"Rindu Sharu, La... kamu rindu enggak?" tanya Bara dengan mode manja. Kini keduanya tengah nonton tv dengan Bara yang mengdungselkan kepalanya diantara perut Laila. Kepalanya terbaring di pangkuan Laila. Sedang Laila mengusap pelan surai rambut Bara. Dia hanya terdiam, enggan menjawab pertanyaan Bara. Bukan enggan hanya saja ia sudah bosan karena sejak kepulangan Sharu kemarin pria itu terus-menerus memelas ingin Sharu. Membuat Laila jengkel sendiri. "La? Sharu bilang mau hidup sama kita kan?" tanya Bara kembali. "Kapan kita akan membawa masalah ini ke pihak hukum? Aku enggak mau Sharu nanti malah ingin hidup dengan Rania! Kalau nanti Sharu sayang Rania? Gimana?""Ya udah kalau dia sayang sama Rania. Dia ibunya, kan?" jawab Laila malas. Mode ketusnya keluar karena bosan mendengar ocehan Sharu. Sharu, Sharu, Sharu! Apa Bara pernah sekali saja berpikir akan masalah istrinya sendiri? Yang mana sedang di ujung tanduk? Bara mana tau kalau jabatan istrinya sebagai seorang pengacara se
"Syam? Bukankah dia...?" Mata Laila melotot terkejut saat ia melihatnya juga. Wajah Ibu Sharu yang ternyata ia kenali. Sangat. Rania melirikkan ekor matanya. "Kau pun? Mengetahuinya Laila?" tanya Rania dengan kening terlipat. Sangat kentara akan penuh keheranan. Laila mengangguk, "Dia Bu Rahayu Ningsih yang pernah aku dan Asyam temui semasa tugas kami. Ya, maksudnya, kami ditugaskan oleh dosen kami untuk mencari asal-muasal tentang Bu Rahayu. Dan memang..." Laila menggantung ucapannya. Terasa ada yang mengganjal saat mengingat kembali masa itu. "Jadi? Sharu itu anak yang sering Bu Rahayu bicarakan Syam?" tanya Laila terkejut. Dia menatap Asyam yang balas menatapnya. Asyam bergeming kemudian mengangguk membenarkan. "Iya. Dan memang kita enggak sadar itu."Laila benar-benar terkejut, tidak percaya bahwa ternyata orang-orang terdekatnya justru saling terhubung tanpa sadar. Rahayu Ningsih, seorang wanita berumur 40 tahun lebih yang memiliki hati selembut kapas. Dia tinggal di sebuah
"Sayang? Lho, sudah pulang ternyata." Bara, pria itu tersenyum lebar melihat sang istri sudah pulang."Non Laila? Mari ke sini. Non mau ikutan?" seru Mbok Eka yang ternyata tengah bersama Bara.Laila tersenyum tipis, ia menghampiri keduanya."Kalian lagi ngapain?" tanya Laila sembari duduk di sebelah Bara.Bara menoleh, matanya mendengkus kala kursi yang Laila duduki berjauhan dengannya. "Sayang, deketin ih! Sini, di samping Mas lebih dekat."Laila terkekeh, dengan segera menggeser kursi tersebut agar lebih dekat dengan Bara."Kami itu lagi bermain permainan stacko uno. Kamu tahu kan?" tanya Bara membuat Laila menoleh."Ohhh, yang enggak boleh jatuh kan?"Bara tertawa pun dengan Mbok Eka."Coba ambil satu, tapi Laila enggak boleh sampai jatuh!" ucap Bara membuat Laila menggeleng."Engga! Laila engga bisa bermain itu Mas! Nanti pas Laila ambil satu, malah semuanya yang jatuh." Laila menggeleng saat menatap benda yang nampak seperti bangunan itu sudah hampir mau jatuh. Permainan yang je
