“PAGI, Bu.” Suara bariton membuat Anna mendongak.
Vlad.
Menatap lurus ke mata Anna dengan wajah sedatar papan.
Spontan Anna melirik ke jam tangannya.
“Sudah lewat batas toleransi keterlambatan, Vlad.” Anna menulis nama Vlad di log book dengan keterangan terlambat lengkap dengan berapa menit keterlambatannya itu.
Santai, Vlad duduk di kursi di samping Anna.
“Saya masuk jam kedua aja kalau begitu.” Dia mengambil pulpen yang tadi Anna gunakan untuk menulis lalu membuka halaman terakhir log book piket. Anna membiarkan saja Vlad berulah. Makhluk seperti Vlad memang penguji kesabaran yang nyata.
Anna melihat Vlad menulis—menggambar?—di halaman terakhir itu. Entah akan jadi apa hasil tangannya. Tapi Anna serius menekuri ujung mata pulpen yang bergerak di kertas membentuk pola. Dia sampai bertopang dagu.
Savannah Gayatri.
Itu yang Vlad tulis ala graffiti. Bagian dalam tulisannya masih kosong ketika Vlad menunjukkan hasilnya pada Anna sambil melihat ke arah Anna. Anna hanya tersenyum.
“Bagus,” ujar Anna tapi Vlad melanjutkan kesibukannya, mengabaikan pujian Anna. “Kamu suka menggambar?”
“Suka aja. Daripada nggak ada yang dikerjain.” Anna memberikan lagi buku itu. Mengarahkan posisi ke hadapan Vlad, tanda dia menyuruh Vlad melanjutkan kreasinya.
“Kalau gitu kenapa tadi terlambat? Kalau nggak telat kan bisa belajar. Ada deh yang dikerjain.” Tatapan Anna berpindah dari gerakan tangan Vlad ke wajah. Dia sedang menebar jala. Berusaha memancing Vlad terus mengoceh.
“Ya ini ada juga yang dikerjain kan.” Vlad mengentakkan pulpennya dua kali di bidang kertas yang dia gambar.
“Iya sih. Tapi tadi kenapa terlambat?” tanya Anna berusaha berhati-hati.
“Baru bangun.”
“Kenapa baru bangun?” Dia menjaga suaranya di tone bertanya karena tidak tahu apa-apa.
“Baru tidur pas mau subuh.”
“Nggak sholat dong.”
“Diwakilkan sama jamaah masjid aja.”
Anna terkekeh mendengar jawaban seperti itu.
“Semalam nggak bisa tidur?” tanya Anna lagi.
Vlad mengangguk satu kali tapi tetap serius menghias graffiti. Anna sungguh-sungguh takjub dengan hasil kreasi Vlad. Hanya sebuah pulpen hitam dan sejak di huruf ketiga Anna sudah melihat keindahan karya Vlad.
“Kenapa?”
“Sudah biasa begitu.”
“Oohh… pantas nama kamu banyak di situ.” Anna menunjuk buku di tangan Vlad dengan dagunya. Seandainya buku itu tidak dipakai Vlad menggambar, tentu Anna akan membalik kertas beberapa kali untuk menunjukkan nama Vlad berceceran di mana-mana.
“Kenapa nggak bisa tidur?”
“Sudah biasa.”
“Kenapa biasa nggak bisa tidur?”
Vlad mengedikkan bahunya.
“Mungkin kamu kebanyakan tidur siang. Coba dikurangi tidur siangnya. Biar ritme tubuh kamu normal. Pelan-pelan aja. Sedikit-sedikit. Nanti tidur malamnya maju sendiri deh. Kalau tidurnya maju, otomatis bangunnya maju juga.” Anna melirik ke samping, memastikan Vlad mendengar ocehannya. “Kalau malam nggak tidur kamu ngapain?” Penjelasan tentang tidur tidak perlu diperpanjang. Akan mengesalkan bagi Vlad. Dan Vlad yang kesal belum tentu mau membuka mulut.
“Begadang.”
Anna terkekeh. “Ya masa iya berdagang.”
“Saya mau berdagang.”
“Lalu kenapa nggak jualan?”
“Nggak boleh sama Papa.”
“Lalu? Apa urusannya sama Papa?”
“Nggak ada yang kasih modal.”
