Share

Chapter 11. Masa Lalu Nilakandi

"Udah sampai, sini Kak," ujar Kandi mengulurkan tangannya, bermaksud meraih kantong belanjaan yang dipegang Diwana. Lelaki itu membisu sejak dari minimarket tadi. Nilakandi juga tak tahu harus memulai pembicaraan seperti apa, sedangkan Diwana hanya sibuk dengan pikiran-pikirannya sendiri.

"Eh, iya ini. Sampai ketemu lagi," ucap Diwana saat perempuan itu sudah hampir menghilang dibalik pintu. Nilakandi tersenyum mendengar ucapan Diwana yang entah kenapa terdengar sangat polos ditelinganya.

Hati Diwana berkecamuk, apa gerangan yang sudah terjadi pada perempuan itu? Luka-luka itu jelas bukan luka terjatuh atau sejenisnya. Luka-luka itu seperti hasil pukulan benda tumpul yang sepertinya disengaja.

Apa gerangan latar belakang wanita misterius ini? Ada kisah apa dibaliknya? Diwana pusing dibuatnya.

---

"Aw, kenapa kamu nggak kering-kering sih," gumam Kandi sambil mengoleskan obat merah ke luka terbuka di lengan kanannya.

Usai memakaikan plester, ia mengobati luka-luka ditubuhnya yang lain. Bibir, tangan, kaki, lengan, bahkan perutnya. Kegiatan itu dihentikan oleh dering ponsel yang tak sengaja setengah ia duduki di sofa.

"Halo? Nana?"

"Kai? kamu kenapa nggak bilang kalau udah pindahan? bukannya masih satu bulan lagi ya?" Suara diseberang telepon terdengar mengomelinya. Adalah Nana, sahabat Kandi sejak beberapa tahun yang lalu.

"Hehe... iya"

"Haha hehe doang.. Jadi, kamu beneran pindahan sendiri?" Nana berdecak kesal.

"Sewa jasa, Na. Aku terima beres aja, kok. Lagian mau sekarang atau besok juga sa-aww" Ucapan Kandi terhenti saat ia tak sengaja menyenggol luka di bibirnya.

"Kamu kenapa?" Nana mulai khawatir, ia yakin ada yang salah dengan Nilakandi. Ada yang tak beres dengannya.

"Dewangga Nilakandi, jawab aku. Kamu habis ketemu Kak Ten lagi, kan? Kamu disiksa lagi, kan?" Cerca lelaki itu.

Kandi terdiam sambil menundukkan kepalanya, tak tahu harus menjawab apa. Air mata menggenang di pelupuknya begitu nama sosok Ten disebut.

"Na..." Gadis itu terisak, air matanya jatuh melunturkan obat merah mengering di sudut bibirnya.

"Kai, Minggu ini aku libur dua hari. Ayo kita jalan-jalan, kamu mau kemana?" Lelaki di seberang telepon itu menghela nafas pelan.

"Aku... mau rumah, Na," ucap Kandi lirih.

Hening pun menyelimuti keduanya. Ucapan Nilakandi bisa menyihir seluruh waktu yang seketika terhenti. Kalimat itu betul-betul menusuk hati dan telinga Nana.

Nana adalah saksi hidup perjuangan masa lalu Nilakandi yang kelam. Masa dimana hidup Nilakandi hancur untuk pertama kalinya.

"Udah, jangan nangis lagi. Minggu ini aku bakal ke rumah baru kamu, okay?" kata Nana lembut.

Nilakandi hanya bisa mengangguk, meskipun tau yang diseberang tentu tak akan melihatnya. Panggilan telepon masih hidup, Nana hanya diam mendengarkan isakan tangis Kandi, atau yang biasa ia panggil Kai.

"Kai, Kak Ten udah tau rumah baru kamu?" Lelaki itu mengawali pertanyaannya dengan nada selembut mungkin.

"I-iya, Na. Kemarin dia tiba-tiba kesini, entah tahu darimana," jawab Kandi disela tangisnya.

"KAMU BUKAIN PINTU?"

"Ih, ini interkom rumah aku masih bermasalah, Nana... Jadi dia bisa masuk, bawa suruhan juga satu orang. Jangan bentak aku." Kandi memanyunkan bibirnya, sungguh ia tak sebodoh itu, pikirnya.

"Hmm, cepat hubungi petugas maintenance apartemen ya. Nyawa kamu yang jadi ancaman. Aku khawatir banget, Kai.. Tapi, kamu diapain aja?" Nada bicara Nana berubah lebih tenang.

"Dipukul aja sih, hehe"

"Hehe? hehe kamu bilang? Jangan bercanda, Kai. Terakhir dia nyiksa kamu itu baru tiga hari sebelum kamu pindah. Sebrengsek itu dia. Jangan ragukan khawatirku lagi, please." Kali ini Kandi menyambut omelan Nana dengan senyuman. Ia lega, masih ada setidaknya satu manusia di dunia ini yang mengkhawatirkannya.

"Iya iya... maaf. Udah yah, aku mau beres-beres dulu."

"Loh belum selesai?"

"Udah, tapi tirai apartemen ini warnanya hitam. Aku udah beli warna lain dan langsung mau aku pasang." Seakan tahu apa arti dibalik kalimat Nilakandi barusan, Nana hanya berdehem mengiyakan.

