"Udah sampai, sini Kak," ujar Kandi mengulurkan tangannya, bermaksud meraih kantong belanjaan yang dipegang Diwana. Lelaki itu membisu sejak dari minimarket tadi. Nilakandi juga tak tahu harus memulai pembicaraan seperti apa, sedangkan Diwana hanya sibuk dengan pikiran-pikirannya sendiri.
"Eh, iya ini. Sampai ketemu lagi," ucap Diwana saat perempuan itu sudah hampir menghilang dibalik pintu. Nilakandi tersenyum mendengar ucapan Diwana yang entah kenapa terdengar sangat polos ditelinganya.
Hati Diwana berkecamuk, apa gerangan yang sudah terjadi pada perempuan itu? Luka-luka itu jelas bukan luka terjatuh atau sejenisnya. Luka-luka itu seperti hasil pukulan benda tumpul yang sepertinya disengaja.
Apa gerangan latar belakang wanita misterius ini? Ada kisah apa dibaliknya? Diwana pusing dibuatnya.
---
"Aw, kenapa kamu nggak kering-kering sih," gumam Kandi sambil mengoleskan obat merah ke luka terbuka di lengan kanannya.
Usai memakaikan plester, ia mengobati luka-luka ditubuhnya yang lain. Bibir, tangan, kaki, lengan, bahkan perutnya. Kegiatan itu dihentikan oleh dering ponsel yang tak sengaja setengah ia duduki di sofa.
"Halo? Nana?"
"Kai? kamu kenapa nggak bilang kalau udah pindahan? bukannya masih satu bulan lagi ya?" Suara diseberang telepon terdengar mengomelinya. Adalah Nana, sahabat Kandi sejak beberapa tahun yang lalu.
"Hehe... iya"
"Haha hehe doang.. Jadi, kamu beneran pindahan sendiri?" Nana berdecak kesal.
"Sewa jasa, Na. Aku terima beres aja, kok. Lagian mau sekarang atau besok juga sa-aww" Ucapan Kandi terhenti saat ia tak sengaja menyenggol luka di bibirnya.
"Kamu kenapa?" Nana mulai khawatir, ia yakin ada yang salah dengan Nilakandi. Ada yang tak beres dengannya.
"Dewangga Nilakandi, jawab aku. Kamu habis ketemu Kak Ten lagi, kan? Kamu disiksa lagi, kan?" Cerca lelaki itu.
Kandi terdiam sambil menundukkan kepalanya, tak tahu harus menjawab apa. Air mata menggenang di pelupuknya begitu nama sosok Ten disebut.
"Na..." Gadis itu terisak, air matanya jatuh melunturkan obat merah mengering di sudut bibirnya.
"Kai, Minggu ini aku libur dua hari. Ayo kita jalan-jalan, kamu mau kemana?" Lelaki di seberang telepon itu menghela nafas pelan.
"Aku... mau rumah, Na," ucap Kandi lirih.
Hening pun menyelimuti keduanya. Ucapan Nilakandi bisa menyihir seluruh waktu yang seketika terhenti. Kalimat itu betul-betul menusuk hati dan telinga Nana.
Nana adalah saksi hidup perjuangan masa lalu Nilakandi yang kelam. Masa dimana hidup Nilakandi hancur untuk pertama kalinya.
"Udah, jangan nangis lagi. Minggu ini aku bakal ke rumah baru kamu, okay?" kata Nana lembut.
Nilakandi hanya bisa mengangguk, meskipun tau yang diseberang tentu tak akan melihatnya. Panggilan telepon masih hidup, Nana hanya diam mendengarkan isakan tangis Kandi, atau yang biasa ia panggil Kai.
"Kai, Kak Ten udah tau rumah baru kamu?" Lelaki itu mengawali pertanyaannya dengan nada selembut mungkin.
"I-iya, Na. Kemarin dia tiba-tiba kesini, entah tahu darimana," jawab Kandi disela tangisnya.
"KAMU BUKAIN PINTU?"
