Diwana masih duduk terdiam di kasur kamar rumah sakit memandangi infus yang terpasang di tangan. Otaknya tak berhenti berkelana sambil memikirkan satu demi satu kemungkinan yang bisa terjadi. Jantungnya berdegup cukup kencang, membuat nafasnya ikut sedikit memburu, khawatir.
"Bun, Dokter Tano kenapa lama banget ya? Katanya beliau tuh teman Bunda?" tanyanya lembut pada bunda yang duduk di sofa. Tapi keburu disahut duluan oleh sang adik.
"Santai dong, Kak. Grogi ya? Baca-baca majalah gini nih biar santai kaya aku, ah elah grogian amat hahaha," ledek Aiden sambil tertawa kecil. Tapi semua juga tahu kalau suaranya sedikit bergetar. Diwana tahu Aiden sebenarnya tak kalah cemas darinya.
Diwa hanya tersenyum melihat Aiden sedang menutupi wajah khawatirnya dengan pura-pura membaca majalah yang bahkan tidak ia balik halamannya sejak lima belas menit yang lalu. Berjudul Kumpulan Resep MPASI Praktis Balita.
"Bentar lagi, Kak. Baru juga beberapa jam yang lalu kan ngabarinnya. Dokter Tano pasti memprioritaskan kamu." Bunda bersuara. Ia tengah megupas apel di samping Aiden, tangannya sedikit bergetar dan kecemasan terlihat jelas diwajahnya.
Kabar mengejutkan itu memang baru beberapa jam yang lalu. Tapi hidup Diwana seakan benar-benar bergantung padanya.
Seorang korban kecelakaan pagi itu terdaftar sebagai anggota organisasi donor organ yang menaungi Diwana. Setelah belasan tahun menunggu, apa yang ia tunggu akhirnya tiba. Iya, donor jantung.
Sekitar empat jam sebelumnya, Dokter teman bunda-Dokter Tano-mengatakan akan memproses semuanya dengan cepat dan segera memberi kabar. Semua tentu tidakk semudah itu, karena proses dan syarat-syarat pendonor begitupun calon penerima donor harus lolos checklist yang tidak sedikit. Inilah yang mereka khawatirkan. Tapi setidaknya Diwana sebagai calon penerima donor sedang dalam kondisi prima dan sehat.
Tetapi waktu seakan berjalan semakin lambat semakin Diwana menantikannya. Ah, bulan September yang mendung terasa sangat sendu. Langit tentu mendukung suasana menegangkan itu. Hari bersejarah yang tak akan pernah Diwana lupakan sepanjang hidupnya.
Tanpa orang lain tahu, hati Diwana sesungguhnya sedang berkecamuk kecil. Bagaimana bisa ia bahagia diatas duka orang lain yang bahkan mungkin sedang menangis meratapi nasib korban itu sekarang?
Ada rasa bersalah yang mencuat di dadanya, tentu saja. Tapi apa salahnya? Ia juga ingin hidup. Diwana yakin sang pendonor inipun akan senang ia hidup. Begitulah ia menyemangati ragunya, berusaha membuang perasaan bersalah yang hampir menguasainya.
Saat kita berlari di gurun, tentu air yang kita cari.
Saat kita terombang ambing dilaut lepas, tentu daratan yang kita tuju.
Dan saat kita sakit, tentu sembuh yang kita mau.
"Semoga cocok, semoga cocok, semoga cocok," bisik Diwana lirih dengan mata terpejam, yang ternyata tertangkap oleh telinga Aiden.
"Tenang, Kak. Aku yakin pasti cocok. Denger-denger korbannya cedera kepala, jadi semoga organnya baik-baik aja. Kondisi kakak kan juga lagi fit banget, no worry." Ia tersenyum tulus, tidak menyebalkan seperti biasanya.
"Kamu kok tumben pake aku-kamu ke Kakak? Biasanya juga pake lo-gue?" tanya Diwana bermaksud bercanda pada Aiden yang masih fokus pada majalah yang dipegang.
"Yaa.. ya nggak papa. Aku mau insyaf aja hehe," jawab Aiden sekenanya.
"Ai, kamu.. takut nggak bisa baikin Kakak lagi ya?" Entah kenapa kalimat Diwa terdengar pilu. Semuanya tiba-tiba hening selama beberapa saat. Bahkan burung diluar sana seakan ikut berhenti berkicau.
Bunda yang sedang mengupas apel pun berhenti dan berdiri.
"Bunda keluar dulu ya sebentar, mau nemuin Dokter Tano," pamit bunda dengan mata berair, tertangkap sangat jelas dimata kedua anaknya. Diwa dan Aiden tahu bunda bohong, tentu saja.
"Hmm.. kenapa aku bisanya bikin orang sedih sih," gerutu Diwa saat bunda sudah pergi. Disambut hening lagi sejurus kemudian.
"Dek, kalau donornya nggak cocok, kakak nyerah deh. Hidup bolak-balik rumah sakit nggak enak, mau bebas aja. Sebentar pun nggak papa deh. Pengen hidup diluar dengan bebas sebentar aja, abis itu nyusul ayah."
"Kak-"
"Kalau cocok pun, siapa bilang Kakak bisa bertahan waktu OP nanti? Kakak juga takut, Kakak tuh nggak sekuat itu, iya nggak sih?" Lanjutnya dengan terkekeh miris.
"Kak Diwa...."
"Titip Bunda ya kalo nanti kak-"
"KAK DIWANA...!!" Aiden tau-tau menghambur memeluk kakaknya. Melemparkan majalah MPASI-nya begitu saja ke lantai. Diwa diam-diam tersenyum dibalik punggung adiknya itu seraya membalas peluknya.
"Kamu nangis?" Tanya DiwaNA saat mendengar isakan tangis Aiden, merasa sedikit tak percaya.
"Gue cancel deh pake aku-kamu ke Lo. Malah bikin melow kan jadinya," gerutu Aiden dibalik punggung kakaknya, sambil menyerot sedikit ingus tentu saja.
"Cie, meluk aku nih? Sweet banget sih adek aku satu ini utututu..." ledek Diwana. Buru-buru Aiden melepaskan pelukannya, dan ekspresi menyebalkan Aiden pun kembali, ia menatap Diwa tajam.
"Denger ya, nggak usah sok-sokan nitip-nitip bunda segala. Lo nggak akan kemana-mana. Males banget dititip-titipin, gue bukan kurir paket..!" omel Aiden tanpa menatap kakaknya. Ia lantas menghamburkan diri ke sofa lagi, menutup wajahnya dengan majalah yang terbalik.
"Aid-"
"Apa? Nggak usah melow lagi deh. Nyesel gue meluk Lo. Tuhan... please hapus memori meluk kak Diwa, Tuhan..." ucapnya penuh drama.
"Ih, tadi tuh moment terindah aku sebagai kakak kamu tau nggak?"
"Nggak. Nggak denger, gue nggak lihat... nggak denger...!!" teriak Aiden salah tingkah.
"Hmm.. Thankyou," ucap Diwa lirih, dibalas anggukan oleh sang adik, kemudian hening lagi.
"Udah nemu resep yang cocok belum, Dek?" tanya Diwa tiba-tiba, disambut kerutan didahi sang adik, lalu menunjuk majalah yang terbalik dengan dagunya.
"Tuh..."
"DIWANA NYEBELIN DERURINDU...!"
Belum sempat Aiden memukul kakaknya dengan bantal sofa, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Kehangatan di ruangan itu tiba-tiba lenyap tergantikan kelam yang sejenak menyeruak. Detak jantung mereka seakan terdengar satu sama lain. Nafas Diwana rasanya hampir sesak karena detak jantungnya mulai berirama tak beraturan. Ia benar-benar tegang setengah mati.
Dokter Tano dan bunda masuk bersamaan ke ruangan. Dibelakangnya ada seorang perawat laki-laki membawa beberapa alat medis dan berkas-berkas di troli medis. Perawat itu kemudian berjalan menghampiri Diwana, seraya mengambil satu berkas yang entah apa isinya.
Begitu dokter Tano tersenyum kearah Diwana, semua tahu apa kabar dibaliknya. Kabar bahagia yang diantarkan melalui senyuman itu adalah yang Diwana tunggu-tunggu selama dua puluh tahun penuh.
Kehangatan pun kembali, menyeruak memenuhi ruangan. Senyum bunda juga mengembang, raut wajahnya seakan berkata 'Akhirnya, anakku..'.
Hanya raut wajah Aiden tak terdefinisikan. Ia hanya menghambur memeluk kakaknya lagi yang kini hanya diam terpaku. Sebutir air mata tertahan di sudut mata, hingga akhirnya jatuh saat hangat peluk Aiden dirasakannya.
"Ah, aku akhirnya akan benar-benar hidup?"
----
"Halo, Rindu sayang. Lagi ngapain?" ujar suara di seberang telepon, terdengar seperti ledekan yang disengaja. Disambut raut masam si penerima. "Sibuk aku, Ta. Kalo nggak penting jangan telfon dulu ya," jawab Diwana yang untuk keseribu kalinya merasa kesal kenapa bunda memberinya nama belakang 'Derurindu' yang selalu jadi bahan ejekan teman-temannya. Ia meletakkan ponsel di meja dengan mode speaker, tak berniat melepaskan pandangan dari layar komputer. Diwana kini tengah memutar otak mengutak-atik anggaran dana untuk proyek pusat perbelanjaan baru yang sedang dikerjakannya. Diwana punya banyak sekali bawahan, tentu saja, ia adalah seorang manager perusahaan retail terbesar nomor dua. Tapi sifat perfeksionis yang mendarah daging itu tak membiarkannya menyerahkan semua pekerjaan pada yang lain. Ia lebih memilih ikut pusing dan andil dalam semua tahap bebelit itu ketimbang mendapat hasil akhir yang tidak sempurna. "Diw, kamu pulang a
Deburan ombak di laut menguning itu memabukkan sekali ditelinga Diwana. Lagi, ia berdiri sepuluh meter dari sosok perempuan yang ia beri nama Biru karena gaunnya itu. “Biruuu.. aku rindu lagi. Kali ini rindunya lebih dari yang kemarin-kemarin.” Demi Tuhan, Diwana sangat ingin mendekat. Tapi ia tahu, tepat ketika tangannya membelai Biru, saat itu juga ia akan terbangun dari mimpi. Begitu peraturannya. Demi Tuhan pula, Diwana ingin sekali memanggil gadis pujaan hatinya itu. Tapi ia juga tahu, tepat ketika mulutnya berucap maka gadis itu akan lenyap nak asap mengepul di tungku perapian, kemudian terjagalah ia. Begitu peraturan kedua dimimpinya. Entah bagaimana segala peraturan-peraturan mimpinya itu bermula, Diwana tak tahu. Tidak ada yang tahu. Halusinasi di mimpinya memang sangat parah sampai-sampai wajah perempuan asing itu bisa tergambar dengan sangat jelas di memori, membuatnya tak mungkin bisa lupa dengan si gadis. Entah sejak kapa
Pagi itu suasana kantor divisi keuangan agak berbeda dari biasanya. Sembilan orang yang ternyata bawahan Diwana nampak berkerumun disatu meja di aula rapat. Meeting harusnya sudah dimulai di ruangan besar itu, yang kini justru tampak tak kondusif. Salah satu pegawai-Jeanne-tak henti-henti menelepon nomor seseorang dengan khawatir. Ya, Diwana. "Udah yang kelima belas nih, kalau Kak Diwa nggak angkat juga, kita gimana?" kata Jeanne panik, lantas mengerang frustasi saat suara operator di seberang telepon kembali terdengar, tanda si empunya tak mengangkatnya untuk yang kelima belas kali. Jeanne adalah pegawai terlama di divisi keuangan, ia direkrut bahkan sebelum perusahaan berdiri. Jadi ia paham betul bagaimana Tama CS merintis perusahaan itu. Sejak saat itu pula ia mengenal Diwana dan memberikan perhatian lebih padanya. Hanya dia yang memanggil Diwa dengan sebutan 'Kak' karena mereka memang cukup dekat sebagai rekan kerja, setidaknya menu
"Lantai sembilan apa sepuluh sih, Ta? Lupa gue." Dengan langkah tergesa, Jovyan dan Tama berjalan menuju lift. Keduanya agak lega tapi sekaligus khawatir disaat yang sama usai melihat mobil Diwana yang nampak masih terparkir di basement apartemen. Diwana hanya menaiki mobil hyundai putihnya itu saja kemana-mana, ia tidak punya sepeda kayuh ataupun sepeda motor karena ia bahkan tidak bisa mengendarai keduanya. Pun tidak pernah naik kendaraan umum seperti taksi atau bus karena tidak terbiasa. Atas dasar itulah Jovyan dan Tama menyimpulkan, Diwana ada di apartemen meski entah dalam keadaan apa. Hati keduanya sungguh tengah berdegup kencang. Tama bahkan sudah memiliki skenario di otaknya dimana Diwana mungkin sedang tergeletak kesakitan di kamar mandi, atau terbaring lemas tak sadarkan diri di atas tempat tidur. "Lantai sembilan, Jo. Kamu udah ratusan kali kesini." Tama berdecak sambil masuk ke dalam lift. Jo hanya menggaruk rambut belakangnya cengengesan