"Yaudah, kalo ada apa-apa langsung telfon aku, okay? See you this weekend. Jaga diri baik-baik, Nilakandi."

Panggilan pun berakhir, Nilakandi terdiam beberapa saat sambil menyelesaikan isakannya. Ia kemudian berdiri menuju ruangan kecil yang ia sulap menjadi sebuah ruangan seni.

Terdapat beberapa lukisan potrait hingga abstrak terpajang di dinding, serta satu sketsa lukisan lelaki paruh baya yang masih ia letakkan di easel paling besar karena belum ia rampungkan.

Pikirannya kini terfokus pada tirai korden menjulang yang menutup jendela di ruangan kecil itu, namun warna hitam kelamnya membangunkan memori lama yang menyakitkan. Dadanya seketika sesak. Otaknya pun seketika memutar kenangan lama menyesakkan yang selama ini menghantuinya.

"Kak, tolong jangan.. Sakit, Kak..." rintihnya dibalik tirai hitam ditempat yang dulu ia sebut rumah kala itu. Sekitar enam tahun yang lalu.

Kandi tengah bersembunyi dari sosok Ten yang datang untuk menghajarnya, meskipun pada akhirnya lelaki itu menemukannya juga. Saat itu Ten membawa tiga teman laki-laki lain dan membobol rumah milik orang tua Kandi.

"Dia boleh kalian pukul, tampar, tendang, perkosa sekalian juga bebas. Tapi jangan sampai mati. Kalo itu tugas gue." Lelaki-lelaki brengsek itu secara bergiliran mensetubuhi Kandi, kecuali Ten yang hanya melihat adegan demi adegan itu dengan menyesap rokok di sisi ranjang.

Kandi bahkan tak tahu siapa mereka, tak tahu pula sebesar apa dosa yang ia buat pada Ten hingga ia harus menerima semua pelecehan itu. Yang ia tahu hanya satu, pasrah.

"Kak Ten, tolong Kandi..." rintihnya terakhir kali, memohon belas kasih pada laki-laki yang hanya memandangnya dengan tatapan paling dingin. Dia, yang menganggap Kandi sebagai musuh terbesar dalam hidup dan mangsa untuk bisa ia siksa kapan saja.

Perempuan itu berakhir menjadi santapan tiga laki-laki mesum di kamarnya sendiri. Tepat satu bulan setelah ayahnya meninggal, alasan dibalik murkanya Ten.

Sebuah kecelakaan tunggal terjadi, merenggut nyawa kekasih Ten kala itu-Luna-yang sekaligus adalah sahabat dekat Nilakandi.

Kecelakaan mengerikan itu terjadi ketika kedua orang tua Kandi bersama Luna hendak mengunjungi galeri seni milik Nilakandi untuk merayakan ulang tahunnya. Tapi perayaan itu tak pernah terjadi, kecelakaan terjadi dan merenggut nyawa Luna yang meninggal di tempat.

Ayahnya menyusul meninggal satu minggu kemudian di rumah sakit. Ibunya bahkan didiagnosis mati otak dan masih terbaring koma hingga saat ini. Hidup Kandi hancur kala itu, ia bahkan memilih mati.

Memorinya pun memutar kenangan paling menyakitkan ketika ia hampir bunuh diri dengan terjun dari atap rumah sakit tempat kedua orangtuanya dirawat, sebelum Nana datang menyelamatkannya.

Lelaki itu adalah perawat intern disana, dan sejak saat itulah mereka berteman. Agaknya, inilah yang membuat Nana begitu spesial dihidupnya. Nana adalah penyelamat hidup Nilakandi. Nana adalah malaikat pelindungnya.

Sekelebat memori menyakitkan yang baru saja terputar benar-benar membuat Nilakandi tertegun hingga kepalanya terasa pening. Tapi ia tak mau terus-terusan hidup dalam bayang-bayang kenangan menyesakkan itu, ia kemudian mengepalkan tangannya dan bertekad kuat.

"Ayo... jangan lelah hidup, Nilakandi. Tirai sialan, selamat tinggal," ucapnya seraya menarik satu sisi tirai itu hingga terlepas sepenuhnya, menampakkan jendela lebar yang menyuguhkan pemandangan kota siang hari.

Apartemen ini entah kenapa terasa berbeda dari rumah-rumahnya sebelumnya. Semua terasa lebih.. nyaman. Padahal ia baru beberapa hari tinggal, tapi bahkan pemandangan dari lantai sembilan ini saja bisa membuatnya jatuh hati.

Entah kenapa pula, otaknya tiba-tiba saja teringat pada lelaki yang baru saja menolongnya, Diwana. Ia ingat sekali, tatapan penuh tanda tanya Diwana saat mata lelaki itu menyusuri luka-luka ditubuhnya. Ada perasaan aneh bergejolak dalam diri Nilakandi.

Ia dibuat penasaran dengan sosok Diwana hanya dalam dua pertemuan. Entahlah, hati Kandi memang tak pernah bisa ditebak. Hanya sebuah senyum simpul yang tiba-tiba terulas di wajah cantiknya, entah berarti apa.

----

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status