Home / Romansa / Sembilan Tahun Lagi / 9, Melarikan Diri

Share

9, Melarikan Diri

last update Last Updated: 2022-01-16 21:46:37

LIBUR kali ini sangat menjemukan. Terasa sangat lama. Baru kali ini aku ingin libur segera selesai lalu aku bisa kembali sibuk mengajar. Aku berharap libur berdua dengan Bhaga tapi jangankan berdua, ditelepon saja dia sulit. Dia memang tetap menerima teleponku, tapi dia tidak akan bersuara, maka yang kudengar hanya suara pengisi materi yang sedang menjelaskan. Atau memang itu suara dia sendiri, tapi dia yang sedang bertanya atau sedang berbicara serius dengan rekannya tentang materi training atau pekerjaannya atau apa pun itu yang berarti dia sedang sibuk dan tidak bisa diganggu,

Aku sudah bermaksud menyusulnya ke sana, tapi jika jadwalnya sepadat itu, aku akan tetap akan menghabiskan liburku sendiri saja. Aku berpikir mungkin lebih baik aku menyusul Bhaga dan menjauh dari Vlad. Tapi, apa susahnya seorang Vlad menyusul? Hanya Singapura pula. Dan kenapa aku merasa menyusul Bhaga berarti melarikan diri dari Vlad? Apalagi dengan jadwal Bhaga yang sepadat itu sangat sulit buatku memamerkan kemesraan kami pada Vlad.

Mesra?

Lagi-lagi aku menarik napas. Bhaga jauh dari itu. Mungkin terbawa pekerjaannya yang lebih sering berhubungan dengan alat berat dan pekerja kasar, dia seperti kehilangan sisi humanis apalagi romantis. Semuanya serba efiesien. Untuk apa candle light dinner? Kita tidak butuh lilin jika tidak ada lalat. Dan di resto semewah itu tidak akan ada lalat. Kita butuh lilin di warung nasi pinggir jalan. Candle light dinner? Di warung nasi. Mungkin seperti itu analagi keefisienan Bhaga.

Ting

Kulirik ponsel di samping. Pop up chat mengatakan itu dari Vlad.

Vlad : Aku kirim lunch. Makan ya.

Kuabaikan.

Tak lama ponsel itu berdering. Vlad yang tak sabar menunggu balasan chat biasanya akan menelepon.

“Coba tadi kamu ke sini aja. daripada bengong terus di rumah. Aku lagi di grand opening resto. Aku nggak bisa antar Makanannya enak-enak, aku kirim sedikit-dikit aja biar kamu cobain. Nanti bilang ya, yang mana yang kamu suka.”

“Makasih. Nggak usah repot-repot.”

“Bhaga belum nelepon?”

“Apaan sih, Vlad?”

Apa dia memata-matai ponselku juga?

“Tebakanku benar kan?”

Hah?

Cuma menebak?

“Nanti malam aku ke sana.”

“Jangan, Vlad.” Aku menjawab cepat. “Vlad, tolong. Aku nggak enak sama tetangga.” Aku tinggal sendirin di sini. Tak elok seorang perempuan bersuami menerima lelaki lain saat suaminya tidak ada di rumah.

“Aku cuma mau temani kamu, Savannah. Kamu bisa mati bosan di rumah terus. Sudah mau seminggu.”

“Aku nggak bosan kok.”

“Guru itu digugu dan ditiru. Jangan kasih contoh yang nggak baik. Bohong itu nggak baik.

Aku berdecak. Inti kalimat ada di akhir. Kenapa harus sepanjang itu dan menyerempet profesiku?

“Ya sudah, kalau nggak mau aku ke sana, aku kirim supir jemput kamu ya? Kita jalan-jalan.”

“Nggak mau!”

“Savannah, kamu tau kan kalau urat malu aku nggak ada?” Dia diam menjeda seperti menunggu jawabanku. “Jangan sampai aku bikin kamu malu sama tetangga ya,” lanjutnya lagi mengancamku. Mengancam?

