"Entah siapa yang salah. Tapi, Mas Bara selalu berpikir bahwa memang Ibunya tidak pernah perduli padanya. Dengan begitu, dia siap melawan kasus ini sampai ke hukum. Mas Bara akan siap berdalih apapun agar bisa menjadikan Sharu sebagai anak angkatnya ... Bu?" Laila menggenggam tangan yang nampak sudah keriputan ini. "Mungkin ini salah, tapi ... kesalahan ini bukan sepenuhnya salah Mas Bara, kan? Dia hanya ingin menjadikan Sharu sebagai anak angkatnya. Dia sangat menginginkan hal itu, sampai-sampai memintaku untuk membantunya ke jalur hukum. Hanya saja aku menolak permintaannya itu saat mengetahui siapa Ibu asli dari Sharu. Dan saat itu ... hubungan kami mulai melenggang. Beberapa masalah bahkan datang silih berganti. Laila tidak tahu apa yang harus Laila lakukan tapi ... jika menurut Ibu ini salah maka---""Enggak Laila, suami kamu enggak salah." Bu Rahayu langsung menyela. "Dan apa yang dia lakukan pun, itu tidak salah ..." Bu Rahayu menghela nafas pelan, sedang Laila masih menatap l
Derrtttt DerrrtttSuara dering ponsel yang begitu nyaring membuat mata yang terpejam itu harus tergerak sudah. Dengan segera ia mengambil ponsel dengan mata yang masih mengantuk. "Laila?! Ini saya, ayok bangun!" Suara yang begitu familiar membuat Laila langsung membuka matanya. Hah! Bahkan mendengar suara nyaringnya saja sudah cukup membuatnya terbangun. Dia menatap ponselnya lebih dahulu. Bu Rahayu. Pantas saja. Namun yang jadi masalahnya... Ini masih jam 02.00!! "Laila cepat bangun! Ayo, saya nungguin kamu di luar nih ... " ucapnya dengan menggebu-gebu. Laila memijit pelipisnya frustasi. Biasanya ia bangun jam 4, itupun karena pekerjaan yang akhir-akhir ini selalu menumpuk. Namun sekarang, belum saja ia tidur 7 jam, tapi malah sudah terbangun. Ah iya. Lagipula semalam ia menunggu pesan dari Bara. Berharap lelaki itu membalas pesannya. Namun tidak, lelaki itu bahkan tidak aktif. Pesan yang ia kirim masih centang satu abu-abu. "Laila ... ? Aduh, ayo dong ... kita olahraga! Sa
Laila tersenyum dalam menerima buket bunga tersebut. Hal yang jelas membuat Asyam tersenyum lebar. Sorak tepuk tangan menggema di dalam ruangan tersebut. Saling bersiul bahkan ada yang mengatakan cie-cie di dalamnya. Nampak heboh, ricuh! Laila terdiam, dia masih setia tersenyum ke arah Asyam. "Berdiri, Syam. Jangan seperti itu!" ujar Laila membuat Asyam dengan segera beranjak berdiri. "Terima kasih, Zahra. Aku---aku benar-benar tidak menyangka kau akan menerima hal ini?" tanya Asyam dengan wajah yang amat kentara bahagia. Laila hanya tersenyum simpul. Memeluk buket bunga tersebut dengan tatapan binar. Beberapa jam kemudian. Saat semuanya membaik seperti biasa. Laila yang tengah berjalan menuju ruangannya dengan sesama rekan yang ada di sampingnya tersenyum saat di depannya Asyam tengah berjalan. "Syam?" panggil Laila tiba-tiba. Hal yang jelas membuat Asyam berhenti saat itu juga. "Ekhem, aku pergi duluan..." Wanita di sebelah Laila tiba-tiba menyenggol bahunya. Membuat Laila t
Laila menggerutu dalam hatinya. Karena mimpi buruk itu membuat Laila semakin melajukan mobilnya di atas rata-rata. Sedang Bu Rahayu yang berada di sebelahnya hanya bisa komat-kamit berdoa agar bisa selamat. Jantungnya semakin berdebar saja. "Aduh, Laila ... pelan-pelan, jantung saya rasanya mau copot nih!"Laila menghela nafas, sedikit memelankan lajunya. "Maaf ya Bu. Habisnya Laila benar-benar telat ini."Bu Rahayu mengerti. Tapi, salah siapa juga coba bangunnya kesiangan? Kan jadinya harus dikejar waktu. "Lagian kamu habis ngapain sampe telat bangun? Untung saya tadi yang udah bangunin kamu, kalau enggak. Pasti bakal lebih dimarahin kan?"Laila benar-benar mengutuk dirinya. Lagipula salah Bu Rahayu juga yang sudah membuatnya seperti ini. Jika saja tadi tidurnya tidak terganggu, mungkin mimpi menyeramkan itu tidak akan terjadi. Dan tentu dirinya tidak akan telat begini. "Iya deh Bu. Laila minta maaf." Pada akhirnya hanya itu yang keluar dari mulut Laila. Sampai beberapa menit ke
Kini waktu istirahat tiba. Laila merasa tidak bersemangat untuk pergi ke kantin. Mengingat akan mimpi buruk itu membuatnya takut bertemu dengan Asyam. Walau jelas Asyam tidak bersalah padanya namun tetap saja, ia takut bertemu Asyam untuk saat ini. Tok Tok Tok! Nah. Seperti halnya dalam mimpi. Suara itupun terdengar dalam telinga Laila. "Masuk!"Pintu terbuka, menampilkan seseorang yang persis seperti di dalam mimpi. "Permisi Bu! Waktunya istirahat, Ibu ditunggu juga sama rekan-rekan yang lain!""Eh tunggu!" ucap Laila menghentikan OB tersebut. Pria itu menoleh dengan kening mengenyit."Bapak bisa enggak bisa antarkan saya makanan langsung ke sini? Kebetulan saya enggak bisa ke sana karena tugas masih menumpuk.""Oh bisa, Bu. Sebentar, saya ambilkan dulu," ucapnya kemudian beringsut pergi. Sedang Laila tersenyum senang, setidaknya hal-hal yang mungkin akan terjadi tidak akan terjadi hari ini.**Akhirnya, akhirnya sesi pulang tiba juga. Hal yang sangat dinantikan oleh Laila. Ya!
