, bersosmed, hang out bersama teman, … Itu seminggu. Seminggu lagi akan aku habiskan bersama Bhaga. Cutinya beririsan dengan libur sekolah. Dan seminggu itu akan aku habiskan berdua saja dengannya. Baru membayangkannya saja sudah bisa membuat pipiku merona. Segera kutepis pikiran-pikiran wanita dewasa yang mendadak muncul ketika sosok lelaki itu hadir.
Ah, libur selalu menyenangkan. Sehari saja menyenangkan, apalagi berminggu-minggu. Well, oke, ada tugas piket di antara libur itu. Tapi abaikan saja. Tak ada kesibukan berarti mengisi jadwal piket. Apalagi aku bukan panitia penerimaan peserta didik baru.
Di luar matahari masih terik. Hari sudah lewat dari tengahnya. Aku masih di kelas di saat sebagian besar rekan kerjaku sesama guru sudah lama pulang. Beberapa wali murid tidak bisa datang sesuai jadwal. Terpaksa aku memundurkan waktu. Begitulah. Sebagai guru aku harus banyak mengalah. Sudah begitu pun masih sering disalahkan. Seakan tugas mendidik menjadi tanggung jawab guru 100% sementara orangtua tinggal menunggu hasil kerja guru. Yang jika tidak sesuai standar keinginan orangtua maka itu adalah salah guru.
Sikap orangtua yang seperti ini justru melahirkan anak-anak yang keras. Anak-anak yang ingin menunjukkan eksistensi dirinya dengan cara apa pun. Dan sepanjang karier mengajarku, aku sudah sering melihat siswa yang seperti itu.
Aku hanya bisa menarik napas panjang. Tapi begitulah. Aku mencintai profesi ini. Dan kalau cinta sudah berkata, aku bisa apa? Hanya tinggal menikmati ulah si cinta itu saja.
Sambil tanganku merapikan berkas di meja, aku melirik ke luar yang masih terik. Matahari seperti itu yang akan menemaniku pulang. Membayangkannya saja membuatku membutuhkan pintu ke mana saja milik Doraemon yang bisa langsung membuatku sampai di rumah.
Tanpa sadar, pandanganku tertuju pada sosok seorang lelaki dengan setelan jas rapi dan aviator sunglasses berdiri di tengah lapangan. Penanpilannya cukup mencolok apalagi sekolah sudah sangat sepi, nyaris kosong.
Lelaki yang tadi sekitas kulihat tapi seakan dia juga melihatku.
Ah, tidak ada urusan dengan dia, semua rapot sudah diambil. Aku kembali melanjutkan aktifitas, bersiap pulang.
Meja sudah rapi. Bahkan tas sudah terkancing. Aku sudah siap pulang ketika suara ketukan di pintu terdengar lembut. Mendongak, aku tersenyum.
“Ya?”
Aku menjumpai sosok yang tadi berdiri di tengah lapangan sudah berjalan ke arahku.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
Santai, sosok itu duduk di kursi di depanku.
Dia masih mengenakan kacamata, dengan wajah tertutup rambut halus, aku tidak bisa mengenali sosok itu sama sekali. Dia pasti melihat dahiku yang berkeryit tanda berpikir keras.
“Kenapa sih kamu nggak sabaran? Aku kan sudah bilang, tunggu aku.” Tamuku berkata dengan nada serius seakan berbincang dengan karib.
Hah?
“Ayo kita nikah.”
“Gimana?” Aku tidak bisa menutupi ekspresi bodoh yang jelas langsung terbentuk di wajah.
Tamuku menarik napas panjang, semacam jengkel. Mungkin dia jengah dengan ekspresi bodohku. Jengkel yang membuatnya membanting punggung ke sandaran kursi sambil melepas kacamata. Kali ini matanya terlihat jelas. Hitam legam tajam menatap lurus ke arahku.
Mata itu....
Sepertinya pernah kulihat.