"Ih, ini interkom rumah aku masih bermasalah, Nana... Jadi dia bisa masuk, bawa suruhan juga satu orang. Jangan bentak aku." Kandi memanyunkan bibirnya, sungguh ia tak sebodoh itu, pikirnya.
"Hmm, cepat hubungi petugas maintenance apartemen ya. Nyawa kamu yang jadi ancaman. Aku khawatir banget, Kai.. Tapi, kamu diapain aja?" Nada bicara Nana berubah lebih tenang.
"Dipukul aja sih, hehe"
"Hehe? hehe kamu bilang? Jangan bercanda, Kai. Terakhir dia nyiksa kamu itu baru tiga hari sebelum kamu pindah. Sebrengsek itu dia. Jangan ragukan khawatirku lagi, please." Kali ini Kandi menyambut omelan Nana dengan senyuman. Ia lega, masih ada setidaknya satu manusia di dunia ini yang mengkhawatirkannya.
"Iya iya... maaf. Udah yah, aku mau beres-beres dulu."
"Loh belum selesai?"
"Udah, tapi tirai apartemen ini warnanya hitam. Aku udah beli warna lain dan langsung mau aku pasang." Seakan tahu apa arti dibalik kalimat Nilakandi barusan, Nana hanya berdehem mengiyakan.
"Yaudah, kalo ada apa-apa langsung telfon aku, okay? See you this weekend. Jaga diri baik-baik, Nilakandi."
Panggilan pun berakhir, Nilakandi terdiam beberapa saat sambil menyelesaikan isakannya. Ia kemudian berdiri menuju ruangan kecil yang ia sulap menjadi sebuah ruangan seni.
Terdapat beberapa lukisan potrait hingga abstrak terpajang di dinding, serta satu sketsa lukisan lelaki paruh baya yang masih ia letakkan di easel paling besar karena belum ia rampungkan.
Pikirannya kini terfokus pada tirai korden menjulang yang menutup jendela di ruangan kecil itu, namun warna hitam kelamnya membangunkan memori lama yang menyakitkan. Dadanya seketika sesak. Otaknya pun seketika memutar kenangan lama menyesakkan yang selama ini menghantuinya.
"Kak, tolong jangan.. Sakit, Kak..." rintihnya dibalik tirai hitam ditempat yang dulu ia sebut rumah kala itu. Sekitar enam tahun yang lalu.
Kandi tengah bersembunyi dari sosok Ten yang datang untuk menghajarnya, meskipun pada akhirnya lelaki itu menemukannya juga. Saat itu Ten membawa tiga teman laki-laki lain dan membobol rumah milik orang tua Kandi.
"Dia boleh kalian pukul, tampar, tendang, perkosa sekalian juga bebas. Tapi jangan sampai mati. Kalo itu tugas gue." Lelaki-lelaki brengsek itu secara bergiliran mensetubuhi Kandi, kecuali Ten yang hanya melihat adegan demi adegan itu dengan menyesap rokok di sisi ranjang.
Kandi bahkan tak tahu siapa mereka, tak tahu pula sebesar apa dosa yang ia buat pada Ten hingga ia harus menerima semua pelecehan itu. Yang ia tahu hanya satu, pasrah.
"Kak Ten, tolong Kandi..." rintihnya terakhir kali, memohon belas kasih pada laki-laki yang hanya memandangnya dengan tatapan paling dingin. Dia, yang menganggap Kandi sebagai musuh terbesar dalam hidup dan mangsa untuk bisa ia siksa kapan saja.
Perempuan itu berakhir menjadi santapan tiga laki-laki mesum di kamarnya sendiri. Tepat satu bulan setelah ayahnya meninggal, alasan dibalik murkanya Ten.
Sebuah kecelakaan tunggal terjadi, merenggut nyawa kekasih Ten kala itu-Luna-yang sekaligus adalah sahabat dekat Nilakandi.
