ANNA tentu sudah melupakan ucapan asal bunyi yang Vlad lontarkan di kantin sampai dia tersedak kuah mi instan. Tepatnya tidak melupakan, tapi mengabaikan. Apalagi ketika dia melihat Vlad bersikap biasa saja setelah berkata seperti itu. Setelah mengucapkan itu Vlad memang tidak terkekeh mengesalkan sambil berkata ‘tapi bohooonnnggg’, dia hanya diam sambil menatap Anna. Tapi justru diamnya itu yang menakuti Anna.
Cerita itu sudah berlalu dua minggu lalu. Pagi ini Anna kembali mengisi kelas Vlad. Ketika dia masuk, kelas masih ribut dan Vlad duduk di meja. Melihat gurunya datang, yang lain langsung berlarian ke tempatnya masing-masing sementara Vlad sangat santai turun dari meja lalu berdiri bersandar di meja itu.
“Kita lagi bahas perpisahan, Bu. Ada ide nggak?” tanyanya.
“Memang kamu mau lulus tahun ini, Vlad?” Pertanyaan Anna dijawab oleh koor tawa teman sekelas.
“Kayaknya sih dia sudah bosan di sini, Bu. Tadi dia bilang mau pakai seragam abu-abu.” Itu suara Bima si ketua kelas.
“Ah, percuma ganti warna seragam kalau kelakuan nggak berubah.”
“Ih, Ibu kalau ngomong nge-jleb banget loh.” Ganti suara gadis yang terdengar. Itu Ratih si bendahara kelas.
“Mungkin dia malu, Bu, pakai seragam biru. Apalagi kalu sampai lima tahun.” Masih suara gadis. Itu Nita si bukan siapa-siapa di kelas. Dalam artian, tidak ada jabatan dia pegang di kelas. Tapi dia pengurus OSIS tahun lalu.
“Zaman dulu iya, seragam biru bikin yang cowok malu karena celana pendek, sekarang sudah sama-sama celana panjang.” Anna mulai bersuara setelah kepalanya menoleh ke sana ke mari mengikuti arah suara. “Yang berbulu nggak perlu malu, yang semulus kaki meja juga santai aja.” Kelas kembali riuh dengan bahak. Anna mulai bersuara setelah kepalanya terpental-pental ke sana ke mari mengikuti arah suara.
“Ih, kenapa sih pada begitu sama Bang Vlad. Dia serius mau lulus kok nggak ada yang percaya?” Suara lembut mencicit terdengar jelas nada kecewa di dalamnya. Itu Tiara yang—
“Ecieee… Dek Tiara belain Bang Vlad kesayangan loh…”
“Biar gimana kan dia lebih senior.”
“Eh, Tiara, lu aja yang panggil dia bang. Gue mah ogah. Lagian memang Vlad mau dituakan? Memang dia berniat jadi leluhur di sekolah ini?”
“Vlad, Tiara tuh nunggu lu tembak.”
“Apaan sih?” Muka Tiara mendadak memerah. Tapi ucapan penyangkalannya tentu tidak bisa menyembunyikan fakta, bahwa gadis itu ada hati pada Vlad.
“Ti, panggil mas coba deh. Lebih mesra loh dari abang.”
Kelas semakin riuh. Anna mengambil penggaris lalu memukul papan tulis. Setelah beberapa kali ketukan, kelas kembali kepadanya.
“Sudah. Urusan Vlad mau pakai seragam apa biar jadi urusannya. Dia kalau ada maunya dia kejar sendiri kok. Siapa yang bisa paksa seorang Vladimir? Termasuk urusan Tiara.” Vlad berdiri dengan tangan bersedekap sambil menatapku. Lalu perlahan dia duduk.
“Rencana perpisahan gimana? Mau di sekolah apa di luar? Indoor apa outdoor?”
