Beranda / Romansa / Sembilan Tahun Lagi / 3, Lelaki Serba Tahu

Share

3, Lelaki Serba Tahu

Penulis: Sandra Setiawan
last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-16 21:42:16

“KAMU masih ada urusan?”

“Hah?” Aku tergagap mendadak ditanya.

“Masih ada yang mau dikerjain nggak? Aku lihat semua sudah ambil rapot nih.” Matanya bergerak dari atas ke bagian bawah kertas yang dia pegang dengan sebelah tangan.

“Eh, iya. Sudah selesai semua.” Aku masih tergagap. Gagap yang membuat gerakan tanganku terasa kasar tak beraturan ketika mengumpulkan berkas. Aku harus segera pergi dari hadapannya.

“Ya sudah, ayo aku antar pulang.” Dia langsung berdiri, menjulurkan tangannya membantuku berdiri. Gesture yang spontan kusambut dan membuat aku tertarik ke masa sembilan tahun lalu. Tercekat, aku menarik napas lalu terburu menarik napas panjang. Segera kusambar tas sebagai alasan melepaskan pegangan tangannya.

“Eh, aku bawa kendaraan sendiri. Terima kasih, tapi nggak usah diantar.”

“Ck.” Dia berdecak lalu berjalan di sampingku. Terlalu dekat sehingga membuat aku merasa tak nyaman. Aku melirik ke sekitar, memastikan tidak ada mata, mata, dan mata yang bisa menjadi mata-mata lalu menyebarkan berita aneh.

Fyuhh…

Siapalah aku ni.

Kami berjalan melintasi lapangan menuju tempat parkir motor. Aku bergegas menuju motorku dan dia tetap mengikut sedepa di sampingku. Gagapku membuat mencari kunci motor pun menjadi drama. Kunci itu jatuh dan dia yang mengambilnya. Kujulurkan tanganku meminta kunci itu, tapi dia malah menyerahkan pada seseorang yang ternyata sudah bersiap di dekat kami. Tanpa banyak bicara, orang itu mengeluarkan motorku dan aku hanya bisa diam sementara dia bekerja.

“Ayo,” ajaknya lagi.

“Hah?”

“Apa sih dari tadi hah-hah terus?” Dia tidak bisa menutupi suara jengkel dan tak sabarnya. Dan seingatku, dia memang seperti itu. Tak suka menunggu.

Dan tak suka menunggunya itu membuat dia menarikku di siku sampai aku berjengit terkejut. Dia membuka sebuah pintu SUV di sisi penumpang dan dengan gesturenya menyuruhku masuk.

Entah apa yang dia lakukan padaku, aku begitu penurut saat ini. Tanpa banyak kata, aku duduk dan diam saja ketika dia membantu memasang safety belt lalu dia berjalan memutar menuju sisi pengemudi dan tanpa banyak kata langsung mengemudi.

Embusan AC dan suara musik lembut tidak membuatku nyaman. Dudukku terlalu tegang di mobil senyaman ini. Vlad malah mengemudi sangat santai dengan jari mengetuk-ngetuk kemudi seirama musik. Jarak yang biasa kutempuh sendirian kali ini berteman tapi tetap dalam diam. Dia mengemudi begitu santai seakan ini rutenya setiap hari. Semakin mendekati rumah aku semakin terhenyak ketika aku semakin yakin bahwa dia sudah tahu rumahku.

Memasuki gerbang perumahan aku semakin tegang. Dan aku hanya bisa diam ketika dia memarkirkan mobil tepat di depan rumahku.

“Ayo.” Tiba-tiba dia sudah ada di sampingku dengan pintu mobil terbuka. Bahkan dia yang melepas safety belt.

“Hah?” Aku lagi-lagi tergagap. Dan dia lagi-lagi berdecak.

“Mau turun nggak? Apa mau langsung jalan aja?”

“Mau ke mana?” Pertanyaan bodoh.