“Memang harus pakai modal?”
Vlad menghela napas sambil membanting pulpennya. Sisa tiga huruf terakhir belum dia hias.
“Gimana mau jualan kalau nggak ada modal? Jual diri?” Nada suaranya meninggi.
“Kalau nggak punya modal, ya jual aja dagangan orang. Reseller.”
Vlad terdiam.
“Lanjutin ngehiasnya. Tanggung tuh.” Anna menunjuk dengan dagu. “Kenapa sih kamu mau jualan?” tanyanya lagi ketika Vlad mulai menghias lagi.
“Biar punya duit sendiri, nggak usah minta Papa.”
“Kan enak tinggal minta.”
“Nggak enak. Nggak bebas.”
Cukup.
Jika dia terus bertanya, Vlad justru akan menutup diri. Sudah cukup banyak yang Vlad buka padanya.
“Kamu tau nggak kalau ada komunitas produsen?”
Vlad menggeleng.
“Coba searching deh. Kamu gabung di sana. Kamu tinggal pilih barang yang mau kamu jual. Cari produsennya. Bakal ketemu banyak. Ya kamu pilah pilih sendiri mau kerjasama dengan siapa.”
“Lalu?”
“Ya sudah, kamu jadi reseller aja. Kalau bisa cari yang bisa dropship biar pembeli irit ongkir kamu irit kerjaan.”
“Kalau mau main partai banyak?”
“Biasanya butuh penjamin. Nah, kayaknya kamu bisa deh jual nama Papa kamu. Yang pasti dari awal kamu harus amanah biar track record kamu bersih. Apalagi kalau sampai pakai nama orangtua.”
“Gimana caranya pakai nama Papa?”
“Kasih aja nope Papa, suruh dia cross check. Selama Papa kamu ngakuin kamu anaknya, ya beres.”
Vlad diam.
“Tapi, Vlad, jangan pernah mikir bawa kabur barang orang kerena Papa kamu akan ganti kerugian orang itu ya. Ingat, kamu sedang membangun bisnis kamu sendiri. Kalau nama kamu tercoreng, selamanya kamu susah berbisnis. Bukan begitu cara balas dendam ke Papa. Balas dendam terbaik adalah dengan prestasi.”
“Kok Ibu tau saya dendam sama Papa?” Alisnya sampai berkerut. Anna tersenyum mendengar pertanyaan khas ababil itu. Atau anak kecil? Ababil saja.
Teng teng…
“Sudah, masuk sana.” Anna mengambil buku yang tertindih lengan Vlad. “Ibu ambil ya grafittinya.” Anna tersenyum dan langsung merobek lembar terakhir itu. Vlad menatap dengan mata berbinar. Lalu berbalik pergi menuju kelasnya.
Ah, hanya anak kurang perhatian.
***
Di kelas, Vlad masuk setelah guru pertama keluar. Dia langsung membanting bokongnya di kursi lalu menelungkupkan wajahnya di meja beralas lengan. Guru jam kedua belum masuk.
“Kamu kesiangan lagi, Bang Vlad?” Suara lembut Tiara bertanya sambil membalik tubuh. Dia duduk di depan Vlad. Vlad tidak menjawab meski hanya anggukan. “Mana buku kamu? Nanti aku salinin materi tadi.” Vlad tetap diam. Diam yang membuat Tiara bergerak mengambil tas Vlad lalu membukanya dan mencari sendiri buku yang dia maksud.
“Enak ya jadi orang pintar. Cuma baca catatan aja bisa jawab soal. Aku, sudah dijelaskan pun masih nggak ngerti juga.” Tiara mengoceh sambil merapikan kembali tas Vlad. “Ajarin aku kek, Bang.”
“Malas.”
“Anggap aja belajar sih, Bang. Kamu sekalian baca sekalian ngajarin aku.”
“Gue, Tiara. Gue. Gatel kuping gue dengar aku-aku. And one more thing, Vlad aja. Nggak usah pakai abang. Lu kata gue abang bakso?”
