Laila menutup pintu dengan kasar. Tangisnya tak terbendungi lagi saat ia keluar dari kamar yang terasa sangat menyesakkan. Sakit. Sesak. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menangis untuk saat ini. Hingga dengan kasar ia semakin menyeret koper untuk turun ke bawah. Tidak perduli pada roda koper tersebut yang terbentur pada anak tangga. Yang penting ia harus cepat-cepat keluar dari rumah ini. "Non? Astaghfirullah, non?" Mbok Eka berseru saat melihat majikannya menangis dengan muka memerah. Dia bahkan berlari untuk menghentikan majikannya itu. "Non? Non kenapa?" tanya Mbok Eka dengan khawatir saat ia menahan pergelangan tangan Laila. Laila sontak berhenti, membalikkan badan saat wajah Mbok Eka yang ia dapati. Tidak bisa membendung rasa sesak dan sakitnya seorang diri, dengan sigap Laila memeluk tubuh wanita paruh baya ini. Wanita yang sudah 5 tahun lebih ini ada bersama dengan Laila. Wanita yang sudah Laila anggap seperti ibunya sendiri. Wanita yang selama ini selalu menyemangat
Bugh! Asyam langsung menghajar Bara tepat di rahang pria itu. Hal yang membuat orang-orang di sana terpekik histeris. Berteriak heboh. Bugh! Untuk kedua kalinya mereka dibuat terpekik saat Bara membalas pukulan mengenai rahang Asyam. Asyam mengeram marah, dia kembali menghajar Bara yang mana dengan sigap Bara menahannya. "Tidak tahu malu!" gertak Bara dengan rahang mengeras. Dengan marah ia menghajar kembali Asyam dengan tangannya. "Shh!" Asyam meringis saat sudut bibirnya robek akibat bogeman yang Bara lakukan. Tidak sampai di situ Asyam menendang perut Bara hingga pria itu terjungkal ke belakang. Namun dengan sigap seseorang menahan tubuh Bara, menjadikan dia tidak terjatuh. "Dasar pengecut!!" teriak Asyam dengan menahan amarah. "Apa yang kau lakukan kepada Zahra, ha?!"Bara meringis. Ia terbatuk saat tendangan yang ia dapat mengenai perutnya langsung. "Harusnya kau tidak melakukan itu, SIALAN!" Teriakan Asyam padanya membuat Bara benar-benar marah. Dengan sigap Bara menarik
"Tunggu!" Seruan dari Bara yang tiba-tiba membuat Silvy harus terhenti dari langkahnya. Sedang Laila sudah menatap Bara dengan tatapan tajam. Bara sendiri? Dia membuka mata hingga tatapan itu jatuh tepat di manik hitam milik Laila. "Bawakan saya es batu. Tidak pakai lama!" datarnya tanpa berkedip dalam menatap Laila. Sebelumnya Laila tersentak saat mendapati wajah Bara terdapat memar di bagian rahang dan pelipisnya. Tidak lupa dengan bibirnya yang nampak sobek dan berdarah. Namun sedetik kemudian Laila membuang muka, berpura-pura tidak melihat. Keduanya saling terdiam, tanpa minat mendahului. Sampai beberapa menit kemudian Silvy membawa es batu beserta kainnya. Dia menyimpan tepat di tengah-tengah keduanya. Dengan perasaan menciut Silvy menatap silih berganti antara Bara dan Laila. Tidak ada yang tahu hubungan kedua orang tersebut. Desus-desus mengatakan kalau mereka pacaran, tunangan. Atau ada juga yang mengatakan suami istri. Karena memang sebelumnya Laila tidak mengumumkan sia
"Shhh ... suami gila! Bisa-bisanya dia merusak leherku seperti ini!" dengkus Laila mengusap lehernya yang banyak cupang. Siapa lagi kalau bukan ulah Bara? Pria itu benar-benar sudah gila! Mana dia melakukannya di kantor lagi! Laila meringis sakit dalam menatap pantulan cermin di depannya. Tanda cupang sana-sini benar-benar membuat lehernya merasakan perih. Dengan segera ia mengambil salep dan mengolesnya pada bagian yang terdapat luka. Jika dipikirkan Laila memang menikmati atas setiap yang dilakukan Bara. Hanya saja pria itu terlalu kasar dan bringas karena emosi yang dia simpan, membuat Laila merasakan bahwa Bara hanya melampiaskan kekesalan tersebut padanya lewat cara seperti ini. Apalagi Laila tahu bahwa dibalik inginnya Bara tak lain agar ia bisa kembali dan membantunya dalam masalah hak asuh Sharu. Pria itu masih menginginkan Sharu sebagai anaknya. Hal yang jelas tidak akan pernah bisa Laila lakukan. Mau bagaimana pun ia harus mempertemukan Sharu dengan Ibu kandungnya. Karena