Antara jengkel, marah, dan ingin menangis. Ya Tuhan, kenapa nasibku seperti ini.

“Nggak usah dandan, kamu selalu cantik di mata aku.” Dan sambungan pun terputus.

Kulempar ponsel ke samping, ingin kubanting tapi, ah… lalu kubenamkan wajahku ke bantal.

“BHAGAAAA… PULANG SIH CEPETAN….” Teriakanku teredam bantal.

***

Setelah puas berteriak di dalam bantal, aku bergegas bersiap. Mandi ala kadarnya lalu mencari outfit casual. Semua kukerjakan tergesa. Setelah siap, kusambar kunci mobil lalu aku pergi. Pergi sebelum Vlad datang.

Tak ada tujuan, aku terdampar di mall. Tapi aku merasa jengah. Kepalaku penuh, aku hanya ingin diam dan merenung. Setelah bosan dan pegal berputar tak ada tujuan, aku terdampar di pusat kota. Sudah malam. Aku berjalan menyusuri trotoar yang lapang dan cantik. Sampai suara live musik menyedot perhatianku. Musik Tepi Barat. Kucari tempat duduk. Lalu aku duduk bersama yang lain. Kubiarkan telinga ini menikmati musik tapi isi kepalaku entah ada di mana.

Kulirik ponsel berkali-kali. Aku menunggu chat dari Bhaga ketika nomor Vlad sudah kublokir. Tapi chat yang kukirim ketika aku akan pergi hanya dibalas singkat. Dan tidak ada pesan lain yang menyusul.

Aku ingin menceritakan tentang Vlad pada Bhaga. Tapi menceritakan kisah ini tentu harus menunggu saat yang tepat. Dan bertelepon bukan pilihan bijak. Aku tidak tahu mood dia di sana seperti apa, aku tidak tau dia selelah apa. Aku butuh lelaki yang akan serius mendengarku bercerita, bukan respons-respons singkat dan datar ala Bhaga.

Kulirik jam di tangan. Sudah pukul sembilan. Sudah cukup pelarianku kali ini. Besok pagi blokir baru akan kubuka, malam ini aku ingin tidur tanpa gangguan Vlad.

Di dalam mobil tiba-tiba keinginan mendengar suara Bhaga sangat kuat. Dan tanpa berpikir lain selain bahwa aku istrinya, kutelepon dia.

“Ya, Na?”

“Bhaga, kamu sibuk ya?”

“Aku baru selesai. Baru masuk kamar. Kenapa?”

“Aku ke sana ya?”

“Terserah sih. Tapi aku beneran nggak bisa temenin kamu jalan-jalan.”

“Kan kalau kamu selesai training kita bisa jalan-jalan.”

“Aduh, aku capek banget, Na. Selesai training aku cuma mau istirahat aja.”

“Terus aku nggak ke sana, kamu ke sini juga cuma mau tidur aja?”

“Ya apalagi? Aku capek beneran, Na.”

“Seminggu tidur aja?”

“Ya meniduri kamu juga sih.” Dia terkekeh.

“Bhaga! Aku serius.”

“Kamu mau ke mana sih, Na?”

“Aku mau liburan!”

“Bali aja ya. Cari villa.”

“Lalu kamu tidur di villa?”

“Ya iyalah.”

“Bhaga!”

“Apa sih, Na? Aku seharian belum istirahat, baru mau rebah kamu nelepon marah-marah teriak-teriak. Kuping aku ikutan capek.”

“Ish… ya sudah, tidur sana!” Langsung kumatikan sambungan telepon dan kularikan mobil membelah jalan bersama kejengkelan yang mengisi seluruh celah di hati.

Rumahku jauh di pinggir barat Jakarta. Kami memang tidak memerlukan rumah di tengah kota. Yang kuperlukan rumah yang cukup dekat dengan sekolah tempatku mengajar. Dengan kriteria itu, kami berhasil membeli rumah dengan lahan yang agak berlebih sementara bangunan cukup kecil saja dengan konsep rumah tumbuh.

