“ADA pertanyaan?” Anna melirik jam di pergelangan tangan. Masih ada sisa waktu. Dia mengedarkan pandangan ke seluruh kelas. Sedikit lama di Vlad yang ternyata asyik dengan dunianya sendiri. Anna malas memancing keributan, dia membiarkan saja Vlad dengan maunya. Salah seorang murid mengacungkan tangan, bertanya. Perhatiannya teralihkan pada si murid. Waktu sisa terpakai untuk menjawab pertanyaan itu.
Bel berbunyi. Ini jam terakhir, seisi kelas langsung gaduh terburu bersiap pulang. Usai doa singkat dan salam berpamit, kelas bubar. Santai, Anna merapikan isi meja. Setelah selesai, dia melihat di kelas masih ada makhluk lain.
“Nggak pulang, Vlad?” Vlad masih asyik duduk bersandar dengan kepala tersanggah dua lengannya.
“Kenapa mau jadi guru?” tanya Vlad tiba-tiba.
“Mau jadi model, muka nggak cantik, mau jadi tentara, tingginya kurang. Mau jadi bos, nggak ada yang mau jadi anak buahnya.” Anna menjawab asal.
“Insecure sama fisik sendiri?”
Eh, kenapa sepertinya pertanyaan ini serius ya? Anna berpikir dalam hati.
“Nggak juga. Saya menikmati diri saya apa adanya.”
“Lalu kenapa jawabannya ke fisik semua?”
“Pun saya bilang otak nggak mampu kamu akan bilang saya insecure juga kan?”
Vlad mengedikkan bahu dengan bibir mencucu. Anna berdiri bersandar di meja guru. Lalu perlahan Vlad berdiri dan berjalan ke arah Anna yang mengikuti gerakannya dengan tatapan mata.
“Lalu kenapa mau jadi guru?” Vlad bertanya sambil duduk di kursi paling dekat dengan gurunya.
Ini pertanyaan yang sulit dijawab substansinya. Anna menerawang menatap ke halaman yang makin sepi.
“Memang Ibu suka ngajar?” tanyanya lagi ketika Anna tetap diam.
“Menurut kamu, saya kalau menjelaskan gimana?”
Dia mengedikkan bahunya. “Nggak tau.”
“Kamu ngerti nggak kalau saya ngajar?”
“Ya gitu deh. Lihat aja hasil ulangannya.”
“Kenapa nanya kayak gitu sih? Ada masalah dengan cara saya ngajar?”
“Nggak. Saya nggak peduli guru ngajarnya kayak apa.”
“Lalu?”
“Mau nanya aja. Siapa tau saya mau jadi guru juga.”
Spontan Anna terkekeh.
“Kenapa? Saya nggak cocok jadi guru ya?”
“Mending jangan deh, Vlad. Saya kasihan sama kamu. Bakal kena karma. Kamu bakal dapat murid yang kelakuannya kayak kamu malah lebih parah.”
“Subyektif banget.” Vlad menggerutu.
“Kenapa sih kamu sering cari gara-gara?”
“Saya nggak cari gara-gara, orang aja yang maunya semua diturutin.”
“Bukannya kamu yang begitu? Aturan kamu langgar kalau nggak sesuai mau kamu.”
“Loh ya itu juga parah, kenapa aturan harus selalu diikuti? Egois amat. Kenapa nggak aturan yang ngikutin mau kita. Nggak usah semua, sedikiiit aja. Biar adil. Kalau semua maunya aturan diikuti, di mana adilnya?”
A s t a g a !
“Ah, sudahlah, Vlad. Kamu aja yang koslet, nggak usah ngajak-ngajak orang lain.” Anna langsung mengambil buku dari meja dan bergegas pergi.
“Tuh kan. Saya ngomong apa juga selalu saya yang dibilang salah. Selalu saya yang dibilang cari gara-gara. Semua maunya dingertiin. Tapi nggak ada yang mau ngertiin saya.”
Langkahnya terhenti, bahkan napas pun berhenti. Anna langsung menoleh ke arah Vlad. Bahkan membalik tubuh utuh menghadap ke arahnya.
Terdiam beberapa detik, Anna menekuri wajah muridnya. Ekspresi Vlad menunjukkan bahwa dia sungguh kecewa dengan respons gurunya tadi.
“Kamu yang seperti apa yang minta dimengerti, Vladimir?”
