Mata Laila sudah terbelalak saja, sedang Asyam malah senyum-senyum sendiri. Disatukan seperti ini jelas membuat jantung Asyam berdetak dua kali lebih cepat. "Bu? Ma--maaf, tapi ... " Laila melepaskan pelukannya lebih dahulu. Terasa tidak nyaman karena berdekatan dengan jarak menempel pada Asyam. "Maaf, Laila bukan istrinya Asyam!" ujar Laila membuat Bu Rahayu nampak heran. "Lho?" tanyanya. Pasalnya keduanya itu memang seperti pasangan suami-istri yang romantis. Cocok lagi. "Bukan, Bu. Saya masih lajang..." Asyam berujar membuat lirikan Laila menoleh padanya. Asyam menggaruk tengkuknya saat ditatap sedemikian lekat oleh Laila, jelas hal yang membuatnya jadi salah tingkah. "Oalaahhh, tak kira kalian itu suami-istri, ternyata bukan toh..." Bu Rahayu terkikik kecil, sedang Laila hanya mampu tersenyum. Asyam? Dia hanya merasakan canggung saja."Terus? Anak Ibu?" tanya Bu Rahayu membuat pandangan Laila dan Asyam saling bertukar. "Eum, gimana kalau kita bicara di tempat lain saja Bu? K
"Entah siapa yang salah. Tapi, Mas Bara selalu berpikir bahwa memang Ibunya tidak pernah perduli padanya. Dengan begitu, dia siap melawan kasus ini sampai ke hukum. Mas Bara akan siap berdalih apapun agar bisa menjadikan Sharu sebagai anak angkatnya ... Bu?" Laila menggenggam tangan yang nampak sudah keriputan ini. "Mungkin ini salah, tapi ... kesalahan ini bukan sepenuhnya salah Mas Bara, kan? Dia hanya ingin menjadikan Sharu sebagai anak angkatnya. Dia sangat menginginkan hal itu, sampai-sampai memintaku untuk membantunya ke jalur hukum. Hanya saja aku menolak permintaannya itu saat mengetahui siapa Ibu asli dari Sharu. Dan saat itu ... hubungan kami mulai melenggang. Beberapa masalah bahkan datang silih berganti. Laila tidak tahu apa yang harus Laila lakukan tapi ... jika menurut Ibu ini salah maka---""Enggak Laila, suami kamu enggak salah." Bu Rahayu langsung menyela. "Dan apa yang dia lakukan pun, itu tidak salah ..." Bu Rahayu menghela nafas pelan, sedang Laila masih menatap l
Derrtttt DerrrtttSuara dering ponsel yang begitu nyaring membuat mata yang terpejam itu harus tergerak sudah. Dengan segera ia mengambil ponsel dengan mata yang masih mengantuk. "Laila?! Ini saya, ayok bangun!" Suara yang begitu familiar membuat Laila langsung membuka matanya. Hah! Bahkan mendengar suara nyaringnya saja sudah cukup membuatnya terbangun. Dia menatap ponselnya lebih dahulu. Bu Rahayu. Pantas saja. Namun yang jadi masalahnya... Ini masih jam 02.00!! "Laila cepat bangun! Ayo, saya nungguin kamu di luar nih ... " ucapnya dengan menggebu-gebu. Laila memijit pelipisnya frustasi. Biasanya ia bangun jam 4, itupun karena pekerjaan yang akhir-akhir ini selalu menumpuk. Namun sekarang, belum saja ia tidur 7 jam, tapi malah sudah terbangun. Ah iya. Lagipula semalam ia menunggu pesan dari Bara. Berharap lelaki itu membalas pesannya. Namun tidak, lelaki itu bahkan tidak aktif. Pesan yang ia kirim masih centang satu abu-abu. "Laila ... ? Aduh, ayo dong ... kita olahraga! Sa