“OUTDOOR…”
“Weitsz… sabar, Boss. Saya nggak akan nentang kalian. Nggak usah pakai urat jawabnya.” Anna memundurkan bahunya sebagai gesture terkejut. Membuat yang lain terkekeh dengan antusiasme mereka sendiri. “Mau ke mana?”
“Itu dia, Bu. Belum ada ide.”
“Lha tadi bahas apa?”
“Dana.”
“Kenapa? Biasanya kan kalian patungan.”
“Bang Vlad usul nyari dana sendiri biar lebih berasa gregetnya, Bu.” Dari penyebutan nama, semua langsung tahu siapa yang menjawab itu.
“Gimana?”
“Ya kita bisa cari sumbangan.” Kali ini Vlad bersuara.
“Ke orangtua?” Anna berdecak. “Nggak usah ngomong. Sepanjang hayat kalian kan kalian mengandalkan beasiswa mampap. Apalagi urusan perpisahan.”
“Makanya kali ini kita mau cari dana sendiri.” Vlad berbicara dengan tekanan.
“Gimana caranya?”
“Ya itu yang lagi diomongin.”
“Cari sumbangan?” tanya Anna.
“Suruh aja Vlad minta ke bokapnya. Beres dah semua,” usul Fajri.
“Gue mau cari dana biar nggak perlu minta ke bokap.” Vlad menatap Fajri sangat tajam. “Dan gue mau lu semua juga nggak usah minta ke bokap.”
Anna tersenyum.
“Ajak kelas lain. Kalian kan lima kelas. Yang lain setuju nggak. Kalau saya sih setuju aja. Saya yakin kalian bisa.” Anna tersenyum sambil mengedarkan pandangan ke seluruh kelas. “Iya nggak, Vlad?” tanyanya sambil menatap Vlad.
Vlad hanya mengangguk satu kali.
***
Atas provokasi Vlad mereka membentuk tim inti yang terdiri dari perwakilan tiap kelas. Tapi tim ini benar-benar spesial. Vlad memilih anak-anak dengan kriteria khusus. Yang terkenal dengan kenakalannya. Lalu dia menamakan tim ini sebagai Gerombolan Siberat. Baru terbentuk saja banyak guru yang ketar ketir dengan sepak terjangnya. Dari namanya saja sudah memunculkan bayangan kerusuhan. Dan mengumpulkan anak-anak nakal, fyuhhh… entah apa yang akan terjadi. Guru-guru sampai mengadakan meeting informal membahas ini. Berhubung Vlad ketua gerombolan terpaksa Bu Ros sebagai wali kelas yang maju pertama kali mencari tahu. Itu keputusan sidang guru.
“Bu,” panggil Anna ketika sisa mereka berdua di ruang guru.
“Ya?”
“Setau saya, Vlad mau cari dana sendiri untuk perpisahan. Biar gratis.”
“Tadi kenapa kamu nggak ngomong.”
“Ya ampun, Bu… siapa sih saya? Guru magang, belum sebulan pula.”
“Ya nggak gitu, Na. Kalau kamu memang tau ya ngomong aja.”
“Saya mau ngomong ke Ibu dulu. Biar gimana Ibu kan walasnya Vlad, tutor saya juga.” Anna tidak mau lancang mendahului pembimbingnya.
Bu Ros tersenyum.
“Apa yang kamu tau?”
“Vlad nggak mau ambil pengurus kelas, karena mereka sibuk. Dan dia butuh tim yang urat malunya sudah putus.”
“Hah?” Bu Ros sampai mendelik maksimal. “Mau ngapain mereka?”
“Saya belum tau, Bu. Tapi ya tau sendiri Vlad gimana.”
“Kamu bisa cari tau?”
“Saya usahakan, Bu. Nggak bisa janji, tapi saya akan lapor setiap ada info baru.”
“Hhmm…”
“Paling nggak, kita kasih kesempatan mereka dulu, Bu. Jangan belum apa-apa kita sudah nge-judge mereka akan ngerusuh.”