“Ya kamu mau ke mana? Sudah di depan rumah nggak mau turun.” Dia melepas aviatar sunglasses lalu melempar asal ke dashboard. “Ayo.”

Fyuhhh…

Seakan stok bodoh, terkejut, dan terkesima tidak habis dari diriku, aku terus mempermalukan diri sendiri di depannya. Termasuk ketika aku tidak bisa membuka pintu rumah sendiri dan dia gesit mengambil alih.

“Kamu tuh dari dulu masih aja suka ngumpulin kunci kayak penjaga sekolah begini.” Serenceng kunci itu berisi semua kunci di rumah ini. Termasuk kunci lemari. Dia sudah berhasil membuka pintu dan tanpa diundang dan dipersilakan langsung masuk mendahului pemilik rumah. Aku. “Ngapain sih segala kunci dibawa ke mana-mana? Bikin berat tas aja.” Dia berkata sambil menjatuhkan bokongnya ke kursi tamu.

“Savannah, kamu nggak perlu bawa semua printilan di tas. Kita hidup di era milenial di mana semua kebutuhan kita dijual di pinggir jalan. Kalau pun nggak ada, kita bisa cepat order lalu diantar.” Dia mengambil bungkus rokok dari sakunya, mengambil sebatang, dan santai menyalakan lalu mengembuskan asapnya.

Sementara itu, aku hanya berdiri mematung di depannya.

“Kayak sekarang nih. Aku pegang HP. Kalau kamu nggak ambilin aku minum walau cuma segelas air mineral, ya aku tinggal order aja. Apalagi pin point rumah ini sudah aku save.”

Tergagap, aku bergegas ke dapur menyiapkan segelas sirup. Tuhan, tolong kembalikan kecerdasanku segera. Aku lelah menjadi orang bodoh di depan mantan muridku.

Sambil menyiapkan minuman aku berusah menata hati dan menyiapkan mental. Berjuta pertanyaan hadir dan semua tidak ada jawabannya. Kelebat kibasan memori mengentak menganggu dan semua tentang dia.

“Savannah, kamu bikin apa sih? Lama amat. Freshwater its okay. Nggak usah bikin cocktail. Aku nggak minum alkohol kok.”

“Sebentar,” jawabku sambil mendesah dan memutar bola mata.

“Aku cuma haus, kamu nggak usah masak. Nanti kita order atau keluar aja kalau lapar.”

Astaga.

Manusia ini…

Aku tidak bisa menemukan kata yang cocok. Aku hanya mempercepat gerakanku saja.

“Kok cuma satu? Minum kamu mana? But its okay. Segelas berdua.” Dia langsung menyorongkan gelas ke bibirku.

Thanks God! Kali ini spontanitas mendorong bahuku ke belakang, menolak sodorannya. Dia hanya terkekeh lalu bibirnya langsung ribut menyeruput isi gelas.

Tapi setelahnya sunyi. Dia tidak bersuara lagi. Dia hanya menatap lurus ke arah foto pernikahan kami—aku dan Bhagavad Antares. Caranya melihat membuatku jengah tapi tidak mengubah posisi dudukku di sisi lain kursi yang dia duduki.

Kudengar helaan napas panjang dan tubuhnya merosot turun.

“Kenapa kamu nggak sabar, Savannah? Kenapa kamu nikah? Sekarang aku harus merebut kamu dari Bhaga. Aku nggak mau nyakitin dia. Tapi kalau nggak, aku yang sakit lihat kalian.”

Mendengar itu, tiba-tiba aku siuman dari mantranya.

“Vlad, aku sudah nikah, dan kedatangan kamu nggak akan mengubah itu.”

No, Savannah, aku akan mengubah itu. Dan itu akan berhasil seperti aku berhasil mengubah diriku sendiri.”

Dia seperti berbicara sendiri sambil tetap menatap foto pernikahan kami. Tapi ucapannya membuatku terkekeh meremehkan, dan kekeh itu membuat perhatiannya teralihkan. Dia menoleh dan kali ini dia menatapku tanpa penghalang apa pun dan dengan kenangan yang utuh atas mata itu.