Laila tersenyum dalam menerima buket bunga tersebut. Hal yang jelas membuat Asyam tersenyum lebar. Sorak tepuk tangan menggema di dalam ruangan tersebut. Saling bersiul bahkan ada yang mengatakan cie-cie di dalamnya. Nampak heboh, ricuh! Laila terdiam, dia masih setia tersenyum ke arah Asyam. "Berdiri, Syam. Jangan seperti itu!" ujar Laila membuat Asyam dengan segera beranjak berdiri. "Terima kasih, Zahra. Aku---aku benar-benar tidak menyangka kau akan menerima hal ini?" tanya Asyam dengan wajah yang amat kentara bahagia. Laila hanya tersenyum simpul. Memeluk buket bunga tersebut dengan tatapan binar. Beberapa jam kemudian. Saat semuanya membaik seperti biasa. Laila yang tengah berjalan menuju ruangannya dengan sesama rekan yang ada di sampingnya tersenyum saat di depannya Asyam tengah berjalan. "Syam?" panggil Laila tiba-tiba. Hal yang jelas membuat Asyam berhenti saat itu juga. "Ekhem, aku pergi duluan..." Wanita di sebelah Laila tiba-tiba menyenggol bahunya. Membuat Laila t
Laila menggerutu dalam hatinya. Karena mimpi buruk itu membuat Laila semakin melajukan mobilnya di atas rata-rata. Sedang Bu Rahayu yang berada di sebelahnya hanya bisa komat-kamit berdoa agar bisa selamat. Jantungnya semakin berdebar saja. "Aduh, Laila ... pelan-pelan, jantung saya rasanya mau copot nih!"Laila menghela nafas, sedikit memelankan lajunya. "Maaf ya Bu. Habisnya Laila benar-benar telat ini."Bu Rahayu mengerti. Tapi, salah siapa juga coba bangunnya kesiangan? Kan jadinya harus dikejar waktu. "Lagian kamu habis ngapain sampe telat bangun? Untung saya tadi yang udah bangunin kamu, kalau enggak. Pasti bakal lebih dimarahin kan?"Laila benar-benar mengutuk dirinya. Lagipula salah Bu Rahayu juga yang sudah membuatnya seperti ini. Jika saja tadi tidurnya tidak terganggu, mungkin mimpi menyeramkan itu tidak akan terjadi. Dan tentu dirinya tidak akan telat begini. "Iya deh Bu. Laila minta maaf." Pada akhirnya hanya itu yang keluar dari mulut Laila. Sampai beberapa menit ke
Kini waktu istirahat tiba. Laila merasa tidak bersemangat untuk pergi ke kantin. Mengingat akan mimpi buruk itu membuatnya takut bertemu dengan Asyam. Walau jelas Asyam tidak bersalah padanya namun tetap saja, ia takut bertemu Asyam untuk saat ini. Tok Tok Tok! Nah. Seperti halnya dalam mimpi. Suara itupun terdengar dalam telinga Laila. "Masuk!"Pintu terbuka, menampilkan seseorang yang persis seperti di dalam mimpi. "Permisi Bu! Waktunya istirahat, Ibu ditunggu juga sama rekan-rekan yang lain!""Eh tunggu!" ucap Laila menghentikan OB tersebut. Pria itu menoleh dengan kening mengenyit."Bapak bisa enggak bisa antarkan saya makanan langsung ke sini? Kebetulan saya enggak bisa ke sana karena tugas masih menumpuk.""Oh bisa, Bu. Sebentar, saya ambilkan dulu," ucapnya kemudian beringsut pergi. Sedang Laila tersenyum senang, setidaknya hal-hal yang mungkin akan terjadi tidak akan terjadi hari ini.**Akhirnya, akhirnya sesi pulang tiba juga. Hal yang sangat dinantikan oleh Laila. Ya!
