Laila menggerutu dalam hatinya. Karena mimpi buruk itu membuat Laila semakin melajukan mobilnya di atas rata-rata. Sedang Bu Rahayu yang berada di sebelahnya hanya bisa komat-kamit berdoa agar bisa selamat. Jantungnya semakin berdebar saja. "Aduh, Laila ... pelan-pelan, jantung saya rasanya mau copot nih!"Laila menghela nafas, sedikit memelankan lajunya. "Maaf ya Bu. Habisnya Laila benar-benar telat ini."Bu Rahayu mengerti. Tapi, salah siapa juga coba bangunnya kesiangan? Kan jadinya harus dikejar waktu. "Lagian kamu habis ngapain sampe telat bangun? Untung saya tadi yang udah bangunin kamu, kalau enggak. Pasti bakal lebih dimarahin kan?"Laila benar-benar mengutuk dirinya. Lagipula salah Bu Rahayu juga yang sudah membuatnya seperti ini. Jika saja tadi tidurnya tidak terganggu, mungkin mimpi menyeramkan itu tidak akan terjadi. Dan tentu dirinya tidak akan telat begini. "Iya deh Bu. Laila minta maaf." Pada akhirnya hanya itu yang keluar dari mulut Laila. Sampai beberapa menit ke
Kini waktu istirahat tiba. Laila merasa tidak bersemangat untuk pergi ke kantin. Mengingat akan mimpi buruk itu membuatnya takut bertemu dengan Asyam. Walau jelas Asyam tidak bersalah padanya namun tetap saja, ia takut bertemu Asyam untuk saat ini. Tok Tok Tok! Nah. Seperti halnya dalam mimpi. Suara itupun terdengar dalam telinga Laila. "Masuk!"Pintu terbuka, menampilkan seseorang yang persis seperti di dalam mimpi. "Permisi Bu! Waktunya istirahat, Ibu ditunggu juga sama rekan-rekan yang lain!""Eh tunggu!" ucap Laila menghentikan OB tersebut. Pria itu menoleh dengan kening mengenyit."Bapak bisa enggak bisa antarkan saya makanan langsung ke sini? Kebetulan saya enggak bisa ke sana karena tugas masih menumpuk.""Oh bisa, Bu. Sebentar, saya ambilkan dulu," ucapnya kemudian beringsut pergi. Sedang Laila tersenyum senang, setidaknya hal-hal yang mungkin akan terjadi tidak akan terjadi hari ini.**Akhirnya, akhirnya sesi pulang tiba juga. Hal yang sangat dinantikan oleh Laila. Ya!
Seminggu sudah berlalu, rasa resah, takut, cemas mulai dirasakan Laila saat keadaan Bara tak kunjung ada. Sudah seminggu sudah suaminya hilang bagaikan tertelan bumi. Tidak ada kabar sama sekali! Ribuan pesan yang selalu Laila kirim tidak pernah Bara buka. Ah tidak. Jangankan membukanya, aktif saja dia tidak pernah. Kabar apapun berupa surat atau hal lain tidak ada! Termasuk kabar yang masuk ke dalam informasi di kantor Axa, tidak ada sama sekali! Laila mulai resah. Takut. Sangat malah! Bahkan sudah seminggu ini pun Laila selalu urung-uringan menangis. Mood nya tidak pernah membaik atau pun ia tidak pernah semangat dalam menjalani hidup. Hilangnya Bara bagaikan kehilangan jiwa dan raganya. Jiwa Laila seakan mati di bawa oleh lelaki itu, mati, tidak ada perasaan! "Mas..." Laila menangis. Hal yang selalu ia lakukan kerap merindukan suaminya. "Mas di mana...? Kapan pulang?" Laila meringkuk dengan lutut yang ia tekuk. Di atas ranjang ia terus memikirkan keadaan suaminya. Apa dia b