Tiara baru akan membuka mulut ketika guru masuk melewati panel pintu. Membuat dia bergegas kembali ke kursinya sambil memegang buku catatan Vlad. Nyaris semua isi buku itu adalah tulisan tangannya. Jam pertama adalah jam Vlad termalas mendengar ‘ocehan’ guru. Pun dia ada di sana, dia hanya akan menguap, menelungkupkan wajah, atau memandang kosong ke depan. Apa pun selain mendengar penjelasan guru. Tapi begitulah, seperti itu saja bisa membuat Vlad mengerti materi. Tidak bisa dibayangkan jika Vlad belajar serius.
Kali ini Vlad tidak berniat membuat ulah. Dia memang mendengar penjelasan guru sambil lalu. Tapi tidak ada kelakuannya yang memancing emosi guru. Pun wajahnya terpasang datar. Terlalu tenang untuk ukuran Vlad.
***
“CUKUP, Vlad!” Aku mendesis dengan kelancangannya. “Aku nggak suka kamu ngurusin rumah tangga aku sampai sejauh itu.” Tidak akan ada manusia normal mau jika urusan rumah tangganya ditelisik seperti itu. Dia terlalu lancang.“Aku nggak maksud ke sana. Aku cuma memantau kamu aja.”Dia mengucapkan itu tanpa nada bersalah sama sekali. Membuat darahku mendadak menyembur dari seluruh lubang di tubuh akibat tekanan yang terlalu kuat.“Aku nggak perlu dijagain, dipantau, diawasi, atau apa pun itu.” Dia membuka mulut bermaksud membalas ucapanku, tapi langsung kupotong saja, “Lebih baik kamu pergi sekarang. Kamu nggak ada urusan lagi di sini.”Dia hanya mengedikkan bahu lalu menepuk kedua pangkal pahanya kemudian berdiri.“Oke, aku pergi sekarang.” Dia melongok ke luar lalu melambai ke arah orang yang tadi mengendarai motorku dari sekolah. Orang yang dia panggil datang lalu menyera
“ADA pertanyaan?” Anna melirik jam di pergelangan tangan. Masih ada sisa waktu. Dia mengedarkan pandangan ke seluruh kelas. Sedikit lama di Vlad yang ternyata asyik dengan dunianya sendiri. Anna malas memancing keributan, dia membiarkan saja Vlad dengan maunya. Salah seorang murid mengacungkan tangan, bertanya. Perhatiannya teralihkan pada si murid. Waktu sisa terpakai untuk menjawab pertanyaan itu.Bel berbunyi. Ini jam terakhir, seisi kelas langsung gaduh terburu bersiap pulang. Usai doa singkat dan salam berpamit, kelas bubar. Santai, Anna merapikan isi meja. Setelah selesai, dia melihat di kelas masih ada makhluk lain.“Nggak pulang, Vlad?” Vlad masih asyik duduk bersandar dengan kepala tersanggah dua lengannya.“Kenapa mau jadi guru?” tanya Vlad tiba-tiba.“Mau jadi model, muka nggak cantik, mau jadi tentara, tingginya kurang. Mau jadi bos, nggak ada yang mau jadi anak buahnya.” Anna menjawab asal.
KEHADIRAN Vlad mengganggu rencana libur yang sudah kususun rapi. Jika dulu aku bisa abai ketika dia berkata ingin menjadikan aku kekasihnya, saat ini aku tidak bisa lagi abai. Jelas dia kembali sembilan tahun setelah dia mengatakan itu.Vlad brengsek!Layar LED di depanku memang menyala. Tapi blablabla drakor yang kutunggu malah lebih sering terabaikan. Aku terlalu sering melamun. Melamunkan Vlad dan Bhaga.Aku lagi-lagi mendengus dan mengembuskan napas kasar. Cuti Bhaga dan libur sekolah jarang bersamaan. Dan yang jarang itu terjadi sekarang. Well, tidak utuh kami libur bersama, hanya seminggu. Setelah itu Bhaga masih libur tapi aku sudah kembali mengajar. Tapi lihatlah aku sekarang. Hanya tergeletak gelisah sendirian di depan layar TV. Seminggu libur yang beririsan akan Bhaga pakai untuk training, lalu ketika dia ke sini, aku sudah kembali sibuk.Aku kembali menarik napas, lelah.Seperti biasa, jika Bhaga ada di sini, dia yang akan menjadi supirk