“Saya sih oke aja kasih kesempatan, tapi apa dulu yang mau mereka kerjakan? Masa kita izinin kalau mereka mau ngebegal?”
“Ya nggak segitunya lah, Bu.”
“Eh, jangan salah. Mereka kasih nama grup aja sudah begitu. Isinya memang anak-anak yang butuh perhatian khusus.”
“Saya akan tanya Vlad. Kalau ada hal-hal mencurigakan saya akan langsung lapor Ibu.”
“Oke. Saya serahkan urusan ini ke kamu ya. Oke?”
“Oke, Bu.”
***
Vlad masih Vlad yang sama. Yang sering terlambat sampai ketinggalan jam pelajaran pertama dan sering bolos di tengah hari. Yang sering menguap untuk menunjukkan kebosanannya pada materi. Yang bahkan sering menelungkupkan kepalanya ke meja. Tapi yang membuat guru tidak berkutik adalah ketika Vlad disuruh maju dan mengerjakan soal, nyaris seluruh soal dia bisa kerjakan. Jika tidak bisa, Vlad akan menerima saja hukumannya. Entah berdiri di pojok kelas atau apa pun itu. Guru seperti kehabisan akal menghukum anak ini.
Anna masih mencari waktu berbicara santai dengan Vlad. Sampai akhirnya waktu itu datang. Anna melihat Vlad di warung agak jauh dari sekolah. Melihat Vlad, Anna langsung duduk di depannya hingga membuat Vlad sedikit berjengit.
“Bolos?”
“Yah, ketauan deh.” Vlad berpura-pura menunjukkan wajah menyesal. “Kok baru datang? Dari mana?”
“Dari kampus.”
Vlad hanya memajukan bibirnya membentuk huruf o.
“Kamu sudah tanya bendahara belum berapa dana yang dibutuhin?”
“Belum.”
“Tanya dulu dong. Kan angka itu yang kamu mau cari.” Anna mengambil segelas air mineral di depannya. “Besar loh itu.”
“Tau dari mana besar?”
“Outdoor dan nginap. Kamu harus sewa villa. Apa kamu mau pakai villa kamu sendiri?”
“Nggak bakal.”
“Tanya dulu bendahara butuh dana berapa.”
“Oke.”
“Lalu kamu mau ngapain buat cari dana?”
“Jualan.”
“Jualan apa?”
“Narkoba.”
Lagi-lagi Anna tersedak sampai menyemburkan isi muluttnya ke depan.
***
LIBUR kali ini sangat menjemukan. Terasa sangat lama. Baru kali ini aku ingin libur segera selesai lalu aku bisa kembali sibuk mengajar. Aku berharap libur berdua dengan Bhaga tapi jangankan berdua, ditelepon saja dia sulit. Dia memang tetap menerima teleponku, tapi dia tidak akan bersuara, maka yang kudengar hanya suara pengisi materi yang sedang menjelaskan. Atau memang itu suara dia sendiri, tapi dia yang sedang bertanya atau sedang berbicara serius dengan rekannya tentang materi training atau pekerjaannya atau apa pun itu yang berarti dia sedang sibuk dan tidak bisa diganggu,Aku sudah bermaksud menyusulnya ke sana, tapi jika jadwalnya sepadat itu, aku akan tetap akan menghabiskan liburku sendiri saja. Aku berpikir mungkin lebih baik aku menyusul Bhaga dan menjauh dari Vlad. Tapi, apa susahnya seorang Vlad menyusul? Hanya Singapura pula. Dan kenapa aku merasa menyusul Bhaga berarti melarikan diri dari Vlad? Apalagi dengan jadwal Bhaga yang sepadat itu sangat sulit buatku
MATAHARI masih cukup menyengat. Tapi atap dari kain terpal berwarna biru yang sudah lusuh cukup ampuh menahan panasnya. Di bawah pelindung ala kadarnya itu berkumpul sepuluh siswa yang sedang asyik merokok. Semuanya duduk tak beraturan dengan berbagai gaya.“Sebenarnya lu mau ngapain sih, Vlad? Kayak nggak ada kerjaan aja nyari duit buat ngegratisin perpisahan. Mending duitnya buat kita sendiri aja,” ujar Candra dengan tone bosan.“Lu nggak bosan main gini-gini aja? Gue bosan. Gue pengin nyoba yang lain.”“Terus ngapain cari duit buat satu sekolah? Lu gila?”“Kalau cuma buat kita senang-senang doang sama sekolah nggak akan diizinkan, Ontohod.” Vlad menoyor kasar dahi Vicenzo.“Dan sejak kapan kita butuh izin sekolah?” ganti yang lain lagi bersuara.“Sejak gue butuh bantuan lu pada buat jadi lebih gila lagi dari sekarang.”“Lu kesambet apa sih, Vlad?