"Jangan-jangan...?"Keduanya saling tukar pandang. "Ada seseorang yang tidak ingin melihat kamu bersama dengan Bara?" tutur Rania berseru. Laila bergeming. "Sangat masuk akal. Karena tidak mungkin jika seseorang itu bertindak sampai sejauh ini, dan memang yang dia lakukan membuat rencananya itu sangat berhasil," ucap Laila membuat Rania mengangguk menyetujui. "Tapi, Kira-kira siapa yang telah melakukan ini? Bukankah perasaan kami dekat belum genap dua bulan? Tapi, kenapa ada yang melakukan hal ini?""Laila? Jika seseorang sudah jatuh cinta, dia gak bakal kenal waktu ataupun tempat. Yang dia tau, dia harus mendapatkan sampai jadi miliknya, begitu!" tutur Rania. Laila menghembuskan nafas gusar. "Hal ini jugalah yang mungkin membuatnya bertekad melakukan sejauh ini. Yang mana, dia mengetahui kelemahan satu-sama lainnya," lanjut Rania lagi membuat Laila melirik. "Ah. Mening kita bicara di dalam, gak enak kalau berdiri saja kan?" Laila terkekeh saat menyadari bahwa mereka masih seti
"Denis..." Suara Rania yang tiba-tiba terdengar membuat Laila dengan cepat mengambil foto tersebut dan beralih duduk kembali di kursinya. Jantung Laila benar-benar berdetak sangat cepat. Ingatan akan selembar foto yang membuat rumah tangganya hancur jelas karena foto tersebut. Foto itulah yang memulainya hingga sampai ke titik ini. Namun, Laila masih heran kenapa gambar dengan gaya ini sama persis dengan gambar yang Mas Bara tunjukan? "Laila? Apa kamu mau makan juga?" tanya Rania yang muncul di balik pintu. "A--ah, a--aku mau pulang aja, Kak." Laila gelagatan. Duh, apa Rania akan curiga? Namun benar saja, Rania nampak heran mendengar gelagatan Laila. "Kenapa?" tanyanya yang mana membuat Laila harus bisa menyembunyikan raut terkejutnya. "Enggak Kak. Ah iya, aku harus cepet-cepet pergi Kak!""Lho? Belum juga lama kan? Kok main pergi-pergi aja sih?" tanya Rania membuat Laila hanya tersenyum tipis. "Se-sebenarnya Laila harus menyelesaikan dulu tugas permasalahan Sharu, Kak. Dan ten
Bara memejamkan matanya saat Laila menancapkan gas dengan kecepatan penuh. Jika hari ini ia akan mati di tangan Laila? Maka ia akan menerimanya. Dan ... Cittttt! Dengan gerakan paling tiba-tiba Laila mengerem tepat saat ujung mobil itu hampir mengenai lutut Bara. Nafasnya kembang kempis, kepalan tangan dalam kemudi masih tercetak jelas akan urat-uratnya. Laila menatap tajam Bara. Sedang Bara masih setia memejamkan matanya. Pelan, ia mengintip lewat celah matanya yang menyipit, takut-takut jika Laila benar-benar akan menabraknya. Namun sebuah senyuman terukir saat Bara menyadari bahwa Laila tidak benar-benar menabraknya. "Laila?!"Bara berseru dan langsung menuju pintu mobil Laila. Namun tidak semudah itu, tepat saat Bara berlari menuju pintu masuk mobil, Laila menancapkan gas tersebut dengan tiba-tiba. Membuat Bara yang mendapat hal itu langsung memegang jantungnya. "Laila?! Argh!" Bara berteriak frustasi saat mobil itu melintas cepat begitu saja. Dengan cepat Bara berlari men
Bara benar-benar frustasi ia kehilangan jejak istrinya yang entah lewat jalan mana. Tapi perasaan dirinya terus lurus ke depan, tidak ada belokan, tapi, kenapa Bara tidak bisa menemukan Laila? Namun saat beberapa ke depannya hanya jalan buntu yang Bara lihat. "Sial!" Bara membanting kemudi dengan keras. Memijit keningnya karena frustasi. "Itu berarti tadi Laila masih di sana? Hanya saja aku tidak melihatnya? Menyebalkan!"Tidak ada gunanya ia menyalurkan dengan hanya marah-marah saja. Sesegera mungkin ia harus menyelesaikan permasalahan ini. Jika tidak, tentu istrinya akan pergi darinya. Tidak! Itu tidak akan terjadi! Dengan cepat Bar memutar balikan jalannya. Sedikit susah karena jalan tidak terlalu besar, membuatnya harus ekstra sabar untuk membelokkan. Sesampainya selesai, dengan cepat Bara melajukan kembali mobilnya. Sekarang urusannya adalah Silvy! Ciitttt! Suara rem yang begitu nyaring membuat Pak Adhi yang tengah mengantuk dengan mata merem-melek, harus terperangah te