Dulu. Entah kapan.
Kerutan di dahiku makin jelas. Demi menjawab rasa ingin tahuku, aku tak sungkan balas menatap mata legam tajam itu. Benar-benar berusaha menggali ingatan mengenali si pemilik mata.
“Dulu aku suruh kamu, tunggu aku sembilan tahun lagi, kenapa kamu nggak sabar? Malah nikah sama Bhaga. Ck.” Dia berdecak.
Deg.
Mendengar kalimat singkat itu, aku langsung limbung dengan memori yang segera berkelindan ke masa yang disebut lelaki di depanku itu.
Tunggu aku sembilan tahun lagi.
Ya.
Wajahku tak lagi bodoh. Ganti terperangah dan terus menatap mata gelap di depanku. Mulutku yang terbuka hanya aku tutup dengan sebelah tangan. Total tersedot ke kala itu.
Sembilan tahun lalu ada seorang murid mengucapkan sebaris kalimat.
Tunggu aku sembilan tahun lagi.
Aku mengingat kalimat itu, tapi siapa yang akan menyangka pengucapnya seserius itu? Sungguh, kupikir dia bergurau atau hanya urusan hormon remaja saja.
“Aku menepati janji.” Dia duduk tegak sambil merentangkan tangannya. Sementara aku? Aku masih dengan ekspresi yang sama, terpaku mendekati bodoh. “Here I am. Seperti yang dulu kamu inginkan.” Dia merentangkan lagi tangannya, menunjukkan dirinya lebih lagi. Lalu melipat tangannya di dada. Menarik napas, dia melanjutkan, “Aku menepati janji. Aku akan kembali sembilan tahun lagi saat pembagian rapot kenaikan kelas. Tapi kamu tidak menepati janji. Kamu malah menikah dengan Bhaga, Savannah.”
Panggilan itu...
Hanya satu orang yang pernah memanggil dengan nama depan selengkap itu dengan tone yang…. Satu orang yang semakin nyata membuatku berlari ke kala sembilan tahun lalu.
Savannah....
Caranya menyebut nama itu begitu khas. Sedikit berbisik mendesah memuja seakan merapal doa. Membuatku bergidik.
“Dulu kamu suruh aku berjuang untuk masa depanku. Sekarang, kamu akan lihat aku berjuang lagi. Juga untuk masa depanku. Kamu akan melihat langsung karena kali ini aku nggak akan pergi lagi untuk membuktikan janjiku.”
Aku masih terdiam. Apa lagi yang bisa kulakukan? Aku utuh duduk tegak di kursi masih dengan kenangan sembilan tahun lalu.
Saat seorang siswa nakal mengajakku menjauh dari api unggun untuk mengucapkan kata cinta di malam hari perpisahan. Ungkapan hati yang kubalas dengan senyum lembut, ramah, dan penuh pengertian. Hanya cinta monyet remaja dengan hormon yang menggila. Remaja tujuh belas tahun itu menyuruhku menunggunya sembilan tahun lagi sambil mengecup ringan pipiku nyaris mendekat di sudut bibir. Lalu pergi. Pergi tanpa pernah terdengar kabarnya kecuali kabar bahwa dia melanjutkan sekolah ke luar negeri.
Siapa bisa percaya ucapan anak nakal yang baru lulus SMP?
Dia pergi dan aku melanjutkan hidupku.
Tapi siswa itu sekarang ada di depanku. Menepati janii dan menagih janii.
Dan dia bukan lagi remaja yang sedang berjuang mengendalikan hormonnya. Saat ini, dia yang duduk di depanku adalah seorang lelaki matang dan terlihat mapan. Lengkap dengan pesona adonis yang memikat dan melelehkan. Membuat lidahku kelu dan semakin kesulitan mengatur napas.
“Aku sudah tunggu kamu sembilan tahun. Ceraikan Bhaga. Ayo kita nikah.”