Vlad mengedikkan bahu.
“Berapa umurmu?”
“Tujuh belas.”
“Umur segitu seharusnya kamu sudah lebih mengerti soal bagaimana menyikapi aturan.”
“Mungkin karena nggak bisa menyikapi aturan makanya saya nggak naik kelas dua kali meski nilai saya nggak rendah-rendah banget.”
“Nah, itu kamu tau.” Anna kembali bersandar di meja sambil memeluk buku. “Kamu itu pintar, Vlad. Tapi terlalu banyak aturan yang kamu langgar makanya kamu nggak naik.”
“Apa sih untungnya patuh aturan? Selama ini saya nggak dapat apa-apa dari patuh aturan. Saya sudah berusaha patuh, tetap aja saya salah.”
“Pasal yang mana yang kamu usahakan patuh?”
“Contoh, terlambat. Tertulis batas toleransi keterlambatan sepuluh menit. Seharusnya, selama saya datang sebelum sepuluh menit saya nggak dibilang terlambat dong. Tapi nyatanya, di rapot tetap dihitung terlambat. Dan saya sering dihukum karena itu. Padahal setelah saya baca, nggak ada klausa batas maksimal menggunakan toleransi sepuluh menit itu.”
Anna menahan napas sepanjang dia berkata.
“Kalau “nggak terlambat”,” dua jari kedua belah tangannya bergerak membentuk tanda kutip, “juga nggak pernah dapat hadiah apa-apa kan?”
“Hadiah itu nggak harus berupa barang, Vlad. Aturan yang ada itu untuk mendisiplinkan. Biar kamu biaa hidup disiplin. Ketika kamu disiplin, hidup kamu akan teratur.”
“Tuh kan. Aturan lagi. Kenapa sih kita harus selalu diatur?”
Anna kembali mengembuskan napas.
“Kita ke kantin yuk. Ibu lapar ngomong sama kamu.”
“Traktir ya.”
“Iya.” Anna bergerak dan Vlad mengikut di belakang. “Nggak ambil tas dulu?”
“Biarin aja. Nggak bakal hilang juga.”
“Itu karena ada aturan. Dilarang mengambil yang bukan haknya.” Mereka berjalan berdampingan. Anna agak mendongak menatap Vlad yang tinggi. Dan masih mungkin menjadi lebih tinggi lagi.
“Halah. Karena nilai tas dan isinya nggak seberapa. Kalau berharga, pasti hilang. Kalau semua taat aturan, nggak ada koruptor, Bu.”
Mereka sudah duduk berhadapan di bangku panjang. Tangan Anna menjadi penumpu dagunya sementara Vlad bersedekap di meja.
“Vlad, karena itu ada yang namanya sekolah. Untuk mendidik. Bahwa sebagai makhluk sosial, manusia hidup dengan makhluk lain dan harus bertoleransi.”
“Lalu koruptor-koruptor itu, maling-maling itu nggak terdidik? Dibanding maling ayam, maling berdasi itu sekolahnya tinggi, titel mereka berderet loh, Bu.”
“Ya mereka sekolah sampai tinggi tapi nggak dapat ilmunya.”
“Kalau gitu buat apa sekolah? Buat apa saya harus kejar nilai tinggi? Buat apa saya harus taat aturan? Nggak masalah dong kalau saya tinggal kelas bekali-kali?”
Anna merasa semakin lapar.
“Pak, mi ayam dua ya.”
“Habis, Bu.”
Haduh.
“Adanya apa, Pak?”
“Indomi.”
“Ya sudah, itu aja. Dua. Lengkap. Es teh manis dua.”
Pak kantin mengangguk lalu Anna kembali pada Vlad yang ternyata dari ekspresinya menunggu jawaban gurunya.
“Vlad, sekolah nggak cuma kejar nilai di rapot. Kalau cuma begitu, kamu nggak akan tinggal kelas.” Anna menunggu responsnya. “Banyak ilmu yang nilainya nggak tercantum di rapot dan justru itu yang akan kamu pakai sepanjang hidup. Sementara yang di rapor kadang malah nggak terpakai. Paling yang terpakai yang sesuai profesi aja. Yang jadi dokter nilai biologi dam kimianya berguna tapi pengacara nggak butuh dua nilai itu.”
“Lalu untuk apa kita sekolah?”