Percayalah, jika kalian berada di posisiku saat ini, kalian pun akan sebodoh aku. Aku berusaha memanggil kembali semua isi otak ini agar bisa menguasai keadaan. Tapi itu sungguh sulit. Keterkejutan yang tidak bisa segera hilang membuatku sulit berpikir.

Tolong bayangkan posisiku saat ini. Bayangkan. Apa yang kau rasa jika ada mantan muridmu tiba-tiba datang setelah sembilan tahun berlalu kemudian langsung berkata akan merebutmu dari suamimu.

“Tapi bagus kalian nggak punya anak. Aku memang bersedia jadi bapak sambung anak kalian, tapi…” Dia mengedikkan bahu. “Aku tahu rasanya jadi anak korban perceraian.”

“Oke, Vlad. Cukup.” Dia semakin berani, aku yang semakin kacau harus segera menghentikan kegilaan ini. “Aku nggak tau gimana caranya kamu bisa tau semua tentang aku termasuk rumah ini termasuk soal anak.” Dia seperti ingin memutus kalimat panjang itu. Terburu aku berkata, “Tapi cukup. Tolong pergi dan jangan ganggu aku. Jangan ganggu kami. Pernikahan kami baik-baik saja.”

Vlad mendengus.

“Nggak usah bohong, Savannah. Kalau kalian baik-baik saja, Bhaga akan pulang setiap cuti ke sini, nggak akan dia ambil lembur ketika cuti. Kalian nggak butuh uang sampai sebegitunya.”

***

Bab terkait

  • Sembilan Tahun Lagi   4. Terlambat

    “PAGI, Bu.” Suara bariton membuat Anna mendongak.Vlad.Menatap lurus ke mata Anna dengan wajah sedatar papan.Spontan Anna melirik ke jam tangannya.“Sudah lewat batas toleransi keterlambatan, Vlad.” Anna menulis nama Vlad di log book dengan keterangan terlambat lengkap dengan berapa menit keterlambatannya itu.Santai, Vlad duduk di kursi di samping Anna.“Saya masuk jam kedua aja kalau begitu.” Dia mengambil pulpen yang tadi Anna gunakan untuk menulis lalu membuka halaman terakhir log book piket. Anna membiarkan saja Vlad berulah. Makhluk seperti Vlad memang penguji kesabaran yang nyata.Anna melihat Vlad menulis—menggambar?—di halaman terakhir itu. Entah akan jadi apa hasil tangannya. Tapi Anna serius menekuri ujung mata pulpen yang bergerak di kertas membentuk pola. Dia sampai bertopang dagu.Savannah Gayatri.Itu yang Vlad tulis ala graffiti. Bagian dalam tulisannya ma

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-16
  • Sembilan Tahun Lagi   5, Tumpeng mini

    “CUKUP, Vlad!” Aku mendesis dengan kelancangannya. “Aku nggak suka kamu ngurusin rumah tangga aku sampai sejauh itu.” Tidak akan ada manusia normal mau jika urusan rumah tangganya ditelisik seperti itu. Dia terlalu lancang.“Aku nggak maksud ke sana. Aku cuma memantau kamu aja.”Dia mengucapkan itu tanpa nada bersalah sama sekali. Membuat darahku mendadak menyembur dari seluruh lubang di tubuh akibat tekanan yang terlalu kuat.“Aku nggak perlu dijagain, dipantau, diawasi, atau apa pun itu.” Dia membuka mulut bermaksud membalas ucapanku, tapi langsung kupotong saja, “Lebih baik kamu pergi sekarang. Kamu nggak ada urusan lagi di sini.”Dia hanya mengedikkan bahu lalu menepuk kedua pangkal pahanya kemudian berdiri.“Oke, aku pergi sekarang.” Dia melongok ke luar lalu melambai ke arah orang yang tadi mengendarai motorku dari sekolah. Orang yang dia panggil datang lalu menyera