“Vlad….” Meski tercekat, aku berhasil berbisik menyebut namanya.
Vladimir Darmawangsa.
***
[1] Author’s note: Abaikan pandemi. Tahun 2021 anggap saja dunia tetap normal tanpa ada new normal.
AKU tentu hanya sebentar di pos jaga. Aku berlari kembali ke Vlad. Keringat sebesar biji jagung mengucur di wajahnya. Wajahnya kembali pucat menahan sakit. Kubantu dia melepas jas, dasi, kemeja, dan kaus dalam. Tubuhnya kuyup. Kupakaikan pakaian khusus pasien. Perawat sudah datang dan langsung memeriksanya. Tentu mereka melaporkan pada dokter. “Matilah aku, Anna. Pasti dokter marahin aku.” Dia berkata sambil meringis. “Kamu dari kapan tahan sakit begini sih.” Dia sudah terbaring pasrah ketika perawat memasang selang.” “Sesak ya, Pak?” tanya perawat. Dia mengangguk. “Tapi nggak terlalu.” Namun dia pasrah dipasangi selang lain. “Malam pertama, keringetan, kamu buka baju aku buru-buru, sesak napas.” “Vlad!” Sungguh, kali ini aku ingin menyentil bibirnya. “Pas amat ya deskripsinya sama kondisi aku.” Aku tahu dia masih menahan sakit. Dia meringis, tapi matanya bercahaya. Membuatku bisa sedikit bernapas lega dan tertawa kecil. Perawat sudah berpamit sambil mengulum senyum. “Anna, c
OTW ke sana. Aku tak tahu di mana meeting room rumah sakit ini. Yang pasti masih di gedung ini, dan itu berarti mereka tidak perlu waktu lama untuk sampai di sini. Mama dan Mbak Rethi merapikan penampilanku yang sudah rapi. Apa yang harus dirapikan? Make up dan gaunku begitu sederhana. Tak lama terdengar suara pintu diketuk yang tidak menunggu jawaban dari dalam pintu itu langsung terbuka. Aku berdiri menunggu. Dan di sanalah dia, Vladimir Darmawangsa, berjalan perlahan diiringi dua ayah di samping kiri dan kanannya. Aku menggigit bibir bawah, ketika kulihat dia seperti orang tertatih menahan sakit. Namun dia tetap berjalan ke arahku dengan tatapan tak lekang mengunci mataku. Lima langkah lagi, kuangkat tanganku, menyuruhnya berhenti. “Kamu masih kuat, Vlad?” tanyaku. Dia mengangguk. “Ada yang aku mau omongin dulu.” Dia mendesah. “Savannah, jangan bikin aku semaput.” “Nggak, Vlad, aku harus ngomong sekarang mumpung masih bisa batal.” Suara tarikan napas terdengar dan ruangan sem
“I’LL take the risk. I’ll marry you, Vlad. Now.” Dua wajah langsung menoleh ke arahku. Vlad meski lemah, dia tersenyum. Ibunya, meski tegar, dia menangis. Dia merangkum wajah anaknya lalu mengecup dahi Vlad setelahnya dia menatap mata Vlad, begitu lama sambil tersenyum dan menangis. “Bunda, tolong urus semuanya ya,” ujarnya pelan. Ibunya mengangguk lalu menggenggam tanganku. “Terima kasih, Anna.” Lalu dia keluar meninggalkan kami berdua saja. Kami berdua lagi. Kulihat wajahnya, memang makin pias, tapi matanya… ibunya benar, matanya menyala meski tatapannya lemah. “Terima kasih, Anna,” lirih di sela desis meringis. Aku baru ingin bersuara tapi ketukan di pintu kembali terdengar. Kali ini ibunya dan seorang perawat yang langsung menyiapkan jarum suntik. “Sudah lebih lama jeda sakitnya ya, Pak.” “Ini belum terlalu mengganggu kok. Nanti aja. Saya butuh sadar sekarang.” “Vlad, Bunda senang kamu nggak minta obat itu lagi.” Ibunya mengelus rambut Vlad. “Kemarin Dokter mau kurangin do
