"Shhh ... suami gila! Bisa-bisanya dia merusak leherku seperti ini!" dengkus Laila mengusap lehernya yang banyak cupang. Siapa lagi kalau bukan ulah Bara? Pria itu benar-benar sudah gila! Mana dia melakukannya di kantor lagi! Laila meringis sakit dalam menatap pantulan cermin di depannya. Tanda cupang sana-sini benar-benar membuat lehernya merasakan perih. Dengan segera ia mengambil salep dan mengolesnya pada bagian yang terdapat luka. Jika dipikirkan Laila memang menikmati atas setiap yang dilakukan Bara. Hanya saja pria itu terlalu kasar dan bringas karena emosi yang dia simpan, membuat Laila merasakan bahwa Bara hanya melampiaskan kekesalan tersebut padanya lewat cara seperti ini. Apalagi Laila tahu bahwa dibalik inginnya Bara tak lain agar ia bisa kembali dan membantunya dalam masalah hak asuh Sharu. Pria itu masih menginginkan Sharu sebagai anaknya. Hal yang jelas tidak akan pernah bisa Laila lakukan. Mau bagaimana pun ia harus mempertemukan Sharu dengan Ibu kandungnya. Karena
"Jangan-jangan...?"Keduanya saling tukar pandang. "Ada seseorang yang tidak ingin melihat kamu bersama dengan Bara?" tutur Rania berseru. Laila bergeming. "Sangat masuk akal. Karena tidak mungkin jika seseorang itu bertindak sampai sejauh ini, dan memang yang dia lakukan membuat rencananya itu sangat berhasil," ucap Laila membuat Rania mengangguk menyetujui. "Tapi, Kira-kira siapa yang telah melakukan ini? Bukankah perasaan kami dekat belum genap dua bulan? Tapi, kenapa ada yang melakukan hal ini?""Laila? Jika seseorang sudah jatuh cinta, dia gak bakal kenal waktu ataupun tempat. Yang dia tau, dia harus mendapatkan sampai jadi miliknya, begitu!" tutur Rania. Laila menghembuskan nafas gusar. "Hal ini jugalah yang mungkin membuatnya bertekad melakukan sejauh ini. Yang mana, dia mengetahui kelemahan satu-sama lainnya," lanjut Rania lagi membuat Laila melirik. "Ah. Mening kita bicara di dalam, gak enak kalau berdiri saja kan?" Laila terkekeh saat menyadari bahwa mereka masih seti
"Denis..." Suara Rania yang tiba-tiba terdengar membuat Laila dengan cepat mengambil foto tersebut dan beralih duduk kembali di kursinya. Jantung Laila benar-benar berdetak sangat cepat. Ingatan akan selembar foto yang membuat rumah tangganya hancur jelas karena foto tersebut. Foto itulah yang memulainya hingga sampai ke titik ini. Namun, Laila masih heran kenapa gambar dengan gaya ini sama persis dengan gambar yang Mas Bara tunjukan? "Laila? Apa kamu mau makan juga?" tanya Rania yang muncul di balik pintu. "A--ah, a--aku mau pulang aja, Kak." Laila gelagatan. Duh, apa Rania akan curiga? Namun benar saja, Rania nampak heran mendengar gelagatan Laila. "Kenapa?" tanyanya yang mana membuat Laila harus bisa menyembunyikan raut terkejutnya. "Enggak Kak. Ah iya, aku harus cepet-cepet pergi Kak!""Lho? Belum juga lama kan? Kok main pergi-pergi aja sih?" tanya Rania membuat Laila hanya tersenyum tipis. "Se-sebenarnya Laila harus menyelesaikan dulu tugas permasalahan Sharu, Kak. Dan ten