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-16
  • Sembilan Tahun Lagi   6, Guru dan Murid

    “ADA pertanyaan?” Anna melirik jam di pergelangan tangan. Masih ada sisa waktu. Dia mengedarkan pandangan ke seluruh kelas. Sedikit lama di Vlad yang ternyata asyik dengan dunianya sendiri. Anna malas memancing keributan, dia membiarkan saja Vlad dengan maunya. Salah seorang murid mengacungkan tangan, bertanya. Perhatiannya teralihkan pada si murid. Waktu sisa terpakai untuk menjawab pertanyaan itu.Bel berbunyi. Ini jam terakhir, seisi kelas langsung gaduh terburu bersiap pulang. Usai doa singkat dan salam berpamit, kelas bubar. Santai, Anna merapikan isi meja. Setelah selesai, dia melihat di kelas masih ada makhluk lain.“Nggak pulang, Vlad?” Vlad masih asyik duduk bersandar dengan kepala tersanggah dua lengannya.“Kenapa mau jadi guru?” tanya Vlad tiba-tiba.“Mau jadi model, muka nggak cantik, mau jadi tentara, tingginya kurang. Mau jadi bos, nggak ada yang mau jadi anak buahnya.” Anna menjawab asal.

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-16
  • Sembilan Tahun Lagi   7, Spy

    KEHADIRAN Vlad mengganggu rencana libur yang sudah kususun rapi. Jika dulu aku bisa abai ketika dia berkata ingin menjadikan aku kekasihnya, saat ini aku tidak bisa lagi abai. Jelas dia kembali sembilan tahun setelah dia mengatakan itu.Vlad brengsek!Layar LED di depanku memang menyala. Tapi blablabla drakor yang kutunggu malah lebih sering terabaikan. Aku terlalu sering melamun. Melamunkan Vlad dan Bhaga.Aku lagi-lagi mendengus dan mengembuskan napas kasar. Cuti Bhaga dan libur sekolah jarang bersamaan. Dan yang jarang itu terjadi sekarang. Well, tidak utuh kami libur bersama, hanya seminggu. Setelah itu Bhaga masih libur tapi aku sudah kembali mengajar. Tapi lihatlah aku sekarang. Hanya tergeletak gelisah sendirian di depan layar TV. Seminggu libur yang beririsan akan Bhaga pakai untuk training, lalu ketika dia ke sini, aku sudah kembali sibuk.Aku kembali menarik napas, lelah.Seperti biasa, jika Bhaga ada di sini, dia yang akan menjadi supirk

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-16
  • Sembilan Tahun Lagi   8, Gerombolan Siberat

    ANNA tentu sudah melupakan ucapan asal bunyi yang Vlad lontarkan di kantin sampai dia tersedak kuah mi instan. Tepatnya tidak melupakan, tapi mengabaikan. Apalagi ketika dia melihat Vlad bersikap biasa saja setelah berkata seperti itu. Setelah mengucapkan itu Vlad memang tidak terkekeh mengesalkan sambil berkata ‘tapi bohooonnnggg’, dia hanya diam sambil menatap Anna. Tapi justru diamnya itu yang menakuti Anna.Cerita itu sudah berlalu dua minggu lalu. Pagi ini Anna kembali mengisi kelas Vlad. Ketika dia masuk, kelas masih ribut dan Vlad duduk di meja. Melihat gurunya datang, yang lain langsung berlarian ke tempatnya masing-masing sementara Vlad sangat santai turun dari meja lalu berdiri bersandar di meja itu.“Kita lagi bahas perpisahan, Bu. Ada ide nggak?” tanyanya.“Memang kamu mau lulus tahun ini, Vlad?” Pertanyaan Anna dijawab oleh koor tawa teman sekelas.“Kayaknya sih dia sudah bosan di sini, Bu. Tadi dia b

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-16
  • Sembilan Tahun Lagi   9, Melarikan Diri