VLAD merebut kunci rumah dari tangan Anna. Dia membuka pintu lalu menarik kunci dari lubang kunci kemudian tanpa merasa perlu diundang masuk dia langsung menerjang masuk dan membanting bokongnya di sofa.Tangannya kasar melepaskan semua isi kunci dari gantungan kunci. Dia mengambil kunci depan lalu mengambil sebuah kunci.“Ini kunci apa?” tanyanya sambil menunjukkan kunci di tangannya.“Kamar,” jawabku sambil tetap berdiri seperti pesakitan di ambang pintu. Pintu rumahku sendiri.Dia melempar kunci itu.“Ini?”“Lemari.”Dia melempar lagi.“Ini?”“Pintu samping.”Masih dengan gerakan kasar, dia menggabungkan dengan kunci yang dia pegang sejak awal. Lalu menyeleksi sisanya. Mengambil kunci pagar dan membuang kunci yang lain. Tiga kunci dia masukkan kembali ke gantungan kunci. Sisanya entah bertebaran ke mana.“Kumpulin kunci-kunci y
KEHIDUPAN di sekolah ini berjalan seperti biasa. Rencana Vlad seperti sudah menguap yang bahkan murid lain pun seperti sudah bosan merundungnya. Mungkin juga karena sejak awal ide itu tidak pernah dianggap serius. Hanya dianggap kehaluan yang hakiki dari murid unik yang selama ini dikenal suka membangkang.Pembahasan soal itu di ruang guru pun tenggelam. Terganti bahasan lain yang dianggap lebih penting di semester genap. Untuk kelas tiga, itu berarti persiapan ujian nasional. Anak seperti Vlad mungkin tidak bermasalah dengan nilai ujian. Tapi melihat kelakuan Vlad yang tidak berubah, guru hanya bisa menarik napas panjang.Tuntutan umum adalah semua anak harus lulus. Apalagi di sekolah swasta seperti ini. Apalagi sekolah ini tergolong sekolah prestisius. Tidak selalu juara tapi namanya wara-wiri di bagian atas daftar. Ada anak yang tidak lulus berarti noda. Ketidaklulusan Vlad tahun lalu adalah hasil rapat panjang dan maraton nyaris semua guru yang terkait dengan kurik
BHAGA sungguh-sungguh membangunkanku untuk menuntaskan hajatnya. Kebutuhan badaniah dan tidak ingin berlama-lama merajuk membuatku bisa mengimbangi permainan Bhaga. Kebersamaan fisik yang membuat pagi pertama Bhaga di rumah tetap hangat bahkan bisa dibilang panas. Serangan fajar membuat pagi menjadi lebih berenergi.“Kamu kayak gini, belagak nggak mau cuti.” Aku berlagak menggerutu sambil mengikat rambut. Ranjang kami kacau berkat pertempuran beberapa babak. Bhaga terkekeh sambil bergelung menguasai selimut.“Mau ke mana?” tanyanya ketika melihatku mengambil pakaian.“Lapar, Bhaga. Memang kamu nggak lapar?” Aku bangun dan dia lagi-lagi terkekeh.“Bangunin kalau sudah matang ya.”“Njih, Ndoro Bhagavad.”Aku tidak pernah berharap Bhaga membantu di dapur. Dia bukan type pria pemasak. Dia sangat payah di dapur. Sambil bersenandung aku menyiapkan semuanya. Nasi goreng spesial, k