Bara memejamkan matanya saat Laila menancapkan gas dengan kecepatan penuh. Jika hari ini ia akan mati di tangan Laila? Maka ia akan menerimanya. Dan ... Cittttt! Dengan gerakan paling tiba-tiba Laila mengerem tepat saat ujung mobil itu hampir mengenai lutut Bara. Nafasnya kembang kempis, kepalan tangan dalam kemudi masih tercetak jelas akan urat-uratnya. Laila menatap tajam Bara. Sedang Bara masih setia memejamkan matanya. Pelan, ia mengintip lewat celah matanya yang menyipit, takut-takut jika Laila benar-benar akan menabraknya. Namun sebuah senyuman terukir saat Bara menyadari bahwa Laila tidak benar-benar menabraknya. "Laila?!"Bara berseru dan langsung menuju pintu mobil Laila. Namun tidak semudah itu, tepat saat Bara berlari menuju pintu masuk mobil, Laila menancapkan gas tersebut dengan tiba-tiba. Membuat Bara yang mendapat hal itu langsung memegang jantungnya. "Laila?! Argh!" Bara berteriak frustasi saat mobil itu melintas cepat begitu saja. Dengan cepat Bara berlari men
Bara benar-benar frustasi ia kehilangan jejak istrinya yang entah lewat jalan mana. Tapi perasaan dirinya terus lurus ke depan, tidak ada belokan, tapi, kenapa Bara tidak bisa menemukan Laila? Namun saat beberapa ke depannya hanya jalan buntu yang Bara lihat. "Sial!" Bara membanting kemudi dengan keras. Memijit keningnya karena frustasi. "Itu berarti tadi Laila masih di sana? Hanya saja aku tidak melihatnya? Menyebalkan!"Tidak ada gunanya ia menyalurkan dengan hanya marah-marah saja. Sesegera mungkin ia harus menyelesaikan permasalahan ini. Jika tidak, tentu istrinya akan pergi darinya. Tidak! Itu tidak akan terjadi! Dengan cepat Bar memutar balikan jalannya. Sedikit susah karena jalan tidak terlalu besar, membuatnya harus ekstra sabar untuk membelokkan. Sesampainya selesai, dengan cepat Bara melajukan kembali mobilnya. Sekarang urusannya adalah Silvy! Ciitttt! Suara rem yang begitu nyaring membuat Pak Adhi yang tengah mengantuk dengan mata merem-melek, harus terperangah te
Sudah hampir seharian ini Laila mendekam di kamarnya. Dan sekarang pagi telah tiba membuat Laila mau tak mau harus pergi bekerja. Sesungguhnya ia sudah tidak punya tenaga untuk pergi bekerja. Namun karena sudah satu kali bolos membuatnya takut terkena sanksi. Dengan begitu, mau tidak mau ya harus dipaksakan. Walau tau bahwa hari ini adalah ulang tahun pernikahan Laila dan Bara, sebisa mungkin Laila akan berusaha menerimanya dengan ikhlas. Menerima kenyataan bahwa mereka tidak lagi bersama. Ah! Bukan hanya hati yang ikut lelah, pikirannya pun sangat-sangat lelah! "Huffft!" Laila membuang nafas dalam-dalam saat ia beranjak dari kasurnya. "Tidak apa Laila! Kamu pasti kuat!" ucapnya menguatkan diri. "Sudahlah! Toh semua akan berjalan sesuai takdirnya bukan?" ucapnya lagi yang kemudian mengambil handuk. Beringsut pergi menuju kamar mandi untuk membersihkan badan yang terasa lengket. Satu jam kemudian... Laila telah siap-siap dengan pakaian kerjanya. Sekarang hanya tinggal memakai b
"Mas kecewa sama kamu La ... Mas benar-benar kecewa..." Lirih. Bara berucap lirih dengan tatapan sendu. Hal yang membuat Laila langsung terdiam. Menatap Bara dengan tubuh yang terasa lemas. "Mas ke sini hanya untuk meminta maaf pada kamu Laila. Mas ingin memperbaiki hubungan kita! Yang kamu lihat kemarin pun bukan sepenuhnya kebenaran! Tapi, kebenarannya adalah Silvy! Wanita itu yang ternyata sudah membuat foto itu seakan kamu sendiri yang ada di dalamnya!" Bara bergerak mundur. Ia menatap Laila dengan pancaran tidak percaya. "Mas hanya ingin memperbaiki semuanya Laila ... hanya itu!"Laila memalingkan wajahnya dari tatapan Bara saat satu butir air matanya jatuh begitu saja.Mata Laila terpejam dengan tangisan yang mulai luruh. "Mas memang salah Laila ... mas salah! Tapi Mas ingin memperbaiki semuanya. Hanya itu ... tapi kamu, bahkan tidak memberi Mas kesempatan untuk berbicara ... ""Mas ... benar-benar kecewa sama kamu La ..." Bara berhenti dari gerakannya. Tatapannya masih menat