    LIBUR kali ini sangat menjemukan. Terasa sangat lama. Baru kali ini aku ingin libur segera selesai lalu aku bisa kembali sibuk mengajar. Aku berharap libur berdua dengan Bhaga tapi jangankan berdua, ditelepon saja dia sulit. Dia memang tetap menerima teleponku, tapi dia tidak akan bersuara, maka yang kudengar hanya suara pengisi materi yang sedang menjelaskan. Atau memang itu suara dia sendiri, tapi dia yang sedang bertanya atau sedang berbicara serius dengan rekannya tentang materi training atau pekerjaannya atau apa pun itu yang berarti dia sedang sibuk dan tidak bisa diganggu,Aku sudah bermaksud menyusulnya ke sana, tapi jika jadwalnya sepadat itu, aku akan tetap akan menghabiskan liburku sendiri saja. Aku berpikir mungkin lebih baik aku menyusul Bhaga dan menjauh dari Vlad. Tapi, apa susahnya seorang Vlad menyusul? Hanya Singapura pula. Dan kenapa aku merasa menyusul Bhaga berarti melarikan diri dari Vlad? Apalagi dengan jadwal Bhaga yang sepadat itu sangat sulit buatku

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-16
  • Sembilan Tahun Lagi   10, Masih Tentang Perpisahan

    MATAHARI masih cukup menyengat. Tapi atap dari kain terpal berwarna biru yang sudah lusuh cukup ampuh menahan panasnya. Di bawah pelindung ala kadarnya itu berkumpul sepuluh siswa yang sedang asyik merokok. Semuanya duduk tak beraturan dengan berbagai gaya.“Sebenarnya lu mau ngapain sih, Vlad? Kayak nggak ada kerjaan aja nyari duit buat ngegratisin perpisahan. Mending duitnya buat kita sendiri aja,” ujar Candra dengan tone bosan.“Lu nggak bosan main gini-gini aja? Gue bosan. Gue pengin nyoba yang lain.”“Terus ngapain cari duit buat satu sekolah? Lu gila?”“Kalau cuma buat kita senang-senang doang sama sekolah nggak akan diizinkan, Ontohod.” Vlad menoyor kasar dahi Vicenzo.“Dan sejak kapan kita butuh izin sekolah?” ganti yang lain lagi bersuara.“Sejak gue butuh bantuan lu pada buat jadi lebih gila lagi dari sekarang.”“Lu kesambet apa sih, Vlad?

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-16
  • Sembilan Tahun Lagi   11, Bhaga Pulang

    VLAD merebut kunci rumah dari tangan Anna. Dia membuka pintu lalu menarik kunci dari lubang kunci kemudian tanpa merasa perlu diundang masuk dia langsung menerjang masuk dan membanting bokongnya di sofa.Tangannya kasar melepaskan semua isi kunci dari gantungan kunci. Dia mengambil kunci depan lalu mengambil sebuah kunci.“Ini kunci apa?” tanyanya sambil menunjukkan kunci di tangannya.“Kamar,” jawabku sambil tetap berdiri seperti pesakitan di ambang pintu. Pintu rumahku sendiri.Dia melempar kunci itu.“Ini?”“Lemari.”Dia melempar lagi.“Ini?”“Pintu samping.”Masih dengan gerakan kasar, dia menggabungkan dengan kunci yang dia pegang sejak awal. Lalu menyeleksi sisanya. Mengambil kunci pagar dan membuang kunci yang lain. Tiga kunci dia masukkan kembali ke gantungan kunci. Sisanya entah bertebaran ke mana.“Kumpulin kunci-kunci y