“Ya seperti yang tadi Ibu bilang, untuk cari ilmu. Ilmu nggak cuma yang ada di rapot. Kamu nggak disiplin, kamu belum lulus ilmu itu, makanya kamu nggak naik kelas.”
“Ah!” Vlad mengentak jengkel. Pesanan mereka datang, Anna langsung mengambil jatahnya.
“Makan dulu. Lapar sering bikin orang emosi.” Anna sudah menyantap porsinya. Melihat Anna makan lahap, Vlad pun tergugah. Dia ikut melahap porsinya.
“Kenapa kamu malas sekolah?” tanya Anna untuk mengisi waktu sambil mengunyah.
“Saya nggak malas.”
“Kalau nggak malas kamu nggak akan sering terlambat.”
“Nggak ada yang menarik di sekolah.”
“Biasanya umur segitu anak cowok lagi tertarik sama cewek. Nah itu yang bikin semangat sekolah.”
Vlad terkekeh. “Saya nggak tertarik sama cewek tulalit yang cuma bisa bahas fashion dan gosip.”
“Wow, itu sudah selangkah lebih maju. Biasanya ababil mah cuma lihat fisik aja.”
“Tuh kan, fisik lagi. Insecure amat sih sama fisik sendiri.”
“Loh, kok jadi ke saya sih? Di usia kamu itu ketertarikan dengan lawan jenis lebih ke pengaruh hormon. Tapi kamu sudah mikir kenyamanan psikis.”
“Buat saya nyaman adalah segalanya.”
“Dan kamu nyaman di zona ini?”
Vlad diam. Tapi Anna tersenyum.
“Kamu cuma sedang mencari jati diri aja, Vlad. Selama kamu nggak sentuh narkoba, kamu akan baik-baik aja. Oh iya, jangan coba-coba free sex. Kamu belum siap jadi ayah. Kalau belum nikah, p*n*s kamu buat pipis aja, jangan buat yang lain.”
“Kalau saya nikah?”
“Bahas soal itu bisa berhari-hari, Vlad. Karena menikah nggak cuma urusan fisik aja. Banyak yang harus dipikir. Dan untuk cara berpikir kamu yang kayak gitu, jauh panggang dari api. Kamu cuma akan nyakitin anak gadis orang aja.”
“Tuh kan, saya selalu dibilang nggak bisa apa-apa. Bahkan untuk hal yang belum saya coba pun sudah dicap begitu.”
Anna terdiam sampai berhenti mengunyah. “Lha, terus kamu mau nikah coba-coba?” Matanya menatap Vlad seakan melihat aliens.
Ganti Vlad yang terdiam.
“Vlad, kamu pintar. Cuma kamu belum sadar aja potensi diri kamu apa.” Anna tersenyum. “Kalau kamu sudah tau, dan kamu kembangkan… wuss…” Tangan Anna bergerak ke atas menirukan gerakan roket, “Kamu akan sukses.”
“Ibu yakin?”
“Yakin banget.”
“Kenapa? Orang lain selalu bilang saya medesu. Masa depan suram.”
Anna menatap jauh ke dalam bola mata Vlad.
“Saya yakin kamu akan sukses, Vlad. Syaratnya cuma satu. Kamu kenali diri kamu sendiri. Karena cuma dengan itu kamu bisa mencintai diri kamu sendiri dan kehidupan yang menyertainya.”
“Apa saya nggak mencintai diri saya sendiri?”
“Paling tidak kamu tidak menghargai waktu. Kamu buang dua tahun umur kamu cuma gara-gara hal sepele. Tapi kamu bisa buktikan, dua tahun itu terbuang percuma atau ada hikmahnya.”
“Apa?”
“Banyak orang harus belajar dari kegagalannya, Vlad. Kalau kamu bisa belajar dari sana, maka tinggal kelas kamu nggak sia-sia. Kamu masih SMP. Ijazah SMP nggak terpakai kalau sudah ada ijazah SMA. Kamu masih bisa kejar ketertinggalan kamu. Saya yakin, dengan otak kamu, selama kamu serius, kamu bisa kejar.”
“Gimana caranya?”
“Akselerasi. Saya dua kali akselerasi. Otak saya mungkin nggak seencer kamu, tapi saya menghitung waktu. Saya akan diuntungkan jika dua tahun lebih cepat lulus. Kalau sudah kuliah lebih gampang lagi. Kejar IP tinggi, kamu bisa ambil SKS maksimal.”