DISKUSI singkat Anna dan Vlad berakhir ketika bel tanda jam pelajaran berakhir berbunyi, tanda jam baru akan dimulai. Vlad bisa bergabung dengan teman sekelasnya lagi. Anna memandangi punggung Vlad yang menjauh sambil tersenyum. Semoga otak Vlad kali ini melancarkan aliran ide. Anna masih bertugas di meja piket.Dan hari itu berjalan tanpa ada kejadian lain. Lepas waktu pelajaran terakhir, Anna melaporkan hasil pembicarannya pada Bu Ros yang dibalas dengan anggukan mantap dan senyum lega.Jika kemarin panas begitu menyengat, kali ini langit begitu pekat penuh awan hujan. Anna menengadah ke langit melihat potensi hujan. Ini akan hujan, tapi kapan? Sekolah telah usai, waktunya pulang, dengan langit segelap itu, semua terburu pulang, berharap tak bertemu hujan di jalan.Anna pun sama. Belum ada titik gerimis sama sekali, dia memilih berkendara tanpa jas hujan. Tapi sialnya, di tengah jalan hujan turun. Semua pemotor menepi. Anna pun. Bermaksud memakai jas hujan, di
TERNYATA aku butuh waktu lebih banyak untuk menenangkan diri. Bahkan aku berpikir tidur di sofa saja alih-alih ke kamar dan melihat Bhaga. Mengingat rumah ini hanya mempunyai satu kamar, membuatku semakin ingin segera merenovasi rumah. Dan itu membuatku kembali teringat percakapan yang membuat leherku menggelembung maksimal seperti katak.Tentu Bhaga sudah mendengkur ketika aku masuk kamar. Menarik napas panjang, aku merasa sangat-sangat jengah. Aku duduk di tepi ranjang, lalu merebahkan tubuh membelakangi Bhaga. Mungkin merasa ranjang bergerak, tidurnya terusik. Dari cermin meja rias di hadapanku, kulihat Bhaga bergerak memunggungiku. Aku semakin merasa jemu. Bukan libur seperti ini yang aku mau habiskan berdua dengannya. Tidak ada dalam rencana liburku untuk tidur saling memunggungi.Kutunggu dia untuk menghangatkan ranjang kami dan memulai proyek perkembangbiakan generatif tapi beginilah yang kudapat.Ting.Bunyi notifikasi ponsel di nakas mengganggu l
SETELAH membersihkan diri, Vlad membanting tubuhnya ke ranjang. Kekesalannya selalu meluap jika melihat ibu sambungnya berkumpul dengan teman-temannya. Dia tahu, ibu kandungnya bukan sosok ibu yang sempurna, tapi jika perempuan itu tak datang, tentu keluarganya mash utuh. Vlad masih kecil waktu itu. Umurnya masih sepuluh tahun. Yang dia lihat dan dengar memang kedua orangtuanya sering ribut. Tapi dia tidak mengerti apa yang mereka ributkan. Keduanya orang yang sibuk. Papanya pengusaha sukses dan mamanya merintis karir di law firm terkenal. Vlad heran, keduanya jarang bertemu tapi ketika berada dalam satu ruang yang sama, ada saja yang mereka ributkan. Sampai akhirnya sang ibu pergi, yang dia tahu ke luar negeri melanjutkan sekolah. Hanya berbilang bulan, perempuan itu datang dan menjadi ratu di rumahnya. Papanya menyuruh dia memanggil Bunda. Tapi Vlad jarang memanggil ibu sambungnya. Ketika dia terpaksa berinteraksi, Vlad sering dengan tidak sopannya berkamu
