Laila memarkirkan mobilnya di depan halaman rumah. Kini perasaannya tidak terlalu resah dan cemas karena ia tahu bahwa Bara sangat mencintainya. Iya kan? Apa yang bisa mengalahkan selain cinta itu sendiri?Laila menghela nafas lebih dahulu. Mulai melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam rumah."Assalamu'alaikum?" salam Laila yang ternyata nampak tidak ada siapa-siapa. Ke mana yang lain?Laila mengedarkan pandangannya ke segala penjuru, sepi. Apa mungkin Bara berada di kantor?Ah. Jelas dia di kantor. Kenapa ia melupakan hal itu?Laila terkekeh kecil, segera naik ke atas menuju kamarnya.CeklekPintu terbuka saat Laila masuk, tidak lupa ia menutup pintu itu kembali. Namun terkejutnya ia saat sebuah seruan mengagetkan dirinya."Sudah pulang?"Suara itu, suara suaminya.Laila tersenyum, menyimpan lebih dahulu tasnya di lemari kemudian beralih menuju Bara yang tengah berkutit dengan laptopnya."Sayang...," ucap Laila dengan manja. Dia memeluk leher Bara dari belakang. Mencium beberapa ka
Deg!Laila mendongak saat Bara mengatainya dengan lontaran yang membuat hati Laila mencelos sakit. Derai air mata bahkan tidak mampu membendung tangisnya yang kian luruh. Berjatuhan kian deras tanpa diminta.Sesak. Amat sesak saat suaminya sendiri mengatainya jalang. Bahkan lebih sakit dari ribuan jarum besar yang menusuk tepat direlung hatinya."Bahkan kamu berbohong tentang Sharu yang nyatanya kau sendiri yang melakukannya Laila!!" Dalam keadaan marah Bara mendorong tubuh Laila hingga perempuan itu terhempas membentur tembok. Membuat Laila terjatuh tatkala punggungnya membentur tembok tersebut.Laila meringis, namun tidak mampu menghentikan tangis yang kian berjatuhan semakin deras. Tubuhnya semakin bergetar tatkala hatinya merasakan sakit dan sesak yang amat sakit.Mulutnya terkatup rapat tidak berani menyangkal. Jikapun dia menyangkal akan semuanya pasti Bara tidak akan percaya.Bara kepalang marah, jika Laila lawan pun pria itu akan semakin marah."Keluar dari sini!" Ucapan selan
Laila menutup pintu dengan kasar. Tangisnya tak terbendungi lagi saat ia keluar dari kamar yang terasa sangat menyesakkan. Sakit. Sesak. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menangis untuk saat ini. Hingga dengan kasar ia semakin menyeret koper untuk turun ke bawah. Tidak perduli pada roda koper tersebut yang terbentur pada anak tangga. Yang penting ia harus cepat-cepat keluar dari rumah ini. "Non? Astaghfirullah, non?" Mbok Eka berseru saat melihat majikannya menangis dengan muka memerah. Dia bahkan berlari untuk menghentikan majikannya itu. "Non? Non kenapa?" tanya Mbok Eka dengan khawatir saat ia menahan pergelangan tangan Laila. Laila sontak berhenti, membalikkan badan saat wajah Mbok Eka yang ia dapati. Tidak bisa membendung rasa sesak dan sakitnya seorang diri, dengan sigap Laila memeluk tubuh wanita paruh baya ini. Wanita yang sudah 5 tahun lebih ini ada bersama dengan Laila. Wanita yang sudah Laila anggap seperti ibunya sendiri. Wanita yang selama ini selalu menyemangat