"Semoga besok ada kabar tentang Mas Bara. Aku harap Mas Bara segera pulang. Dengan begitu aku ingin tinggal di rumahnya, tidak ingin lagi di apartment ini," gumam Laila sembari membawa baju yang akan ia pakai. Kemudian perempuan itu beringsut pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum tidur. Hingga saat ia keluar dengan segera Laila naik ke atas ranjang. Siap untuk tidur malam ini.Laila menghela nafas panjang lebih dahulu. Sekarang entah kenapa ia sering mudah merasa ngantuk. Kerap kali keluar dari kamar mandi matanya sudah terasa ngantuk saja. Biasanya ia tidak merasakan hal itu, tapi akhir-akhir ini ia sering mudah mengantuk. Laila mulai memejamkan matanya yang sudah terasa berat. Perlahan, mata itu akhirnya memejam dengan dengkuran halus di dalamnya. Laila tertidur. Setelah seharian pula ia disibukan dengan pekerjaan sana-sini membuat Laila mudah mengantuk saja. Tentunya sebelum itu Laila sudah berdoa lebih dahulu. Kemudian pada akhirnya tertidur dengan pulas. Namun
"Mas Bara ... pulang Mas ... pulang ... " Dengan gemetar Laila mengucapkan hal itu. Kedua lututnya ia peluk, sedang matanya sudah merembes jatuh dengan begitu deras. "Hey? Laila? Tenang sayang, kamu kenapa?" Pertanyaan di sana membuat tangis Laila kian pecah. "Mas di mana, ha?! Mas di mana?! Pulang Mas, pulang!" teriak Laila terpekik hebat. "Laila takut, Mas ... Laila takut..." Nafasnya semakin memburu sedang di sebrang sana suara panik nampak begitu kentara. "Tenang sayang. Maaf, maaf Mas baru buka ponsel Mas Laila. Sekarang, tenanglah ... besok Mas pulang. Iya, besok Mas pulang. Sekarang kamu yang tenang ya?"Laila menggeleng keras. "Laila engga bisa tenang Mas sebelum kamu ada di sini! Laila takut, Laila benar-benar takut!" teriaknya dengan tersendat-sendat. "Mas cepet pulang..." Laila semakin ketakutan. Dia semakin menangis dengan tubuh bergetar hebat. "Iya, Mas besok pulang sayang. Besok, ya? Tunggu Mas. Sekarang kamu di mana?" Suara di sana tak kalah panik. Bara benar-bena
"Shhhh, sial!" Ringisan yang keluar dari mulut seseorang membuat atensi orang lain teralihkan. "Kenapa lagi?" tanya temannya heran. Dia menatap pada seseorang itu yang sedari tadi meringis kesakitan. Yang mana matanya melebar kala melihat luka sayatan di balik lengan kirinya. "Biasa?" tanyanya tertawa mengejek. "Diem!" jawabnya marah. "Lagian kayak gak ada kerjaan sampe-sampe ngelakuin hal yang enggak wajar!" jawab lelaki itu dengan tampang cuek. Sedang seseorang itu mendelik ke arahnya. "Sampai kapanpun Laila hanya milikku! Tidak ada yang bisa menggantikannya selain saya! Kau mengerti?" tanyanya bengis. Orang itu tertawa. "Gila! Sampe segitunya atas apa yang telah kau lakukan. Apa kau enggak merasa takut kalau nanti Laila tau? Menurutku, dia akan marah saat tahu, siapa dalang seseorang yang sering main ketika malam hari."Seseorang itu tertawa. "Saya memang sudah gila. Sampai-sampai saya melakukan kegilaan dengan cara seperti ini. Tidak ada cara lain untuk mendapatkannya dengan
Laila menjalankan mobilnya menuju kediaman Bara. Selepas salat Shubuh ia langsung meluncur pulang. Sudah tidak ingin berlama-lama di apartement yang menurutnya angker. Padahal awalnya apartemen itu baik-baik saja. Malah nyaman. Tapi makin ke sini, Laila benar-benar takut akan sosok berjubah hitam itu. Ah, entah itu berjubah hitam atau bayangan hitam. Laila tidak tahu. Yang ia tahu bahwa makhluk itu benar-benar tak kasatmata. Mobil itu membelah jalan di atas kecepatan rata-rata. Namun, tatapan Laila terhenti pada kaca spion. Di mana ada mobil hitam yang nampak mengikutinya dari belakang. Kening Laila mengerut, dengan cepat dia menginjakkan pedal gasnya. Dan benar, mobil hitam mengkilat itu ikut menancapkan gasnya. Laila mendesis. Dengan segera ia membelokkan mobilnya diantara mobil lain. Tatapannya sesekali mengarah pada kaca spion yang sedikit tertinggal. Laila tersenyum, mobilnya masih diantara mobil lain. Karena merasa mobil itu sudah tertinggal di belakang sana membuat Laila se