ANNA tentu sudah melupakan ucapan asal bunyi yang Vlad lontarkan di kantin sampai dia tersedak kuah mi instan. Tepatnya tidak melupakan, tapi mengabaikan. Apalagi ketika dia melihat Vlad bersikap biasa saja setelah berkata seperti itu. Setelah mengucapkan itu Vlad memang tidak terkekeh mengesalkan sambil berkata ‘tapi bohooonnnggg’, dia hanya diam sambil menatap Anna. Tapi justru diamnya itu yang menakuti Anna.Cerita itu sudah berlalu dua minggu lalu. Pagi ini Anna kembali mengisi kelas Vlad. Ketika dia masuk, kelas masih ribut dan Vlad duduk di meja. Melihat gurunya datang, yang lain langsung berlarian ke tempatnya masing-masing sementara Vlad sangat santai turun dari meja lalu berdiri bersandar di meja itu.“Kita lagi bahas perpisahan, Bu. Ada ide nggak?” tanyanya.“Memang kamu mau lulus tahun ini, Vlad?” Pertanyaan Anna dijawab oleh koor tawa teman sekelas.“Kayaknya sih dia sudah bosan di sini, Bu. Tadi dia b
LIBUR kali ini sangat menjemukan. Terasa sangat lama. Baru kali ini aku ingin libur segera selesai lalu aku bisa kembali sibuk mengajar. Aku berharap libur berdua dengan Bhaga tapi jangankan berdua, ditelepon saja dia sulit. Dia memang tetap menerima teleponku, tapi dia tidak akan bersuara, maka yang kudengar hanya suara pengisi materi yang sedang menjelaskan. Atau memang itu suara dia sendiri, tapi dia yang sedang bertanya atau sedang berbicara serius dengan rekannya tentang materi training atau pekerjaannya atau apa pun itu yang berarti dia sedang sibuk dan tidak bisa diganggu,Aku sudah bermaksud menyusulnya ke sana, tapi jika jadwalnya sepadat itu, aku akan tetap akan menghabiskan liburku sendiri saja. Aku berpikir mungkin lebih baik aku menyusul Bhaga dan menjauh dari Vlad. Tapi, apa susahnya seorang Vlad menyusul? Hanya Singapura pula. Dan kenapa aku merasa menyusul Bhaga berarti melarikan diri dari Vlad? Apalagi dengan jadwal Bhaga yang sepadat itu sangat sulit buatku
MATAHARI masih cukup menyengat. Tapi atap dari kain terpal berwarna biru yang sudah lusuh cukup ampuh menahan panasnya. Di bawah pelindung ala kadarnya itu berkumpul sepuluh siswa yang sedang asyik merokok. Semuanya duduk tak beraturan dengan berbagai gaya.“Sebenarnya lu mau ngapain sih, Vlad? Kayak nggak ada kerjaan aja nyari duit buat ngegratisin perpisahan. Mending duitnya buat kita sendiri aja,” ujar Candra dengan tone bosan.“Lu nggak bosan main gini-gini aja? Gue bosan. Gue pengin nyoba yang lain.”“Terus ngapain cari duit buat satu sekolah? Lu gila?”“Kalau cuma buat kita senang-senang doang sama sekolah nggak akan diizinkan, Ontohod.” Vlad menoyor kasar dahi Vicenzo.“Dan sejak kapan kita butuh izin sekolah?” ganti yang lain lagi bersuara.“Sejak gue butuh bantuan lu pada buat jadi lebih gila lagi dari sekarang.”“Lu kesambet apa sih, Vlad?