MESKI lemah, tapi dia terkekeh. “Kamu sama siapa ke sini?” tanyanya masih lemah. Aku masih membungkuk, membiarkan tangannya membelai wajahku sementara tanganku juga bermain di wajahnya. “Aku dijemput mereka semua.” “Kamu tuh aku harus sekarat dulu ya baru kamu ke sini? Telat dikit kamu beneran datang ke kuburan aku.” “VLAD!” Mendesis tapi berteriak. “Kamu sama siapa ke sini?” tanyanya mengabaikan teriakan histerisku. Aku berkeryit kening mendengar pertanyaan itu. “Sama siapa? Sendirilah. Aku habis bagi rapot.” Dia terkekeh lemah lagi. “Bagi rapot lagi ya.” Dia tersenyum, aku mengangguk. Ada kenangan di momen itu. “Mana Papa?” “Ya?” Ayahnya mendekat. “Ck. Bukan Papa. Papanya Anna.” “Eh, kenapa nyariin Papa?” Aku bertanya berkeryit dahi. “Marry me. Now.” “Hah?” “Perjanjiannya kamu yang datang. Lalu kita nikah.” “Astaga, kambing bandot, b*ngs*t!” Erlan mendadak bersuara. “Lu napas aja pakai selang, mau nikah sekarang. Memang kuat, Sat?” “Nikah dulu baru kawin, Nyong. Gue
DI sanalah Vlad terbaring. Aku terpaku di kaki ranjang. Wajahnya pucat dan tirus, bibirnya kering dan tubuhnya kurus dengan selang infus dan oksigen. Kakiku makin lemah, aku ingin berlari memeluknya, tapi aku hanya bisa terpaku berdiri di kaki ranjang. “Bangunkan dia, Anna,” bisik Ibu Vienna yang membuatku langsung menoleh dengan pandangan heran. Kenapa harus mengganggu tidurnya? “Vlad kenapa, Bu?” Ibu Vienna mendesah dan menyusut lendir di hidungnya. “Kurang lebih dua atau tiga minggu lalu Bunda lihat dia gelisah sekali. Tapi dia nggak mau ngomong apa-apa. Cuma dia makin gila kerja. Kadang Bunda sampai di flatnya jam sepuluh dia belum pulang, Bunda susul ke kantornya dia masih sibuk banget.” Tangannya bergerak menyelusup ke balik selimut memijat kaki Vlad. “Mas, kakinya dingin lagi…” Dia nyaris merengek. Aku hanya bisa mencengkeram tepi ranjang sampai berbuku putih. Ayahnya langsung memberikan minyak kayu putih, menuangkan ke tangan istrinya yang gesit membalurkan sambil memijat
JAM berapa ini? tanyaku dalam hati sambil melirik pergelangan tangan. Fyuhh… hampir tengah hari. Tapi masih ada satu kolom belum terisi di daftar hadir. Kubuka ponsel dan chat paling atas menampilkan nama orang yang kutunggu. Bunda Rania VIII-1, 2025 : Maaf, Bu Anna, sebentar lagi ya. Bunda Rania VIII-2, 2025 : Saya baru keluar kantor. Savannah Gayatri : Baik, Bunda. Santai aja. Savannah Gayatri : Saya masih di kelas kok. Savannah Gayatri : Hati-hati di jalan. Fyuh… Masih di kantor. Itu bisa berarti tiga puluh menit sampai satu jam lagi. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Tanpa sadar aku menoleh ke arah lapangan. Sekarang, setiap momen pembagian rapot, selalu saja ada saat aku melirik ke lapangan itu. Mengingat saat empat tahun lalu saat dia berdiri di sana lalu datang mengacak-acak semuanya. Hatiku, dan hidupku. Seharusnya aku tidak perlu mengingat momen itu. Atau… aku boleh mengingat, tapi jangan berharap dia tiba-tiba datang. Bukankah dia su