Karena hari ini adalah tugas Laila dalam membimbing anak-anak magang membuat ia harus lebih pagi datang ke kantor. Asyam, pria itu bahkan sudah beberapa kali menelfonnya untuk menanyakan keberadaan dirinya yang belum sampai. [Nanti Mas bakal kabarin ya, sayang. Soalnya hari ini Mas ada urusan dahulu sebentar.] Pesan dari Laila membuat sang empu menghela nafas. [Jangan lupa telfon Laila kalau Mas udah di dalam pesawat. Dan kabarin pesawat apa yang Mas naiki!] send. Laila mengirimkan pesan tersebut kemudian ia melajukan mobilnya membelah jalan. Sesampainya di tujuan. "Zahra?" Suara itu membuat atensi Laila yang baru keluar dari mobil langsung teralihkan. "Syam?" ujar Laila menyapa. Sangat tidak mungkin jika ia hanya menampilkan raut tidak nyamannya. "Kamu baik-baik aja, kan?" tanya Asyam tiba-tiba. Laila menoleh, dia mengambil tas lebih dahulu dan menyimpannya di sebelah pundak. "Baik. Memangnya aku terlihat sedang tidak baik, kah?" tanya balik Laila. Kini keduanya tengah berj
"Bunda? Di dalam pelut Bunda ini, nanti bakal ada belapa bayi?" tanya anak kecil berumur 3 tahun. Dia Albyshaka Ghibran Arseno, anak pertama Bara dan Laila. Setelah proses yang sempat tertunda akibat kecelakaan dahulu membuat Laila bisa kembali hamil. "Eum, berapa ya ...?" Laila nampak berpikir, jari telunjuknya tersimpan di dagu. "Emangnya kakak maunya berapa?" tanya Laila. Bukannya menjawab Laila malah balik bertanya. "Alby maunya sih satu. Laki-laki lagi! Kalau pelempuan Alby gak mau, pelempuan itu banyak maunya Bunda, telus celewet lagi! Shaka gak mau!" Laila tertawa atas keinginan Alby yang terlewat jujur. "Tapi kalau nanti adik kamu perempuan, gimana? Semuanya kan, sudah kehendak Allah," ucap Laila. "Kehendak itu apa Bunda?" tanya Alby mengerutkan keningnya. Laila yang tengah duduk di kursi taman itu membuat Alby ikut duduk di samping sang Bunda. "Kehendak itu sebuah keinginan, kemauan atau juga bisa harapan. Suatu hal yang tidak bisa kita paksakan kecuali dengan mengikut
Suara tangis bayi menggema di udara, membuat Laila yang tengah membereskan beberapa pakaian harus terhenti. Ah, anaknya sudah bangun ternyata. Dengan segera Laila menuju ranjang, hendak mengambil anaknya namun gerakannya terhenti kala melihat Bara yang tengah tertidur pulas. "Astaghfirullah, di mana bayinya?" Suara tangis itu ada, hanya saja kenapa anaknya tidak terlihat. Namun sedetik kemudian Laila melotot terkejut kala selimut besar malah membungkus bayi tersebut. "Astaghfirullah, anak Bunda ... " Dengan segera Laila menyibak kasar selimut hingga selimut itu menutupi muka Bara yang asik tidur. "Cup, cup, cup. Anak Bunda ternyata udah bangun, iya? Eumm, manisnya ..." ujar Laila yang kini Alby dalam gendongannya. Anak Laila yang bernama Albyshaka itu terhenti dari tangisnya. Dia tersenyum ceria kala sang Bunda terus berceloteh sembari menggoyang-goyangkan badannya ke sana ke mari. Kini usia Alby sudah menginjak 9 bulan, yang mana sudah bisa berceloteh bahasa planet. Terbukti de
