Diwana berdiam diri di balik pintu rumahnya, menimbang-nimbang jam berapakah ia akan keluar dan berangkat kerja. Berangkat ke kantor tidak pernah serumit itu sebelumnya, sebelum Nilakandi hadir mengusiknya.
“Kalau berangkat sekarang bisa ketemu nggak ya?”
“Atau agak siangan?”
“Sebentar, kalau dia dirumah seharian dan nggak keluar-keluar gimana dong?”
Hati Diwana benar-benar sedang berdebat dengan otaknya sendiri. Dua hari sudah sejak insiden hilangnya Diwana. Jovyan sudah ratusan kali mengejeknya bucin, Tama juga. Bahkan mereka bersikeras ingin bertemu Nilakandi lagi.
Karena dilihat dari sisi manapun, perempuan itu sangat mirip dengan Biru. Ah tidak, mereka bahkan sama, benar-benar sama. Hanya saja wajah Nilakandi yang sekarang terasa lebih... dewasa.
Sudah sejak saat itu pula Diwana belum bertemu lagi dengan Nilakandi. Entah kenapa, dia rindu. Aneh memang, rindunya terasa sama seperti saat ia merindukan sosok Biru.
Membuang perasaan anehnya, Diwana bergegas berangkat ke kantor. Tak sesuai harapan, pintu rumah gadis itu rapat. Ada dua bundle koran harian di lantai, tanda gadis itu memang tak pernah menginjakkan kaki keluar rumah dalam dua hari.
---
"Kak Diwa, kamu beneran udah sembuh? Kerjaan kamu biar aku yang handle nggak papa." Jeanne sedikit menunduk, berniat melihat wajah bosnya lebih dekat. Tangannya terulur ke pundak lelaki itu, membelainya pelan.
Diwana tahu, perempuan ini memiliki perasaan untuknya lebih dari sekedar rekan kerja. Beberapa kali ia memergoki Jeanne tengah mengamatinya diam-diam saat sedang beristirahat di ruangannya.
Jeanne itu baik, sangat baik pada Diwana. Banyak juga laki-laki yang antre untuk perempuan cantik itu. Tapi hati Diwa sekeras batu, tak akan lunak hanya dengan iming-iming paras rupawan.
Satu-satunya hal yang Diwa tidak sukai dari Jeanne adalah sifatnya yang terlalu terang-terangan pada Diwa, juga sedikit touchy.
Diwa tak pernah tahan dengan skinship bentuk apapun dan pada siapapun. Karena itu ia heran kenapa kemarin justru memeluk perempuan asing tiba-tiba, tapi menurutnya itu spontan belaka. Ia masih membenci segala bentuk skinship dengan manusia.
"Enggak, Jeanne. Tolong panggil aku 'Pak' ya kalau masih jam kerja. Nggak enak didengar teman-teman." Diwana berusaha membuat jarak dengan mengingatkan Jeanne secara langsung. Perempuan itu hanya tersenyum masam dan melepaskan tangannya segera.
"Kamu nggak papa kan?" tanya Jeanne kemudian.
"I'm good, aku udah minum obat paling manjur di dunia, and I just need some space right now."
Kalimat Diwa membungkam Jeanne, yang lantas mengangguk dan pergi meninggalkan ruangan.
Diwana menghela napas kasar. Pikirannya belum beralih dari sosok yang tak lain adalah Sang Nilakandi. Demi Tuhan, Diwana seperti terikat pada perempuan itu. Ia merasa seakan pernah bertemu sebelumnya-selain di mimpi. Tapi ada perasaan asing juga yang menahan.
Jam dinding masih menunjukkan pukul satu siang, dua jam sebelum waktu pulang kantor. Tanpa ragu ia meraih ponsel dan menghubungi seseorang.
"Halo, Ta? Aku ijin pulang duluan. Pertemuan jam dua nanti aku bolos ya, nggak begitu penting juga kan?"
"Diw-"
Tuut.. tuut.. tuut..
"Ini sih ngasih tau doang, bukan minta ijin," komentar Tama seraya tertawa usai panggilan berakhir.
"Diwana ijin? Astaga, dunia sedang tidak baik-baik saja nih, Ta," kelakar Jovyan kemudian.
"Akhirnya, Jo. Diwa bisa bolos rapat juga... Terharu aku, Jo."
"Telat masuk kantor udah, bolos rapat udah, kurang pacaran aja sih dia. Hmm, jadi inget si hantu." Jovyan tertawa mengingat betapa terkejutnya ia pada sosok Nilakandi yang betul-betul terlihat mirip dengan lukisan di dinding rumah Diwana.