VLAD merebut kunci rumah dari tangan Anna. Dia membuka pintu lalu menarik kunci dari lubang kunci kemudian tanpa merasa perlu diundang masuk dia langsung menerjang masuk dan membanting bokongnya di sofa.Tangannya kasar melepaskan semua isi kunci dari gantungan kunci. Dia mengambil kunci depan lalu mengambil sebuah kunci.“Ini kunci apa?” tanyanya sambil menunjukkan kunci di tangannya.“Kamar,” jawabku sambil tetap berdiri seperti pesakitan di ambang pintu. Pintu rumahku sendiri.Dia melempar kunci itu.“Ini?”“Lemari.”Dia melempar lagi.“Ini?”“Pintu samping.”Masih dengan gerakan kasar, dia menggabungkan dengan kunci yang dia pegang sejak awal. Lalu menyeleksi sisanya. Mengambil kunci pagar dan membuang kunci yang lain. Tiga kunci dia masukkan kembali ke gantungan kunci. Sisanya entah bertebaran ke mana.“Kumpulin kunci-kunci y
KEHIDUPAN di sekolah ini berjalan seperti biasa. Rencana Vlad seperti sudah menguap yang bahkan murid lain pun seperti sudah bosan merundungnya. Mungkin juga karena sejak awal ide itu tidak pernah dianggap serius. Hanya dianggap kehaluan yang hakiki dari murid unik yang selama ini dikenal suka membangkang.Pembahasan soal itu di ruang guru pun tenggelam. Terganti bahasan lain yang dianggap lebih penting di semester genap. Untuk kelas tiga, itu berarti persiapan ujian nasional. Anak seperti Vlad mungkin tidak bermasalah dengan nilai ujian. Tapi melihat kelakuan Vlad yang tidak berubah, guru hanya bisa menarik napas panjang.Tuntutan umum adalah semua anak harus lulus. Apalagi di sekolah swasta seperti ini. Apalagi sekolah ini tergolong sekolah prestisius. Tidak selalu juara tapi namanya wara-wiri di bagian atas daftar. Ada anak yang tidak lulus berarti noda. Ketidaklulusan Vlad tahun lalu adalah hasil rapat panjang dan maraton nyaris semua guru yang terkait dengan kurik
AKU tentu hanya sebentar di pos jaga. Aku berlari kembali ke Vlad. Keringat sebesar biji jagung mengucur di wajahnya. Wajahnya kembali pucat menahan sakit. Kubantu dia melepas jas, dasi, kemeja, dan kaus dalam. Tubuhnya kuyup. Kupakaikan pakaian khusus pasien. Perawat sudah datang dan langsung memeriksanya. Tentu mereka melaporkan pada dokter. “Matilah aku, Anna. Pasti dokter marahin aku.” Dia berkata sambil meringis. “Kamu dari kapan tahan sakit begini sih.” Dia sudah terbaring pasrah ketika perawat memasang selang.” “Sesak ya, Pak?” tanya perawat. Dia mengangguk. “Tapi nggak terlalu.” Namun dia pasrah dipasangi selang lain. “Malam pertama, keringetan, kamu buka baju aku buru-buru, sesak napas.” “Vlad!” Sungguh, kali ini aku ingin menyentil bibirnya. “Pas amat ya deskripsinya sama kondisi aku.” Aku tahu dia masih menahan sakit. Dia meringis, tapi matanya bercahaya. Membuatku bisa sedikit bernapas lega dan tertawa kecil. Perawat sudah berpamit sambil mengulum senyum. “Anna, c
OTW ke sana. Aku tak tahu di mana meeting room rumah sakit ini. Yang pasti masih di gedung ini, dan itu berarti mereka tidak perlu waktu lama untuk sampai di sini. Mama dan Mbak Rethi merapikan penampilanku yang sudah rapi. Apa yang harus dirapikan? Make up dan gaunku begitu sederhana. Tak lama terdengar suara pintu diketuk yang tidak menunggu jawaban dari dalam pintu itu langsung terbuka. Aku berdiri menunggu. Dan di sanalah dia, Vladimir Darmawangsa, berjalan perlahan diiringi dua ayah di samping kiri dan kanannya. Aku menggigit bibir bawah, ketika kulihat dia seperti orang tertatih menahan sakit. Namun dia tetap berjalan ke arahku dengan tatapan tak lekang mengunci mataku. Lima langkah lagi, kuangkat tanganku, menyuruhnya berhenti. “Kamu masih kuat, Vlad?” tanyaku. Dia mengangguk. “Ada yang aku mau omongin dulu.” Dia mendesah. “Savannah, jangan bikin aku semaput.” “Nggak, Vlad, aku harus ngomong sekarang mumpung masih bisa batal.” Suara tarikan napas terdengar dan ruangan sem