AKU tentu hanya sebentar di pos jaga. Aku berlari kembali ke Vlad. Keringat sebesar biji jagung mengucur di wajahnya. Wajahnya kembali pucat menahan sakit. Kubantu dia melepas jas, dasi, kemeja, dan kaus dalam. Tubuhnya kuyup. Kupakaikan pakaian khusus pasien. Perawat sudah datang dan langsung memeriksanya. Tentu mereka melaporkan pada dokter. “Matilah aku, Anna. Pasti dokter marahin aku.” Dia berkata sambil meringis. “Kamu dari kapan tahan sakit begini sih.” Dia sudah terbaring pasrah ketika perawat memasang selang.” “Sesak ya, Pak?” tanya perawat. Dia mengangguk. “Tapi nggak terlalu.” Namun dia pasrah dipasangi selang lain. “Malam pertama, keringetan, kamu buka baju aku buru-buru, sesak napas.” “Vlad!” Sungguh, kali ini aku ingin menyentil bibirnya. “Pas amat ya deskripsinya sama kondisi aku.” Aku tahu dia masih menahan sakit. Dia meringis, tapi matanya bercahaya. Membuatku bisa sedikit bernapas lega dan tertawa kecil. Perawat sudah berpamit sambil mengulum senyum. “Anna, c
OTW ke sana. Aku tak tahu di mana meeting room rumah sakit ini. Yang pasti masih di gedung ini, dan itu berarti mereka tidak perlu waktu lama untuk sampai di sini. Mama dan Mbak Rethi merapikan penampilanku yang sudah rapi. Apa yang harus dirapikan? Make up dan gaunku begitu sederhana. Tak lama terdengar suara pintu diketuk yang tidak menunggu jawaban dari dalam pintu itu langsung terbuka. Aku berdiri menunggu. Dan di sanalah dia, Vladimir Darmawangsa, berjalan perlahan diiringi dua ayah di samping kiri dan kanannya. Aku menggigit bibir bawah, ketika kulihat dia seperti orang tertatih menahan sakit. Namun dia tetap berjalan ke arahku dengan tatapan tak lekang mengunci mataku. Lima langkah lagi, kuangkat tanganku, menyuruhnya berhenti. “Kamu masih kuat, Vlad?” tanyaku. Dia mengangguk. “Ada yang aku mau omongin dulu.” Dia mendesah. “Savannah, jangan bikin aku semaput.” “Nggak, Vlad, aku harus ngomong sekarang mumpung masih bisa batal.” Suara tarikan napas terdengar dan ruangan sem
“I’LL take the risk. I’ll marry you, Vlad. Now.” Dua wajah langsung menoleh ke arahku. Vlad meski lemah, dia tersenyum. Ibunya, meski tegar, dia menangis. Dia merangkum wajah anaknya lalu mengecup dahi Vlad setelahnya dia menatap mata Vlad, begitu lama sambil tersenyum dan menangis. “Bunda, tolong urus semuanya ya,” ujarnya pelan. Ibunya mengangguk lalu menggenggam tanganku. “Terima kasih, Anna.” Lalu dia keluar meninggalkan kami berdua saja. Kami berdua lagi. Kulihat wajahnya, memang makin pias, tapi matanya… ibunya benar, matanya menyala meski tatapannya lemah. “Terima kasih, Anna,” lirih di sela desis meringis. Aku baru ingin bersuara tapi ketukan di pintu kembali terdengar. Kali ini ibunya dan seorang perawat yang langsung menyiapkan jarum suntik. “Sudah lebih lama jeda sakitnya ya, Pak.” “Ini belum terlalu mengganggu kok. Nanti aja. Saya butuh sadar sekarang.” “Vlad, Bunda senang kamu nggak minta obat itu lagi.” Ibunya mengelus rambut Vlad. “Kemarin Dokter mau kurangin do