Bugh! Asyam langsung menghajar Bara tepat di rahang pria itu. Hal yang membuat orang-orang di sana terpekik histeris. Berteriak heboh. Bugh! Untuk kedua kalinya mereka dibuat terpekik saat Bara membalas pukulan mengenai rahang Asyam. Asyam mengeram marah, dia kembali menghajar Bara yang mana dengan sigap Bara menahannya. "Tidak tahu malu!" gertak Bara dengan rahang mengeras. Dengan marah ia menghajar kembali Asyam dengan tangannya. "Shh!" Asyam meringis saat sudut bibirnya robek akibat bogeman yang Bara lakukan. Tidak sampai di situ Asyam menendang perut Bara hingga pria itu terjungkal ke belakang. Namun dengan sigap seseorang menahan tubuh Bara, menjadikan dia tidak terjatuh. "Dasar pengecut!!" teriak Asyam dengan menahan amarah. "Apa yang kau lakukan kepada Zahra, ha?!"Bara meringis. Ia terbatuk saat tendangan yang ia dapat mengenai perutnya langsung. "Harusnya kau tidak melakukan itu, SIALAN!" Teriakan Asyam padanya membuat Bara benar-benar marah. Dengan sigap Bara menarik
"Tunggu!" Seruan dari Bara yang tiba-tiba membuat Silvy harus terhenti dari langkahnya. Sedang Laila sudah menatap Bara dengan tatapan tajam. Bara sendiri? Dia membuka mata hingga tatapan itu jatuh tepat di manik hitam milik Laila. "Bawakan saya es batu. Tidak pakai lama!" datarnya tanpa berkedip dalam menatap Laila. Sebelumnya Laila tersentak saat mendapati wajah Bara terdapat memar di bagian rahang dan pelipisnya. Tidak lupa dengan bibirnya yang nampak sobek dan berdarah. Namun sedetik kemudian Laila membuang muka, berpura-pura tidak melihat. Keduanya saling terdiam, tanpa minat mendahului. Sampai beberapa menit kemudian Silvy membawa es batu beserta kainnya. Dia menyimpan tepat di tengah-tengah keduanya. Dengan perasaan menciut Silvy menatap silih berganti antara Bara dan Laila. Tidak ada yang tahu hubungan kedua orang tersebut. Desus-desus mengatakan kalau mereka pacaran, tunangan. Atau ada juga yang mengatakan suami istri. Karena memang sebelumnya Laila tidak mengumumkan sia
"Shhh ... suami gila! Bisa-bisanya dia merusak leherku seperti ini!" dengkus Laila mengusap lehernya yang banyak cupang. Siapa lagi kalau bukan ulah Bara? Pria itu benar-benar sudah gila! Mana dia melakukannya di kantor lagi! Laila meringis sakit dalam menatap pantulan cermin di depannya. Tanda cupang sana-sini benar-benar membuat lehernya merasakan perih. Dengan segera ia mengambil salep dan mengolesnya pada bagian yang terdapat luka. Jika dipikirkan Laila memang menikmati atas setiap yang dilakukan Bara. Hanya saja pria itu terlalu kasar dan bringas karena emosi yang dia simpan, membuat Laila merasakan bahwa Bara hanya melampiaskan kekesalan tersebut padanya lewat cara seperti ini. Apalagi Laila tahu bahwa dibalik inginnya Bara tak lain agar ia bisa kembali dan membantunya dalam masalah hak asuh Sharu. Pria itu masih menginginkan Sharu sebagai anaknya. Hal yang jelas tidak akan pernah bisa Laila lakukan. Mau bagaimana pun ia harus mempertemukan Sharu dengan Ibu kandungnya. Karena
"Jangan-jangan...?"Keduanya saling tukar pandang. "Ada seseorang yang tidak ingin melihat kamu bersama dengan Bara?" tutur Rania berseru. Laila bergeming. "Sangat masuk akal. Karena tidak mungkin jika seseorang itu bertindak sampai sejauh ini, dan memang yang dia lakukan membuat rencananya itu sangat berhasil," ucap Laila membuat Rania mengangguk menyetujui. "Tapi, Kira-kira siapa yang telah melakukan ini? Bukankah perasaan kami dekat belum genap dua bulan? Tapi, kenapa ada yang melakukan hal ini?""Laila? Jika seseorang sudah jatuh cinta, dia gak bakal kenal waktu ataupun tempat. Yang dia tau, dia harus mendapatkan sampai jadi miliknya, begitu!" tutur Rania. Laila menghembuskan nafas gusar. "Hal ini jugalah yang mungkin membuatnya bertekad melakukan sejauh ini. Yang mana, dia mengetahui kelemahan satu-sama lainnya," lanjut Rania lagi membuat Laila melirik. "Ah. Mening kita bicara di dalam, gak enak kalau berdiri saja kan?" Laila terkekeh saat menyadari bahwa mereka masih seti