“Mas? Sebenarnya … Laila … Laila yang telah mengambil Sharu lewat Rania saat itu…"“Apa?” tanya Bara dengan mengenyit.“Mas pernah bertanya bukan bahwa Mas ingin tahu siapa dalang yang telah membantu Rania? Sebenarnya … itu Laila sendiri Mas …”“Mas?!” Laila menggeleng saat Bara dengan sigap beranjak dari baringan tidurnya. Ia menggeleng. “Mas, tolong … dengarkan Laila lebih dahulu,” mohon Laila sembari mencekal pergelangan tangan Bara. Nampak rahang Bara mengeras menahan emosi, namun sedetik kemudian ia kembali duduk di tepi ranjang “Jelaskan apa yang kamu maksud Laila … Mas tidak akan pernah menerima sesuatu itu tanpa penjelasan apapun!” ucap Bara terkesan datar. Laila menelan salivanya kasar. Memberanikan diri untuk menatap Bara. “Tolong jangan dulu memotong penjelasan ku ya, Mas?” ucap Laila dengan tangan yang semakin menggenggam tangan Bara. Bara menghela nafas. “Baiklah… katakan."“Mas masih ingat saat Mas memintaku untuk pergi? Saat di mana Mas menyuruhku untuk tidak dat
Laila memarkirkan mobilnya di depan halaman rumah. Kini perasaannya tidak terlalu resah dan cemas karena ia tahu bahwa Bara sangat mencintainya. Iya kan? Apa yang bisa mengalahkan selain cinta itu sendiri?Laila menghela nafas lebih dahulu. Mulai melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam rumah."Assalamu'alaikum?" salam Laila yang ternyata nampak tidak ada siapa-siapa. Ke mana yang lain?Laila mengedarkan pandangannya ke segala penjuru, sepi. Apa mungkin Bara berada di kantor?Ah. Jelas dia di kantor. Kenapa ia melupakan hal itu?Laila terkekeh kecil, segera naik ke atas menuju kamarnya.CeklekPintu terbuka saat Laila masuk, tidak lupa ia menutup pintu itu kembali. Namun terkejutnya ia saat sebuah seruan mengagetkan dirinya."Sudah pulang?"Suara itu, suara suaminya.Laila tersenyum, menyimpan lebih dahulu tasnya di lemari kemudian beralih menuju Bara yang tengah berkutit dengan laptopnya."Sayang...," ucap Laila dengan manja. Dia memeluk leher Bara dari belakang. Mencium beberapa ka
Deg!Laila mendongak saat Bara mengatainya dengan lontaran yang membuat hati Laila mencelos sakit. Derai air mata bahkan tidak mampu membendung tangisnya yang kian luruh. Berjatuhan kian deras tanpa diminta.Sesak. Amat sesak saat suaminya sendiri mengatainya jalang. Bahkan lebih sakit dari ribuan jarum besar yang menusuk tepat direlung hatinya."Bahkan kamu berbohong tentang Sharu yang nyatanya kau sendiri yang melakukannya Laila!!" Dalam keadaan marah Bara mendorong tubuh Laila hingga perempuan itu terhempas membentur tembok. Membuat Laila terjatuh tatkala punggungnya membentur tembok tersebut.Laila meringis, namun tidak mampu menghentikan tangis yang kian berjatuhan semakin deras. Tubuhnya semakin bergetar tatkala hatinya merasakan sakit dan sesak yang amat sakit.Mulutnya terkatup rapat tidak berani menyangkal. Jikapun dia menyangkal akan semuanya pasti Bara tidak akan percaya.Bara kepalang marah, jika Laila lawan pun pria itu akan semakin marah."Keluar dari sini!" Ucapan selan
Laila menutup pintu dengan kasar. Tangisnya tak terbendungi lagi saat ia keluar dari kamar yang terasa sangat menyesakkan. Sakit. Sesak. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menangis untuk saat ini. Hingga dengan kasar ia semakin menyeret koper untuk turun ke bawah. Tidak perduli pada roda koper tersebut yang terbentur pada anak tangga. Yang penting ia harus cepat-cepat keluar dari rumah ini. "Non? Astaghfirullah, non?" Mbok Eka berseru saat melihat majikannya menangis dengan muka memerah. Dia bahkan berlari untuk menghentikan majikannya itu. "Non? Non kenapa?" tanya Mbok Eka dengan khawatir saat ia menahan pergelangan tangan Laila. Laila sontak berhenti, membalikkan badan saat wajah Mbok Eka yang ia dapati. Tidak bisa membendung rasa sesak dan sakitnya seorang diri, dengan sigap Laila memeluk tubuh wanita paruh baya ini. Wanita yang sudah 5 tahun lebih ini ada bersama dengan Laila. Wanita yang sudah Laila anggap seperti ibunya sendiri. Wanita yang selama ini selalu menyemangat