"Sama, jadi penasaran nggak sih? nggak logis banget apa yang terjadi sama Diwa tuh, Jo." Kali ini Tama menghentikan kegiatannya dibalik komputer, lalu melirik kearah Jovyan yang duduk di sofa. Jo yang tertarik dengan arah pembicaraan langsung meletakkan berkas-berkas bekal rapat mereka nanti siang.
"Banget, Ta. Bener-bener nggak logis. Malah lebih masuk akal kalau si Biru tuh hantu beneran tau nggak? Kenyataan bahwa ada manusia yang hidup dengan fisik nyaris sama justru membingungkan. Kalau itu terjadi sama lo, pusing nggak tuh?"
"Udah gila beneran kali, Jo. Dulu waktu Diwana cerita tentang mimpi-mimpi dia, aku sempet mikir dia itu gila. Tapi begitu lihat sketsa-sketsa si Biru, aku mulai kasian sama Diwana. Dan entah kenapa, kemarin rasanya aku seneng." Jawaban Tama menarik atensi Jovyan, kerutan tercetak di dahinya.
"Hah? seneng kenapa?"
"Ya nggak tau, serasa Diwana akhirnya ketemu sama cinta pertamanya? Konyol memang."
"Iya juga sih, baru kali ini kan dia tertarik sama manusia hahaha. Kayaknya bolosnya Diwa perlu kita rayakan nih, Bos. Traktir saya makan siang juga boleh." Jovyan nyengir dengan ekspresi menyebalkan di mata Tama.
"Hmm, kamu udah aku traktir kan kemarin lusa?"
"Hah? Traktir apaan?"
"Hyundai"
---
Diwana bergegas pulang kerumah usai pamit-atau lebih tepatnya mengabari-Tama. Jeanne dan beberapa pegawai lain yang melihat sosok Diwa pulang sebelum jam kantor berakhir pun dibuat geleng-geleng kepala.
Itu hal yang wajar memang, tapi bukan untuk Diwana Rajinbaikhati Derurindu.
"Mungkin si bos punya pacar baru kali," kata Evan usai Diwa tak terlihat lagi. Ucapannya langsung disambut raut masam Jeanne yang terusik.
"Apaan sih? Enggak ada pacar pacar," katanya.
Diwana langsung mengendarai mobilnya menuju apartemen. Niat di benaknya hanya satu, pergi menemui Nilakandi. Entah apa yang akan ia katakan, ia tak tahu.
Ingin rasanya menceritakan mimpi-mimpi selama enam tahunnya itu pada Nilakandi, tapi ceritanya pasti akan terdengar konyol dan agak takut dikira stalker atau pembual.
"Ah persetan dengan itu semua, aku akan cerita," batin Diwana.
Baru memasuki area apartemen, pemandangan didepannya menarik atensi. Sesosok perempuan bertubuh mungil masuk ke convenience store yang terletak tepat di depan gedung.
Ya, Nilakandi.
Jiwa stalker Diwana seketika muncul, ia langsung memarkir mobilnya dan membuntuti gadis itu dalam diam.
“Kenapa beli mie instan banyak banget sih? Nggak sehat, Kandi...” omelnya dalam hati saat Nilakandi memasukkan satu lusin cup mie instan rasa ayam bawang pada trolinya.
“Ih, kenapa beli kopi sebanyak itu? Kafein, Kandi...”
“Hah? beli makanan ringan berapa bungkus itu? MSG, Kandi...”
“Hm? apa itu? Obat merah?”
Mata Diwana melebar saat gadis itu mengambil satu botol obat merah, kain kassa, dan satu box besar plester. Ia langsung keluar minimarket ketika Kandi menuju kasir, berniat menunggu perempuan itu di luar.
Sepuluh menit berlalu, Kandi pun keluar dengan belanjaannya. Atensinya tertuju pada Diwana yang memandang tajam, netra mereka akhirnya bertemu.
"Mmm, boleh aku bawain?" tawarnya saat melihat kedua tangan Nilakandi penuh barang. Perempuan itu mengangguk ragu.
Betapa terkejutnya Diwana saat menyadari ada yang tak biasa dari penampilan Kandi saat itu.
Sebuah luka memar masih membiru di lutut kirinya. Lutut kanannya bahkan lebih parah, ada bekas luka mengering juga disana. Sudut bibirnya juga membiru, tapi sedikit tersamarkan dengan senyumnya. Bekas luka sayatan di tangan kirinya juga masih terlihat.
Diwana hanya mampu menelan ludah, enggan bertanya macam-macam. Mungkin nanti, pikirnya. Keduanya berjalan ke gedung beriringan, meninggalkan mobil Diwa di jalanan.
“Kamu kenapa, Nilakandi...”