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-16

Bab terbaru

  • Sembilan Tahun Lagi   122, [END] Malam Pertama

    AKU tentu hanya sebentar di pos jaga. Aku berlari kembali ke Vlad. Keringat sebesar biji jagung mengucur di wajahnya. Wajahnya kembali pucat menahan sakit. Kubantu dia melepas jas, dasi, kemeja, dan kaus dalam. Tubuhnya kuyup. Kupakaikan pakaian khusus pasien. Perawat sudah datang dan langsung memeriksanya. Tentu mereka melaporkan pada dokter. “Matilah aku, Anna. Pasti dokter marahin aku.” Dia berkata sambil meringis. “Kamu dari kapan tahan sakit begini sih.” Dia sudah terbaring pasrah ketika perawat memasang selang.” “Sesak ya, Pak?” tanya perawat. Dia mengangguk. “Tapi nggak terlalu.” Namun dia pasrah dipasangi selang lain. “Malam pertama, keringetan, kamu buka baju aku buru-buru, sesak napas.” “Vlad!” Sungguh, kali ini aku ingin menyentil bibirnya. “Pas amat ya deskripsinya sama kondisi aku.” Aku tahu dia masih menahan sakit. Dia meringis, tapi matanya bercahaya. Membuatku bisa sedikit bernapas lega dan tertawa kecil. Perawat sudah berpamit sambil mengulum senyum. “Anna, c

  • Sembilan Tahun Lagi   121, Get Married

    OTW ke sana. Aku tak tahu di mana meeting room rumah sakit ini. Yang pasti masih di gedung ini, dan itu berarti mereka tidak perlu waktu lama untuk sampai di sini. Mama dan Mbak Rethi merapikan penampilanku yang sudah rapi. Apa yang harus dirapikan? Make up dan gaunku begitu sederhana. Tak lama terdengar suara pintu diketuk yang tidak menunggu jawaban dari dalam pintu itu langsung terbuka. Aku berdiri menunggu. Dan di sanalah dia, Vladimir Darmawangsa, berjalan perlahan diiringi dua ayah di samping kiri dan kanannya. Aku menggigit bibir bawah, ketika kulihat dia seperti orang tertatih menahan sakit. Namun dia tetap berjalan ke arahku dengan tatapan tak lekang mengunci mataku. Lima langkah lagi, kuangkat tanganku, menyuruhnya berhenti. “Kamu masih kuat, Vlad?” tanyaku. Dia mengangguk. “Ada yang aku mau omongin dulu.” Dia mendesah. “Savannah, jangan bikin aku semaput.” “Nggak, Vlad, aku harus ngomong sekarang mumpung masih bisa batal.” Suara tarikan napas terdengar dan ruangan sem

  • Sembilan Tahun Lagi   120, In A Hurry

    “I’LL take the risk. I’ll marry you, Vlad. Now.” Dua wajah langsung menoleh ke arahku. Vlad meski lemah, dia tersenyum. Ibunya, meski tegar, dia menangis. Dia merangkum wajah anaknya lalu mengecup dahi Vlad setelahnya dia menatap mata Vlad, begitu lama sambil tersenyum dan menangis. “Bunda, tolong urus semuanya ya,” ujarnya pelan. Ibunya mengangguk lalu menggenggam tanganku. “Terima kasih, Anna.” Lalu dia keluar meninggalkan kami berdua saja. Kami berdua lagi. Kulihat wajahnya, memang makin pias, tapi matanya… ibunya benar, matanya menyala meski tatapannya lemah. “Terima kasih, Anna,” lirih di sela desis meringis. Aku baru ingin bersuara tapi ketukan di pintu kembali terdengar. Kali ini ibunya dan seorang perawat yang langsung menyiapkan jarum suntik. “Sudah lebih lama jeda sakitnya ya, Pak.” “Ini belum terlalu mengganggu kok. Nanti aja. Saya butuh sadar sekarang.” “Vlad, Bunda senang kamu nggak minta obat itu lagi.” Ibunya mengelus rambut Vlad. “Kemarin Dokter mau kurangin do

  • Sembilan Tahun Lagi   119, I’ll Take The Risk.