Seminggu sudah berlalu, rasa resah, takut, cemas mulai dirasakan Laila saat keadaan Bara tak kunjung ada. Sudah seminggu sudah suaminya hilang bagaikan tertelan bumi. Tidak ada kabar sama sekali! Ribuan pesan yang selalu Laila kirim tidak pernah Bara buka. Ah tidak. Jangankan membukanya, aktif saja dia tidak pernah. Kabar apapun berupa surat atau hal lain tidak ada! Termasuk kabar yang masuk ke dalam informasi di kantor Axa, tidak ada sama sekali! Laila mulai resah. Takut. Sangat malah! Bahkan sudah seminggu ini pun Laila selalu urung-uringan menangis. Mood nya tidak pernah membaik atau pun ia tidak pernah semangat dalam menjalani hidup. Hilangnya Bara bagaikan kehilangan jiwa dan raganya. Jiwa Laila seakan mati di bawa oleh lelaki itu, mati, tidak ada perasaan! "Mas..." Laila menangis. Hal yang selalu ia lakukan kerap merindukan suaminya. "Mas di mana...? Kapan pulang?" Laila meringkuk dengan lutut yang ia tekuk. Di atas ranjang ia terus memikirkan keadaan suaminya. Apa dia b
"Semoga besok ada kabar tentang Mas Bara. Aku harap Mas Bara segera pulang. Dengan begitu aku ingin tinggal di rumahnya, tidak ingin lagi di apartment ini," gumam Laila sembari membawa baju yang akan ia pakai. Kemudian perempuan itu beringsut pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum tidur. Hingga saat ia keluar dengan segera Laila naik ke atas ranjang. Siap untuk tidur malam ini.Laila menghela nafas panjang lebih dahulu. Sekarang entah kenapa ia sering mudah merasa ngantuk. Kerap kali keluar dari kamar mandi matanya sudah terasa ngantuk saja. Biasanya ia tidak merasakan hal itu, tapi akhir-akhir ini ia sering mudah mengantuk. Laila mulai memejamkan matanya yang sudah terasa berat. Perlahan, mata itu akhirnya memejam dengan dengkuran halus di dalamnya. Laila tertidur. Setelah seharian pula ia disibukan dengan pekerjaan sana-sini membuat Laila mudah mengantuk saja. Tentunya sebelum itu Laila sudah berdoa lebih dahulu. Kemudian pada akhirnya tertidur dengan pulas. Namun
"Bunda? Di dalam pelut Bunda ini, nanti bakal ada belapa bayi?" tanya anak kecil berumur 3 tahun. Dia Albyshaka Ghibran Arseno, anak pertama Bara dan Laila. Setelah proses yang sempat tertunda akibat kecelakaan dahulu membuat Laila bisa kembali hamil. "Eum, berapa ya ...?" Laila nampak berpikir, jari telunjuknya tersimpan di dagu. "Emangnya kakak maunya berapa?" tanya Laila. Bukannya menjawab Laila malah balik bertanya. "Alby maunya sih satu. Laki-laki lagi! Kalau pelempuan Alby gak mau, pelempuan itu banyak maunya Bunda, telus celewet lagi! Shaka gak mau!" Laila tertawa atas keinginan Alby yang terlewat jujur. "Tapi kalau nanti adik kamu perempuan, gimana? Semuanya kan, sudah kehendak Allah," ucap Laila. "Kehendak itu apa Bunda?" tanya Alby mengerutkan keningnya. Laila yang tengah duduk di kursi taman itu membuat Alby ikut duduk di samping sang Bunda. "Kehendak itu sebuah keinginan, kemauan atau juga bisa harapan. Suatu hal yang tidak bisa kita paksakan kecuali dengan mengikut
Suara tangis bayi menggema di udara, membuat Laila yang tengah membereskan beberapa pakaian harus terhenti. Ah, anaknya sudah bangun ternyata. Dengan segera Laila menuju ranjang, hendak mengambil anaknya namun gerakannya terhenti kala melihat Bara yang tengah tertidur pulas. "Astaghfirullah, di mana bayinya?" Suara tangis itu ada, hanya saja kenapa anaknya tidak terlihat. Namun sedetik kemudian Laila melotot terkejut kala selimut besar malah membungkus bayi tersebut. "Astaghfirullah, anak Bunda ... " Dengan segera Laila menyibak kasar selimut hingga selimut itu menutupi muka Bara yang asik tidur. "Cup, cup, cup. Anak Bunda ternyata udah bangun, iya? Eumm, manisnya ..." ujar Laila yang kini Alby dalam gendongannya. Anak Laila yang bernama Albyshaka itu terhenti dari tangisnya. Dia tersenyum ceria kala sang Bunda terus berceloteh sembari menggoyang-goyangkan badannya ke sana ke mari. Kini usia Alby sudah menginjak 9 bulan, yang mana sudah bisa berceloteh bahasa planet. Terbukti de