"Denis..." Suara Rania yang tiba-tiba terdengar membuat Laila dengan cepat mengambil foto tersebut dan beralih duduk kembali di kursinya. Jantung Laila benar-benar berdetak sangat cepat. Ingatan akan selembar foto yang membuat rumah tangganya hancur jelas karena foto tersebut. Foto itulah yang memulainya hingga sampai ke titik ini. Namun, Laila masih heran kenapa gambar dengan gaya ini sama persis dengan gambar yang Mas Bara tunjukan? "Laila? Apa kamu mau makan juga?" tanya Rania yang muncul di balik pintu. "A--ah, a--aku mau pulang aja, Kak." Laila gelagatan. Duh, apa Rania akan curiga? Namun benar saja, Rania nampak heran mendengar gelagatan Laila. "Kenapa?" tanyanya yang mana membuat Laila harus bisa menyembunyikan raut terkejutnya. "Enggak Kak. Ah iya, aku harus cepet-cepet pergi Kak!""Lho? Belum juga lama kan? Kok main pergi-pergi aja sih?" tanya Rania membuat Laila hanya tersenyum tipis. "Se-sebenarnya Laila harus menyelesaikan dulu tugas permasalahan Sharu, Kak. Dan ten
"Bunda? Di dalam pelut Bunda ini, nanti bakal ada belapa bayi?" tanya anak kecil berumur 3 tahun. Dia Albyshaka Ghibran Arseno, anak pertama Bara dan Laila. Setelah proses yang sempat tertunda akibat kecelakaan dahulu membuat Laila bisa kembali hamil. "Eum, berapa ya ...?" Laila nampak berpikir, jari telunjuknya tersimpan di dagu. "Emangnya kakak maunya berapa?" tanya Laila. Bukannya menjawab Laila malah balik bertanya. "Alby maunya sih satu. Laki-laki lagi! Kalau pelempuan Alby gak mau, pelempuan itu banyak maunya Bunda, telus celewet lagi! Shaka gak mau!" Laila tertawa atas keinginan Alby yang terlewat jujur. "Tapi kalau nanti adik kamu perempuan, gimana? Semuanya kan, sudah kehendak Allah," ucap Laila. "Kehendak itu apa Bunda?" tanya Alby mengerutkan keningnya. Laila yang tengah duduk di kursi taman itu membuat Alby ikut duduk di samping sang Bunda. "Kehendak itu sebuah keinginan, kemauan atau juga bisa harapan. Suatu hal yang tidak bisa kita paksakan kecuali dengan mengikut
Suara tangis bayi menggema di udara, membuat Laila yang tengah membereskan beberapa pakaian harus terhenti. Ah, anaknya sudah bangun ternyata. Dengan segera Laila menuju ranjang, hendak mengambil anaknya namun gerakannya terhenti kala melihat Bara yang tengah tertidur pulas. "Astaghfirullah, di mana bayinya?" Suara tangis itu ada, hanya saja kenapa anaknya tidak terlihat. Namun sedetik kemudian Laila melotot terkejut kala selimut besar malah membungkus bayi tersebut. "Astaghfirullah, anak Bunda ... " Dengan segera Laila menyibak kasar selimut hingga selimut itu menutupi muka Bara yang asik tidur. "Cup, cup, cup. Anak Bunda ternyata udah bangun, iya? Eumm, manisnya ..." ujar Laila yang kini Alby dalam gendongannya. Anak Laila yang bernama Albyshaka itu terhenti dari tangisnya. Dia tersenyum ceria kala sang Bunda terus berceloteh sembari menggoyang-goyangkan badannya ke sana ke mari. Kini usia Alby sudah menginjak 9 bulan, yang mana sudah bisa berceloteh bahasa planet. Terbukti de