Mata Laila sudah terbelalak saja, sedang Asyam malah senyum-senyum sendiri. Disatukan seperti ini jelas membuat jantung Asyam berdetak dua kali lebih cepat. "Bu? Ma--maaf, tapi ... " Laila melepaskan pelukannya lebih dahulu. Terasa tidak nyaman karena berdekatan dengan jarak menempel pada Asyam. "Maaf, Laila bukan istrinya Asyam!" ujar Laila membuat Bu Rahayu nampak heran. "Lho?" tanyanya. Pasalnya keduanya itu memang seperti pasangan suami-istri yang romantis. Cocok lagi. "Bukan, Bu. Saya masih lajang..." Asyam berujar membuat lirikan Laila menoleh padanya. Asyam menggaruk tengkuknya saat ditatap sedemikian lekat oleh Laila, jelas hal yang membuatnya jadi salah tingkah. "Oalaahhh, tak kira kalian itu suami-istri, ternyata bukan toh..." Bu Rahayu terkikik kecil, sedang Laila hanya mampu tersenyum. Asyam? Dia hanya merasakan canggung saja."Terus? Anak Ibu?" tanya Bu Rahayu membuat pandangan Laila dan Asyam saling bertukar. "Eum, gimana kalau kita bicara di tempat lain saja Bu? K
"Bunda? Di dalam pelut Bunda ini, nanti bakal ada belapa bayi?" tanya anak kecil berumur 3 tahun. Dia Albyshaka Ghibran Arseno, anak pertama Bara dan Laila. Setelah proses yang sempat tertunda akibat kecelakaan dahulu membuat Laila bisa kembali hamil. "Eum, berapa ya ...?" Laila nampak berpikir, jari telunjuknya tersimpan di dagu. "Emangnya kakak maunya berapa?" tanya Laila. Bukannya menjawab Laila malah balik bertanya. "Alby maunya sih satu. Laki-laki lagi! Kalau pelempuan Alby gak mau, pelempuan itu banyak maunya Bunda, telus celewet lagi! Shaka gak mau!" Laila tertawa atas keinginan Alby yang terlewat jujur. "Tapi kalau nanti adik kamu perempuan, gimana? Semuanya kan, sudah kehendak Allah," ucap Laila. "Kehendak itu apa Bunda?" tanya Alby mengerutkan keningnya. Laila yang tengah duduk di kursi taman itu membuat Alby ikut duduk di samping sang Bunda. "Kehendak itu sebuah keinginan, kemauan atau juga bisa harapan. Suatu hal yang tidak bisa kita paksakan kecuali dengan mengikut
Suara tangis bayi menggema di udara, membuat Laila yang tengah membereskan beberapa pakaian harus terhenti. Ah, anaknya sudah bangun ternyata. Dengan segera Laila menuju ranjang, hendak mengambil anaknya namun gerakannya terhenti kala melihat Bara yang tengah tertidur pulas. "Astaghfirullah, di mana bayinya?" Suara tangis itu ada, hanya saja kenapa anaknya tidak terlihat. Namun sedetik kemudian Laila melotot terkejut kala selimut besar malah membungkus bayi tersebut. "Astaghfirullah, anak Bunda ... " Dengan segera Laila menyibak kasar selimut hingga selimut itu menutupi muka Bara yang asik tidur. "Cup, cup, cup. Anak Bunda ternyata udah bangun, iya? Eumm, manisnya ..." ujar Laila yang kini Alby dalam gendongannya. Anak Laila yang bernama Albyshaka itu terhenti dari tangisnya. Dia tersenyum ceria kala sang Bunda terus berceloteh sembari menggoyang-goyangkan badannya ke sana ke mari. Kini usia Alby sudah menginjak 9 bulan, yang mana sudah bisa berceloteh bahasa planet. Terbukti de