Bugh! Asyam langsung menghajar Bara tepat di rahang pria itu. Hal yang membuat orang-orang di sana terpekik histeris. Berteriak heboh. Bugh! Untuk kedua kalinya mereka dibuat terpekik saat Bara membalas pukulan mengenai rahang Asyam. Asyam mengeram marah, dia kembali menghajar Bara yang mana dengan sigap Bara menahannya. "Tidak tahu malu!" gertak Bara dengan rahang mengeras. Dengan marah ia menghajar kembali Asyam dengan tangannya. "Shh!" Asyam meringis saat sudut bibirnya robek akibat bogeman yang Bara lakukan. Tidak sampai di situ Asyam menendang perut Bara hingga pria itu terjungkal ke belakang. Namun dengan sigap seseorang menahan tubuh Bara, menjadikan dia tidak terjatuh. "Dasar pengecut!!" teriak Asyam dengan menahan amarah. "Apa yang kau lakukan kepada Zahra, ha?!"Bara meringis. Ia terbatuk saat tendangan yang ia dapat mengenai perutnya langsung. "Harusnya kau tidak melakukan itu, SIALAN!" Teriakan Asyam padanya membuat Bara benar-benar marah. Dengan sigap Bara menarik
"Bunda? Di dalam pelut Bunda ini, nanti bakal ada belapa bayi?" tanya anak kecil berumur 3 tahun. Dia Albyshaka Ghibran Arseno, anak pertama Bara dan Laila. Setelah proses yang sempat tertunda akibat kecelakaan dahulu membuat Laila bisa kembali hamil. "Eum, berapa ya ...?" Laila nampak berpikir, jari telunjuknya tersimpan di dagu. "Emangnya kakak maunya berapa?" tanya Laila. Bukannya menjawab Laila malah balik bertanya. "Alby maunya sih satu. Laki-laki lagi! Kalau pelempuan Alby gak mau, pelempuan itu banyak maunya Bunda, telus celewet lagi! Shaka gak mau!" Laila tertawa atas keinginan Alby yang terlewat jujur. "Tapi kalau nanti adik kamu perempuan, gimana? Semuanya kan, sudah kehendak Allah," ucap Laila. "Kehendak itu apa Bunda?" tanya Alby mengerutkan keningnya. Laila yang tengah duduk di kursi taman itu membuat Alby ikut duduk di samping sang Bunda. "Kehendak itu sebuah keinginan, kemauan atau juga bisa harapan. Suatu hal yang tidak bisa kita paksakan kecuali dengan mengikut
Suara tangis bayi menggema di udara, membuat Laila yang tengah membereskan beberapa pakaian harus terhenti. Ah, anaknya sudah bangun ternyata. Dengan segera Laila menuju ranjang, hendak mengambil anaknya namun gerakannya terhenti kala melihat Bara yang tengah tertidur pulas. "Astaghfirullah, di mana bayinya?" Suara tangis itu ada, hanya saja kenapa anaknya tidak terlihat. Namun sedetik kemudian Laila melotot terkejut kala selimut besar malah membungkus bayi tersebut. "Astaghfirullah, anak Bunda ... " Dengan segera Laila menyibak kasar selimut hingga selimut itu menutupi muka Bara yang asik tidur. "Cup, cup, cup. Anak Bunda ternyata udah bangun, iya? Eumm, manisnya ..." ujar Laila yang kini Alby dalam gendongannya. Anak Laila yang bernama Albyshaka itu terhenti dari tangisnya. Dia tersenyum ceria kala sang Bunda terus berceloteh sembari menggoyang-goyangkan badannya ke sana ke mari. Kini usia Alby sudah menginjak 9 bulan, yang mana sudah bisa berceloteh bahasa planet. Terbukti de