"La, Mas mohon ... bertahanlah ..." Tangis Bara kian luruh. Tubuhnya gemetar dengan tatapan mata yang mengarah pada lampu bewarna merah, di mana sang istri berada. "Bara?" Sebuah seruan di belakang sana membuat Bara membalikkan badan hingga melihat Vano berlari ke arahnya. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Vano cemas. Dia berdiri di hadapan Bara, dan bukannya menjawab pertanyaan sang Ayah, Bara dengan segera memeluk tubuh Vano. "Ayah, Bara takut .. Laila---""Kita doakan keselamatan untuk Laila. Insya Allah dia pasti akan baik-baik saja," ucap Vano berusaha menenangkan sang anak. Walau nyatanya dia juga ikut merasakan takut. Tidak bisa dipungkiri, rasa takut itu kian bertambah kala pintu di mana Laila berada terbuka. Membuat Bara dan Vano langsung menatap sang Dokter yang baru keluar. "Dok--?""Siapa wali dari pasien ini?""Saya, saya suaminya Dok? A--ada apa?" tanya Bara berusaha mungkin untuk tenang. Walau faktanya tidak. "Pasien mengalami pendarahan yang cukup fatal. Menja
Dalam remang-remang Laila membuka mata pelan. Masih dalam proses kesadaran, Laila menatap ruangan serba putih itu. Bukan rumah sakit atau ruangan lainnya. Melainkan warna putih yang tidak berbentuk apa-apa. Laila masih dalam keterdiaman, masih merasakan kenyamanan yang baru kali ini ia rasakan. Sebuah kenyamanan yang terasa sejuk nan menentramkan. Sampai saat sebuah suara terdengar membuat lamunan Laila terbuyarkan. "Hah!" Laila beranjak duduk. Nafasnya sedikit memburu. Yang kemudian matanya melirik di sekitar ruangan tersebut. Putih, hanya putih yang Laila tangkap di dalam ruangan ini. "Putri Abi ..."Sebuah seruan membuat Laila kembali menoleh yang mana membuat Laila terbelalak. "Abi?!" pekik Laila dengan segera berlari. Berlari menuju Abinya yang tengah tertawa. Detik berikutnya Laila memeluk Rahman yang sudah lama ini tidak Laila peluk. Ya, setelah 5 tahun lamanya atas kepergian sang Ayah membuat Laila merindukan sosoknya. "Abi, ternyata Abi ada di sini juga? Ya Allah, Laila
Makin besar perut Laila makin besar pula harapan yang selalu Laila nantikan. Ya, akan kelahiran bayi ini yang mungkin sebulan lagi. Kini Laila tengah duduk bersantai di depan TV. Semakin hari dirinya hanya berdiam diri di tempat. Jik tidak paling hanya membereskan rumah dengan menyapu lantai, membantu Mbok Eka. Tidak banyak, namun cukup membuat keringat Laila bercucuran. Kata Uminya hal seperti ini baik untuk Ibu hamil. Karena dengan begitu akan memperlancar dalam melahirkan. Dan tentu, setiap pagi Laila selalu jalan pagi bersama Bara. Hal itu pun katanya memudahkan dalam lahiran.Rumah kini sepi. Bara yang tengah bekerja, Mbok Eka yang pergi berbelanja, dan Pak Imron yang katanya istrinya tengah sakit. Menjadikan dia harus pulang untuk menjenguk. "Ya Allah bosan ..," keluh Laila. Menjadi Ibu hamil terasa serba salah. Duduk begini pegal, duduk begitu sakit, mau duduk seperti apapun rasanya benar-benar tidak nyaman. Derrrtt DerrtttSuara dering ponsel terdengar membuat atensi Laila