Setelah lebih sejam mengemudi, akhirnya gerbang perumahan terlihat. Ini perumahan baru, dan selarut ini, semua makin terasa sunyi. Belokan terakhir menuju rumah. Dan ketika berbelok yang tertangkap area lampu mobilku adalah mobil Vlad dan pemiliknya yang berjalan mondar-mandir di sekitar rumahku. Melihatku datang, dia langsung berlari menyambutku. Rambutnya berantakan dengan lengan kemeja yang tergulung asal. Dia membukakan pintu mobil dan membantuku turun. Lalu setengah menyeretku masuk rumah. Aku yang terkejut hanya mengikuti tarikan tangannya saja. Di depan pintu, dia mendorongku kasar, membuat aku bersandar di panel pintu.

“Jangan pernah berani ngeblokir aku lagi, Savannah!” Dia mendesis tepat di wajahku dengan wajah marah dan… cemas.

Ketakutan?

***

Related chapters

  • Sembilan Tahun Lagi   10, Masih Tentang Perpisahan

    MATAHARI masih cukup menyengat. Tapi atap dari kain terpal berwarna biru yang sudah lusuh cukup ampuh menahan panasnya. Di bawah pelindung ala kadarnya itu berkumpul sepuluh siswa yang sedang asyik merokok. Semuanya duduk tak beraturan dengan berbagai gaya.“Sebenarnya lu mau ngapain sih, Vlad? Kayak nggak ada kerjaan aja nyari duit buat ngegratisin perpisahan. Mending duitnya buat kita sendiri aja,” ujar Candra dengan tone bosan.“Lu nggak bosan main gini-gini aja? Gue bosan. Gue pengin nyoba yang lain.”“Terus ngapain cari duit buat satu sekolah? Lu gila?”“Kalau cuma buat kita senang-senang doang sama sekolah nggak akan diizinkan, Ontohod.” Vlad menoyor kasar dahi Vicenzo.“Dan sejak kapan kita butuh izin sekolah?” ganti yang lain lagi bersuara.“Sejak gue butuh bantuan lu pada buat jadi lebih gila lagi dari sekarang.”“Lu kesambet apa sih, Vlad?

    Last Updated : 2022-01-16
  • Sembilan Tahun Lagi   11, Bhaga Pulang

    VLAD merebut kunci rumah dari tangan Anna. Dia membuka pintu lalu menarik kunci dari lubang kunci kemudian tanpa merasa perlu diundang masuk dia langsung menerjang masuk dan membanting bokongnya di sofa.Tangannya kasar melepaskan semua isi kunci dari gantungan kunci. Dia mengambil kunci depan lalu mengambil sebuah kunci.“Ini kunci apa?” tanyanya sambil menunjukkan kunci di tangannya.“Kamar,” jawabku sambil tetap berdiri seperti pesakitan di ambang pintu. Pintu rumahku sendiri.Dia melempar kunci itu.“Ini?”“Lemari.”Dia melempar lagi.“Ini?”“Pintu samping.”Masih dengan gerakan kasar, dia menggabungkan dengan kunci yang dia pegang sejak awal. Lalu menyeleksi sisanya. Mengambil kunci pagar dan membuang kunci yang lain. Tiga kunci dia masukkan kembali ke gantungan kunci. Sisanya entah bertebaran ke mana.“Kumpulin kunci-kunci y