"La, Mas mohon ... bertahanlah ..." Tangis Bara kian luruh. Tubuhnya gemetar dengan tatapan mata yang mengarah pada lampu bewarna merah, di mana sang istri berada. "Bara?" Sebuah seruan di belakang sana membuat Bara membalikkan badan hingga melihat Vano berlari ke arahnya. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Vano cemas. Dia berdiri di hadapan Bara, dan bukannya menjawab pertanyaan sang Ayah, Bara dengan segera memeluk tubuh Vano. "Ayah, Bara takut .. Laila---""Kita doakan keselamatan untuk Laila. Insya Allah dia pasti akan baik-baik saja," ucap Vano berusaha menenangkan sang anak. Walau nyatanya dia juga ikut merasakan takut. Tidak bisa dipungkiri, rasa takut itu kian bertambah kala pintu di mana Laila berada terbuka. Membuat Bara dan Vano langsung menatap sang Dokter yang baru keluar. "Dok--?""Siapa wali dari pasien ini?""Saya, saya suaminya Dok? A--ada apa?" tanya Bara berusaha mungkin untuk tenang. Walau faktanya tidak. "Pasien mengalami pendarahan yang cukup fatal. Menja
Dalam remang-remang Laila membuka mata pelan. Masih dalam proses kesadaran, Laila menatap ruangan serba putih itu. Bukan rumah sakit atau ruangan lainnya. Melainkan warna putih yang tidak berbentuk apa-apa. Laila masih dalam keterdiaman, masih merasakan kenyamanan yang baru kali ini ia rasakan. Sebuah kenyamanan yang terasa sejuk nan menentramkan. Sampai saat sebuah suara terdengar membuat lamunan Laila terbuyarkan. "Hah!" Laila beranjak duduk. Nafasnya sedikit memburu. Yang kemudian matanya melirik di sekitar ruangan tersebut. Putih, hanya putih yang Laila tangkap di dalam ruangan ini. "Putri Abi ..."Sebuah seruan membuat Laila kembali menoleh yang mana membuat Laila terbelalak. "Abi?!" pekik Laila dengan segera berlari. Berlari menuju Abinya yang tengah tertawa. Detik berikutnya Laila memeluk Rahman yang sudah lama ini tidak Laila peluk. Ya, setelah 5 tahun lamanya atas kepergian sang Ayah membuat Laila merindukan sosoknya. "Abi, ternyata Abi ada di sini juga? Ya Allah, Laila
Makin besar perut Laila makin besar pula harapan yang selalu Laila nantikan. Ya, akan kelahiran bayi ini yang mungkin sebulan lagi. Kini Laila tengah duduk bersantai di depan TV. Semakin hari dirinya hanya berdiam diri di tempat. Jik tidak paling hanya membereskan rumah dengan menyapu lantai, membantu Mbok Eka. Tidak banyak, namun cukup membuat keringat Laila bercucuran. Kata Uminya hal seperti ini baik untuk Ibu hamil. Karena dengan begitu akan memperlancar dalam melahirkan. Dan tentu, setiap pagi Laila selalu jalan pagi bersama Bara. Hal itu pun katanya memudahkan dalam lahiran.Rumah kini sepi. Bara yang tengah bekerja, Mbok Eka yang pergi berbelanja, dan Pak Imron yang katanya istrinya tengah sakit. Menjadikan dia harus pulang untuk menjenguk. "Ya Allah bosan ..," keluh Laila. Menjadi Ibu hamil terasa serba salah. Duduk begini pegal, duduk begitu sakit, mau duduk seperti apapun rasanya benar-benar tidak nyaman. Derrrtt DerrtttSuara dering ponsel terdengar membuat atensi Laila
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Tidak terasa, usia kandungan Laila sudah naik 8 bulan. Pemeriksaan rutin mingguan sering dilakukan, demi sang bayi yang ingin sehat, apapun akan Bara dan Laila lakukan."Assalamu'alaikum?" Bara baru masuk ke dalam. Laila yang tengah makan buah apel di atas karpet langsung menjawab panggilan sang suami. "Wa'alaikumussalam," jawabnya. Bara tersenyum kala melihat sang istri tengah lesehan di atas karpet. Dengan segera dia ikut lesehan di atas karpet dengan menjatuhkan kepalanya di atas kaki Laila yang diselonjorkan. Sebelum itu Laila mencium punggung tangan Bara yang habis pulang kerja. "Enggak biasanya pulang siang, Mas?" tanya Laila masih sibuk mengupas apel. Sedang Bara sudah mencium perut Laila yang sudah membesar itu."Mas rindu kamu, emang enggak boleh?"Laila terkekeh, "boleh dong sayang, apa sih yang enggak boleh buat kamu? Kamu ngidam aneh aja Laila lakuin!" sindirnya dengan sehalus mungkin. Namun, sang empu malah tertawa mendeng