“Berapa umur Ibu?”
“Next birthday dua puluh.”
“Astaga….” Vlad terhenyak. “Ibu terlalu serius menyikapi hidup. Umur semuda itu, saya pikir umur sudah 25. Santai sedikit, Bu. Belanda masih jauh. Nggak perlu stand by ngeruncingin bambu terus.”
Anna terkekeh.
“Ambil akselerasi biar untung di tahun tapi ternyata muka tetap ikut ke umur sekolah.”
Anna makin terkekeh.
“Kita cuma selisih nggak sampai tiga tahun. Malas amat panggil ibu. Ck.” Vlad berdecak.
“Guru itu, biar lebih muda ya tetap dipanggil ibu atau bapak.”
“Saya nggak mau jadi murid Ibu.”
“Maunya jadi apa? Adek?”
“Pacar.”
Anna tersedak kuah mi. Dan itu pedih sekali.
***
KEHADIRAN Vlad mengganggu rencana libur yang sudah kususun rapi. Jika dulu aku bisa abai ketika dia berkata ingin menjadikan aku kekasihnya, saat ini aku tidak bisa lagi abai. Jelas dia kembali sembilan tahun setelah dia mengatakan itu.Vlad brengsek!Layar LED di depanku memang menyala. Tapi blablabla drakor yang kutunggu malah lebih sering terabaikan. Aku terlalu sering melamun. Melamunkan Vlad dan Bhaga.Aku lagi-lagi mendengus dan mengembuskan napas kasar. Cuti Bhaga dan libur sekolah jarang bersamaan. Dan yang jarang itu terjadi sekarang. Well, tidak utuh kami libur bersama, hanya seminggu. Setelah itu Bhaga masih libur tapi aku sudah kembali mengajar. Tapi lihatlah aku sekarang. Hanya tergeletak gelisah sendirian di depan layar TV. Seminggu libur yang beririsan akan Bhaga pakai untuk training, lalu ketika dia ke sini, aku sudah kembali sibuk.Aku kembali menarik napas, lelah.Seperti biasa, jika Bhaga ada di sini, dia yang akan menjadi supirk
ANNA tentu sudah melupakan ucapan asal bunyi yang Vlad lontarkan di kantin sampai dia tersedak kuah mi instan. Tepatnya tidak melupakan, tapi mengabaikan. Apalagi ketika dia melihat Vlad bersikap biasa saja setelah berkata seperti itu. Setelah mengucapkan itu Vlad memang tidak terkekeh mengesalkan sambil berkata ‘tapi bohooonnnggg’, dia hanya diam sambil menatap Anna. Tapi justru diamnya itu yang menakuti Anna.Cerita itu sudah berlalu dua minggu lalu. Pagi ini Anna kembali mengisi kelas Vlad. Ketika dia masuk, kelas masih ribut dan Vlad duduk di meja. Melihat gurunya datang, yang lain langsung berlarian ke tempatnya masing-masing sementara Vlad sangat santai turun dari meja lalu berdiri bersandar di meja itu.“Kita lagi bahas perpisahan, Bu. Ada ide nggak?” tanyanya.“Memang kamu mau lulus tahun ini, Vlad?” Pertanyaan Anna dijawab oleh koor tawa teman sekelas.“Kayaknya sih dia sudah bosan di sini, Bu. Tadi dia b
LIBUR kali ini sangat menjemukan. Terasa sangat lama. Baru kali ini aku ingin libur segera selesai lalu aku bisa kembali sibuk mengajar. Aku berharap libur berdua dengan Bhaga tapi jangankan berdua, ditelepon saja dia sulit. Dia memang tetap menerima teleponku, tapi dia tidak akan bersuara, maka yang kudengar hanya suara pengisi materi yang sedang menjelaskan. Atau memang itu suara dia sendiri, tapi dia yang sedang bertanya atau sedang berbicara serius dengan rekannya tentang materi training atau pekerjaannya atau apa pun itu yang berarti dia sedang sibuk dan tidak bisa diganggu,Aku sudah bermaksud menyusulnya ke sana, tapi jika jadwalnya sepadat itu, aku akan tetap akan menghabiskan liburku sendiri saja. Aku berpikir mungkin lebih baik aku menyusul Bhaga dan menjauh dari Vlad. Tapi, apa susahnya seorang Vlad menyusul? Hanya Singapura pula. Dan kenapa aku merasa menyusul Bhaga berarti melarikan diri dari Vlad? Apalagi dengan jadwal Bhaga yang sepadat itu sangat sulit buatku