    Last Updated : 2022-01-16
  • Sembilan Tahun Lagi   12, Ide

    KEHIDUPAN di sekolah ini berjalan seperti biasa. Rencana Vlad seperti sudah menguap yang bahkan murid lain pun seperti sudah bosan merundungnya. Mungkin juga karena sejak awal ide itu tidak pernah dianggap serius. Hanya dianggap kehaluan yang hakiki dari murid unik yang selama ini dikenal suka membangkang.Pembahasan soal itu di ruang guru pun tenggelam. Terganti bahasan lain yang dianggap lebih penting di semester genap. Untuk kelas tiga, itu berarti persiapan ujian nasional. Anak seperti Vlad mungkin tidak bermasalah dengan nilai ujian. Tapi melihat kelakuan Vlad yang tidak berubah, guru hanya bisa menarik napas panjang.Tuntutan umum adalah semua anak harus lulus. Apalagi di sekolah swasta seperti ini. Apalagi sekolah ini tergolong sekolah prestisius. Tidak selalu juara tapi namanya wara-wiri di bagian atas daftar. Ada anak yang tidak lulus berarti noda. Ketidaklulusan Vlad tahun lalu adalah hasil rapat panjang dan maraton nyaris semua guru yang terkait dengan kurik

    Last Updated : 2022-01-16
  • Sembilan Tahun Lagi   13, Diskusi

    BHAGA sungguh-sungguh membangunkanku untuk menuntaskan hajatnya. Kebutuhan badaniah dan tidak ingin berlama-lama merajuk membuatku bisa mengimbangi permainan Bhaga. Kebersamaan fisik yang membuat pagi pertama Bhaga di rumah tetap hangat bahkan bisa dibilang panas. Serangan fajar membuat pagi menjadi lebih berenergi.“Kamu kayak gini, belagak nggak mau cuti.” Aku berlagak menggerutu sambil mengikat rambut. Ranjang kami kacau berkat pertempuran beberapa babak. Bhaga terkekeh sambil bergelung menguasai selimut.“Mau ke mana?” tanyanya ketika melihatku mengambil pakaian.“Lapar, Bhaga. Memang kamu nggak lapar?” Aku bangun dan dia lagi-lagi terkekeh.“Bangunin kalau sudah matang ya.”“Njih, Ndoro Bhagavad.”Aku tidak pernah berharap Bhaga membantu di dapur. Dia bukan type pria pemasak. Dia sangat payah di dapur. Sambil bersenandung aku menyiapkan semuanya. Nasi goreng spesial, k

    Last Updated : 2022-01-16
  • Sembilan Tahun Lagi   14, Dua Cerita di Hari Berhujan

    DISKUSI singkat Anna dan Vlad berakhir ketika bel tanda jam pelajaran berakhir berbunyi, tanda jam baru akan dimulai. Vlad bisa bergabung dengan teman sekelasnya lagi. Anna memandangi punggung Vlad yang menjauh sambil tersenyum. Semoga otak Vlad kali ini melancarkan aliran ide. Anna masih bertugas di meja piket.Dan hari itu berjalan tanpa ada kejadian lain. Lepas waktu pelajaran terakhir, Anna melaporkan hasil pembicarannya pada Bu Ros yang dibalas dengan anggukan mantap dan senyum lega.Jika kemarin panas begitu menyengat, kali ini langit begitu pekat penuh awan hujan. Anna menengadah ke langit melihat potensi hujan. Ini akan hujan, tapi kapan? Sekolah telah usai, waktunya pulang, dengan langit segelap itu, semua terburu pulang, berharap tak bertemu hujan di jalan.Anna pun sama. Belum ada titik gerimis sama sekali, dia memilih berkendara tanpa jas hujan. Tapi sialnya, di tengah jalan hujan turun. Semua pemotor menepi. Anna pun. Bermaksud memakai jas hujan, di