“I’LL take the risk. I’ll marry you, Vlad. Now.” Dua wajah langsung menoleh ke arahku. Vlad meski lemah, dia tersenyum. Ibunya, meski tegar, dia menangis. Dia merangkum wajah anaknya lalu mengecup dahi Vlad setelahnya dia menatap mata Vlad, begitu lama sambil tersenyum dan menangis. “Bunda, tolong urus semuanya ya,” ujarnya pelan. Ibunya mengangguk lalu menggenggam tanganku. “Terima kasih, Anna.” Lalu dia keluar meninggalkan kami berdua saja. Kami berdua lagi. Kulihat wajahnya, memang makin pias, tapi matanya… ibunya benar, matanya menyala meski tatapannya lemah. “Terima kasih, Anna,” lirih di sela desis meringis. Aku baru ingin bersuara tapi ketukan di pintu kembali terdengar. Kali ini ibunya dan seorang perawat yang langsung menyiapkan jarum suntik. “Sudah lebih lama jeda sakitnya ya, Pak.” “Ini belum terlalu mengganggu kok. Nanti aja. Saya butuh sadar sekarang.” “Vlad, Bunda senang kamu nggak minta obat itu lagi.” Ibunya mengelus rambut Vlad. “Kemarin Dokter mau kurangin do
MESKI lemah, tapi dia terkekeh. “Kamu sama siapa ke sini?” tanyanya masih lemah. Aku masih membungkuk, membiarkan tangannya membelai wajahku sementara tanganku juga bermain di wajahnya. “Aku dijemput mereka semua.” “Kamu tuh aku harus sekarat dulu ya baru kamu ke sini? Telat dikit kamu beneran datang ke kuburan aku.” “VLAD!” Mendesis tapi berteriak. “Kamu sama siapa ke sini?” tanyanya mengabaikan teriakan histerisku. Aku berkeryit kening mendengar pertanyaan itu. “Sama siapa? Sendirilah. Aku habis bagi rapot.” Dia terkekeh lemah lagi. “Bagi rapot lagi ya.” Dia tersenyum, aku mengangguk. Ada kenangan di momen itu. “Mana Papa?” “Ya?” Ayahnya mendekat. “Ck. Bukan Papa. Papanya Anna.” “Eh, kenapa nyariin Papa?” Aku bertanya berkeryit dahi. “Marry me. Now.” “Hah?” “Perjanjiannya kamu yang datang. Lalu kita nikah.” “Astaga, kambing bandot, b*ngs*t!” Erlan mendadak bersuara. “Lu napas aja pakai selang, mau nikah sekarang. Memang kuat, Sat?” “Nikah dulu baru kawin, Nyong. Gue
DI sanalah Vlad terbaring. Aku terpaku di kaki ranjang. Wajahnya pucat dan tirus, bibirnya kering dan tubuhnya kurus dengan selang infus dan oksigen. Kakiku makin lemah, aku ingin berlari memeluknya, tapi aku hanya bisa terpaku berdiri di kaki ranjang. “Bangunkan dia, Anna,” bisik Ibu Vienna yang membuatku langsung menoleh dengan pandangan heran. Kenapa harus mengganggu tidurnya? “Vlad kenapa, Bu?” Ibu Vienna mendesah dan menyusut lendir di hidungnya. “Kurang lebih dua atau tiga minggu lalu Bunda lihat dia gelisah sekali. Tapi dia nggak mau ngomong apa-apa. Cuma dia makin gila kerja. Kadang Bunda sampai di flatnya jam sepuluh dia belum pulang, Bunda susul ke kantornya dia masih sibuk banget.” Tangannya bergerak menyelusup ke balik selimut memijat kaki Vlad. “Mas, kakinya dingin lagi…” Dia nyaris merengek. Aku hanya bisa mencengkeram tepi ranjang sampai berbuku putih. Ayahnya langsung memberikan minyak kayu putih, menuangkan ke tangan istrinya yang gesit membalurkan sambil memijat