Seminggu sudah berlalu, rasa resah, takut, cemas mulai dirasakan Laila saat keadaan Bara tak kunjung ada. Sudah seminggu sudah suaminya hilang bagaikan tertelan bumi. Tidak ada kabar sama sekali! Ribuan pesan yang selalu Laila kirim tidak pernah Bara buka. Ah tidak. Jangankan membukanya, aktif saja dia tidak pernah. Kabar apapun berupa surat atau hal lain tidak ada! Termasuk kabar yang masuk ke dalam informasi di kantor Axa, tidak ada sama sekali! Laila mulai resah. Takut. Sangat malah! Bahkan sudah seminggu ini pun Laila selalu urung-uringan menangis. Mood nya tidak pernah membaik atau pun ia tidak pernah semangat dalam menjalani hidup. Hilangnya Bara bagaikan kehilangan jiwa dan raganya. Jiwa Laila seakan mati di bawa oleh lelaki itu, mati, tidak ada perasaan! "Mas..." Laila menangis. Hal yang selalu ia lakukan kerap merindukan suaminya. "Mas di mana...? Kapan pulang?" Laila meringkuk dengan lutut yang ia tekuk. Di atas ranjang ia terus memikirkan keadaan suaminya. Apa dia b
"Semoga besok ada kabar tentang Mas Bara. Aku harap Mas Bara segera pulang. Dengan begitu aku ingin tinggal di rumahnya, tidak ingin lagi di apartment ini," gumam Laila sembari membawa baju yang akan ia pakai. Kemudian perempuan itu beringsut pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum tidur. Hingga saat ia keluar dengan segera Laila naik ke atas ranjang. Siap untuk tidur malam ini.Laila menghela nafas panjang lebih dahulu. Sekarang entah kenapa ia sering mudah merasa ngantuk. Kerap kali keluar dari kamar mandi matanya sudah terasa ngantuk saja. Biasanya ia tidak merasakan hal itu, tapi akhir-akhir ini ia sering mudah mengantuk. Laila mulai memejamkan matanya yang sudah terasa berat. Perlahan, mata itu akhirnya memejam dengan dengkuran halus di dalamnya. Laila tertidur. Setelah seharian pula ia disibukan dengan pekerjaan sana-sini membuat Laila mudah mengantuk saja. Tentunya sebelum itu Laila sudah berdoa lebih dahulu. Kemudian pada akhirnya tertidur dengan pulas. Namun
"Mas Bara ... pulang Mas ... pulang ... " Dengan gemetar Laila mengucapkan hal itu. Kedua lututnya ia peluk, sedang matanya sudah merembes jatuh dengan begitu deras. "Hey? Laila? Tenang sayang, kamu kenapa?" Pertanyaan di sana membuat tangis Laila kian pecah. "Mas di mana, ha?! Mas di mana?! Pulang Mas, pulang!" teriak Laila terpekik hebat. "Laila takut, Mas ... Laila takut..." Nafasnya semakin memburu sedang di sebrang sana suara panik nampak begitu kentara. "Tenang sayang. Maaf, maaf Mas baru buka ponsel Mas Laila. Sekarang, tenanglah ... besok Mas pulang. Iya, besok Mas pulang. Sekarang kamu yang tenang ya?"Laila menggeleng keras. "Laila engga bisa tenang Mas sebelum kamu ada di sini! Laila takut, Laila benar-benar takut!" teriaknya dengan tersendat-sendat. "Mas cepet pulang..." Laila semakin ketakutan. Dia semakin menangis dengan tubuh bergetar hebat. "Iya, Mas besok pulang sayang. Besok, ya? Tunggu Mas. Sekarang kamu di mana?" Suara di sana tak kalah panik. Bara benar-bena