Kecelakaan mengerikan itu terjadi ketika kedua orang tua Kandi bersama Luna hendak mengunjungi galeri seni milik Nilakandi untuk merayakan ulang tahunnya. Tapi perayaan itu tak pernah terjadi, kecelakaan terjadi dan merenggut nyawa Luna yang meninggal di tempat.
Ayahnya menyusul meninggal satu minggu kemudian di rumah sakit. Ibunya bahkan didiagnosis mati otak dan masih terbaring koma hingga saat ini. Hidup Kandi hancur kala itu, ia bahkan memilih mati.
Memorinya pun memutar kenangan paling menyakitkan ketika ia hampir bunuh diri dengan terjun dari atap rumah sakit tempat kedua orangtuanya dirawat, sebelum Nana datang menyelamatkannya.
Lelaki itu adalah perawat intern disana, dan sejak saat itulah mereka berteman. Agaknya, inilah yang membuat Nana begitu spesial dihidupnya. Nana adalah penyelamat hidup Nilakandi. Nana adalah malaikat pelindungnya.
Sekelebat memori menyakitkan yang baru saja terputar benar-benar membuat Nilakandi tertegun hingga kepalanya terasa pening. Tapi ia tak mau terus-terusan hidup dalam bayang-bayang kenangan menyesakkan itu, ia kemudian mengepalkan tangannya dan bertekad kuat.
"Ayo... jangan lelah hidup, Nilakandi. Tirai sialan, selamat tinggal," ucapnya seraya menarik satu sisi tirai itu hingga terlepas sepenuhnya, menampakkan jendela lebar yang menyuguhkan pemandangan kota siang hari.
Apartemen ini entah kenapa terasa berbeda dari rumah-rumahnya sebelumnya. Semua terasa lebih.. nyaman. Padahal ia baru beberapa hari tinggal, tapi bahkan pemandangan dari lantai sembilan ini saja bisa membuatnya jatuh hati.
Entah kenapa pula, otaknya tiba-tiba saja teringat pada lelaki yang baru saja menolongnya, Diwana. Ia ingat sekali, tatapan penuh tanda tanya Diwana saat mata lelaki itu menyusuri luka-luka ditubuhnya. Ada perasaan aneh bergejolak dalam diri Nilakandi.
Ia dibuat penasaran dengan sosok Diwana hanya dalam dua pertemuan. Entahlah, hati Kandi memang tak pernah bisa ditebak. Hanya sebuah senyum simpul yang tiba-tiba terulas di wajah cantiknya, entah berarti apa.
----
Seperti debur ombak yang terus menghantam pesisir, Deru rindumu pun tak akan pernah berhenti mengulir, Meskipun mungkin ia telah sedikit mencair. Jangan mencari, jangan menunggu, biar semesta yang menguaknya satu-satu. Menangislah, kalau itu membuatmu lega. Sebentar atau lama, ada hati yang harus kau jaga. Puisi menggema kembali terdengar. Ya, laut menguning. Matahari masih berada di tengah-tengah ufuk, tak peduli berapa lama lelaki itu berdiri disana. "Kenapa matahari itu tak pernah meninggi?" batin Diwana yang kembali terseret ke bunga tidurnya. Mata Diwana kini mengabsen satu-satu objek di mimpi yang sudah beberapa hari tak mengusiknya itu. Matahari, ada. Laut menguning, ada. Deburan kecil ombak yang menyapu pantai pun ada. Hanya satu yang hilang dari pandangannya, Biru. Gadis bergaun biru itu tak lagi berdiri di tepi pantai menatap laut lepas. Kini tanah
"Argh... masih pagi," erang Aiden yang terbangun usai mendengar bunyi alarm yang sudah berdering puluhan kali. Korden kamar apartemen Diwana sudah terbuka, menampakkan matahari yang sorotnya menerobos masuk lewat jendela kaca. Jam memang sudah menunjukkan pukul sepuluh siang, hanya Aiden yang menganggapnya masih pagi. Diwana pun sudah melejit ke kantor sejak pukul tujuh tepat. Aiden bangun dengan wajah kesal, menyumpahi kakaknya yang sengaja membuka tirai lebar-lebar sebelum berangkat ke kantor. Namun cemberut di wajahnya perlahan memudar, digantikan oleh senyum lebar hingga deretan gigi-giginya nampak. Matanya mengarah ke atas nakas, menatap satu gelas susu putih hangat dan dua potong besar sandwich lengkap dengan scrambled egg kesukaannya. Tapi yang membuatnya tersenyum bak orang gila bukanlah sarapan paginya, melainkan sebuah benda tipis warna biru tua berlogo bank bertuliskan “Kartu Kredit” yang sudah Diwana tinggalkan untuknya. Terselip d
Diwana dan Tama tengah bercengkrama di cafe depan kantor. Sekadar duduk-duduk santai sambil menyesap kopi dan jeruk panas. Jovyan ada juga disana, tapi ia duduk berdua bersama Maheswari, si pacar baru. "Sayang banget nggak, sih, Si Maheswari dapat cowok modelan Jovyan?" kelakar Tama pada Diwana. "Cinta kan buta, Ta," komentar Diwa,a "Bir-maksudnya Nilakandi apa kabar?" tanya Tama mengalihkan pembicaraan. Tak dipungkiri, lelaki itu masih dibuat penasaran dengan sosok Nilakandi. Ingin sekali ia melihatnya lagi satu kali saja. "Sebenarnya, ada yang buat aku kebingungan, Ta. Akhir-akhir ini aku bahkan nggak bisa fokus kerja karena itu. Dia aneh, Ta, ada yang nggak beres sama Nilakandi," jawab Diwana. "Hah? Konteksnya apa? Aneh gimana?" "Tubuhnya penuh luka. Lututnya lebam, kakinya merah-merah, ada luka sayatan di tangannya, bahkan wajahnya biru semua, Ta." "Hah? Bercanda ya kamu? Kok bisa?" tanya Tama tak percaya. Bahkan hanya deng
Siapa yang kamu cari? Renjana rindumu nampaknya sudah mencair. Oh, pecandu, pencinta. Alang berjawab, tepuk berbatas. Ada yang harus kau tunggu. Dari semesta, khusus untukmu. Sebuah siulan panjang mengakhiri bait puisi singkat itu. Diwana bergidik ngeri saat matanya menangkap bayangan tak asing sepuluh kaki darinya berdiri. Ya, lagi-lagi mimpi memuakkan itu muncul kembali. Sama seperti mimpinya terakhir kali, sosok misterius baru kini hadir menggantikan Gadis Bergaun Biru dalam mimpinya, yaitu dirinya sendiri, Diwana yang lebih muda. Diwa menatap dirinya sendiri lekat-lekat dari kejauhan, kemudian melangkah mendekat seperti yang dulu ia lakukan pada Biru. Lima langkah sudah ia berjalan, lalu berhenti dan menatap lelaki berwajah sama dengannya itu dengan buntu. Diwana kecil masih dalam posisi yang sama, duduk di pasir basah dengan memeluk kedua lututny
"Lo kenapa sih, Diw?" tanya Jovyan yang keheranan melihat gelagat tak wajar Diwana. Lelaki itu mondar mandir kesana kemari persis seperti setrika, sambil melipat kedua tangannya di dada. "Jo, aku mau tanya," ucap Diwana, yang kemudian ikut duduk di sebelah Jovyan. Mereka sedang berada di kantor Tama untuk membahas salah satu agenda kantor, namun ternyata Tama ada kepentingan mendesak yang mengharuskannya absen. "Go ahead, ngapain pakai permisi?" Jovyan mempersilakan. "Kalau misalnya nih, Adindaku Mahes-" "WOY..! Maheswari aja, Diw. Jangan ikut-ikutan pakai Adindaku, dong!" protes Jovyan memotong ucapan Diwana. "Hmm, oke semisal nih, MAHESWARI itu punya teman laki-laki, kamu gimana?" tanya Diwana lagi dengan menekankan kata Maheswari, meskipun ia agak ragu-ragu untuk bertanya. "Manusia bukan? Kalau manusia sih ya udah. Kalau setan tuh baru gue panik." "JOVYAN..!" bentak Diwana yang kesal dengan candaan temannya itu. Tapi sebenar