----
"Udah sampai, sini Kak," ujar Kandi mengulurkan tangannya, bermaksud meraih kantong belanjaan yang dipegang Diwana. Lelaki itu membisu sejak dari minimarket tadi. Nilakandi juga tak tahu harus memulai pembicaraan seperti apa, sedangkan Diwana hanya sibuk dengan pikiran-pikirannya sendiri. "Eh, iya ini. Sampai ketemu lagi," ucap Diwana saat perempuan itu sudah hampir menghilang dibalik pintu. Nilakandi tersenyum mendengar ucapan Diwana yang entah kenapa terdengar sangat polos ditelinganya. Hati Diwana berkecamuk, apa gerangan yang sudah terjadi pada perempuan itu? Luka-luka itu jelas bukan luka terjatuh atau sejenisnya. Luka-luka itu seperti hasil pukulan benda tumpul yang sepertinya disengaja. Apa gerangan latar belakang wanita misterius ini? Ada kisah apa dibaliknya? Diwana pusing dibuatnya. --- "Aw, kenapa kamu nggak kering-kering sih," gumam Kandi sambil mengoleskan obat merah ke luka terbuka di lengan kanannya. Usai memakaikan ples
Seperti debur ombak yang terus menghantam pesisir, Deru rindumu pun tak akan pernah berhenti mengulir, Meskipun mungkin ia telah sedikit mencair. Jangan mencari, jangan menunggu, biar semesta yang menguaknya satu-satu. Menangislah, kalau itu membuatmu lega. Sebentar atau lama, ada hati yang harus kau jaga. Puisi menggema kembali terdengar. Ya, laut menguning. Matahari masih berada di tengah-tengah ufuk, tak peduli berapa lama lelaki itu berdiri disana. "Kenapa matahari itu tak pernah meninggi?" batin Diwana yang kembali terseret ke bunga tidurnya. Mata Diwana kini mengabsen satu-satu objek di mimpi yang sudah beberapa hari tak mengusiknya itu. Matahari, ada. Laut menguning, ada. Deburan kecil ombak yang menyapu pantai pun ada. Hanya satu yang hilang dari pandangannya, Biru. Gadis bergaun biru itu tak lagi berdiri di tepi pantai menatap laut lepas. Kini tanah
"Argh... masih pagi," erang Aiden yang terbangun usai mendengar bunyi alarm yang sudah berdering puluhan kali. Korden kamar apartemen Diwana sudah terbuka, menampakkan matahari yang sorotnya menerobos masuk lewat jendela kaca. Jam memang sudah menunjukkan pukul sepuluh siang, hanya Aiden yang menganggapnya masih pagi. Diwana pun sudah melejit ke kantor sejak pukul tujuh tepat. Aiden bangun dengan wajah kesal, menyumpahi kakaknya yang sengaja membuka tirai lebar-lebar sebelum berangkat ke kantor. Namun cemberut di wajahnya perlahan memudar, digantikan oleh senyum lebar hingga deretan gigi-giginya nampak. Matanya mengarah ke atas nakas, menatap satu gelas susu putih hangat dan dua potong besar sandwich lengkap dengan scrambled egg kesukaannya. Tapi yang membuatnya tersenyum bak orang gila bukanlah sarapan paginya, melainkan sebuah benda tipis warna biru tua berlogo bank bertuliskan “Kartu Kredit” yang sudah Diwana tinggalkan untuknya. Terselip d
Diwana dan Tama tengah bercengkrama di cafe depan kantor. Sekadar duduk-duduk santai sambil menyesap kopi dan jeruk panas. Jovyan ada juga disana, tapi ia duduk berdua bersama Maheswari, si pacar baru. "Sayang banget nggak, sih, Si Maheswari dapat cowok modelan Jovyan?" kelakar Tama pada Diwana. "Cinta kan buta, Ta," komentar Diwa,a "Bir-maksudnya Nilakandi apa kabar?" tanya Tama mengalihkan pembicaraan. Tak dipungkiri, lelaki itu masih dibuat penasaran dengan sosok Nilakandi. Ingin sekali ia melihatnya lagi satu kali saja. "Sebenarnya, ada yang buat aku kebingungan, Ta. Akhir-akhir ini aku bahkan nggak bisa fokus kerja karena itu. Dia aneh, Ta, ada yang nggak beres sama Nilakandi," jawab Diwana. "Hah? Konteksnya apa? Aneh gimana?" "Tubuhnya penuh luka. Lututnya lebam, kakinya merah-merah, ada luka sayatan di tangannya, bahkan wajahnya biru semua, Ta." "Hah? Bercanda ya kamu? Kok bisa?" tanya Tama tak percaya. Bahkan hanya deng