    MESKI lemah, tapi dia terkekeh. “Kamu sama siapa ke sini?” tanyanya masih lemah. Aku masih membungkuk, membiarkan tangannya membelai wajahku sementara tanganku juga bermain di wajahnya. “Aku dijemput mereka semua.” “Kamu tuh aku harus sekarat dulu ya baru kamu ke sini? Telat dikit kamu beneran datang ke kuburan aku.” “VLAD!” Mendesis tapi berteriak. “Kamu sama siapa ke sini?” tanyanya mengabaikan teriakan histerisku. Aku berkeryit kening mendengar pertanyaan itu. “Sama siapa? Sendirilah. Aku habis bagi rapot.” Dia terkekeh lemah lagi. “Bagi rapot lagi ya.” Dia tersenyum, aku mengangguk. Ada kenangan di momen itu. “Mana Papa?” “Ya?” Ayahnya mendekat. “Ck. Bukan Papa. Papanya Anna.” “Eh, kenapa nyariin Papa?” Aku bertanya berkeryit dahi. “Marry me. Now.” “Hah?” “Perjanjiannya kamu yang datang. Lalu kita nikah.” “Astaga, kambing bandot, b*ngs*t!” Erlan mendadak bersuara. “Lu napas aja pakai selang, mau nikah sekarang. Memang kuat, Sat?” “Nikah dulu baru kawin, Nyong. Gue

  • Sembilan Tahun Lagi   118, Wake Up, Vlad. It’s Me.

    DI sanalah Vlad terbaring. Aku terpaku di kaki ranjang. Wajahnya pucat dan tirus, bibirnya kering dan tubuhnya kurus dengan selang infus dan oksigen. Kakiku makin lemah, aku ingin berlari memeluknya, tapi aku hanya bisa terpaku berdiri di kaki ranjang. “Bangunkan dia, Anna,” bisik Ibu Vienna yang membuatku langsung menoleh dengan pandangan heran. Kenapa harus mengganggu tidurnya? “Vlad kenapa, Bu?” Ibu Vienna mendesah dan menyusut lendir di hidungnya. “Kurang lebih dua atau tiga minggu lalu Bunda lihat dia gelisah sekali. Tapi dia nggak mau ngomong apa-apa. Cuma dia makin gila kerja. Kadang Bunda sampai di flatnya jam sepuluh dia belum pulang, Bunda susul ke kantornya dia masih sibuk banget.” Tangannya bergerak menyelusup ke balik selimut memijat kaki Vlad. “Mas, kakinya dingin lagi…” Dia nyaris merengek. Aku hanya bisa mencengkeram tepi ranjang sampai berbuku putih. Ayahnya langsung memberikan minyak kayu putih, menuangkan ke tangan istrinya yang gesit membalurkan sambil memijat

  • Sembilan Tahun Lagi   117, Do You Love Him?

    JAM berapa ini? tanyaku dalam hati sambil melirik pergelangan tangan. Fyuhh… hampir tengah hari. Tapi masih ada satu kolom belum terisi di daftar hadir. Kubuka ponsel dan chat paling atas menampilkan nama orang yang kutunggu. Bunda Rania VIII-1, 2025 : Maaf, Bu Anna, sebentar lagi ya. Bunda Rania VIII-2, 2025 : Saya baru keluar kantor. Savannah Gayatri : Baik, Bunda. Santai aja. Savannah Gayatri : Saya masih di kelas kok. Savannah Gayatri : Hati-hati di jalan. Fyuh… Masih di kantor. Itu bisa berarti tiga puluh menit sampai satu jam lagi. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Tanpa sadar aku menoleh ke arah lapangan. Sekarang, setiap momen pembagian rapot, selalu saja ada saat aku melirik ke lapangan itu. Mengingat saat empat tahun lalu saat dia berdiri di sana lalu datang mengacak-acak semuanya. Hatiku, dan hidupku. Seharusnya aku tidak perlu mengingat momen itu. Atau… aku boleh mengingat, tapi jangan berharap dia tiba-tiba datang. Bukankah dia su