MATAHARI masih cukup menyengat. Tapi atap dari kain terpal berwarna biru yang sudah lusuh cukup ampuh menahan panasnya. Di bawah pelindung ala kadarnya itu berkumpul sepuluh siswa yang sedang asyik merokok. Semuanya duduk tak beraturan dengan berbagai gaya.“Sebenarnya lu mau ngapain sih, Vlad? Kayak nggak ada kerjaan aja nyari duit buat ngegratisin perpisahan. Mending duitnya buat kita sendiri aja,” ujar Candra dengan tone bosan.“Lu nggak bosan main gini-gini aja? Gue bosan. Gue pengin nyoba yang lain.”“Terus ngapain cari duit buat satu sekolah? Lu gila?”“Kalau cuma buat kita senang-senang doang sama sekolah nggak akan diizinkan, Ontohod.” Vlad menoyor kasar dahi Vicenzo.“Dan sejak kapan kita butuh izin sekolah?” ganti yang lain lagi bersuara.“Sejak gue butuh bantuan lu pada buat jadi lebih gila lagi dari sekarang.”“Lu kesambet apa sih, Vlad?
VLAD merebut kunci rumah dari tangan Anna. Dia membuka pintu lalu menarik kunci dari lubang kunci kemudian tanpa merasa perlu diundang masuk dia langsung menerjang masuk dan membanting bokongnya di sofa.Tangannya kasar melepaskan semua isi kunci dari gantungan kunci. Dia mengambil kunci depan lalu mengambil sebuah kunci.“Ini kunci apa?” tanyanya sambil menunjukkan kunci di tangannya.“Kamar,” jawabku sambil tetap berdiri seperti pesakitan di ambang pintu. Pintu rumahku sendiri.Dia melempar kunci itu.“Ini?”“Lemari.”Dia melempar lagi.“Ini?”“Pintu samping.”Masih dengan gerakan kasar, dia menggabungkan dengan kunci yang dia pegang sejak awal. Lalu menyeleksi sisanya. Mengambil kunci pagar dan membuang kunci yang lain. Tiga kunci dia masukkan kembali ke gantungan kunci. Sisanya entah bertebaran ke mana.“Kumpulin kunci-kunci y
KEHIDUPAN di sekolah ini berjalan seperti biasa. Rencana Vlad seperti sudah menguap yang bahkan murid lain pun seperti sudah bosan merundungnya. Mungkin juga karena sejak awal ide itu tidak pernah dianggap serius. Hanya dianggap kehaluan yang hakiki dari murid unik yang selama ini dikenal suka membangkang.Pembahasan soal itu di ruang guru pun tenggelam. Terganti bahasan lain yang dianggap lebih penting di semester genap. Untuk kelas tiga, itu berarti persiapan ujian nasional. Anak seperti Vlad mungkin tidak bermasalah dengan nilai ujian. Tapi melihat kelakuan Vlad yang tidak berubah, guru hanya bisa menarik napas panjang.Tuntutan umum adalah semua anak harus lulus. Apalagi di sekolah swasta seperti ini. Apalagi sekolah ini tergolong sekolah prestisius. Tidak selalu juara tapi namanya wara-wiri di bagian atas daftar. Ada anak yang tidak lulus berarti noda. Ketidaklulusan Vlad tahun lalu adalah hasil rapat panjang dan maraton nyaris semua guru yang terkait dengan kurik
BHAGA sungguh-sungguh membangunkanku untuk menuntaskan hajatnya. Kebutuhan badaniah dan tidak ingin berlama-lama merajuk membuatku bisa mengimbangi permainan Bhaga. Kebersamaan fisik yang membuat pagi pertama Bhaga di rumah tetap hangat bahkan bisa dibilang panas. Serangan fajar membuat pagi menjadi lebih berenergi.“Kamu kayak gini, belagak nggak mau cuti.” Aku berlagak menggerutu sambil mengikat rambut. Ranjang kami kacau berkat pertempuran beberapa babak. Bhaga terkekeh sambil bergelung menguasai selimut.“Mau ke mana?” tanyanya ketika melihatku mengambil pakaian.“Lapar, Bhaga. Memang kamu nggak lapar?” Aku bangun dan dia lagi-lagi terkekeh.“Bangunin kalau sudah matang ya.”“Njih, Ndoro Bhagavad.”Aku tidak pernah berharap Bhaga membantu di dapur. Dia bukan type pria pemasak. Dia sangat payah di dapur. Sambil bersenandung aku menyiapkan semuanya. Nasi goreng spesial, k