JAM berapa ini? tanyaku dalam hati sambil melirik pergelangan tangan. Fyuhh… hampir tengah hari. Tapi masih ada satu kolom belum terisi di daftar hadir. Kubuka ponsel dan chat paling atas menampilkan nama orang yang kutunggu. Bunda Rania VIII-1, 2025 : Maaf, Bu Anna, sebentar lagi ya. Bunda Rania VIII-2, 2025 : Saya baru keluar kantor. Savannah Gayatri : Baik, Bunda. Santai aja. Savannah Gayatri : Saya masih di kelas kok. Savannah Gayatri : Hati-hati di jalan. Fyuh… Masih di kantor. Itu bisa berarti tiga puluh menit sampai satu jam lagi. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Tanpa sadar aku menoleh ke arah lapangan. Sekarang, setiap momen pembagian rapot, selalu saja ada saat aku melirik ke lapangan itu. Mengingat saat empat tahun lalu saat dia berdiri di sana lalu datang mengacak-acak semuanya. Hatiku, dan hidupku. Seharusnya aku tidak perlu mengingat momen itu. Atau… aku boleh mengingat, tapi jangan berharap dia tiba-tiba datang. Bukankah dia su
SEKOLAH hiruk pikuk hari ini. Tenpat parkir penuh sampai ke lapangan upacara bahkan memakan badan jalan. Petugas keamanan dan tukang parkir dadakan sibuk mengatur kendaraan yang keluar masuk dan mencari celah parkir. Wajah-wajah cemas bercampur dengan wajah lega dan bahagia berbaur jadi satu. Anak-anak berkerumun dengan kelompoknya, beberapa berdiri di depan pintu kelas siap merebut rapor dari tangan orangtua. Tak peduli matahari yang semakin terik, kerumunan itu tak berkurang. Vlad dengan outfit formal keluar dari pintu belakang mobil sambil merapikan jas. Mobil itu harus diparkir di badan jalan. Aviator sunglasses melindungi matanya dari matahari sekaligus menyembunyikan arah tatapannya. Dengan langkah santai tapi mantap dia berjalan melewati gerbang. Di tengah lapangan, dia berhenti. Berdiri tegak seperti tongkat penunjuk jam matahari di praktikum IPA anak sekolah dasar. Matanya tertuju ke satu kelas yang masih ramai. Meski lapangan itu ramai dan riuh rendah berbagai suara, tapi s
“TERIMA kasih,” aku berpamit sambil memasukkan uang ke sling bag. Tapi pekerjaan hari ini belum selesai. Lepas berpamit, aku berjalan perlahan menikmati matahari sore yang sangat redup terhalang rinai hujan. Hanya rinai kecil yang tidak akan membuat kulitku basah. Aku malah mendongak menatap langit. Melihat langsung titik-titik air yang jatuh. Terasa lembut di wajah. Aku tersenyum. Ada kenangan akan hujan. Ah, menurutku nyaris semua orang memiliki kenangan atas hujan. Entah kenangan indah atau buruk, kenangan manis atau pahit. Aku? Aku tak tahu hujan berarti apa. Tapi hujan sering mengingatkan aku pada satu sosok— “Bu Anna, ngapain ngelihatin langit?” Sebuah suara menginterupsi lamunanku. Aku menoleh ke sumber suara. Tetanggaku. “Eh, Bu Tedjo. Nggak kok, Bu. Suka aja.” “Mari, Bu Anna,” ujarnya berpamit. “Mari.” Aku melanjutkan langkah kaki. Sepanjang jalan tak putus senyum, sapa, dan salam. Beginilah kehidupan di gang kecil ini. Rumah berdekatan membuat penghuninya dekat. Saling
VLAD sudah mengantongi cukup data Bhaga untuk mulai mencari tahu. Sebenarnya dia ingin mencari tahu semuanya sendiri, tapi Bagas benar, jika dia terlalu sering ada di sekitar Bhaga, orang akan lebih mudah curiga. Sebenarnya Bagas mau Vlad terima jadi saja, tapi Vlad tidak mau. Menurut Vlad, ada banyak hal yang tidak bisa orang lain dapatkan. Harus dia yang ke sana melihat keseharian Bhaga. Dari sana dia bahkan bisa membaca ekspresi dan intonasi Bhaga. Akhirnya Bagas menyerah. Dia menyerahkan data sampai di titik di mana Bhaga biasa berkumpul dengan teman-temannya. Anak nongkrong. Vlad sudah terbiasa menjadi anak nongkrong. Seharusnya ini bukan hal yang sulit. Sejauh ini, yang dia rasa sulit adalah mencari alasan kenapa sampai dia ada begitu jauh dari pusat kegiatan masyarakat. *** Dan di sanalah dia sekarang. Di sebuah warung makan sangat sederhana sehingga bisa dibilang hanya berupa bedeng. Dari info yang dia terima, Bhaga paling sering nongkrong di sini. Masih jam sepuluh ketika