    Last Updated : 2022-01-16
  • Sembilan Tahun Lagi   15, Pusing

    TERNYATA aku butuh waktu lebih banyak untuk menenangkan diri. Bahkan aku berpikir tidur di sofa saja alih-alih ke kamar dan melihat Bhaga. Mengingat rumah ini hanya mempunyai satu kamar, membuatku semakin ingin segera merenovasi rumah. Dan itu membuatku kembali teringat percakapan yang membuat leherku menggelembung maksimal seperti katak.Tentu Bhaga sudah mendengkur ketika aku masuk kamar. Menarik napas panjang, aku merasa sangat-sangat jengah. Aku duduk di tepi ranjang, lalu merebahkan tubuh membelakangi Bhaga. Mungkin merasa ranjang bergerak, tidurnya terusik. Dari cermin meja rias di hadapanku, kulihat Bhaga bergerak memunggungiku. Aku semakin merasa jemu. Bukan libur seperti ini yang aku mau habiskan berdua dengannya. Tidak ada dalam rencana liburku untuk tidur saling memunggungi.Kutunggu dia untuk menghangatkan ranjang kami dan memulai proyek perkembangbiakan generatif tapi beginilah yang kudapat.Ting.Bunyi notifikasi ponsel di nakas mengganggu l

    Last Updated : 2022-01-16
  • Sembilan Tahun Lagi   16, Dua Pilihan

    SETELAH membersihkan diri, Vlad membanting tubuhnya ke ranjang. Kekesalannya selalu meluap jika melihat ibu sambungnya berkumpul dengan teman-temannya. Dia tahu, ibu kandungnya bukan sosok ibu yang sempurna, tapi jika perempuan itu tak datang, tentu keluarganya mash utuh. Vlad masih kecil waktu itu. Umurnya masih sepuluh tahun. Yang dia lihat dan dengar memang kedua orangtuanya sering ribut. Tapi dia tidak mengerti apa yang mereka ributkan. Keduanya orang yang sibuk. Papanya pengusaha sukses dan mamanya merintis karir di law firm terkenal. Vlad heran, keduanya jarang bertemu tapi ketika berada dalam satu ruang yang sama, ada saja yang mereka ributkan. Sampai akhirnya sang ibu pergi, yang dia tahu ke luar negeri melanjutkan sekolah. Hanya berbilang bulan, perempuan itu datang dan menjadi ratu di rumahnya. Papanya menyuruh dia memanggil Bunda. Tapi Vlad jarang memanggil ibu sambungnya. Ketika dia terpaksa berinteraksi, Vlad sering dengan tidak sopannya berkamu

    Last Updated : 2022-02-14
  • Sembilan Tahun Lagi   17, Menyesal atau Bersyukur

    VLAD menjemputku di rumah. Aku yang sudah menunggu di ruang tamu melihatnya datang dari jendela. Wajahnya berseri ketika turun dari mobil. Tanpa menunggu dia mengetuk pintu, aku langsung keluar. Tapi ketika dia melihatku, ekspresinya langsung berubah. Senyumnya hilang dan wajahnya berubah datar. Aku tanpa dibantu langsung naik dan memutup pintu mobil. Vlad pun sama. Sejurus dia terdiam lalu langsung memutar kemudi. Dia tetap diam sepanjang jalan. Aku pun diam tidak bertanya tujuan. Seakan pasrah saja dibawa Vlad ke mana pun. Sesekali kudengar dia menarik napas panjang atau mengembus kasar. Kurasa dia terlalu diam dan lebih cocok disebut melamun. “Kita mau ke mana?” tanyaku tiba-tiba setelah menyadari Vlad semakin jauh dalam lautan lamunannya. “Hah?” “Kita sudah lewat jalan ini tadi,” jelasku sambil menunjuk sebuag gedung. Dia menyugar rambutnya sambil menarik napas kasar. Aku mendiamkan saja sambil tetap menoleh ke arahnya. Ada yang merisaukan