"La, Mas mohon ... bertahanlah ..." Tangis Bara kian luruh. Tubuhnya gemetar dengan tatapan mata yang mengarah pada lampu bewarna merah, di mana sang istri berada. "Bara?" Sebuah seruan di belakang sana membuat Bara membalikkan badan hingga melihat Vano berlari ke arahnya. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Vano cemas. Dia berdiri di hadapan Bara, dan bukannya menjawab pertanyaan sang Ayah, Bara dengan segera memeluk tubuh Vano. "Ayah, Bara takut .. Laila---""Kita doakan keselamatan untuk Laila. Insya Allah dia pasti akan baik-baik saja," ucap Vano berusaha menenangkan sang anak. Walau nyatanya dia juga ikut merasakan takut. Tidak bisa dipungkiri, rasa takut itu kian bertambah kala pintu di mana Laila berada terbuka. Membuat Bara dan Vano langsung menatap sang Dokter yang baru keluar. "Dok--?""Siapa wali dari pasien ini?""Saya, saya suaminya Dok? A--ada apa?" tanya Bara berusaha mungkin untuk tenang. Walau faktanya tidak. "Pasien mengalami pendarahan yang cukup fatal. Menja
Dalam remang-remang Laila membuka mata pelan. Masih dalam proses kesadaran, Laila menatap ruangan serba putih itu. Bukan rumah sakit atau ruangan lainnya. Melainkan warna putih yang tidak berbentuk apa-apa. Laila masih dalam keterdiaman, masih merasakan kenyamanan yang baru kali ini ia rasakan. Sebuah kenyamanan yang terasa sejuk nan menentramkan. Sampai saat sebuah suara terdengar membuat lamunan Laila terbuyarkan. "Hah!" Laila beranjak duduk. Nafasnya sedikit memburu. Yang kemudian matanya melirik di sekitar ruangan tersebut. Putih, hanya putih yang Laila tangkap di dalam ruangan ini. "Putri Abi ..."Sebuah seruan membuat Laila kembali menoleh yang mana membuat Laila terbelalak. "Abi?!" pekik Laila dengan segera berlari. Berlari menuju Abinya yang tengah tertawa. Detik berikutnya Laila memeluk Rahman yang sudah lama ini tidak Laila peluk. Ya, setelah 5 tahun lamanya atas kepergian sang Ayah membuat Laila merindukan sosoknya. "Abi, ternyata Abi ada di sini juga? Ya Allah, Laila
Makin besar perut Laila makin besar pula harapan yang selalu Laila nantikan. Ya, akan kelahiran bayi ini yang mungkin sebulan lagi. Kini Laila tengah duduk bersantai di depan TV. Semakin hari dirinya hanya berdiam diri di tempat. Jik tidak paling hanya membereskan rumah dengan menyapu lantai, membantu Mbok Eka. Tidak banyak, namun cukup membuat keringat Laila bercucuran. Kata Uminya hal seperti ini baik untuk Ibu hamil. Karena dengan begitu akan memperlancar dalam melahirkan. Dan tentu, setiap pagi Laila selalu jalan pagi bersama Bara. Hal itu pun katanya memudahkan dalam lahiran.Rumah kini sepi. Bara yang tengah bekerja, Mbok Eka yang pergi berbelanja, dan Pak Imron yang katanya istrinya tengah sakit. Menjadikan dia harus pulang untuk menjenguk. "Ya Allah bosan ..," keluh Laila. Menjadi Ibu hamil terasa serba salah. Duduk begini pegal, duduk begitu sakit, mau duduk seperti apapun rasanya benar-benar tidak nyaman. Derrrtt DerrtttSuara dering ponsel terdengar membuat atensi Laila
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Tidak terasa, usia kandungan Laila sudah naik 8 bulan. Pemeriksaan rutin mingguan sering dilakukan, demi sang bayi yang ingin sehat, apapun akan Bara dan Laila lakukan."Assalamu'alaikum?" Bara baru masuk ke dalam. Laila yang tengah makan buah apel di atas karpet langsung menjawab panggilan sang suami. "Wa'alaikumussalam," jawabnya. Bara tersenyum kala melihat sang istri tengah lesehan di atas karpet. Dengan segera dia ikut lesehan di atas karpet dengan menjatuhkan kepalanya di atas kaki Laila yang diselonjorkan. Sebelum itu Laila mencium punggung tangan Bara yang habis pulang kerja. "Enggak biasanya pulang siang, Mas?" tanya Laila masih sibuk mengupas apel. Sedang Bara sudah mencium perut Laila yang sudah membesar itu."Mas rindu kamu, emang enggak boleh?"Laila terkekeh, "boleh dong sayang, apa sih yang enggak boleh buat kamu? Kamu ngidam aneh aja Laila lakuin!" sindirnya dengan sehalus mungkin. Namun, sang empu malah tertawa mendeng