"La, Mas mohon ... bertahanlah ..." Tangis Bara kian luruh. Tubuhnya gemetar dengan tatapan mata yang mengarah pada lampu bewarna merah, di mana sang istri berada. "Bara?" Sebuah seruan di belakang sana membuat Bara membalikkan badan hingga melihat Vano berlari ke arahnya. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Vano cemas. Dia berdiri di hadapan Bara, dan bukannya menjawab pertanyaan sang Ayah, Bara dengan segera memeluk tubuh Vano. "Ayah, Bara takut .. Laila---""Kita doakan keselamatan untuk Laila. Insya Allah dia pasti akan baik-baik saja," ucap Vano berusaha menenangkan sang anak. Walau nyatanya dia juga ikut merasakan takut. Tidak bisa dipungkiri, rasa takut itu kian bertambah kala pintu di mana Laila berada terbuka. Membuat Bara dan Vano langsung menatap sang Dokter yang baru keluar. "Dok--?""Siapa wali dari pasien ini?""Saya, saya suaminya Dok? A--ada apa?" tanya Bara berusaha mungkin untuk tenang. Walau faktanya tidak. "Pasien mengalami pendarahan yang cukup fatal. Menja
Dalam remang-remang Laila membuka mata pelan. Masih dalam proses kesadaran, Laila menatap ruangan serba putih itu. Bukan rumah sakit atau ruangan lainnya. Melainkan warna putih yang tidak berbentuk apa-apa. Laila masih dalam keterdiaman, masih merasakan kenyamanan yang baru kali ini ia rasakan. Sebuah kenyamanan yang terasa sejuk nan menentramkan. Sampai saat sebuah suara terdengar membuat lamunan Laila terbuyarkan. "Hah!" Laila beranjak duduk. Nafasnya sedikit memburu. Yang kemudian matanya melirik di sekitar ruangan tersebut. Putih, hanya putih yang Laila tangkap di dalam ruangan ini. "Putri Abi ..."Sebuah seruan membuat Laila kembali menoleh yang mana membuat Laila terbelalak. "Abi?!" pekik Laila dengan segera berlari. Berlari menuju Abinya yang tengah tertawa. Detik berikutnya Laila memeluk Rahman yang sudah lama ini tidak Laila peluk. Ya, setelah 5 tahun lamanya atas kepergian sang Ayah membuat Laila merindukan sosoknya. "Abi, ternyata Abi ada di sini juga? Ya Allah, Laila
Makin besar perut Laila makin besar pula harapan yang selalu Laila nantikan. Ya, akan kelahiran bayi ini yang mungkin sebulan lagi. Kini Laila tengah duduk bersantai di depan TV. Semakin hari dirinya hanya berdiam diri di tempat. Jik tidak paling hanya membereskan rumah dengan menyapu lantai, membantu Mbok Eka. Tidak banyak, namun cukup membuat keringat Laila bercucuran. Kata Uminya hal seperti ini baik untuk Ibu hamil. Karena dengan begitu akan memperlancar dalam melahirkan. Dan tentu, setiap pagi Laila selalu jalan pagi bersama Bara. Hal itu pun katanya memudahkan dalam lahiran.Rumah kini sepi. Bara yang tengah bekerja, Mbok Eka yang pergi berbelanja, dan Pak Imron yang katanya istrinya tengah sakit. Menjadikan dia harus pulang untuk menjenguk. "Ya Allah bosan ..," keluh Laila. Menjadi Ibu hamil terasa serba salah. Duduk begini pegal, duduk begitu sakit, mau duduk seperti apapun rasanya benar-benar tidak nyaman. Derrrtt DerrtttSuara dering ponsel terdengar membuat atensi Laila
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Tidak terasa, usia kandungan Laila sudah naik 8 bulan. Pemeriksaan rutin mingguan sering dilakukan, demi sang bayi yang ingin sehat, apapun akan Bara dan Laila lakukan."Assalamu'alaikum?" Bara baru masuk ke dalam. Laila yang tengah makan buah apel di atas karpet langsung menjawab panggilan sang suami. "Wa'alaikumussalam," jawabnya. Bara tersenyum kala melihat sang istri tengah lesehan di atas karpet. Dengan segera dia ikut lesehan di atas karpet dengan menjatuhkan kepalanya di atas kaki Laila yang diselonjorkan. Sebelum itu Laila mencium punggung tangan Bara yang habis pulang kerja. "Enggak biasanya pulang siang, Mas?" tanya Laila masih sibuk mengupas apel. Sedang Bara sudah mencium perut Laila yang sudah membesar itu."Mas rindu kamu, emang enggak boleh?"Laila terkekeh, "boleh dong sayang, apa sih yang enggak boleh buat kamu? Kamu ngidam aneh aja Laila lakuin!" sindirnya dengan sehalus mungkin. Namun, sang empu malah tertawa mendeng