  • Sembilan Tahun Lagi   116, Di Tahun Ke Sembilan

    SEKOLAH hiruk pikuk hari ini. Tenpat parkir penuh sampai ke lapangan upacara bahkan memakan badan jalan. Petugas keamanan dan tukang parkir dadakan sibuk mengatur kendaraan yang keluar masuk dan mencari celah parkir. Wajah-wajah cemas bercampur dengan wajah lega dan bahagia berbaur jadi satu. Anak-anak berkerumun dengan kelompoknya, beberapa berdiri di depan pintu kelas siap merebut rapor dari tangan orangtua. Tak peduli matahari yang semakin terik, kerumunan itu tak berkurang. Vlad dengan outfit formal keluar dari pintu belakang mobil sambil merapikan jas. Mobil itu harus diparkir di badan jalan. Aviator sunglasses melindungi matanya dari matahari sekaligus menyembunyikan arah tatapannya. Dengan langkah santai tapi mantap dia berjalan melewati gerbang. Di tengah lapangan, dia berhenti. Berdiri tegak seperti tongkat penunjuk jam matahari di praktikum IPA anak sekolah dasar. Matanya tertuju ke satu kelas yang masih ramai. Meski lapangan itu ramai dan riuh rendah berbagai suara, tapi s

  • Sembilan Tahun Lagi   115, (Closure?) Rendezvous

    “TERIMA kasih,” aku berpamit sambil memasukkan uang ke sling bag. Tapi pekerjaan hari ini belum selesai. Lepas berpamit, aku berjalan perlahan menikmati matahari sore yang sangat redup terhalang rinai hujan. Hanya rinai kecil yang tidak akan membuat kulitku basah. Aku malah mendongak menatap langit. Melihat langsung titik-titik air yang jatuh. Terasa lembut di wajah. Aku tersenyum. Ada kenangan akan hujan. Ah, menurutku nyaris semua orang memiliki kenangan atas hujan. Entah kenangan indah atau buruk, kenangan manis atau pahit. Aku? Aku tak tahu hujan berarti apa. Tapi hujan sering mengingatkan aku pada satu sosok— “Bu Anna, ngapain ngelihatin langit?” Sebuah suara menginterupsi lamunanku. Aku menoleh ke sumber suara. Tetanggaku. “Eh, Bu Tedjo. Nggak kok, Bu. Suka aja.” “Mari, Bu Anna,” ujarnya berpamit. “Mari.” Aku melanjutkan langkah kaki. Sepanjang jalan tak putus senyum, sapa, dan salam. Beginilah kehidupan di gang kecil ini. Rumah berdekatan membuat penghuninya dekat. Saling

  • Sembilan Tahun Lagi   114, Strategi

    VLAD sudah mengantongi cukup data Bhaga untuk mulai mencari tahu. Sebenarnya dia ingin mencari tahu semuanya sendiri, tapi Bagas benar, jika dia terlalu sering ada di sekitar Bhaga, orang akan lebih mudah curiga. Sebenarnya Bagas mau Vlad terima jadi saja, tapi Vlad tidak mau. Menurut Vlad, ada banyak hal yang tidak bisa orang lain dapatkan. Harus dia yang ke sana melihat keseharian Bhaga. Dari sana dia bahkan bisa membaca ekspresi dan intonasi Bhaga. Akhirnya Bagas menyerah. Dia menyerahkan data sampai di titik di mana Bhaga biasa berkumpul dengan teman-temannya. Anak nongkrong. Vlad sudah terbiasa menjadi anak nongkrong. Seharusnya ini bukan hal yang sulit. Sejauh ini, yang dia rasa sulit adalah mencari alasan kenapa sampai dia ada begitu jauh dari pusat kegiatan masyarakat. *** Dan di sanalah dia sekarang. Di sebuah warung makan sangat sederhana sehingga bisa dibilang hanya berupa bedeng. Dari info yang dia terima, Bhaga paling sering nongkrong di sini. Masih jam sepuluh ketika

DMCA.com Protection Status