SEKOLAH hiruk pikuk hari ini. Tenpat parkir penuh sampai ke lapangan upacara bahkan memakan badan jalan. Petugas keamanan dan tukang parkir dadakan sibuk mengatur kendaraan yang keluar masuk dan mencari celah parkir. Wajah-wajah cemas bercampur dengan wajah lega dan bahagia berbaur jadi satu. Anak-anak berkerumun dengan kelompoknya, beberapa berdiri di depan pintu kelas siap merebut rapor dari tangan orangtua. Tak peduli matahari yang semakin terik, kerumunan itu tak berkurang. Vlad dengan outfit formal keluar dari pintu belakang mobil sambil merapikan jas. Mobil itu harus diparkir di badan jalan. Aviator sunglasses melindungi matanya dari matahari sekaligus menyembunyikan arah tatapannya. Dengan langkah santai tapi mantap dia berjalan melewati gerbang. Di tengah lapangan, dia berhenti. Berdiri tegak seperti tongkat penunjuk jam matahari di praktikum IPA anak sekolah dasar. Matanya tertuju ke satu kelas yang masih ramai. Meski lapangan itu ramai dan riuh rendah berbagai suara, tapi s
“TERIMA kasih,” aku berpamit sambil memasukkan uang ke sling bag. Tapi pekerjaan hari ini belum selesai. Lepas berpamit, aku berjalan perlahan menikmati matahari sore yang sangat redup terhalang rinai hujan. Hanya rinai kecil yang tidak akan membuat kulitku basah. Aku malah mendongak menatap langit. Melihat langsung titik-titik air yang jatuh. Terasa lembut di wajah. Aku tersenyum. Ada kenangan akan hujan. Ah, menurutku nyaris semua orang memiliki kenangan atas hujan. Entah kenangan indah atau buruk, kenangan manis atau pahit. Aku? Aku tak tahu hujan berarti apa. Tapi hujan sering mengingatkan aku pada satu sosok— “Bu Anna, ngapain ngelihatin langit?” Sebuah suara menginterupsi lamunanku. Aku menoleh ke sumber suara. Tetanggaku. “Eh, Bu Tedjo. Nggak kok, Bu. Suka aja.” “Mari, Bu Anna,” ujarnya berpamit. “Mari.” Aku melanjutkan langkah kaki. Sepanjang jalan tak putus senyum, sapa, dan salam. Beginilah kehidupan di gang kecil ini. Rumah berdekatan membuat penghuninya dekat. Saling
VLAD sudah mengantongi cukup data Bhaga untuk mulai mencari tahu. Sebenarnya dia ingin mencari tahu semuanya sendiri, tapi Bagas benar, jika dia terlalu sering ada di sekitar Bhaga, orang akan lebih mudah curiga. Sebenarnya Bagas mau Vlad terima jadi saja, tapi Vlad tidak mau. Menurut Vlad, ada banyak hal yang tidak bisa orang lain dapatkan. Harus dia yang ke sana melihat keseharian Bhaga. Dari sana dia bahkan bisa membaca ekspresi dan intonasi Bhaga. Akhirnya Bagas menyerah. Dia menyerahkan data sampai di titik di mana Bhaga biasa berkumpul dengan teman-temannya. Anak nongkrong. Vlad sudah terbiasa menjadi anak nongkrong. Seharusnya ini bukan hal yang sulit. Sejauh ini, yang dia rasa sulit adalah mencari alasan kenapa sampai dia ada begitu jauh dari pusat kegiatan masyarakat. *** Dan di sanalah dia sekarang. Di sebuah warung makan sangat sederhana sehingga bisa dibilang hanya berupa bedeng. Dari info yang dia terima, Bhaga paling sering nongkrong di sini. Masih jam sepuluh ketika
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments