Share

Chapter 10. Kandi, kenapa?

Diwana berdiam diri di balik pintu rumahnya, menimbang-nimbang jam berapakah ia akan keluar dan berangkat kerja. Berangkat ke kantor tidak pernah serumit itu sebelumnya, sebelum Nilakandi hadir mengusiknya.

“Kalau berangkat sekarang bisa ketemu nggak ya?”

“Atau agak siangan?”

“Sebentar, kalau dia dirumah seharian dan nggak keluar-keluar gimana dong?”

Hati Diwana benar-benar sedang berdebat dengan otaknya sendiri. Dua hari sudah sejak insiden hilangnya Diwana. Jovyan sudah ratusan kali mengejeknya bucin, Tama juga. Bahkan mereka bersikeras ingin bertemu Nilakandi lagi.

Karena dilihat dari sisi manapun, perempuan itu sangat mirip dengan Biru. Ah tidak, mereka bahkan sama, benar-benar sama. Hanya saja wajah Nilakandi yang sekarang terasa lebih... dewasa.

Sudah sejak saat itu pula Diwana belum bertemu lagi dengan Nilakandi. Entah kenapa, dia rindu. Aneh memang, rindunya terasa sama seperti saat ia merindukan sosok Biru.

Membuang perasaan anehnya, Diwana bergegas berangkat ke kantor. Tak sesuai harapan, pintu rumah gadis itu rapat. Ada dua bundle koran harian di lantai, tanda gadis itu memang tak pernah menginjakkan kaki keluar rumah dalam dua hari.

---

"Kak Diwa, kamu beneran udah sembuh? Kerjaan kamu biar aku yang handle nggak papa." Jeanne sedikit menunduk, berniat melihat wajah bosnya lebih dekat. Tangannya terulur ke pundak lelaki itu, membelainya pelan.

Diwana tahu, perempuan ini memiliki perasaan untuknya lebih dari sekedar rekan kerja. Beberapa kali ia memergoki Jeanne tengah mengamatinya diam-diam saat sedang beristirahat di ruangannya.

Jeanne itu baik, sangat baik pada Diwana. Banyak juga laki-laki yang antre untuk perempuan cantik itu. Tapi hati Diwa sekeras batu, tak akan lunak hanya dengan iming-iming paras rupawan.

Satu-satunya hal yang Diwa tidak sukai dari Jeanne adalah sifatnya yang terlalu terang-terangan pada Diwa, juga sedikit touchy.

Diwa tak pernah tahan dengan skinship bentuk apapun dan pada siapapun. Karena itu ia heran kenapa kemarin justru memeluk perempuan asing tiba-tiba, tapi menurutnya itu spontan belaka. Ia masih membenci segala bentuk skinship dengan manusia.

"Enggak, Jeanne. Tolong panggil aku 'Pak' ya kalau masih jam kerja. Nggak enak didengar teman-teman." Diwana berusaha membuat jarak dengan mengingatkan Jeanne secara langsung. Perempuan itu hanya tersenyum masam dan melepaskan tangannya segera.

"Kamu nggak papa kan?" tanya Jeanne kemudian.

"I'm good, aku udah minum obat paling manjur di dunia, and I just need some space right now."

Kalimat Diwa membungkam Jeanne, yang lantas mengangguk dan pergi meninggalkan ruangan.

Diwana menghela napas kasar. Pikirannya belum beralih dari sosok yang tak lain adalah Sang Nilakandi. Demi Tuhan, Diwana seperti terikat pada perempuan itu. Ia merasa seakan pernah bertemu sebelumnya-selain di mimpi. Tapi ada perasaan asing juga yang menahan.

Jam dinding masih menunjukkan pukul satu siang, dua jam sebelum waktu pulang kantor. Tanpa ragu ia meraih ponsel dan menghubungi seseorang.

"Halo, Ta? Aku ijin pulang duluan. Pertemuan jam dua nanti aku bolos ya, nggak begitu penting juga kan?"

"Diw-"

Tuut.. tuut.. tuut..

"Ini sih ngasih tau doang, bukan minta ijin," komentar Tama seraya tertawa usai panggilan berakhir.

"Diwana ijin? Astaga, dunia sedang tidak baik-baik saja nih, Ta," kelakar Jovyan kemudian.

"Akhirnya, Jo. Diwa bisa bolos rapat juga... Terharu aku, Jo."

"Telat masuk kantor udah, bolos rapat udah, kurang pacaran aja sih dia. Hmm, jadi inget si hantu." Jovyan tertawa mengingat betapa terkejutnya ia pada sosok Nilakandi yang betul-betul terlihat mirip dengan lukisan di dinding rumah Diwana.