"La, Mas mohon ... bertahanlah ..." Tangis Bara kian luruh. Tubuhnya gemetar dengan tatapan mata yang mengarah pada lampu bewarna merah, di mana sang istri berada. "Bara?" Sebuah seruan di belakang sana membuat Bara membalikkan badan hingga melihat Vano berlari ke arahnya. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Vano cemas. Dia berdiri di hadapan Bara, dan bukannya menjawab pertanyaan sang Ayah, Bara dengan segera memeluk tubuh Vano. "Ayah, Bara takut .. Laila---""Kita doakan keselamatan untuk Laila. Insya Allah dia pasti akan baik-baik saja," ucap Vano berusaha menenangkan sang anak. Walau nyatanya dia juga ikut merasakan takut. Tidak bisa dipungkiri, rasa takut itu kian bertambah kala pintu di mana Laila berada terbuka. Membuat Bara dan Vano langsung menatap sang Dokter yang baru keluar. "Dok--?""Siapa wali dari pasien ini?""Saya, saya suaminya Dok? A--ada apa?" tanya Bara berusaha mungkin untuk tenang. Walau faktanya tidak. "Pasien mengalami pendarahan yang cukup fatal. Menja
Dalam remang-remang Laila membuka mata pelan. Masih dalam proses kesadaran, Laila menatap ruangan serba putih itu. Bukan rumah sakit atau ruangan lainnya. Melainkan warna putih yang tidak berbentuk apa-apa. Laila masih dalam keterdiaman, masih merasakan kenyamanan yang baru kali ini ia rasakan. Sebuah kenyamanan yang terasa sejuk nan menentramkan. Sampai saat sebuah suara terdengar membuat lamunan Laila terbuyarkan. "Hah!" Laila beranjak duduk. Nafasnya sedikit memburu. Yang kemudian matanya melirik di sekitar ruangan tersebut. Putih, hanya putih yang Laila tangkap di dalam ruangan ini. "Putri Abi ..."Sebuah seruan membuat Laila kembali menoleh yang mana membuat Laila terbelalak. "Abi?!" pekik Laila dengan segera berlari. Berlari menuju Abinya yang tengah tertawa. Detik berikutnya Laila memeluk Rahman yang sudah lama ini tidak Laila peluk. Ya, setelah 5 tahun lamanya atas kepergian sang Ayah membuat Laila merindukan sosoknya. "Abi, ternyata Abi ada di sini juga? Ya Allah, Laila
Makin besar perut Laila makin besar pula harapan yang selalu Laila nantikan. Ya, akan kelahiran bayi ini yang mungkin sebulan lagi. Kini Laila tengah duduk bersantai di depan TV. Semakin hari dirinya hanya berdiam diri di tempat. Jik tidak paling hanya membereskan rumah dengan menyapu lantai, membantu Mbok Eka. Tidak banyak, namun cukup membuat keringat Laila bercucuran. Kata Uminya hal seperti ini baik untuk Ibu hamil. Karena dengan begitu akan memperlancar dalam melahirkan. Dan tentu, setiap pagi Laila selalu jalan pagi bersama Bara. Hal itu pun katanya memudahkan dalam lahiran.Rumah kini sepi. Bara yang tengah bekerja, Mbok Eka yang pergi berbelanja, dan Pak Imron yang katanya istrinya tengah sakit. Menjadikan dia harus pulang untuk menjenguk. "Ya Allah bosan ..," keluh Laila. Menjadi Ibu hamil terasa serba salah. Duduk begini pegal, duduk begitu sakit, mau duduk seperti apapun rasanya benar-benar tidak nyaman. Derrrtt DerrtttSuara dering ponsel terdengar membuat atensi Laila
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Tidak terasa, usia kandungan Laila sudah naik 8 bulan. Pemeriksaan rutin mingguan sering dilakukan, demi sang bayi yang ingin sehat, apapun akan Bara dan Laila lakukan."Assalamu'alaikum?" Bara baru masuk ke dalam. Laila yang tengah makan buah apel di atas karpet langsung menjawab panggilan sang suami. "Wa'alaikumussalam," jawabnya. Bara tersenyum kala melihat sang istri tengah lesehan di atas karpet. Dengan segera dia ikut lesehan di atas karpet dengan menjatuhkan kepalanya di atas kaki Laila yang diselonjorkan. Sebelum itu Laila mencium punggung tangan Bara yang habis pulang kerja. "Enggak biasanya pulang siang, Mas?" tanya Laila masih sibuk mengupas apel. Sedang Bara sudah mencium perut Laila yang sudah membesar itu."Mas rindu kamu, emang enggak boleh?"Laila terkekeh, "boleh dong sayang, apa sih yang enggak boleh buat kamu? Kamu ngidam aneh aja Laila lakuin!" sindirnya dengan sehalus mungkin. Namun, sang empu malah tertawa mendeng