DISKUSI singkat Anna dan Vlad berakhir ketika bel tanda jam pelajaran berakhir berbunyi, tanda jam baru akan dimulai. Vlad bisa bergabung dengan teman sekelasnya lagi. Anna memandangi punggung Vlad yang menjauh sambil tersenyum. Semoga otak Vlad kali ini melancarkan aliran ide. Anna masih bertugas di meja piket.Dan hari itu berjalan tanpa ada kejadian lain. Lepas waktu pelajaran terakhir, Anna melaporkan hasil pembicarannya pada Bu Ros yang dibalas dengan anggukan mantap dan senyum lega.Jika kemarin panas begitu menyengat, kali ini langit begitu pekat penuh awan hujan. Anna menengadah ke langit melihat potensi hujan. Ini akan hujan, tapi kapan? Sekolah telah usai, waktunya pulang, dengan langit segelap itu, semua terburu pulang, berharap tak bertemu hujan di jalan.Anna pun sama. Belum ada titik gerimis sama sekali, dia memilih berkendara tanpa jas hujan. Tapi sialnya, di tengah jalan hujan turun. Semua pemotor menepi. Anna pun. Bermaksud memakai jas hujan, di
AKU tentu hanya sebentar di pos jaga. Aku berlari kembali ke Vlad. Keringat sebesar biji jagung mengucur di wajahnya. Wajahnya kembali pucat menahan sakit. Kubantu dia melepas jas, dasi, kemeja, dan kaus dalam. Tubuhnya kuyup. Kupakaikan pakaian khusus pasien. Perawat sudah datang dan langsung memeriksanya. Tentu mereka melaporkan pada dokter. “Matilah aku, Anna. Pasti dokter marahin aku.” Dia berkata sambil meringis. “Kamu dari kapan tahan sakit begini sih.” Dia sudah terbaring pasrah ketika perawat memasang selang.” “Sesak ya, Pak?” tanya perawat. Dia mengangguk. “Tapi nggak terlalu.” Namun dia pasrah dipasangi selang lain. “Malam pertama, keringetan, kamu buka baju aku buru-buru, sesak napas.” “Vlad!” Sungguh, kali ini aku ingin menyentil bibirnya. “Pas amat ya deskripsinya sama kondisi aku.” Aku tahu dia masih menahan sakit. Dia meringis, tapi matanya bercahaya. Membuatku bisa sedikit bernapas lega dan tertawa kecil. Perawat sudah berpamit sambil mengulum senyum. “Anna, c
OTW ke sana. Aku tak tahu di mana meeting room rumah sakit ini. Yang pasti masih di gedung ini, dan itu berarti mereka tidak perlu waktu lama untuk sampai di sini. Mama dan Mbak Rethi merapikan penampilanku yang sudah rapi. Apa yang harus dirapikan? Make up dan gaunku begitu sederhana. Tak lama terdengar suara pintu diketuk yang tidak menunggu jawaban dari dalam pintu itu langsung terbuka. Aku berdiri menunggu. Dan di sanalah dia, Vladimir Darmawangsa, berjalan perlahan diiringi dua ayah di samping kiri dan kanannya. Aku menggigit bibir bawah, ketika kulihat dia seperti orang tertatih menahan sakit. Namun dia tetap berjalan ke arahku dengan tatapan tak lekang mengunci mataku. Lima langkah lagi, kuangkat tanganku, menyuruhnya berhenti. “Kamu masih kuat, Vlad?” tanyaku. Dia mengangguk. “Ada yang aku mau omongin dulu.” Dia mendesah. “Savannah, jangan bikin aku semaput.” “Nggak, Vlad, aku harus ngomong sekarang mumpung masih bisa batal.” Suara tarikan napas terdengar dan ruangan sem