Siapa yang kamu cari? Renjana rindumu nampaknya sudah mencair. Oh, pecandu, pencinta. Alang berjawab, tepuk berbatas. Ada yang harus kau tunggu. Dari semesta, khusus untukmu. Sebuah siulan panjang mengakhiri bait puisi singkat itu. Diwana bergidik ngeri saat matanya menangkap bayangan tak asing sepuluh kaki darinya berdiri. Ya, lagi-lagi mimpi memuakkan itu muncul kembali. Sama seperti mimpinya terakhir kali, sosok misterius baru kini hadir menggantikan Gadis Bergaun Biru dalam mimpinya, yaitu dirinya sendiri, Diwana yang lebih muda. Diwa menatap dirinya sendiri lekat-lekat dari kejauhan, kemudian melangkah mendekat seperti yang dulu ia lakukan pada Biru. Lima langkah sudah ia berjalan, lalu berhenti dan menatap lelaki berwajah sama dengannya itu dengan buntu. Diwana kecil masih dalam posisi yang sama, duduk di pasir basah dengan memeluk kedua lututny
"Lo kenapa sih, Diw?" tanya Jovyan yang keheranan melihat gelagat tak wajar Diwana. Lelaki itu mondar mandir kesana kemari persis seperti setrika, sambil melipat kedua tangannya di dada. "Jo, aku mau tanya," ucap Diwana, yang kemudian ikut duduk di sebelah Jovyan. Mereka sedang berada di kantor Tama untuk membahas salah satu agenda kantor, namun ternyata Tama ada kepentingan mendesak yang mengharuskannya absen. "Go ahead, ngapain pakai permisi?" Jovyan mempersilakan. "Kalau misalnya nih, Adindaku Mahes-" "WOY..! Maheswari aja, Diw. Jangan ikut-ikutan pakai Adindaku, dong!" protes Jovyan memotong ucapan Diwana. "Hmm, oke semisal nih, MAHESWARI itu punya teman laki-laki, kamu gimana?" tanya Diwana lagi dengan menekankan kata Maheswari, meskipun ia agak ragu-ragu untuk bertanya. "Manusia bukan? Kalau manusia sih ya udah. Kalau setan tuh baru gue panik." "JOVYAN..!" bentak Diwana yang kesal dengan candaan temannya itu. Tapi sebenar
Diwana berdiam diri di depan interkom pintu rumah Nilakandi selama lebih dari sepuluh menit. Ia ingin mengajak Nilakandi entah kemana, berusaha mempraktekkan saran dari sang master cinta-Jovyan. Namun tanpa sepengetahuan Diwana, pemilik rumah sebetulnya sudah menatapnya dengan keheranan dari kamera interkom. Ya, Nilakandi yang hendak mengambil paket ke resepsionis pun urung saat dilihatnya lelaki itu mondar mandir bertopang dagu di depan pintu rumahnya. "Lucunya..." lontar Nilakandi tanpa ia sadari. TING TONG Nilakandi sedikit terperanjat usai dikejutkan bel pintu rumahnya sendiri. Ia pun menghitung mundur sepuluh detik menggunakan jarinya sebelum akhirnya membuka pintu. "Iya, Kak Diwa? Ada apa?" tanya Nilakandi begitu mata mereka bertemu. Ia berani bersumpah, Diwana terlihat begitu manis saat itu. "Mmm, aku.. mmm, boleh minta nomor telepon kamu? Sebagai seorang tetangga kayanya kita perlu bertukar nomor telepon masing-masing.
"Aduh, pakai yang mana ini?" gundah Nilakandi sambil mengeluarkan satu persatu baju yang ia punya dari lemari. Ia sebetulnya penyuka gaun-gaun vintage cantik, tapi hampir semuanya memiliki vibes seram seperti pakaian hantu kolosal. Ia sudah trauma diteriaki setan oleh tiga orang. Kacau sudah rencananya untuk memakai gaun cantik selutut berwarna biru yang sebelumnya sudah ia persiapkan. Itu karena sebuah lebam membiru sangat terlihat di lutut kanannya. Ia tentu tak ingin Diwana melihatnya lebam-lebam, lagi. Ya, siang tadi, Ten dan anak buahnya datang menghampirinya. Ten murka karena mengetahui Kandi dan Nana mengunjungi makam Luna tempo hari. Ten memang tak pernah memaafkan hal itu. Baginya, Nilakandi adalah pembawa sial pantas mati yang tak boleh untuk sekadar berkunjung ke makam almarhum kekasihnya-Luna. Tak banyak yang terjadi, hanya satu tamparan di pipi kiri dan pukulan di lutut kanannya dengan kursi. Kalau tak ada anak buah Ten yang menah