MESKI lemah, tapi dia terkekeh. “Kamu sama siapa ke sini?” tanyanya masih lemah. Aku masih membungkuk, membiarkan tangannya membelai wajahku sementara tanganku juga bermain di wajahnya. “Aku dijemput mereka semua.” “Kamu tuh aku harus sekarat dulu ya baru kamu ke sini? Telat dikit kamu beneran datang ke kuburan aku.” “VLAD!” Mendesis tapi berteriak. “Kamu sama siapa ke sini?” tanyanya mengabaikan teriakan histerisku. Aku berkeryit kening mendengar pertanyaan itu. “Sama siapa? Sendirilah. Aku habis bagi rapot.” Dia terkekeh lemah lagi. “Bagi rapot lagi ya.” Dia tersenyum, aku mengangguk. Ada kenangan di momen itu. “Mana Papa?” “Ya?” Ayahnya mendekat. “Ck. Bukan Papa. Papanya Anna.” “Eh, kenapa nyariin Papa?” Aku bertanya berkeryit dahi. “Marry me. Now.” “Hah?” “Perjanjiannya kamu yang datang. Lalu kita nikah.” “Astaga, kambing bandot, b*ngs*t!” Erlan mendadak bersuara. “Lu napas aja pakai selang, mau nikah sekarang. Memang kuat, Sat?” “Nikah dulu baru kawin, Nyong. Gue
DI sanalah Vlad terbaring. Aku terpaku di kaki ranjang. Wajahnya pucat dan tirus, bibirnya kering dan tubuhnya kurus dengan selang infus dan oksigen. Kakiku makin lemah, aku ingin berlari memeluknya, tapi aku hanya bisa terpaku berdiri di kaki ranjang. “Bangunkan dia, Anna,” bisik Ibu Vienna yang membuatku langsung menoleh dengan pandangan heran. Kenapa harus mengganggu tidurnya? “Vlad kenapa, Bu?” Ibu Vienna mendesah dan menyusut lendir di hidungnya. “Kurang lebih dua atau tiga minggu lalu Bunda lihat dia gelisah sekali. Tapi dia nggak mau ngomong apa-apa. Cuma dia makin gila kerja. Kadang Bunda sampai di flatnya jam sepuluh dia belum pulang, Bunda susul ke kantornya dia masih sibuk banget.” Tangannya bergerak menyelusup ke balik selimut memijat kaki Vlad. “Mas, kakinya dingin lagi…” Dia nyaris merengek. Aku hanya bisa mencengkeram tepi ranjang sampai berbuku putih. Ayahnya langsung memberikan minyak kayu putih, menuangkan ke tangan istrinya yang gesit membalurkan sambil memijat
JAM berapa ini? tanyaku dalam hati sambil melirik pergelangan tangan. Fyuhh… hampir tengah hari. Tapi masih ada satu kolom belum terisi di daftar hadir. Kubuka ponsel dan chat paling atas menampilkan nama orang yang kutunggu. Bunda Rania VIII-1, 2025 : Maaf, Bu Anna, sebentar lagi ya. Bunda Rania VIII-2, 2025 : Saya baru keluar kantor. Savannah Gayatri : Baik, Bunda. Santai aja. Savannah Gayatri : Saya masih di kelas kok. Savannah Gayatri : Hati-hati di jalan. Fyuh… Masih di kantor. Itu bisa berarti tiga puluh menit sampai satu jam lagi. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Tanpa sadar aku menoleh ke arah lapangan. Sekarang, setiap momen pembagian rapot, selalu saja ada saat aku melirik ke lapangan itu. Mengingat saat empat tahun lalu saat dia berdiri di sana lalu datang mengacak-acak semuanya. Hatiku, dan hidupku. Seharusnya aku tidak perlu mengingat momen itu. Atau… aku boleh mengingat, tapi jangan berharap dia tiba-tiba datang. Bukankah dia su