"Eugh ..." Laila melenguh dalam tidurnya. Matanya merem-melek dengan gerakan pelan. Hingga, kala mata itu terbuka sebuah senyuman terbit di bibir Laila. Wajah suaminya. Ya, di depannya Bara masih tertidur pulas dengan dengkuran yang amat halus. Refleks Laila semakin memeluk Bara dari depan. Mengingat kejadian malam itu membuat Laila merasa lega. Sangat. Walau terasa sakit tapi, dia juga menikmatinya. Pelan, Bara ikut membuka mata. Menarik Laila agar lebih dekat dengannya. Dikecupnya kening Laila dengan begitu lembut. Yang kemudian mengusap lembut rambut sang istri. "Terima kasih ya sayang?" ucap Bara dengan terus menerus mencium kening Laila. Tubuh yang masih polos itu saling melekat hangat. Laila tersenyum. "Makasih juga Mas. Akhirnya, akhirnya Mas Bara nebang Laila," ucapnya parau. Namun, dengan tiba-tiba Bara menarik Laila yang malah sudah menangis. "Hey? Sayang, kenapa nangis?" Dengan sigap Bara menghapus air mata Laila yang jatuh menetes. "Udah, jangan nangis. Harusnya kita
Laila menghela nafas pelan. Dia duduk di tepi ranjang dengan jantung yang deg-deg an. Bagaimana tidak deg-degan, selepas makan Bara berlalu pergi tanpa mengatakan apapun. Entah ke mana, yang pasti Bara pergi setelah makan itu selesai.Dan sekarang Laila harus menunggu sang suami pulang. Apalagi teringat akan Bara yang sudah menginginkan dirinya malam ini. Hal yang jelas membuat Laila deg-degan. Berpikir bahwa haruskah malam ini keduanya melakukan hubungan suami-istri? Apakah malam ini keduanya akan memadu kasih? Tiba-tiba pipi Laila memanas. Memikirkannya saja sudah membuatnya panas-dingin. Tapi, jikapun tidak ... bukankah selama ini inilah yang ia harapkan? Memadu kasih hingga terciptanya sang buah hati? Bukankah ini yang Laila harapkan setelah bertahun-tahun lamanya? Masa dirinya masih belum siap? Tidak! Laila menggeleng. Malam ini harus menjadi malam paling indah untuk keduanya. Terutama untuk Bara, suaminya! Laila beranjak berdiri. Beringusut menuju lemari yang sebelumnya dia
"Alhamdulillah ya Allah, akhirnya ..." Mata Laila berbinar indah kala menatap pemandangan yang belum pernah ia lihat. Di mana ia dan sang suami sudah berada di Turki. Perjalanan dari Indonesia ke Turki membutuhkan waktu sekitar 4 jam. Yang mana waktu antara Indonesia-Turki jauh berbeda. Yang mana mereka turun dari Bandara Turki tepat pukul 21.00. Perbedaan waktu yang cukup jauh bukan? Yah, jika di Indonesia mungkin hari ini jam satu pagi, tapi karena ini di Turki membuat jalanan kota ini masih nampak sangat ramai. Tidak hanya ramai, tapi ramai sekali. Bara tersenyum, raut kebinaran dari matanya pun tidak bisa terelakkan. Dia begitu takjub melihat negara yang baru kali ini ia lihat. "Biar Mas yang bawakan barangnya," ucap Bara sembari mengambil alih koper yang Laila pegang. "Gpp, Mas. Biar Laila aja.""Udah, kamu lebih baik diam aja. Bias Mas! "Baiklah."Bara mengambil barang-barang bawaan. Melihat sebuah taksi membuat keduanya langsung masuk dan melaju ke Hotel Aydinli. Katanya,