"Eugh ..." Laila melenguh dalam tidurnya. Matanya merem-melek dengan gerakan pelan. Hingga, kala mata itu terbuka sebuah senyuman terbit di bibir Laila. Wajah suaminya. Ya, di depannya Bara masih tertidur pulas dengan dengkuran yang amat halus. Refleks Laila semakin memeluk Bara dari depan. Mengingat kejadian malam itu membuat Laila merasa lega. Sangat. Walau terasa sakit tapi, dia juga menikmatinya. Pelan, Bara ikut membuka mata. Menarik Laila agar lebih dekat dengannya. Dikecupnya kening Laila dengan begitu lembut. Yang kemudian mengusap lembut rambut sang istri. "Terima kasih ya sayang?" ucap Bara dengan terus menerus mencium kening Laila. Tubuh yang masih polos itu saling melekat hangat. Laila tersenyum. "Makasih juga Mas. Akhirnya, akhirnya Mas Bara nebang Laila," ucapnya parau. Namun, dengan tiba-tiba Bara menarik Laila yang malah sudah menangis. "Hey? Sayang, kenapa nangis?" Dengan sigap Bara menghapus air mata Laila yang jatuh menetes. "Udah, jangan nangis. Harusnya kita
Laila menghela nafas pelan. Dia duduk di tepi ranjang dengan jantung yang deg-deg an. Bagaimana tidak deg-degan, selepas makan Bara berlalu pergi tanpa mengatakan apapun. Entah ke mana, yang pasti Bara pergi setelah makan itu selesai.Dan sekarang Laila harus menunggu sang suami pulang. Apalagi teringat akan Bara yang sudah menginginkan dirinya malam ini. Hal yang jelas membuat Laila deg-degan. Berpikir bahwa haruskah malam ini keduanya melakukan hubungan suami-istri? Apakah malam ini keduanya akan memadu kasih? Tiba-tiba pipi Laila memanas. Memikirkannya saja sudah membuatnya panas-dingin. Tapi, jikapun tidak ... bukankah selama ini inilah yang ia harapkan? Memadu kasih hingga terciptanya sang buah hati? Bukankah ini yang Laila harapkan setelah bertahun-tahun lamanya? Masa dirinya masih belum siap? Tidak! Laila menggeleng. Malam ini harus menjadi malam paling indah untuk keduanya. Terutama untuk Bara, suaminya! Laila beranjak berdiri. Beringusut menuju lemari yang sebelumnya dia
"Alhamdulillah ya Allah, akhirnya ..." Mata Laila berbinar indah kala menatap pemandangan yang belum pernah ia lihat. Di mana ia dan sang suami sudah berada di Turki. Perjalanan dari Indonesia ke Turki membutuhkan waktu sekitar 4 jam. Yang mana waktu antara Indonesia-Turki jauh berbeda. Yang mana mereka turun dari Bandara Turki tepat pukul 21.00. Perbedaan waktu yang cukup jauh bukan? Yah, jika di Indonesia mungkin hari ini jam satu pagi, tapi karena ini di Turki membuat jalanan kota ini masih nampak sangat ramai. Tidak hanya ramai, tapi ramai sekali. Bara tersenyum, raut kebinaran dari matanya pun tidak bisa terelakkan. Dia begitu takjub melihat negara yang baru kali ini ia lihat. "Biar Mas yang bawakan barangnya," ucap Bara sembari mengambil alih koper yang Laila pegang. "Gpp, Mas. Biar Laila aja.""Udah, kamu lebih baik diam aja. Bias Mas! "Baiklah."Bara mengambil barang-barang bawaan. Melihat sebuah taksi membuat keduanya langsung masuk dan melaju ke Hotel Aydinli. Katanya,