SEKOLAH hiruk pikuk hari ini. Tenpat parkir penuh sampai ke lapangan upacara bahkan memakan badan jalan. Petugas keamanan dan tukang parkir dadakan sibuk mengatur kendaraan yang keluar masuk dan mencari celah parkir. Wajah-wajah cemas bercampur dengan wajah lega dan bahagia berbaur jadi satu. Anak-anak berkerumun dengan kelompoknya, beberapa berdiri di depan pintu kelas siap merebut rapor dari tangan orangtua. Tak peduli matahari yang semakin terik, kerumunan itu tak berkurang. Vlad dengan outfit formal keluar dari pintu belakang mobil sambil merapikan jas. Mobil itu harus diparkir di badan jalan. Aviator sunglasses melindungi matanya dari matahari sekaligus menyembunyikan arah tatapannya. Dengan langkah santai tapi mantap dia berjalan melewati gerbang. Di tengah lapangan, dia berhenti. Berdiri tegak seperti tongkat penunjuk jam matahari di praktikum IPA anak sekolah dasar. Matanya tertuju ke satu kelas yang masih ramai. Meski lapangan itu ramai dan riuh rendah berbagai suara, tapi s
“TERIMA kasih,” aku berpamit sambil memasukkan uang ke sling bag. Tapi pekerjaan hari ini belum selesai. Lepas berpamit, aku berjalan perlahan menikmati matahari sore yang sangat redup terhalang rinai hujan. Hanya rinai kecil yang tidak akan membuat kulitku basah. Aku malah mendongak menatap langit. Melihat langsung titik-titik air yang jatuh. Terasa lembut di wajah. Aku tersenyum. Ada kenangan akan hujan. Ah, menurutku nyaris semua orang memiliki kenangan atas hujan. Entah kenangan indah atau buruk, kenangan manis atau pahit. Aku? Aku tak tahu hujan berarti apa. Tapi hujan sering mengingatkan aku pada satu sosok— “Bu Anna, ngapain ngelihatin langit?” Sebuah suara menginterupsi lamunanku. Aku menoleh ke sumber suara. Tetanggaku. “Eh, Bu Tedjo. Nggak kok, Bu. Suka aja.” “Mari, Bu Anna,” ujarnya berpamit. “Mari.” Aku melanjutkan langkah kaki. Sepanjang jalan tak putus senyum, sapa, dan salam. Beginilah kehidupan di gang kecil ini. Rumah berdekatan membuat penghuninya dekat. Saling
VLAD sudah mengantongi cukup data Bhaga untuk mulai mencari tahu. Sebenarnya dia ingin mencari tahu semuanya sendiri, tapi Bagas benar, jika dia terlalu sering ada di sekitar Bhaga, orang akan lebih mudah curiga. Sebenarnya Bagas mau Vlad terima jadi saja, tapi Vlad tidak mau. Menurut Vlad, ada banyak hal yang tidak bisa orang lain dapatkan. Harus dia yang ke sana melihat keseharian Bhaga. Dari sana dia bahkan bisa membaca ekspresi dan intonasi Bhaga. Akhirnya Bagas menyerah. Dia menyerahkan data sampai di titik di mana Bhaga biasa berkumpul dengan teman-temannya. Anak nongkrong. Vlad sudah terbiasa menjadi anak nongkrong. Seharusnya ini bukan hal yang sulit. Sejauh ini, yang dia rasa sulit adalah mencari alasan kenapa sampai dia ada begitu jauh dari pusat kegiatan masyarakat. *** Dan di sanalah dia sekarang. Di sebuah warung makan sangat sederhana sehingga bisa dibilang hanya berupa bedeng. Dari info yang dia terima, Bhaga paling sering nongkrong di sini. Masih jam sepuluh ketika