"Eugh ..." Laila melenguh dalam tidurnya. Matanya merem-melek dengan gerakan pelan. Hingga, kala mata itu terbuka sebuah senyuman terbit di bibir Laila. Wajah suaminya. Ya, di depannya Bara masih tertidur pulas dengan dengkuran yang amat halus. Refleks Laila semakin memeluk Bara dari depan. Mengingat kejadian malam itu membuat Laila merasa lega. Sangat. Walau terasa sakit tapi, dia juga menikmatinya. Pelan, Bara ikut membuka mata. Menarik Laila agar lebih dekat dengannya. Dikecupnya kening Laila dengan begitu lembut. Yang kemudian mengusap lembut rambut sang istri. "Terima kasih ya sayang?" ucap Bara dengan terus menerus mencium kening Laila. Tubuh yang masih polos itu saling melekat hangat. Laila tersenyum. "Makasih juga Mas. Akhirnya, akhirnya Mas Bara nebang Laila," ucapnya parau. Namun, dengan tiba-tiba Bara menarik Laila yang malah sudah menangis. "Hey? Sayang, kenapa nangis?" Dengan sigap Bara menghapus air mata Laila yang jatuh menetes. "Udah, jangan nangis. Harusnya kita
Laila menghela nafas pelan. Dia duduk di tepi ranjang dengan jantung yang deg-deg an. Bagaimana tidak deg-degan, selepas makan Bara berlalu pergi tanpa mengatakan apapun. Entah ke mana, yang pasti Bara pergi setelah makan itu selesai.Dan sekarang Laila harus menunggu sang suami pulang. Apalagi teringat akan Bara yang sudah menginginkan dirinya malam ini. Hal yang jelas membuat Laila deg-degan. Berpikir bahwa haruskah malam ini keduanya melakukan hubungan suami-istri? Apakah malam ini keduanya akan memadu kasih? Tiba-tiba pipi Laila memanas. Memikirkannya saja sudah membuatnya panas-dingin. Tapi, jikapun tidak ... bukankah selama ini inilah yang ia harapkan? Memadu kasih hingga terciptanya sang buah hati? Bukankah ini yang Laila harapkan setelah bertahun-tahun lamanya? Masa dirinya masih belum siap? Tidak! Laila menggeleng. Malam ini harus menjadi malam paling indah untuk keduanya. Terutama untuk Bara, suaminya! Laila beranjak berdiri. Beringusut menuju lemari yang sebelumnya dia
"Alhamdulillah ya Allah, akhirnya ..." Mata Laila berbinar indah kala menatap pemandangan yang belum pernah ia lihat. Di mana ia dan sang suami sudah berada di Turki. Perjalanan dari Indonesia ke Turki membutuhkan waktu sekitar 4 jam. Yang mana waktu antara Indonesia-Turki jauh berbeda. Yang mana mereka turun dari Bandara Turki tepat pukul 21.00. Perbedaan waktu yang cukup jauh bukan? Yah, jika di Indonesia mungkin hari ini jam satu pagi, tapi karena ini di Turki membuat jalanan kota ini masih nampak sangat ramai. Tidak hanya ramai, tapi ramai sekali. Bara tersenyum, raut kebinaran dari matanya pun tidak bisa terelakkan. Dia begitu takjub melihat negara yang baru kali ini ia lihat. "Biar Mas yang bawakan barangnya," ucap Bara sembari mengambil alih koper yang Laila pegang. "Gpp, Mas. Biar Laila aja.""Udah, kamu lebih baik diam aja. Bias Mas! "Baiklah."Bara mengambil barang-barang bawaan. Melihat sebuah taksi membuat keduanya langsung masuk dan melaju ke Hotel Aydinli. Katanya,