Diwana berdiam diri di depan interkom pintu rumah Nilakandi selama lebih dari sepuluh menit. Ia ingin mengajak Nilakandi entah kemana, berusaha mempraktekkan saran dari sang master cinta-Jovyan. Namun tanpa sepengetahuan Diwana, pemilik rumah sebetulnya sudah menatapnya dengan keheranan dari kamera interkom. Ya, Nilakandi yang hendak mengambil paket ke resepsionis pun urung saat dilihatnya lelaki itu mondar mandir bertopang dagu di depan pintu rumahnya. "Lucunya..." lontar Nilakandi tanpa ia sadari. TING TONG Nilakandi sedikit terperanjat usai dikejutkan bel pintu rumahnya sendiri. Ia pun menghitung mundur sepuluh detik menggunakan jarinya sebelum akhirnya membuka pintu. "Iya, Kak Diwa? Ada apa?" tanya Nilakandi begitu mata mereka bertemu. Ia berani bersumpah, Diwana terlihat begitu manis saat itu. "Mmm, aku.. mmm, boleh minta nomor telepon kamu? Sebagai seorang tetangga kayanya kita perlu bertukar nomor telepon masing-masing.
"Aduh, pakai yang mana ini?" gundah Nilakandi sambil mengeluarkan satu persatu baju yang ia punya dari lemari. Ia sebetulnya penyuka gaun-gaun vintage cantik, tapi hampir semuanya memiliki vibes seram seperti pakaian hantu kolosal. Ia sudah trauma diteriaki setan oleh tiga orang. Kacau sudah rencananya untuk memakai gaun cantik selutut berwarna biru yang sebelumnya sudah ia persiapkan. Itu karena sebuah lebam membiru sangat terlihat di lutut kanannya. Ia tentu tak ingin Diwana melihatnya lebam-lebam, lagi. Ya, siang tadi, Ten dan anak buahnya datang menghampirinya. Ten murka karena mengetahui Kandi dan Nana mengunjungi makam Luna tempo hari. Ten memang tak pernah memaafkan hal itu. Baginya, Nilakandi adalah pembawa sial pantas mati yang tak boleh untuk sekadar berkunjung ke makam almarhum kekasihnya-Luna. Tak banyak yang terjadi, hanya satu tamparan di pipi kiri dan pukulan di lutut kanannya dengan kursi. Kalau tak ada anak buah Ten yang menah
Diwana tengah panik lantaran Nilakandi tak bisa juga ia hubungi sejak tiga puluh menit yang lalu. Puluhan kali ia bunyikan bel tapi tak bersaut juga. Diwana kini menelepon satpam apartemen untuk membantu. Ia tiba-tiba teringat pada sosok laki-laki misterius yang siang tadi berpapasan dengannya di tangga darurat. "Kak Diwana?" sapa sosok laki-laki jangkung saat melihat Diwana tengah berdiri di depan pintu apartemen Nilakandi. "I-iya? Maaf, siapa?" tanya Diwana. Wajah lelaki itu memang nampak tak asing, tapi otaknya sedang tak bisa diajak berfikir jernih. "Saya Nana, teman Ka-maksudnya Nilakandi," jawabnya kemudian. Lampu kuning pun menyala di atas kepala Diwana "Oh, iya," sahut Diwana sambil melirik ke arah tangan Nana yang memegang satu buket bunga dan satu paper bag berwarna merah muda. "Maaf, tapi ada apa ya? Kenapa Kakak memencet bel rumah Kandi berkali-kali?" tanya Nana memasang wajah curiga. Tak dipungkiri, hatinya masih sedikit p