“I’LL take the risk. I’ll marry you, Vlad. Now.” Dua wajah langsung menoleh ke arahku. Vlad meski lemah, dia tersenyum. Ibunya, meski tegar, dia menangis. Dia merangkum wajah anaknya lalu mengecup dahi Vlad setelahnya dia menatap mata Vlad, begitu lama sambil tersenyum dan menangis. “Bunda, tolong urus semuanya ya,” ujarnya pelan. Ibunya mengangguk lalu menggenggam tanganku. “Terima kasih, Anna.” Lalu dia keluar meninggalkan kami berdua saja. Kami berdua lagi. Kulihat wajahnya, memang makin pias, tapi matanya… ibunya benar, matanya menyala meski tatapannya lemah. “Terima kasih, Anna,” lirih di sela desis meringis. Aku baru ingin bersuara tapi ketukan di pintu kembali terdengar. Kali ini ibunya dan seorang perawat yang langsung menyiapkan jarum suntik. “Sudah lebih lama jeda sakitnya ya, Pak.” “Ini belum terlalu mengganggu kok. Nanti aja. Saya butuh sadar sekarang.” “Vlad, Bunda senang kamu nggak minta obat itu lagi.” Ibunya mengelus rambut Vlad. “Kemarin Dokter mau kurangin do
MESKI lemah, tapi dia terkekeh. “Kamu sama siapa ke sini?” tanyanya masih lemah. Aku masih membungkuk, membiarkan tangannya membelai wajahku sementara tanganku juga bermain di wajahnya. “Aku dijemput mereka semua.” “Kamu tuh aku harus sekarat dulu ya baru kamu ke sini? Telat dikit kamu beneran datang ke kuburan aku.” “VLAD!” Mendesis tapi berteriak. “Kamu sama siapa ke sini?” tanyanya mengabaikan teriakan histerisku. Aku berkeryit kening mendengar pertanyaan itu. “Sama siapa? Sendirilah. Aku habis bagi rapot.” Dia terkekeh lemah lagi. “Bagi rapot lagi ya.” Dia tersenyum, aku mengangguk. Ada kenangan di momen itu. “Mana Papa?” “Ya?” Ayahnya mendekat. “Ck. Bukan Papa. Papanya Anna.” “Eh, kenapa nyariin Papa?” Aku bertanya berkeryit dahi. “Marry me. Now.” “Hah?” “Perjanjiannya kamu yang datang. Lalu kita nikah.” “Astaga, kambing bandot, b*ngs*t!” Erlan mendadak bersuara. “Lu napas aja pakai selang, mau nikah sekarang. Memang kuat, Sat?” “Nikah dulu baru kawin, Nyong. Gue
DI sanalah Vlad terbaring. Aku terpaku di kaki ranjang. Wajahnya pucat dan tirus, bibirnya kering dan tubuhnya kurus dengan selang infus dan oksigen. Kakiku makin lemah, aku ingin berlari memeluknya, tapi aku hanya bisa terpaku berdiri di kaki ranjang. “Bangunkan dia, Anna,” bisik Ibu Vienna yang membuatku langsung menoleh dengan pandangan heran. Kenapa harus mengganggu tidurnya? “Vlad kenapa, Bu?” Ibu Vienna mendesah dan menyusut lendir di hidungnya. “Kurang lebih dua atau tiga minggu lalu Bunda lihat dia gelisah sekali. Tapi dia nggak mau ngomong apa-apa. Cuma dia makin gila kerja. Kadang Bunda sampai di flatnya jam sepuluh dia belum pulang, Bunda susul ke kantornya dia masih sibuk banget.” Tangannya bergerak menyelusup ke balik selimut memijat kaki Vlad. “Mas, kakinya dingin lagi…” Dia nyaris merengek. Aku hanya bisa mencengkeram tepi ranjang sampai berbuku putih. Ayahnya langsung memberikan minyak kayu putih, menuangkan ke tangan istrinya yang gesit membalurkan sambil memijat
JAM berapa ini? tanyaku dalam hati sambil melirik pergelangan tangan. Fyuhh… hampir tengah hari. Tapi masih ada satu kolom belum terisi di daftar hadir. Kubuka ponsel dan chat paling atas menampilkan nama orang yang kutunggu. Bunda Rania VIII-1, 2025 : Maaf, Bu Anna, sebentar lagi ya. Bunda Rania VIII-2, 2025 : Saya baru keluar kantor. Savannah Gayatri : Baik, Bunda. Santai aja. Savannah Gayatri : Saya masih di kelas kok. Savannah Gayatri : Hati-hati di jalan. Fyuh… Masih di kantor. Itu bisa berarti tiga puluh menit sampai satu jam lagi. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Tanpa sadar aku menoleh ke arah lapangan. Sekarang, setiap momen pembagian rapot, selalu saja ada saat aku melirik ke lapangan itu. Mengingat saat empat tahun lalu saat dia berdiri di sana lalu datang mengacak-acak semuanya. Hatiku, dan hidupku. Seharusnya aku tidak perlu mengingat momen itu. Atau… aku boleh mengingat, tapi jangan berharap dia tiba-tiba datang. Bukankah dia su