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Tidak terasa, usia kandungan Laila sudah naik 8 bulan. Pemeriksaan rutin mingguan sering dilakukan, demi sang bayi yang ingin sehat, apapun akan Bara dan Laila lakukan."Assalamu'alaikum?" Bara baru masuk ke dalam. Laila yang tengah makan buah apel di atas karpet langsung menjawab panggilan sang suami. "Wa'alaikumussalam," jawabnya. Bara tersenyum kala melihat sang istri tengah lesehan di atas karpet. Dengan segera dia ikut lesehan di atas karpet dengan menjatuhkan kepalanya di atas kaki Laila yang diselonjorkan. Sebelum itu Laila mencium punggung tangan Bara yang habis pulang kerja. "Enggak biasanya pulang siang, Mas?" tanya Laila masih sibuk mengupas apel. Sedang Bara sudah mencium perut Laila yang sudah membesar itu."Mas rindu kamu, emang enggak boleh?"Laila terkekeh, "boleh dong sayang, apa sih yang enggak boleh buat kamu? Kamu ngidam aneh aja Laila lakuin!" sindirnya dengan sehalus mungkin. Namun, sang empu malah tertawa mendeng
"Eugh ..." Laila melenguh dalam tidurnya. Matanya merem-melek dengan gerakan pelan. Hingga, kala mata itu terbuka sebuah senyuman terbit di bibir Laila. Wajah suaminya. Ya, di depannya Bara masih tertidur pulas dengan dengkuran yang amat halus. Refleks Laila semakin memeluk Bara dari depan. Mengingat kejadian malam itu membuat Laila merasa lega. Sangat. Walau terasa sakit tapi, dia juga menikmatinya. Pelan, Bara ikut membuka mata. Menarik Laila agar lebih dekat dengannya. Dikecupnya kening Laila dengan begitu lembut. Yang kemudian mengusap lembut rambut sang istri. "Terima kasih ya sayang?" ucap Bara dengan terus menerus mencium kening Laila. Tubuh yang masih polos itu saling melekat hangat. Laila tersenyum. "Makasih juga Mas. Akhirnya, akhirnya Mas Bara nebang Laila," ucapnya parau. Namun, dengan tiba-tiba Bara menarik Laila yang malah sudah menangis. "Hey? Sayang, kenapa nangis?" Dengan sigap Bara menghapus air mata Laila yang jatuh menetes. "Udah, jangan nangis. Harusnya kita
Laila menghela nafas pelan. Dia duduk di tepi ranjang dengan jantung yang deg-deg an. Bagaimana tidak deg-degan, selepas makan Bara berlalu pergi tanpa mengatakan apapun. Entah ke mana, yang pasti Bara pergi setelah makan itu selesai.Dan sekarang Laila harus menunggu sang suami pulang. Apalagi teringat akan Bara yang sudah menginginkan dirinya malam ini. Hal yang jelas membuat Laila deg-degan. Berpikir bahwa haruskah malam ini keduanya melakukan hubungan suami-istri? Apakah malam ini keduanya akan memadu kasih? Tiba-tiba pipi Laila memanas. Memikirkannya saja sudah membuatnya panas-dingin. Tapi, jikapun tidak ... bukankah selama ini inilah yang ia harapkan? Memadu kasih hingga terciptanya sang buah hati? Bukankah ini yang Laila harapkan setelah bertahun-tahun lamanya? Masa dirinya masih belum siap? Tidak! Laila menggeleng. Malam ini harus menjadi malam paling indah untuk keduanya. Terutama untuk Bara, suaminya! Laila beranjak berdiri. Beringusut menuju lemari yang sebelumnya dia
"Alhamdulillah ya Allah, akhirnya ..." Mata Laila berbinar indah kala menatap pemandangan yang belum pernah ia lihat. Di mana ia dan sang suami sudah berada di Turki. Perjalanan dari Indonesia ke Turki membutuhkan waktu sekitar 4 jam. Yang mana waktu antara Indonesia-Turki jauh berbeda. Yang mana mereka turun dari Bandara Turki tepat pukul 21.00. Perbedaan waktu yang cukup jauh bukan? Yah, jika di Indonesia mungkin hari ini jam satu pagi, tapi karena ini di Turki membuat jalanan kota ini masih nampak sangat ramai. Tidak hanya ramai, tapi ramai sekali. Bara tersenyum, raut kebinaran dari matanya pun tidak bisa terelakkan. Dia begitu takjub melihat negara yang baru kali ini ia lihat. "Biar Mas yang bawakan barangnya," ucap Bara sembari mengambil alih koper yang Laila pegang. "Gpp, Mas. Biar Laila aja.""Udah, kamu lebih baik diam aja. Bias Mas! "Baiklah."Bara mengambil barang-barang bawaan. Melihat sebuah taksi membuat keduanya langsung masuk dan melaju ke Hotel Aydinli. Katanya,