    Last Updated : 2022-02-15

Latest chapter

  • Sembilan Tahun Lagi   122, [END] Malam Pertama

    AKU tentu hanya sebentar di pos jaga. Aku berlari kembali ke Vlad. Keringat sebesar biji jagung mengucur di wajahnya. Wajahnya kembali pucat menahan sakit. Kubantu dia melepas jas, dasi, kemeja, dan kaus dalam. Tubuhnya kuyup. Kupakaikan pakaian khusus pasien. Perawat sudah datang dan langsung memeriksanya. Tentu mereka melaporkan pada dokter. “Matilah aku, Anna. Pasti dokter marahin aku.” Dia berkata sambil meringis. “Kamu dari kapan tahan sakit begini sih.” Dia sudah terbaring pasrah ketika perawat memasang selang.” “Sesak ya, Pak?” tanya perawat. Dia mengangguk. “Tapi nggak terlalu.” Namun dia pasrah dipasangi selang lain. “Malam pertama, keringetan, kamu buka baju aku buru-buru, sesak napas.” “Vlad!” Sungguh, kali ini aku ingin menyentil bibirnya. “Pas amat ya deskripsinya sama kondisi aku.” Aku tahu dia masih menahan sakit. Dia meringis, tapi matanya bercahaya. Membuatku bisa sedikit bernapas lega dan tertawa kecil. Perawat sudah berpamit sambil mengulum senyum. “Anna, c

  • Sembilan Tahun Lagi   121, Get Married

    OTW ke sana. Aku tak tahu di mana meeting room rumah sakit ini. Yang pasti masih di gedung ini, dan itu berarti mereka tidak perlu waktu lama untuk sampai di sini. Mama dan Mbak Rethi merapikan penampilanku yang sudah rapi. Apa yang harus dirapikan? Make up dan gaunku begitu sederhana. Tak lama terdengar suara pintu diketuk yang tidak menunggu jawaban dari dalam pintu itu langsung terbuka. Aku berdiri menunggu. Dan di sanalah dia, Vladimir Darmawangsa, berjalan perlahan diiringi dua ayah di samping kiri dan kanannya. Aku menggigit bibir bawah, ketika kulihat dia seperti orang tertatih menahan sakit. Namun dia tetap berjalan ke arahku dengan tatapan tak lekang mengunci mataku. Lima langkah lagi, kuangkat tanganku, menyuruhnya berhenti. “Kamu masih kuat, Vlad?” tanyaku. Dia mengangguk. “Ada yang aku mau omongin dulu.” Dia mendesah. “Savannah, jangan bikin aku semaput.” “Nggak, Vlad, aku harus ngomong sekarang mumpung masih bisa batal.” Suara tarikan napas terdengar dan ruangan sem

  • Sembilan Tahun Lagi   120, In A Hurry

    “I’LL take the risk. I’ll marry you, Vlad. Now.” Dua wajah langsung menoleh ke arahku. Vlad meski lemah, dia tersenyum. Ibunya, meski tegar, dia menangis. Dia merangkum wajah anaknya lalu mengecup dahi Vlad setelahnya dia menatap mata Vlad, begitu lama sambil tersenyum dan menangis. “Bunda, tolong urus semuanya ya,” ujarnya pelan. Ibunya mengangguk lalu menggenggam tanganku. “Terima kasih, Anna.” Lalu dia keluar meninggalkan kami berdua saja. Kami berdua lagi. Kulihat wajahnya, memang makin pias, tapi matanya… ibunya benar, matanya menyala meski tatapannya lemah. “Terima kasih, Anna,” lirih di sela desis meringis. Aku baru ingin bersuara tapi ketukan di pintu kembali terdengar. Kali ini ibunya dan seorang perawat yang langsung menyiapkan jarum suntik. “Sudah lebih lama jeda sakitnya ya, Pak.” “Ini belum terlalu mengganggu kok. Nanti aja. Saya butuh sadar sekarang.” “Vlad, Bunda senang kamu nggak minta obat itu lagi.” Ibunya mengelus rambut Vlad. “Kemarin Dokter mau kurangin do

  • Sembilan Tahun Lagi   119, I’ll Take The Risk.