SEKOLAH hiruk pikuk hari ini. Tenpat parkir penuh sampai ke lapangan upacara bahkan memakan badan jalan. Petugas keamanan dan tukang parkir dadakan sibuk mengatur kendaraan yang keluar masuk dan mencari celah parkir. Wajah-wajah cemas bercampur dengan wajah lega dan bahagia berbaur jadi satu. Anak-anak berkerumun dengan kelompoknya, beberapa berdiri di depan pintu kelas siap merebut rapor dari tangan orangtua. Tak peduli matahari yang semakin terik, kerumunan itu tak berkurang. Vlad dengan outfit formal keluar dari pintu belakang mobil sambil merapikan jas. Mobil itu harus diparkir di badan jalan. Aviator sunglasses melindungi matanya dari matahari sekaligus menyembunyikan arah tatapannya. Dengan langkah santai tapi mantap dia berjalan melewati gerbang. Di tengah lapangan, dia berhenti. Berdiri tegak seperti tongkat penunjuk jam matahari di praktikum IPA anak sekolah dasar. Matanya tertuju ke satu kelas yang masih ramai. Meski lapangan itu ramai dan riuh rendah berbagai suara, tapi s
“TERIMA kasih,” aku berpamit sambil memasukkan uang ke sling bag. Tapi pekerjaan hari ini belum selesai. Lepas berpamit, aku berjalan perlahan menikmati matahari sore yang sangat redup terhalang rinai hujan. Hanya rinai kecil yang tidak akan membuat kulitku basah. Aku malah mendongak menatap langit. Melihat langsung titik-titik air yang jatuh. Terasa lembut di wajah. Aku tersenyum. Ada kenangan akan hujan. Ah, menurutku nyaris semua orang memiliki kenangan atas hujan. Entah kenangan indah atau buruk, kenangan manis atau pahit. Aku? Aku tak tahu hujan berarti apa. Tapi hujan sering mengingatkan aku pada satu sosok— “Bu Anna, ngapain ngelihatin langit?” Sebuah suara menginterupsi lamunanku. Aku menoleh ke sumber suara. Tetanggaku. “Eh, Bu Tedjo. Nggak kok, Bu. Suka aja.” “Mari, Bu Anna,” ujarnya berpamit. “Mari.” Aku melanjutkan langkah kaki. Sepanjang jalan tak putus senyum, sapa, dan salam. Beginilah kehidupan di gang kecil ini. Rumah berdekatan membuat penghuninya dekat. Saling
VLAD sudah mengantongi cukup data Bhaga untuk mulai mencari tahu. Sebenarnya dia ingin mencari tahu semuanya sendiri, tapi Bagas benar, jika dia terlalu sering ada di sekitar Bhaga, orang akan lebih mudah curiga. Sebenarnya Bagas mau Vlad terima jadi saja, tapi Vlad tidak mau. Menurut Vlad, ada banyak hal yang tidak bisa orang lain dapatkan. Harus dia yang ke sana melihat keseharian Bhaga. Dari sana dia bahkan bisa membaca ekspresi dan intonasi Bhaga. Akhirnya Bagas menyerah. Dia menyerahkan data sampai di titik di mana Bhaga biasa berkumpul dengan teman-temannya. Anak nongkrong. Vlad sudah terbiasa menjadi anak nongkrong. Seharusnya ini bukan hal yang sulit. Sejauh ini, yang dia rasa sulit adalah mencari alasan kenapa sampai dia ada begitu jauh dari pusat kegiatan masyarakat. *** Dan di sanalah dia sekarang. Di sebuah warung makan sangat sederhana sehingga bisa dibilang hanya berupa bedeng. Dari info yang dia terima, Bhaga paling sering nongkrong di sini. Masih jam sepuluh ketika