"Eugh ..." Laila melenguh dalam tidurnya. Matanya merem-melek dengan gerakan pelan. Hingga, kala mata itu terbuka sebuah senyuman terbit di bibir Laila. Wajah suaminya. Ya, di depannya Bara masih tertidur pulas dengan dengkuran yang amat halus. Refleks Laila semakin memeluk Bara dari depan. Mengingat kejadian malam itu membuat Laila merasa lega. Sangat. Walau terasa sakit tapi, dia juga menikmatinya. Pelan, Bara ikut membuka mata. Menarik Laila agar lebih dekat dengannya. Dikecupnya kening Laila dengan begitu lembut. Yang kemudian mengusap lembut rambut sang istri. "Terima kasih ya sayang?" ucap Bara dengan terus menerus mencium kening Laila. Tubuh yang masih polos itu saling melekat hangat. Laila tersenyum. "Makasih juga Mas. Akhirnya, akhirnya Mas Bara nebang Laila," ucapnya parau. Namun, dengan tiba-tiba Bara menarik Laila yang malah sudah menangis. "Hey? Sayang, kenapa nangis?" Dengan sigap Bara menghapus air mata Laila yang jatuh menetes. "Udah, jangan nangis. Harusnya kita
Laila menghela nafas pelan. Dia duduk di tepi ranjang dengan jantung yang deg-deg an. Bagaimana tidak deg-degan, selepas makan Bara berlalu pergi tanpa mengatakan apapun. Entah ke mana, yang pasti Bara pergi setelah makan itu selesai.Dan sekarang Laila harus menunggu sang suami pulang. Apalagi teringat akan Bara yang sudah menginginkan dirinya malam ini. Hal yang jelas membuat Laila deg-degan. Berpikir bahwa haruskah malam ini keduanya melakukan hubungan suami-istri? Apakah malam ini keduanya akan memadu kasih? Tiba-tiba pipi Laila memanas. Memikirkannya saja sudah membuatnya panas-dingin. Tapi, jikapun tidak ... bukankah selama ini inilah yang ia harapkan? Memadu kasih hingga terciptanya sang buah hati? Bukankah ini yang Laila harapkan setelah bertahun-tahun lamanya? Masa dirinya masih belum siap? Tidak! Laila menggeleng. Malam ini harus menjadi malam paling indah untuk keduanya. Terutama untuk Bara, suaminya! Laila beranjak berdiri. Beringusut menuju lemari yang sebelumnya dia
"Alhamdulillah ya Allah, akhirnya ..." Mata Laila berbinar indah kala menatap pemandangan yang belum pernah ia lihat. Di mana ia dan sang suami sudah berada di Turki. Perjalanan dari Indonesia ke Turki membutuhkan waktu sekitar 4 jam. Yang mana waktu antara Indonesia-Turki jauh berbeda. Yang mana mereka turun dari Bandara Turki tepat pukul 21.00. Perbedaan waktu yang cukup jauh bukan? Yah, jika di Indonesia mungkin hari ini jam satu pagi, tapi karena ini di Turki membuat jalanan kota ini masih nampak sangat ramai. Tidak hanya ramai, tapi ramai sekali. Bara tersenyum, raut kebinaran dari matanya pun tidak bisa terelakkan. Dia begitu takjub melihat negara yang baru kali ini ia lihat. "Biar Mas yang bawakan barangnya," ucap Bara sembari mengambil alih koper yang Laila pegang. "Gpp, Mas. Biar Laila aja.""Udah, kamu lebih baik diam aja. Bias Mas! "Baiklah."Bara mengambil barang-barang bawaan. Melihat sebuah taksi membuat keduanya langsung masuk dan melaju ke Hotel Aydinli. Katanya,