    MESKI lemah, tapi dia terkekeh. “Kamu sama siapa ke sini?” tanyanya masih lemah. Aku masih membungkuk, membiarkan tangannya membelai wajahku sementara tanganku juga bermain di wajahnya. “Aku dijemput mereka semua.” “Kamu tuh aku harus sekarat dulu ya baru kamu ke sini? Telat dikit kamu beneran datang ke kuburan aku.” “VLAD!” Mendesis tapi berteriak. “Kamu sama siapa ke sini?” tanyanya mengabaikan teriakan histerisku. Aku berkeryit kening mendengar pertanyaan itu. “Sama siapa? Sendirilah. Aku habis bagi rapot.” Dia terkekeh lemah lagi. “Bagi rapot lagi ya.” Dia tersenyum, aku mengangguk. Ada kenangan di momen itu. “Mana Papa?” “Ya?” Ayahnya mendekat. “Ck. Bukan Papa. Papanya Anna.” “Eh, kenapa nyariin Papa?” Aku bertanya berkeryit dahi. “Marry me. Now.” “Hah?” “Perjanjiannya kamu yang datang. Lalu kita nikah.” “Astaga, kambing bandot, b*ngs*t!” Erlan mendadak bersuara. “Lu napas aja pakai selang, mau nikah sekarang. Memang kuat, Sat?” “Nikah dulu baru kawin, Nyong. Gue

  • Sembilan Tahun Lagi   118, Wake Up, Vlad. It’s Me.

    DI sanalah Vlad terbaring. Aku terpaku di kaki ranjang. Wajahnya pucat dan tirus, bibirnya kering dan tubuhnya kurus dengan selang infus dan oksigen. Kakiku makin lemah, aku ingin berlari memeluknya, tapi aku hanya bisa terpaku berdiri di kaki ranjang. “Bangunkan dia, Anna,” bisik Ibu Vienna yang membuatku langsung menoleh dengan pandangan heran. Kenapa harus mengganggu tidurnya? “Vlad kenapa, Bu?” Ibu Vienna mendesah dan menyusut lendir di hidungnya. “Kurang lebih dua atau tiga minggu lalu Bunda lihat dia gelisah sekali. Tapi dia nggak mau ngomong apa-apa. Cuma dia makin gila kerja. Kadang Bunda sampai di flatnya jam sepuluh dia belum pulang, Bunda susul ke kantornya dia masih sibuk banget.” Tangannya bergerak menyelusup ke balik selimut memijat kaki Vlad. “Mas, kakinya dingin lagi…” Dia nyaris merengek. Aku hanya bisa mencengkeram tepi ranjang sampai berbuku putih. Ayahnya langsung memberikan minyak kayu putih, menuangkan ke tangan istrinya yang gesit membalurkan sambil memijat

  • Sembilan Tahun Lagi   117, Do You Love Him?

    JAM berapa ini? tanyaku dalam hati sambil melirik pergelangan tangan. Fyuhh… hampir tengah hari. Tapi masih ada satu kolom belum terisi di daftar hadir. Kubuka ponsel dan chat paling atas menampilkan nama orang yang kutunggu. Bunda Rania VIII-1, 2025 : Maaf, Bu Anna, sebentar lagi ya. Bunda Rania VIII-2, 2025 : Saya baru keluar kantor. Savannah Gayatri : Baik, Bunda. Santai aja. Savannah Gayatri : Saya masih di kelas kok. Savannah Gayatri : Hati-hati di jalan. Fyuh… Masih di kantor. Itu bisa berarti tiga puluh menit sampai satu jam lagi. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Tanpa sadar aku menoleh ke arah lapangan. Sekarang, setiap momen pembagian rapot, selalu saja ada saat aku melirik ke lapangan itu. Mengingat saat empat tahun lalu saat dia berdiri di sana lalu datang mengacak-acak semuanya. Hatiku, dan hidupku. Seharusnya aku tidak perlu mengingat momen itu. Atau… aku boleh mengingat, tapi jangan berharap dia tiba-tiba datang. Bukankah dia su