Selesai mandi, badan diwa justru semakin panas, nafasnya bahkan sedikit tak beraturan. Pusing itu menyerang lagi padahal ia harus segera berangkat kerja. Tepat ketika ia hendak mengambil obat darurat di nakas, bel pintu berbunyi. Siapa? Pikirnya. Karena memang tak banyak yang tahu apartemen Diwana, atau lebih tepatnya karena temannya pun tak banyak juga. Hanya Aiden, bunda, dan duo Jovyan Tama saja yang pernah mampir. “Maaf, siapa?” tanya Diwa dari interkom pintu rumahnya. “Mmm.. maaf mengganggu, saya penghuni baru yang pindah hari ini ke rumah 092. Apakah kakak punya nomor telepon SE yang bisa dihubungi? Interkom pintu rumah saya sepertinya bermasalah, jadi saya belum bisa masuk,” ucap suara dari seberang pintu yang ternyata adalah seorang perempuan. Dengan masih menahan sisa pening di kepalanya, Diwana mengambil kartu nama sales executive gedung yang ia simpan di dompet. Begitu ia membuka pintu, pandangannya langsung t
Kicau burung kolibri yang tadi pagi membangunkan Diwana kembali terdengar, tapi kali ini bukan dari balik jendela kamar Diwa. Diwana dan Nilakandi kini duduk di bangku taman apartemen. Perempuan itu duduk di ujung bangku, memberi jarak sejauh yang ia bisa dari lelaki asing disampingnya. Matanya berkeliling sebentar, lega dirasa saat matanya menangkap pos satpam disamping gerbang utama, lengkap dengan seorang satpam yang tengah bertugas. Bagaimanapun juga, ia sedang bersama orang asing saat ini. Awalnya hening, tak ada yang memulai. "Saya.. Diwana" ucap Diwa tanpa melirik kearah gadis disampingnya, mengulangi kalimatnya di lift tadi. Jika boleh jujur, hatinya masih berdegup kencang memandang Biru, maksudnya Nilakandi. "Saya penghuni rumah 903, calon tetangga kamu. Maaf atas apa yang saya lakukan tadi. Saya hanya salah orang." Ia masih terus memandang tanah berselimut rumput dikakinya, sambil memainkan sapu tangan penuh bercak darah ditangan. Mi
Diwana berdiam diri di balik pintu rumahnya, menimbang-nimbang jam berapakah ia akan keluar dan berangkat kerja. Berangkat ke kantor tidak pernah serumit itu sebelumnya, sebelum Nilakandi hadir mengusiknya. “Kalau berangkat sekarang bisa ketemu nggak ya?” “Atau agak siangan?” “Sebentar, kalau dia dirumah seharian dan nggak keluar-keluar gimana dong?” Hati Diwana benar-benar sedang berdebat dengan otaknya sendiri. Dua hari sudah sejak insiden hilangnya Diwana. Jovyan sudah ratusan kali mengejeknya bucin, Tama juga. Bahkan mereka bersikeras ingin bertemu Nilakandi lagi. Karena dilihat dari sisi manapun, perempuan itu sangat mirip dengan Biru. Ah tidak, mereka bahkan sama, benar-benar sama. Hanya saja wajah Nilakandi yang sekarang terasa lebih... dewasa. Sudah sejak saat itu pula Diwana belum bertemu lagi dengan Nilakandi. Entah kenapa, dia rindu. Aneh memang, rindunya terasa sama seperti saat ia merindukan soso
"Udah sampai, sini Kak," ujar Kandi mengulurkan tangannya, bermaksud meraih kantong belanjaan yang dipegang Diwana. Lelaki itu membisu sejak dari minimarket tadi. Nilakandi juga tak tahu harus memulai pembicaraan seperti apa, sedangkan Diwana hanya sibuk dengan pikiran-pikirannya sendiri. "Eh, iya ini. Sampai ketemu lagi," ucap Diwana saat perempuan itu sudah hampir menghilang dibalik pintu. Nilakandi tersenyum mendengar ucapan Diwana yang entah kenapa terdengar sangat polos ditelinganya. Hati Diwana berkecamuk, apa gerangan yang sudah terjadi pada perempuan itu? Luka-luka itu jelas bukan luka terjatuh atau sejenisnya. Luka-luka itu seperti hasil pukulan benda tumpul yang sepertinya disengaja. Apa gerangan latar belakang wanita misterius ini? Ada kisah apa dibaliknya? Diwana pusing dibuatnya. --- "Aw, kenapa kamu nggak kering-kering sih," gumam Kandi sambil mengoleskan obat merah ke luka terbuka di lengan kanannya. Usai memakaikan ples