"Sama, jadi penasaran nggak sih? nggak logis banget apa yang terjadi sama Diwa tuh, Jo." Kali ini Tama menghentikan kegiatannya dibalik komputer, lalu melirik kearah Jovyan yang duduk di sofa. Jo yang tertarik dengan arah pembicaraan langsung meletakkan berkas-berkas bekal rapat mereka nanti siang.

"Banget, Ta. Bener-bener nggak logis. Malah lebih masuk akal kalau si Biru tuh hantu beneran tau nggak? Kenyataan bahwa ada manusia yang hidup dengan fisik nyaris sama justru membingungkan. Kalau itu terjadi sama lo, pusing nggak tuh?"

"Udah gila beneran kali, Jo. Dulu waktu Diwana cerita tentang mimpi-mimpi dia, aku sempet mikir dia itu gila. Tapi begitu lihat sketsa-sketsa si Biru, aku mulai kasian sama Diwana. Dan entah kenapa, kemarin rasanya aku seneng." Jawaban Tama menarik atensi Jovyan, kerutan tercetak di dahinya.

"Hah? seneng kenapa?"

"Ya nggak tau, serasa Diwana akhirnya ketemu sama cinta pertamanya? Konyol memang."

"Iya juga sih, baru kali ini kan dia tertarik sama manusia hahaha. Kayaknya bolosnya Diwa perlu kita rayakan nih, Bos. Traktir saya makan siang juga boleh." Jovyan nyengir dengan ekspresi menyebalkan di mata Tama.

"Hmm, kamu udah aku traktir kan kemarin lusa?"

"Hah? Traktir apaan?"

"Hyundai"

---

Diwana bergegas pulang kerumah usai pamit-atau lebih tepatnya mengabari-Tama. Jeanne dan beberapa pegawai lain yang melihat sosok Diwa pulang sebelum jam kantor berakhir pun dibuat geleng-geleng kepala.

Itu hal yang wajar memang, tapi bukan untuk Diwana Rajinbaikhati Derurindu.

"Mungkin si bos punya pacar baru kali," kata Evan usai Diwa tak terlihat lagi. Ucapannya langsung disambut raut masam Jeanne yang terusik.

"Apaan sih? Enggak ada pacar pacar," katanya.

Diwana langsung mengendarai mobilnya menuju apartemen. Niat di benaknya hanya satu, pergi menemui Nilakandi. Entah apa yang akan ia katakan, ia tak tahu.

Ingin rasanya menceritakan mimpi-mimpi selama enam tahunnya itu pada Nilakandi, tapi ceritanya pasti akan terdengar konyol dan agak takut dikira stalker atau pembual.

"Ah persetan dengan itu semua, aku akan cerita," batin Diwana.

Baru memasuki area apartemen, pemandangan didepannya menarik atensi. Sesosok perempuan bertubuh mungil masuk ke convenience store yang terletak tepat di depan gedung.

Ya, Nilakandi.

Jiwa stalker Diwana seketika muncul, ia langsung memarkir mobilnya dan membuntuti gadis itu dalam diam.

“Kenapa beli mie instan banyak banget sih? Nggak sehat, Kandi...” omelnya dalam hati saat Nilakandi memasukkan satu lusin cup mie instan rasa ayam bawang pada trolinya.

“Ih, kenapa beli kopi sebanyak itu? Kafein, Kandi...”

“Hah? beli makanan ringan berapa bungkus itu? MSG, Kandi...”

“Hm? apa itu? Obat merah?”

Mata Diwana melebar saat gadis itu mengambil satu botol obat merah, kain kassa, dan satu box besar plester. Ia langsung keluar minimarket ketika Kandi menuju kasir, berniat menunggu perempuan itu di luar.

Sepuluh menit berlalu, Kandi pun keluar dengan belanjaannya. Atensinya tertuju pada Diwana yang memandang tajam, netra mereka akhirnya bertemu.

"Mmm, boleh aku bawain?" tawarnya saat melihat kedua tangan Nilakandi penuh barang. Perempuan itu mengangguk ragu.

Betapa terkejutnya Diwana saat menyadari ada yang tak biasa dari penampilan Kandi saat itu.

Sebuah luka memar masih membiru di lutut kirinya. Lutut kanannya bahkan lebih parah, ada bekas luka mengering juga disana. Sudut bibirnya juga membiru, tapi sedikit tersamarkan dengan senyumnya. Bekas luka sayatan di tangan kirinya juga masih terlihat.

Diwana hanya mampu menelan ludah, enggan bertanya macam-macam. Mungkin nanti, pikirnya. Keduanya berjalan ke gedung beriringan, meninggalkan mobil Diwa di jalanan.

“Kamu kenapa, Nilakandi...”

----

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status