  • Sembilan Tahun Lagi   116, Di Tahun Ke Sembilan

    SEKOLAH hiruk pikuk hari ini. Tenpat parkir penuh sampai ke lapangan upacara bahkan memakan badan jalan. Petugas keamanan dan tukang parkir dadakan sibuk mengatur kendaraan yang keluar masuk dan mencari celah parkir. Wajah-wajah cemas bercampur dengan wajah lega dan bahagia berbaur jadi satu. Anak-anak berkerumun dengan kelompoknya, beberapa berdiri di depan pintu kelas siap merebut rapor dari tangan orangtua. Tak peduli matahari yang semakin terik, kerumunan itu tak berkurang. Vlad dengan outfit formal keluar dari pintu belakang mobil sambil merapikan jas. Mobil itu harus diparkir di badan jalan. Aviator sunglasses melindungi matanya dari matahari sekaligus menyembunyikan arah tatapannya. Dengan langkah santai tapi mantap dia berjalan melewati gerbang. Di tengah lapangan, dia berhenti. Berdiri tegak seperti tongkat penunjuk jam matahari di praktikum IPA anak sekolah dasar. Matanya tertuju ke satu kelas yang masih ramai. Meski lapangan itu ramai dan riuh rendah berbagai suara, tapi s

  • Sembilan Tahun Lagi   115, (Closure?) Rendezvous

    “TERIMA kasih,” aku berpamit sambil memasukkan uang ke sling bag. Tapi pekerjaan hari ini belum selesai. Lepas berpamit, aku berjalan perlahan menikmati matahari sore yang sangat redup terhalang rinai hujan. Hanya rinai kecil yang tidak akan membuat kulitku basah. Aku malah mendongak menatap langit. Melihat langsung titik-titik air yang jatuh. Terasa lembut di wajah. Aku tersenyum. Ada kenangan akan hujan. Ah, menurutku nyaris semua orang memiliki kenangan atas hujan. Entah kenangan indah atau buruk, kenangan manis atau pahit. Aku? Aku tak tahu hujan berarti apa. Tapi hujan sering mengingatkan aku pada satu sosok— “Bu Anna, ngapain ngelihatin langit?” Sebuah suara menginterupsi lamunanku. Aku menoleh ke sumber suara. Tetanggaku. “Eh, Bu Tedjo. Nggak kok, Bu. Suka aja.” “Mari, Bu Anna,” ujarnya berpamit. “Mari.” Aku melanjutkan langkah kaki. Sepanjang jalan tak putus senyum, sapa, dan salam. Beginilah kehidupan di gang kecil ini. Rumah berdekatan membuat penghuninya dekat. Saling

  • Sembilan Tahun Lagi   114, Strategi

    VLAD sudah mengantongi cukup data Bhaga untuk mulai mencari tahu. Sebenarnya dia ingin mencari tahu semuanya sendiri, tapi Bagas benar, jika dia terlalu sering ada di sekitar Bhaga, orang akan lebih mudah curiga. Sebenarnya Bagas mau Vlad terima jadi saja, tapi Vlad tidak mau. Menurut Vlad, ada banyak hal yang tidak bisa orang lain dapatkan. Harus dia yang ke sana melihat keseharian Bhaga. Dari sana dia bahkan bisa membaca ekspresi dan intonasi Bhaga. Akhirnya Bagas menyerah. Dia menyerahkan data sampai di titik di mana Bhaga biasa berkumpul dengan teman-temannya. Anak nongkrong. Vlad sudah terbiasa menjadi anak nongkrong. Seharusnya ini bukan hal yang sulit. Sejauh ini, yang dia rasa sulit adalah mencari alasan kenapa sampai dia ada begitu jauh dari pusat kegiatan masyarakat. *** Dan di sanalah dia sekarang. Di sebuah warung makan sangat sederhana sehingga bisa dibilang hanya berupa bedeng. Dari info yang dia terima, Bhaga paling sering nongkrong di sini. Masih jam sepuluh ketika

DMCA.com Protection Status